Gawaiku mendengung sementara aku memacu langkah lebih cepat dan hampir saja memasuki area lobi. Aku merogoh saku blusku, dan rokku melambai-lambai di sepanjang jalan. Angin cukup kencang, aku seperti melihat bayangan Marilyn Monroe di sini. Mirip nggak sih denganku—eh bajuku ini.Ada nama Biru melayang di layar LED-nya. Ia takut sekali rupanya, berlomba denganku kali ini."Kamu sudah sampai mana, Jani?"Aku hanya mendesah, dan berpacu lagi dengan langkah-langkahku. Kini aku sampai di dalam lobi, aku melihat beberapa resepsionis mengucapkan salam. Aku tersenyum, mereka pasti mengingatku.Gadis biasa yang datang bersama laki-laki paling ganteng di hotel ini. Jadi, aku sangat gampang diingat. Karena menimbulkan tatapan iri dari para pegawai perempuan yang bekerja di lobi. Aku memang seberuntung itu, Girls. Aku terkekeh."Aku sudah sampai lobi. Aku menang!" teriakku pada gawai di telingaku.Sepatu hak tinggi merahku menggema di seluruh gedung, dan sepertinya perlombaan ini menghasilkan p
Dia kumat, dan pipiku memerah, "Kenapa kau ke sini lagi? Kangen? Atau mau menyerahkan diri secara baik-baik?"Dia menurunkanku di sofa panjang. Aku melesak ke atas sofa, seolah-olah terhisap busa dan kainnya. Aku meraih bantal sofa, memeluknya dengan erat lalu berguling."Jadi, apa jawabanmu?" ia bertanya lagi."Apa Mas nggak lapar?" aku pandai sekali mengalihkan percakapan yang kurang menguntungkan posisiku sebagai perempuan. Ia mengelus perutnya. Ia masih memakai kaos olahraga yang besar.Ia membungkuk, melepas kaos sweater, ia mengenakan kaos tanpa lengan di baliknya. Aku menatap bahu dan punggung terlatih itu dengan air liur menetes. Aku sungguh menyedihkan."Kenapa badanmu bagus?""Aku suka ke gym, kan sudah kubilang dulu.""Tidak. Apa nggak terlalu sibuk?""Aku pengangguran Jani, jadi kalau aku bosan aku ke gym.""Enak sekali punya hobi olahraga.""Nanti akan kau akan kuajak ke gym.""Gym pribadi?" mataku mendelik, "aku memakai hijab, kalau di gym umum gerah.""Boleh."Ia sepert
"Ada apa dengan besok pagi?" aku masih bersandar padanya. Dia berdehem sebentar."Tidak ada apa-apa. Bumi pasti mengerjaimu.""Tapi, kedengarannya sangat serius.""Tidak, Jani.""Oh, begitu," aku mendesah kecewa, "apa kau kesulitan untuk terbuka padaku, Mas? Bukankah lebih baik jika dibicarakan saja?"Dia menoleh, memandangku dengan ekspresi mata yang lembut dan jahil."Lihat, tungkaiku terasa sakit saat aku berlari ke sini. Hak tinggi yang bikin senewen," keluhku kemudian."Pakai sepatu flats saja.""Tidak seksi. Aku memakai sepatu merah untukmu.""Oh. Aku tersanjung," di tertawa, "apa kau tahu ketika aku memacu mobil ke sini aku tertawa-tawa di jalanan seperti orang gila.""Kenapa kau begitu?" aku memandangnya."Aku ingin melihat wajah cantikmu.""Kau menggombal lagi.""Tapi, itu betulan kok."Aku merasakan dadaku mengembang karena gelembung rasa bahagia. Aku menegakkan diri, dan kembali bersandar kepadanya. Kepalaku rebah dengan mudah ke lekuk lehernya. Benar sekali, aku sungguh se
"Aku nggak ngerti, Sayang."Aku melengos, moodku tiba-tiba memburuk. "Aku mau tidur sendiri. Mas tidur di sofa saja." Kataku, lalu beranjak menuju tempat tidur."Hei, mana bisa begitu?" ia mulai sedikit panik."Bisa dong. Kan memang begitu sejak dulu, suratnya belum keluar.""Suratnya sudah keluar Jani. Bapak sudah menghubungiku, jadi sekarang tidak ada alasan lagi.""Aku nggak mau tahu, aku capek dengan masa lalumu. Melani Melissa, kenapa kau bisa mengencani dua orang perempuan sekaligus begitu? Apa kau tidak geli?" aku memasang roman jijik, tapi rasa-rasanya Biru sudah naik pitam."Apa maksudmu? Melissa dulu hanya pacar sebentar, lalu aku menikah dengan Melani. Bukankah sudah kuberitahu berulang kali?"Aku menghindar dari pandangannya, aku berjalan memutar. Mencoba memberi ilusi jarak."Mas, jangan ke sini. Kau tidur di sofa depan tivi.""No. Aku ke sini mau tidur di ranjang."Aku berlari kecil, melintasi kamar dan berkacak pinggang, rasa-rasanya tubuhku memanas. Biru terlihat monda
Dia tertawa. Entah tawa macam apa di sesi konsultasi psikologi ini. Itu bukan keahlianku. Tapi, aku bisa melihat ia begitu ingin bercerita lagi. Seolah-olah semua yang ia pendam ingin ia muntahkan malam ini. "Aku pernah berpikir, jika aku menjadi dokter mungkin Papa akan lebih baik menerimaku.""Apa dia begitu?""Tampaknya tidak, Jani. Apalagi aku menjadi mahasiswa DO di fakultas kedokteran, tentu saja hal ini sangat memalukan bagi Papa.""Bagiku tidak, Mas."Ia menoleh, tersenyum lalu menarik kepalaku ke pangkuannya. Rasa-rasanya aku ingin sekali mengantuk dan tertidur, tapi aku tahu sekarang perhatianku masih pada Biru. "Aku sama sekali tidak ingin diduakan, Jani. Aku tidak ingin menjadi yang kedua. Tapi, Samu dan Bumi selalu ada di atasku."Aku melihat kemarahan seperti mengepul dari kepala dan pori-pori kulitnya. "Mas, kau selalu menjadi nomor satu untukku."Ia menatapku dalam, seperti memastikan kalau apa yang kukatakan bukan bualan biasa. "Jani, jangan berkata yang kau tidak
Aku berada di depan cermin lebar, meja rias yang ada dalam kamar hotel. Aku kaget melihat rambutku berantakan, dan wajahku serupa dengan Suzzana. Maskara hitam yang meluber, dan sapuan riasan mata membiru. Oh, kenapa aku lupa menghapus riasanku ini. Dari balik jendela, sinar kemerahan menembus tirai-tirai dan bertumpu pada Biru yang meringkuk di balik selimut. Aku tersenyum. Aku heran bisa bertahan hingga pagi, sementara Biru tampak kelelahan di atas ranjang. Kamar diterangi cahaya lampu samar. Aku harus mandi, sebentar lagi ada acara lain. Sarapan bersama keluarga besar Biru. "Duh, sialan," umpatku sedikit keras, kenapa bisa seperti ini sih tampilanku. Kenapa Biru bisa bertahan semalaman melihatku seperti ini? Aku jadi teringat saat aku sakit dahulu, dia begitu telaten dan penuh perhatian mengurusku. Padahal, aku begitu jelek. Make up dan semuanya membuat tampilanku tak bisa dilihat kamera apapun termasuk kamera Bang Napi yang pemilih itu. "Jani," Biru menggeliat, ia menyelimut
"Kau tidak bertanya lagi, Jani?" Biru meremas bahuku lembut, ia tersenyum dan tampak penasaran dengan pikiranku sekarang.Apa yang kupikirkan sekarang ini? Cara menghadapi masa lalu suamiku, ya begitulah aku. Aku perempuan 'primitif' yang akan dibakar rasa cemburu.Aku memandangnya dengan tajam, dan sedikit lama. Ada pendar-pendar bahagia di pernik matanya, aku berharap saat seperti ini tidak akan pernah berakhir.Saat bulan madu adalah saat-saat membahagiakan dan menggetarkan, namun kau tidak akan pernah tahu masa depan, bukankah demikian?Dahulu, kukira, nasib jodohku adalah dengan Argo hingga aku ataupun dia menutup mata. Namun, dia malah menusukku dengan perselingkuhan. Dilakukan ketika aku bekerja, dan mereka melakukannya di atas ranjang utama rumah kami.Rumah kami. Sekarang, rumah itu sudah milik Argo sepenuhnya. Aku malas sekali mengurus harta gono gini, dia sepertinya juga enggan mengurusnya. Dia malah memintaku kembali kalau menginginkan rumah itu.Apa-apaan itu?Jadi, aku
Aku curiga, dia mengulur waktu agar bisa berdekatan dengan Biru.Ada-ada saja.Salah siapa jika gadis itu bersikap jelalatan memalukan begini? Hari ini sikap Biru begitu manis. Biru yang biasanya sedikit galak, dan menakutkan namun tetap saja menawan sepanjang masa—sekarang dengan manis dan sopan sedang menyelesaikan administrasi.Sesuatu yang paling menarik di hotel ini ada di sampingku.Setelah mengucapkan terima kasih, aku melenggang dan Biru melingkarkan tangannya di pinggangku. Sepertinya gadis itu melihatnya. Ia seperti terkejut, mendapati Biru bersamaku.Aku mengibaskan cincin berlian branded di udara, memastikan mata jelalatan gadis itu menangkap kilau berlian tersebut. Nah, ia tahu sekarang. Wajahnya merah padam. Ia pasti tahu, kalau Biru sekarang milikku, ya kan?"Kenapa?" tanya Biru."Gadis resepsionisnya rese, Mas.""Cemburu?""Enggak!""Bilang saja, iya. Tadi ngapain mamerin cincin berlian.""Biar dia iri!" jawabku galak.Saat keluar dari hotel, Biru tertawa mendengar jaw