Aku terbangun karena hawa panas dan suara-suara pujian dari dusun terdengar begitu saja. Lagi pula, aku tidak bisa tidur. Nyamuk-nyamuk ini kok ya tahu kalau sekarang ini malam yang penting, walaupun sudah diberi obat nyamuk bakar, tetap saja mendengung dengan begitu genit.Aku ingin tahu, bagaimana Biru merasakan situasi seperti ini. Apakah ia bisa betah berada di rumahku yang sangat terbatas dan aneh begini. Namun, sejauh yang kutahu, ia malah sering tertawa-tawa. Begitulah Biru sekarang. Entah kenapa aku melihat wajahnya begitu ceria.Apa ia begitu senang sudah menikahiku?Duh, jadi kepedean. Harusnya, aku dong yang berteriak histeris ke sekeliling kampungku yang berdebu, panas, dan ndeso ini. Mengumumkan pada orang-orang yang seringkali mengghibahiku mengenai statusku dulu, dan menyayangkan kalau aku menggugat Argo.Well, bagiku perselingkuhan itu tidak ada ampun, sama dengan KDRT. Perempuan walaupun seabsurd dan seaneh diriku ini, setidaknya punya sedikit batasanlah kalau dizalim
"Silakan," kataku agak formal. Hanya ada cahaya lilin berkedip-kedip yang membuatku teringat penyinaran di sebagian kafe-kafe besar. Mirip sekali. Ia melepas kemejanya, aku menutup sebagian mulutku dengan jemari. Aku tidak menyangka ia punya badan sebagus itu—maksudku lengan sebagus itu. Dia sekarang hanya memakai celana panjang dan kaus putih tanpa lengan. "Lenganmu, bagus." "Terima kasih," ia tersenyum, "apa kau tergoda untuk menyentuhnya, Jani?" ia menantangku.Aku menggeleng, "Nanti saja, saat sudah resmi." Sementara itu aku menahan liurku."Sekarang kan sudah halal."Aku memalingkan pandanganku, ke atap yang gelap. Aku harus menyembunyikan wajah bernafsuku.Aku tidak sadar ia berjalan mendekatiku, tidak ada barang-barang jatuh karena sinar temaram lumayan baik untuk rumah gelap gulita di dusun kecil seperti ini.Dia duduk di sisi ranjangku. Ranjang besi tua sialan ini berkeriut lagi, sungguh menjengkelkan. Padahal kami tidak melakukan apa-apa. Sungguh ranjang pembohong gila da
Hari itu, aku tidak menemukan baju bersih apapun di kamar kosku. Iya, aku telah kembali ke kosku, tentu saja. Biru sedang berada di luar sebentar menungguku, merapikan baju-baju atau apapun yang bisa kubawa ke rumahnya nanti.Ingat kan, aku tidak membawa apapun kemarin selain koper berisi beberapa helai pakaian. Aku dan Biru, segera kembali ke sini Minggu pagi. Biru ada beberapa meeting penting di hari Senin, ia tidak mengambil cuti. Aku juga tidak mau merepotkan JMTV dengan pengumuman kurang penting tentang pernikahan kami.Aku masih menunggu saat yang tepat untuk memberi tahu teman-teman di kantor. Aku tidak ingin Biru mendapatkan isu dan skandal baru. Itu tidak baik untuk perkembangan dan branding JMTV.Toh, aku juga senang jika mereka tidak tahu, belum tahu, dan tidak curiga statusku telah berubah. Aku istri Biru, lho sekarang. Andaikan aku bisa mengumumkan itu ke semua orang. Aku mungkin harus menunggu setidaknya selama semingguan ini."Sudah selesai, Jani?" ia melongok lewat pin
Sepuluh menit berlalu. Aku terdiam kembali dalam kamarku. Rasanya begitu lengang. Beberapa menit lalu, masih ada Biru di sini. Suasana lebih baik dari ini, sekarang tampak sunyi.Aku berjalan ke dapur dan membuat kopi. Aku melepas baju resmiku, menggantinya dengan baju kasual. Kaos yang sudah kehilangan warnanya. Kaos putih yang sudah tampak longgar dan molor.OOOAku terbangun dan melihat jam dinding mendekati angka tujuh. Oh, aku kesiangan! Aku meloncat dari tempat tidur. Aku tidak boleh terlambat, bisa marah nanti Bos Tissu. Apalagi kalau aku nanti ketemu Biru, bakal direcokin nanti seharian.Aku terbelalak. Sepertinya ada yang salah. Oh, aku lupa.Aku sudah menikah.Dengan Langit Biru.Aku mengusap wajahku, aku ternyata tertidur setelah menunggu Biru sampai malam kemarin. Mungkin dia banyak urusan, urusan dengan kakaknya atau bahkan mungkin dengan keluarga besarnya.Rasanya gemetar membayangkan bagaimana nanti keluarga Biru. Apa mereka seperti versi nyata Indonesian Tatler? Begitu
Aku menjauhkan kartu berwarna kuning itu, ketika melihat Bos Tissu datang dan memberi isyarat pada kami. Iya, aku tidak terlalu penasaran siapa yang mengirim bunga ini, jangan-jangan malah Argo."Perhatian," begitulah Bos Tissu kalau sedang mengintruksikan sesuatu yang penting, "ada orang kah di sini?" ia bertanya lagi. Mungkin, ia lupa kalau ia sendiri adalah orang, bukan orang utan.Aku mengernyit melihat tampilan Bos Tissu kali ini, ia berdiri di depan menangkap semua pemandangan divisi Aneh Tapi Langka, yang mungkin baginya sedikit terlalu riuh, jika ia berbicara. Ia berdehem, terbatuk-batuk. Lalu semua orang di ruangan ini terdiam."Baik. Rekan-rekanku, aku sudah mendapatkan perhatian kalian semua. Begitu kan?"Aku menoleh, ada Mbak Tina yang mengedipkan matanya padaku. Lalu di ujung ruangan Bang Napi setengah berdiri melihat Bos Tissu di depan."Begini," ia membuka catatannya, lalu memakai kacamata. Perutnya bergerak-gerak saat ia bicara, perut lima bulan Bos Tissu. Baguslah,
"Iya, Mbak?""Kau tidak apa-apa kan? Kau seharian murung lho. Tumben sekali," ia tersenyum manis. Senyum Tina Toon.Aku tertawa kecil, sedikit pahit. "Nggak apa kok Mbak. Biasa baru pulang dari kampung jadi bawaannya ingat rumah.""Gitu ya?"Aku mengangguk. Tanganku melambai ke tempat sampah yang berada di sisi kanan ruangan."Jangan dibuang, An.""Aku nggak suka Aster Mbak." Itu seperti berkata, 'Aku nggak suka Argo.' Begitu."Tadi, yang mengantar sekretaris Pak Langit. Entah aku lupa namanya siapa? Biasa perempuan-perempuan cantik di sekeliling CEO ganteng. Klise sekali kan, An?"Apa?Wajahku terasa pucat pasi, dan jemariku gemetar. Rasa-rasanya badanku akan terhuyung."Kenapa, An?""Belum makan, Mbak."Duh, aku jadi klise juga. Tapi sepertinya Mbak Tina percaya."Pak Langit itu banyak skandalnya, An. Jadi, kamu harus hati-hati ya. Sepertinya dia sering mandangin kamu kalau lagi berkunjung ke divisi ini." Ia mewanti-wanti dengan penuh ketulusan, seolah Biru adalah monster naga yang
Athena Palace. Terus terang nama apartemen ini membuatku sedikit geli, mengingat mitologi Yunani kuno kurang cocok dengan suasana Surabaya yang njawani, metro, dan tentu saja padat. Tapi, taksi online ini membuatku sampai ke tempat ini. Apartemen dengan 100 lantai, taman-taman hijau membentang, dan jalanan indah berkelok layaknya di Yunani. Putih, hijau (mungkin—karena sekarang sudah sangat malam), dan tentu saja penuh kilau lampu. Menyilaukan tentu. Tapi, terasa sekali suasana royal dan klasiknya. Mungkin, pemilik hunian ini ingin sekali memberi kesan bangsawan, mewah, klasik, dan artistik. Sungguh memang tidak cocok denganku. Aura rakyat jelata yang semena-mena. Pakaianku mirip sekali dengan setelan yang dipakai sales asuransi. Tinggal membawa tas sedikit besar, dan gaya bicara meyakinkan serta penuh janji manis, maka siapapun akan curiga aku adalah salah satu marketing perusahaan asuransi. "Sudah sampai, Mbak." Mobil kami yang terkesan biasa saja dan tampaknya bukan di sini t
Lift berhenti, dan ia keluar. Aku bersyukur sekali, dan tertawa-tawa riang. Boleh juga mengerjai orang di sini. Rupanya aura iblisku serta merta menguar. Tring!Lift berhenti, dan aku keluar begitu saja dari kotak kaca ajaib. Aku menoleh ke sana ke mari, ada koridor panjang. Ada beberapa pintu berjauhan. Ini sungguh asing.Aku berjalan sedikit perlahan, karena rasanya sungguh tidak menyenangkan. Aku seperti menguntit Biru, dan kehidupannya."Hei, Cantik. Hendak ke mana?"Deg.Aku menoleh, dan mendapatinya sedang berdiri dengan jas kusut dan wajah lelah. Rambutnya yang lembab terasa basah. Sedikit titip keringat terlihat di wajahnya."Aku hendak menguntitmu," aku berkata dengan nada ringan. Aku menatapnya, dia suamiku kan?"Hem, aku juga. Ada penyusup cantik yang mau menerobos apartemenku." Ia nyengir.Aku bertanya-tanya dalam hati. Apa ia melakukan semua ini pada perempuan-perempuannya dahulu?Aku mendekat tujuh langkah padanya. Suara ketukan heelsku menggema di korodidor mewah dan k