"Ada apa dengan besok pagi?" aku masih bersandar padanya. Dia berdehem sebentar."Tidak ada apa-apa. Bumi pasti mengerjaimu.""Tapi, kedengarannya sangat serius.""Tidak, Jani.""Oh, begitu," aku mendesah kecewa, "apa kau kesulitan untuk terbuka padaku, Mas? Bukankah lebih baik jika dibicarakan saja?"Dia menoleh, memandangku dengan ekspresi mata yang lembut dan jahil."Lihat, tungkaiku terasa sakit saat aku berlari ke sini. Hak tinggi yang bikin senewen," keluhku kemudian."Pakai sepatu flats saja.""Tidak seksi. Aku memakai sepatu merah untukmu.""Oh. Aku tersanjung," di tertawa, "apa kau tahu ketika aku memacu mobil ke sini aku tertawa-tawa di jalanan seperti orang gila.""Kenapa kau begitu?" aku memandangnya."Aku ingin melihat wajah cantikmu.""Kau menggombal lagi.""Tapi, itu betulan kok."Aku merasakan dadaku mengembang karena gelembung rasa bahagia. Aku menegakkan diri, dan kembali bersandar kepadanya. Kepalaku rebah dengan mudah ke lekuk lehernya. Benar sekali, aku sungguh se
"Aku nggak ngerti, Sayang."Aku melengos, moodku tiba-tiba memburuk. "Aku mau tidur sendiri. Mas tidur di sofa saja." Kataku, lalu beranjak menuju tempat tidur."Hei, mana bisa begitu?" ia mulai sedikit panik."Bisa dong. Kan memang begitu sejak dulu, suratnya belum keluar.""Suratnya sudah keluar Jani. Bapak sudah menghubungiku, jadi sekarang tidak ada alasan lagi.""Aku nggak mau tahu, aku capek dengan masa lalumu. Melani Melissa, kenapa kau bisa mengencani dua orang perempuan sekaligus begitu? Apa kau tidak geli?" aku memasang roman jijik, tapi rasa-rasanya Biru sudah naik pitam."Apa maksudmu? Melissa dulu hanya pacar sebentar, lalu aku menikah dengan Melani. Bukankah sudah kuberitahu berulang kali?"Aku menghindar dari pandangannya, aku berjalan memutar. Mencoba memberi ilusi jarak."Mas, jangan ke sini. Kau tidur di sofa depan tivi.""No. Aku ke sini mau tidur di ranjang."Aku berlari kecil, melintasi kamar dan berkacak pinggang, rasa-rasanya tubuhku memanas. Biru terlihat monda
Dia tertawa. Entah tawa macam apa di sesi konsultasi psikologi ini. Itu bukan keahlianku. Tapi, aku bisa melihat ia begitu ingin bercerita lagi. Seolah-olah semua yang ia pendam ingin ia muntahkan malam ini. "Aku pernah berpikir, jika aku menjadi dokter mungkin Papa akan lebih baik menerimaku.""Apa dia begitu?""Tampaknya tidak, Jani. Apalagi aku menjadi mahasiswa DO di fakultas kedokteran, tentu saja hal ini sangat memalukan bagi Papa.""Bagiku tidak, Mas."Ia menoleh, tersenyum lalu menarik kepalaku ke pangkuannya. Rasa-rasanya aku ingin sekali mengantuk dan tertidur, tapi aku tahu sekarang perhatianku masih pada Biru. "Aku sama sekali tidak ingin diduakan, Jani. Aku tidak ingin menjadi yang kedua. Tapi, Samu dan Bumi selalu ada di atasku."Aku melihat kemarahan seperti mengepul dari kepala dan pori-pori kulitnya. "Mas, kau selalu menjadi nomor satu untukku."Ia menatapku dalam, seperti memastikan kalau apa yang kukatakan bukan bualan biasa. "Jani, jangan berkata yang kau tidak
Aku berada di depan cermin lebar, meja rias yang ada dalam kamar hotel. Aku kaget melihat rambutku berantakan, dan wajahku serupa dengan Suzzana. Maskara hitam yang meluber, dan sapuan riasan mata membiru. Oh, kenapa aku lupa menghapus riasanku ini. Dari balik jendela, sinar kemerahan menembus tirai-tirai dan bertumpu pada Biru yang meringkuk di balik selimut. Aku tersenyum. Aku heran bisa bertahan hingga pagi, sementara Biru tampak kelelahan di atas ranjang. Kamar diterangi cahaya lampu samar. Aku harus mandi, sebentar lagi ada acara lain. Sarapan bersama keluarga besar Biru. "Duh, sialan," umpatku sedikit keras, kenapa bisa seperti ini sih tampilanku. Kenapa Biru bisa bertahan semalaman melihatku seperti ini? Aku jadi teringat saat aku sakit dahulu, dia begitu telaten dan penuh perhatian mengurusku. Padahal, aku begitu jelek. Make up dan semuanya membuat tampilanku tak bisa dilihat kamera apapun termasuk kamera Bang Napi yang pemilih itu. "Jani," Biru menggeliat, ia menyelimut
"Kau tidak bertanya lagi, Jani?" Biru meremas bahuku lembut, ia tersenyum dan tampak penasaran dengan pikiranku sekarang.Apa yang kupikirkan sekarang ini? Cara menghadapi masa lalu suamiku, ya begitulah aku. Aku perempuan 'primitif' yang akan dibakar rasa cemburu.Aku memandangnya dengan tajam, dan sedikit lama. Ada pendar-pendar bahagia di pernik matanya, aku berharap saat seperti ini tidak akan pernah berakhir.Saat bulan madu adalah saat-saat membahagiakan dan menggetarkan, namun kau tidak akan pernah tahu masa depan, bukankah demikian?Dahulu, kukira, nasib jodohku adalah dengan Argo hingga aku ataupun dia menutup mata. Namun, dia malah menusukku dengan perselingkuhan. Dilakukan ketika aku bekerja, dan mereka melakukannya di atas ranjang utama rumah kami.Rumah kami. Sekarang, rumah itu sudah milik Argo sepenuhnya. Aku malas sekali mengurus harta gono gini, dia sepertinya juga enggan mengurusnya. Dia malah memintaku kembali kalau menginginkan rumah itu.Apa-apaan itu?Jadi, aku
Aku curiga, dia mengulur waktu agar bisa berdekatan dengan Biru.Ada-ada saja.Salah siapa jika gadis itu bersikap jelalatan memalukan begini? Hari ini sikap Biru begitu manis. Biru yang biasanya sedikit galak, dan menakutkan namun tetap saja menawan sepanjang masa—sekarang dengan manis dan sopan sedang menyelesaikan administrasi.Sesuatu yang paling menarik di hotel ini ada di sampingku.Setelah mengucapkan terima kasih, aku melenggang dan Biru melingkarkan tangannya di pinggangku. Sepertinya gadis itu melihatnya. Ia seperti terkejut, mendapati Biru bersamaku.Aku mengibaskan cincin berlian branded di udara, memastikan mata jelalatan gadis itu menangkap kilau berlian tersebut. Nah, ia tahu sekarang. Wajahnya merah padam. Ia pasti tahu, kalau Biru sekarang milikku, ya kan?"Kenapa?" tanya Biru."Gadis resepsionisnya rese, Mas.""Cemburu?""Enggak!""Bilang saja, iya. Tadi ngapain mamerin cincin berlian.""Biar dia iri!" jawabku galak.Saat keluar dari hotel, Biru tertawa mendengar jaw
Papa duduk di kepala meja sembari membaca sesuatu, mungkin majalah. Oh, bukan! Itu jurnal kedokteran, ya Tuhan. Aku sampai geli. Karena jamuan belum dimulai, maka ia tak mengindahkan orang lain di sini, termasuk putranya yang sudah menjauh selama empat tahun lamanya."Maaf ya, mungkin EO lupa memberi tahu restoran ini kalau kursinya kurang," Mama menjelaskan perlahan, dia duduk di sebelah Papa. Sementara di kepala kursi lainnya, duduklah anggota dewan kita yang terhormat Pak Wijaya Kusuma. Mantan mertua Biru.Sungguh reuni kecil yang menggelisahkan.Aku membalas ucapan Mama dengan tersenyum, "Tak apa-apa, Ma. Mungkin mereka lupa atau memang terselip intruksinya.""Memang begitu kan, kalau begitu banyak acara, Sayang?" kata Mama kembali menekankan kalau masalah kursi itu bukan masalah besar.Aku mengangguk, tapi Biru tidak memberikan reaksi. Wajahnya datar. Aku takut, ia menjadi ciut nyalinya di sini, gara-gara kursinya tidak disiapkan dulu."Oh, iya Biru, terima kasih hadiahnya," sapa
"Sudah—sudah, tidak perlu ribut. Kenapa kalian ini bisa jatuh cinta pada Biru. Semua perempuan di sini, padahal dia satu-satunya anakku yang tidak layak," Papa berseloroh, suaranya seperti menggema hingga ke ujung ruangan. Begitu besar dan keras, tanpa keraguan.Oh, jangan sampai dia membuat Biru kehilangan muka lagi."Aku masih heran, di antara anak-anakku, Biru yang paling mirip denganku secara fisik—ingat secara fisik. Tapi, dia tidak bisa menyamaiku dalam intelektualitas dan profesionalisme. Bagaimana bisa kau DO dari kuliahmu di kedokteran dulu? Siapa pun bisa saja mengambil S2 Manajemen atau apalah itu," Papa meletakkan sendok dan garpunya, ia menyisakan sedikit sisa sayur dan buah di piringnya. Dia betul-betul takut dengan lemak."Pa, aku tidak bisa menjadi dokter sepertimu, atau seperti Bumi dan Samu. Tapi, aku menyelesaikan S2 dengan bekerja keras dan membesarkan JMTV, menghadapi semua kesulitan secara mandiri. Kau bahkan tidak tahu, aku lulus cum laude, ada banyak tawaran ke
Anjani RahmaSangat menawan dengan jas putih sempurna. Dengan bunga kecil di saku atas jasnya. Rambutnya tampak berkilau ditimpa sinar lampu, aku mengingat rambut itu. Mirip rambut aktor Jepang. Dulu, saat aku kecil, aku merasa ia penjelmaan tokoh manga.Ketika aku sudah mendekat padanya. Aku mengenali wangi parfum kesukaannya. Ketika pandangan kami bertemu, beberapa detik waktu membeku. Seolah ada yang lepas begitu saja dari dalam diriku. Seperti gumpalan kertas yang menggelinding. Ada kelegaan dan rasa nyaman.Tentu saja, kami akan selalu bersama-sama, iya kan?Kami akan baik-baik saja.Aku tersenyum, ia pun demikian. Lalu, ia membimbingku.Aku menyerahkan buket bungaku pada Lupita. Jemari Biru meremas tanganku lembut. Aku menatapnya, seperti sedang kecanduan sesuatu.Jani, ingat ini di hall masih banyak orang."Mas.""Sst, jangan ngobrol dulu, Jani. Ini masih jalan.""Eh, iya.""Kamu cantik."Aku tersipu-sipu, dan seketika itu semua orang di dalam hall terasa lenyap.Baiklah, aku h
Anjani RahmaTentu saja aku terperangah. Itu aku. Iya, itu aku.Perempuan dalam balutan kebaya dengan ekor dua meter itu, aku. Nyaris saja aku lupa bagaimana wajahku. Ya, bagaimana sih. Ini seperti tampilan artis begitu. Tampaknya terlalu cantik dan glamour. Namun, begitulah aku sekarang.Sebentar lagi, aku akan turun di hall utama Plaza Athena. Ada ribuan pasang mata yang akan mengamati gerak gerikku. Tentu saja mungkin ada yang penasaran karyawan seperti apa yang bisa memikat bos CEO-nya. Apakah kejadian itu ada di alam nyata, tidak sekadar dalam cerita-cerita fiksi ala platform?Setidaknya, tadi sudah hampir satu jam aku berada di suite mempelai perempuan. Menyiapkan diri untuk tampil sebaik mungkin di malam bersejarah ini.Aku menelan ludah canggung.Rasa-rasanya mustahil rencanaku berhasil, tapi sejauh ini kurasa cukup lancar. Aku masih belum membayangkan bagaimana reaksi Biru, karena kata Ibu tidak boleh bertemu dulu dengan mempelai laki—biar nggak sial. Padahal, kata Ibu juga i
Anjani Rahma "Sabar, Jani. Nanti giliranmu keluar, kita menunggu aba-aba dari sekretaris EO ya," Ibu seperti mengerti pikiranku.Semua ini terasa begitu glamour, memang ini bukan gayaku. Namun, ini adalah lifestyle relasi Biru dan budaya di kalangan mereka. Jadi, menurutku tidak mengapa. Hal yang masih kupikirkan adalah adanya pesan dari Mbak Wati, yang sedang menunggu Pak Menkes di halaman kantor Gubernur.Well, iya. Aku masih minta bantuan divisi Aneh Tapi Nyata, kan mereka juga sahabat sejati. Ada juga tim dari acara Talk Show Kesehatan yang sudah bersiap di rooftop yang disulap seperti studio tertutup yang sangat lux, agar kalau Pak Menkes datang. Saat acara berlangsung angin besar tidak mengganggu."Keluarga Biru sudah datang, Nduk," Ibu tersenyum begitu manis.Aku merasa kaget, "Siapa saja Bu?""Lho ya keluarga Biru, semua anggota keluarganya.""Papa juga?""Ya harus to. Kan ini putra kesayangan Dokter Mada."Kesayangan. Ya, semoga saja deh Bu. Aku sedikit nyengir, namun hatiku
Anjani RahmaBaik. Baiklah. Aku tidak boleh panik.Rencana ini akan berhasil, namun sebenarnya aku cemas juga."Jani, aku rasa rencana itu terlalu berani," bisik Lupita di telingaku.Aku sedang menggenggam gawai, dan jemariku berkeringat karena udara dingin dalam ruangan di tepi langit ini. Bukan, ini bukan apartemen atap langit. Melainkan, Plaza Athena, tempat resepsi pernikahan kami berlangsung malam ini.Beberapa hari kemarin, semua sudah dirancang dengan baik oleh EO dan juga beberapa kerabat yang datang dari seluruh nusantara. Tentu saja, Ibu dan Bapak, serta Mas Seno ikut membantu. Karena, Biru seorang diri di sini. Maksudku, kerabatnya sudah diundang, hanya saja sepertinya tidak ada budaya rewang ya. Sebab itu, Biru sangat mengandalkan EO. Tapi, kan selalu ada yang harus dibenahi ini dan itu."Jangan pesimis begitu dong, Pit." Kataku sedikit kesal, kalau aku sedang dirias mungkin MUA, mungkin dia akan terbelalak melihat ekspresiku ini. Karena bisa-bisa merusak riasan.Oh iya,
Anjani Rahma Maka, karena aku tidak punya siapa-siapa yang bisa diganggu di jam begini. Aku menelpon Lupita."Jani, ampun dah, jam berapa ini?" katanya serak sembari menguap di telepon yang kugenggam."Dah, ah. Kamu kan masih jones, jadi sesekali bantu aku kan nggak apa-apa, Pit.""Jones sih jones, Jani. Tapi besok aku kerja. Belum ada yang ngasih aku nafkah kayak kamu begitu. Aku masih berbentuk dendeng yang harus terus berimprovisasi agar survive di sini," keluhnya."Lha sekarang, kok malah kamu yang curhat sih, Pit?"Dia terdiam, "Eh, iya juga sih ya." Lalu ia tertawa terbahak-bahak sampai telingaku sakit."Jangan ngikik kayak kuntilanak begitu dong, Pit. Bayiku nanti nggak bisa tidur.""Heleh, bayimu masih di perut."Aku bersimpuh di karpet tebal yang terletak di ruang tengah. "Gini, Pit. Sepertinya Papa Biru itu nggak bisa datang. Padahal, kan Biru ngarepin banget ortunya datang semua.""Oh, kok begitu sih?""Ya, kan aku pernah cerita.""Sekilas.""Iya, memang. Sekilas saja sih.
Anjani RahmaAku terpaku menatap Biru yang terlelap di sampingku. Ini sudah agak larut sebenarnya, tadi pukul sembilan, Biru baru pulang. Sedikit terlambat tidak seperti hari biasanya memang. Konon, proyek pembukaan cabang baru JMTV begitu menyita perhatiannya. Ia tampak lelah. Tidak mudah untuk membuka dua cabang sekaligus, di Batam dan Jakarta.Ia pulang dengan wajah kusut, lalu begitu saja ia berbicara perlahan, "Jani, kalau nanti orang tuaku tidak bisa datang. Tidak apa-apa ya. Kan kemarin kita juga sudah bertemu mereka di pernikahan Samu."Lalu Biru meneguk segelas air di meja makannya. Aku hanya terdiam lama mendengarkan hal tersebut, bagaimana ya. Aku sebenarnya tidak kaget, tapi kalau mertuaku turut hadir rasa-rasanya akan istimewa. Bukankah dulu, di Kanigoro orang tua Biru juga tidak menampakkan diri?"Mas, apa Papa dan Mama tahu kalau aku juga sedang hamil?""Iya.""Mereka senang tidak sih mau punya cucu?""Mama sangat bahagia, tapi Mama tidak bisa ke sini.""Papa kenapa?""
Anjani Rahma Tanpa kusadari sejak kehamilan ini, aku jadi sering melupakan hal-hal penting. Karena sepertinya aku terlampau fokus, bisa jadi karena euphoria sudah begitu lama menginginkan bayi, dan bayi itu dari benih Biru!Ups, jangan begitu. Namanya juga takdir, tapi ini juga cara Allah menunjukkan kalau aku memang sebaiknya berjodoh dengan Biru kan ya?"Piit, aku udahan ya," aku menutup gawai dan meletakkan punggungku yang pegal di atas sofa putih keabuan yang besar dan empuk. Pikiranku melayang pada orang tuaku dan Mas Seno.Oh, no! Kenapa aku belum menelpon mereka ya?Aku mengetik pesan instan karena sedikit malas menelpon. Aku tentu saja akan melepon Ibu karena aku harus yakin, kalau sudah memberitahu mereka. Mengundang juga keluarga dari Kanigoro.Kemudian kunyalakan televisi, dan kulihat iklan-iklan popok bayi berseliweran ke sana ke mari. Kembali aku mengingat Nawang dan bayinya. Persalinannya yang heboh, rahim kecil yang bisa terbuka lebar ketika kepala bayi keluar.Oh, ter
Anjani RahmaAku bergegas menaiki tangga menuju lift ke atas atap langit. Itu sebutan untuk penthouse kami, sebenarnya menyebut penthouse juga kurang menyenangkan bisa mengundang orang-orang jahat dan sok tahu. Jadi, kami—maksudku aku dan Biru memutuskan untuk menyebutnya rumah atap langit. Seperti nama kesayanganku, Biru. Duh, aku bucin nggak sih!Setelah seminggu kemarin aku membantu Nawang bersalin, lalu kembali pulih karena Biru merawatku—bayangkan suami yang membantumu pulih. Bagaimana bisa aku tidak jatuh hati padanya? Hanya saja, ya begitulah. Terkadang, aku agak kesulitan menebak apa yang diinginkan Biru. Apa rencananya. Apa juga yang dia inginkan.Bagiku, bahkan hingga aku menjadi istrinya—Biru masih tetap misterius dan penuh teka teki. Bukan—bukannya aku tidak memercayai Biru ya. Tapi, aku merasa ia agak kesulitan membuka diri. Apa karena trauma masa kecil, atau bagaimana. Tumbuh menjadi itik buruk rupa di rumahnya. Padahal, kan dia itu kan ganteng banget! Kalau dibandingin
Langit Biru"Harusnya Mama dan Papa datang.""Tapi, Mama bisa kan?""Insya Allah Mama bisa, Sayang.""Kalau Papa?"Terdengar hening sebentar di ujung sana.Aku sudah terbiasa dengan ini semua, jadi aku tidak merasa sedih ataupun sakit hati jika Papa tidak bersedia datang. Aku memang bukan anak emas Papa. Entahlah, mungkin karena secara genetik bakatku tidak mirip Papa dan Mama."Semoga Papa bisa datang ya Nak."Tentu saja, selalu perkataan itu. Seperti halnya pernikahan pertamaku dahulu, Papa telat datang—kalau-kalau ia tidak tahu itu adalah anak dari relasinya, seorang tokoh politik yang sekarang juga menjadi besannya."Baik, Ma. Tidak apa-apa."Aku menelan ludahku, dan merasa kesal setengah mati. Tapi, biarkan saja. Aku harus kembali bekerja, ada berderet meeting di hari ini, sampai sore mungkin hingga malam menjelang. Itu akan lebih baik ketimbang bayangan Papa dan semua hal tentangnya menghantuiku setelah percakapan pahit ini. OOO"Menurut Mas terapi apa si Argo?" tanya Anjani d