Otot-otot di lenganku terasa gemetar dan menyedihkan. Aku membelit lehernya dengan tangan mungilku. Ia memelukku lebih erat lagi. Ia menarikku seperti sebuah magnet. Tubuhnya terasa kuat sekali menyanggaku.Jemariku menyusuri rambutnya yang basah. Aku memainkan helai-helai rambutnya yang lembab. Rambutnya wangi dan tebal, seperti hamparan sutera. Dia seperti mengerang, aku tertawa kecil.Ia mendekatkan hidungnya, menatap mataku."Apa kau ingin masuk sekarang?""Ke apartemenmu?""Tentu."Aku menggeleng, "Kau tahu yang terjadi jika kita masuk ke sana, Mas.""Oh, bahkan saat seperti ini kau masih ingat prinsipmu itu, Jani." Dia menciumku lembut, dan aku tenggelam. Seperti menaiki kapal yang besar di lautan luas. Ada ombak, ada embusan angin, ada nyanyian camar yang indah, ada warna langit biru di atasku.Jantungku seakan berpendar di dada seperti mesin sebuah kapal, semakin keras, cepat, dan menegangkan. Aku seperti mengarungi lautan tanpa batas. Aku tidak melihat batas lautan biru ini.
Wajahku kentara sekali menghangat dan panas. Pastinya memerah sekarang."Bukan—bukan itu. Baju tidur. Baju santai, Mas." Kataku tajam."Oh, begitu. Aku lupa." Ia terkekeh, "Pakai saja bajuku. Banyak."Ya, Tuhan."Aku mau ke toilet," kataku lagi."Yang mana, yang di kamar utama, atau yang dekat dapur?"Aku berpikir, kalau di kamar utama, bisa-bisa dia nanti menyergapku di sana. Duh, aku jadi suudzon."Dekat dapur saja, aku haus."Ia berjalan di sisiku, tergelak. Ia melepas jasnya. Matanya bersinar-sinar menunggu reaksiku, "Duh, panas sekali. Iya nggak sih?" ia juga membuka kemeja kremnya, sekalian saja deh semuanya Mas.Aku ingin memalingkan wajah, atau memejamkan mata. Tapi sungguh sulit.Ia hanya memakai kaos putih pendek, dan tampaknya ia begitu nyaman. Oke, tadi aku salah menyangka kalau Biru mau menari di sini. Menari gemulai dengan pakaian minim. Wajahku menjadi hangat lagi. Aku sedikit tertawa."Apa yang lucu?" ia mendekatiku.Aku kembali mengirup aroma tubuhnya, aku mengendusny
Aku memandangnya, sedikit takut. Terasa gemetar. Ia seperti merunduk, jemarinya memainkan rambutku. Punggungku terasa dingin, badan kulkas ini begitu dingin. Mungkin karena pendingin ruangan yang seperti disetel rendah. Aku waspada, dan melihat celah, aku merunduk dan melewati merendahkan kepalaku dari tangan Biru. Lepas begitu saja, seperti kuda buruan yang tunggang langgang. Aku mendengar tawanya di kejauhan. Tawanya masih terasa merdu. Kakiku memantul-mantul seperti bola bekel. Aku seperti mengelili playground. Tempat bermain ini adalah miliknya. Tempat aku memandang dengan takjub ke sekeliling jendela besar-besar, yang terlihat begitu dekat dengan langit yang berkilauan bintang. Ada kerlip-kerlip lampu metropolis di sana. Ada kilau yang sempurna. Warna-warni.Aku menoleh, dan aku memasuki ruang kerjanya. Bagus benar, jika kakiku tidak lepas dari sepatu berhak setinggi langit itu. terasa lincah, ya kan? Aku tertegun, dari kelokan ke bagian dinding lainnya. Kubuka pintu kaca hi
Aku berdiri, berjalan keluar dari kamar. Menjauh dari ruang kerja tersebut. Aku kembali meneliti apartemennya. Lalu aku melihat kamarnya. Kamar utama. Karena ada dua kamar besar di apartemen ini. Aku melihat kilau yang indah dari kamar itu. "Kau mau tidur?" tawar Biru terasa begitu manis. Ia tampak seperti bocah sekarang, bukan layaknya laki-laki yang menakutkan. "Kenapa kau tampak begitu ragu datang ke pernikahan kakakmu dulu?" tiba-tiba kalimat itu keluar begitu saja. Begitu jelas dari mulutku ini. Ia mengedikkan bahunya, "Kau masih penasaran denganku, Jani?""Iya," jawabku seketika, "aku istrimu, kan?""Yang belum boleh kusentuh.""Benar, tapi kan ada alasannya, Mas.""Baiklah. Mari kita bermain," ia mendesah dengan kalimat itu. Aku menyipitkan mataku. "Masuklah ke kamarku. Aku akan bercerita tentang Samu." Lalu dengan tololnya, aku masuk ke dalam ruangan besar, mewah, kekuningan, dan berpendar lampu-lampu indah. Ada banyak kilau redup di sana. Tempat tidur itu terasa luas. S
Selesai shalat Subuh, aku berganti pakaian. Kulihat Biru masih terkapar di atas tempat tidur. Ia tampak kelelahan. Kamu pasti bertanya kan, ada apa tadi malam?Ada aku, Anjani yang cantik (itu kata Biru lho) dan absurd ini di atas sofa tertidur sampai terdengar azan Subuh di kejauhan.Biru tidak memindahkanku, padahal aku sudah berharap sekali terbangun di atas ranjang dengan baju-baju berhamburan. Duh pikiranku kok begini. Sungguh memprihatinkan.Ia tampak masih ganteng walau tidurnya lelap. Aku baru tahu kalau Biru sesekali mengigau. Sesuatu yang kurang jelas. Ia tidak bisa tidur nyenyak rupanya. Tubuhnya bergerak ke sana ke mari.Apa ia membutuhkan belaianku?Hus.Aku menggelengkan kepalaku. Merasa kasihan padanya. Kenapa aku harus iba pada Biru sih? Harusnya aku tidak begitu. Dia tampan, dia kaya, dia suamiku, ya kan?Aku mengembuskan napas panjang.Lalu mengelilingi kamar, dan membuka semua lemarinya. Aku ingin menemukan sesuatu yang berbau skandal, misalnya baju perempuan atau p
"Argo?" wajahku terasa pucat begitu tahu ia ada di sini.Sore ini aku meliput pembangunan mal di pusat kota, dekat sekali dengan Athena Palace dan juga beberapa apartemen mewah lainnya.Dia tertawa, ia tampak memukau dengan baju dan penampilannya. Tapi, aku tidak silau. Aku sudah memiliki Biru. Kenapa dia di sini?"Hai, Jani. Kau sedang meliput proyek ini kan? Kau bisa tanya-tanya aku, ini proyek perusahaan rekanan kami."Oh, begitu.Aku menggeleng, "Tak perlu, Go. Aku—aku punya narsum sendiri kok.""Hai, kau ini kenapa? Kita masih berteman kan?""Ya. Tapi berteman dengan mantan itu rasanya mustahil.""Kenapa Jani?""Aku—aku sudah—""Hai, Pak!" Bang Napi tiba-tiba saja ada di depanku, lalu bergegas menyalami Argo. "Bapak tahu proyek mal ini?""Saya salah satu rekanan perusahaan ini, dan iya ini proyek kami juga.""Wow, keren sekali. An, kau bisa mewawancarai dia. Kita tidak perlu pusing-pusing mencari narasumber lagi. Lalu kita bisa pulang lebih awal nggak kemaleman," Bang Napi berser
Biru berhasil menangkis serangan Argo, dan seketika saja, suasana berubah menjadi chaos. Sedikit riweh, begitu mungkin ya.Oh, kalau kau ingin bertanya bagaimana sekarang keadaan mereka?Begini, pernahkah kau membayangkan diperebutkan—maksudku membuat dua orang laki-laki berkelahi secara jantan? Itu tentu saja terasa sangat dramatis, seolah perempuan yang membuat mereka berkelahi memiliki kecantikan sejati nan paripurna.Namun, tidak dengan ini. Aku harus bilang apa?Mereka tetap saja berkelahi seperti layaknya dua ibu-ibu berbokong besar, dan bergulingan di lantai, saling jambak, tendang, dan cakar. Aku yang panik—ngomong-ngomong aku selalu saja panik, berteriak sekuat tenaga untuk membelah keramaian proyek pembangunan ini. Setidaknya di sini ada orang kan untuk melerai mereka?"Hei, cukup! Cukup Mas Biru, Argo!" oh suaraku tidak seperti suara perempuan yang sedang ketakutan, tapi mirip sekali seperti suara angsa yang terjepit, suaraku turun naik, dan mereka masih saja bergulingan da
Lalu mobil memasuki area perkantoran JMTV, di belakang kami mobil van yang dikendarai tim Bang Napi juga masuk. Aku merasa mengambang dan merasa ini akan mengubah segalanya sekarang."Jadi, Anjani Siraj, apa kau malu karena aku suamimu?" Biru menutup pintu mobilnya, dan secara posesif matanya menatapku tajam. Aku—maksudku kami, ada di lantai parkir basement."Oh. Tidak. Tidak. Aku hanya tak ingin membuat skandal.""Skandal?""Maksudnya gosip.""Kau takut dengan gosip?""Gosip sekarang, orang-orang di seluruh JMTV akan membicarakan kita. Aku terutama—karyawan baru yang tiba-tiba menjadi istri simpanan bos. Apa kau ingin mereka berkata begitu Mas?""Apa? Kenapa Jani? Itu hanya lembaran kertas biasa. Untuk apa meributkan hal kecil seperti itu? Kau istriku, seharusnya karyawanku tahu."Aku memandang Biru dengan iba, "Ya. Ya. Aku mungkin salah. Aku hanya tak ingin kehebohan."Aku berbalik hendak ke ruang lift, namun Biru menarik tanganku, mendekapku di dadanya sekali lagi. "Kau tidak akan
Anjani RahmaSangat menawan dengan jas putih sempurna. Dengan bunga kecil di saku atas jasnya. Rambutnya tampak berkilau ditimpa sinar lampu, aku mengingat rambut itu. Mirip rambut aktor Jepang. Dulu, saat aku kecil, aku merasa ia penjelmaan tokoh manga.Ketika aku sudah mendekat padanya. Aku mengenali wangi parfum kesukaannya. Ketika pandangan kami bertemu, beberapa detik waktu membeku. Seolah ada yang lepas begitu saja dari dalam diriku. Seperti gumpalan kertas yang menggelinding. Ada kelegaan dan rasa nyaman.Tentu saja, kami akan selalu bersama-sama, iya kan?Kami akan baik-baik saja.Aku tersenyum, ia pun demikian. Lalu, ia membimbingku.Aku menyerahkan buket bungaku pada Lupita. Jemari Biru meremas tanganku lembut. Aku menatapnya, seperti sedang kecanduan sesuatu.Jani, ingat ini di hall masih banyak orang."Mas.""Sst, jangan ngobrol dulu, Jani. Ini masih jalan.""Eh, iya.""Kamu cantik."Aku tersipu-sipu, dan seketika itu semua orang di dalam hall terasa lenyap.Baiklah, aku h
Anjani RahmaTentu saja aku terperangah. Itu aku. Iya, itu aku.Perempuan dalam balutan kebaya dengan ekor dua meter itu, aku. Nyaris saja aku lupa bagaimana wajahku. Ya, bagaimana sih. Ini seperti tampilan artis begitu. Tampaknya terlalu cantik dan glamour. Namun, begitulah aku sekarang.Sebentar lagi, aku akan turun di hall utama Plaza Athena. Ada ribuan pasang mata yang akan mengamati gerak gerikku. Tentu saja mungkin ada yang penasaran karyawan seperti apa yang bisa memikat bos CEO-nya. Apakah kejadian itu ada di alam nyata, tidak sekadar dalam cerita-cerita fiksi ala platform?Setidaknya, tadi sudah hampir satu jam aku berada di suite mempelai perempuan. Menyiapkan diri untuk tampil sebaik mungkin di malam bersejarah ini.Aku menelan ludah canggung.Rasa-rasanya mustahil rencanaku berhasil, tapi sejauh ini kurasa cukup lancar. Aku masih belum membayangkan bagaimana reaksi Biru, karena kata Ibu tidak boleh bertemu dulu dengan mempelai laki—biar nggak sial. Padahal, kata Ibu juga i
Anjani Rahma "Sabar, Jani. Nanti giliranmu keluar, kita menunggu aba-aba dari sekretaris EO ya," Ibu seperti mengerti pikiranku.Semua ini terasa begitu glamour, memang ini bukan gayaku. Namun, ini adalah lifestyle relasi Biru dan budaya di kalangan mereka. Jadi, menurutku tidak mengapa. Hal yang masih kupikirkan adalah adanya pesan dari Mbak Wati, yang sedang menunggu Pak Menkes di halaman kantor Gubernur.Well, iya. Aku masih minta bantuan divisi Aneh Tapi Nyata, kan mereka juga sahabat sejati. Ada juga tim dari acara Talk Show Kesehatan yang sudah bersiap di rooftop yang disulap seperti studio tertutup yang sangat lux, agar kalau Pak Menkes datang. Saat acara berlangsung angin besar tidak mengganggu."Keluarga Biru sudah datang, Nduk," Ibu tersenyum begitu manis.Aku merasa kaget, "Siapa saja Bu?""Lho ya keluarga Biru, semua anggota keluarganya.""Papa juga?""Ya harus to. Kan ini putra kesayangan Dokter Mada."Kesayangan. Ya, semoga saja deh Bu. Aku sedikit nyengir, namun hatiku
Anjani RahmaBaik. Baiklah. Aku tidak boleh panik.Rencana ini akan berhasil, namun sebenarnya aku cemas juga."Jani, aku rasa rencana itu terlalu berani," bisik Lupita di telingaku.Aku sedang menggenggam gawai, dan jemariku berkeringat karena udara dingin dalam ruangan di tepi langit ini. Bukan, ini bukan apartemen atap langit. Melainkan, Plaza Athena, tempat resepsi pernikahan kami berlangsung malam ini.Beberapa hari kemarin, semua sudah dirancang dengan baik oleh EO dan juga beberapa kerabat yang datang dari seluruh nusantara. Tentu saja, Ibu dan Bapak, serta Mas Seno ikut membantu. Karena, Biru seorang diri di sini. Maksudku, kerabatnya sudah diundang, hanya saja sepertinya tidak ada budaya rewang ya. Sebab itu, Biru sangat mengandalkan EO. Tapi, kan selalu ada yang harus dibenahi ini dan itu."Jangan pesimis begitu dong, Pit." Kataku sedikit kesal, kalau aku sedang dirias mungkin MUA, mungkin dia akan terbelalak melihat ekspresiku ini. Karena bisa-bisa merusak riasan.Oh iya,
Anjani Rahma Maka, karena aku tidak punya siapa-siapa yang bisa diganggu di jam begini. Aku menelpon Lupita."Jani, ampun dah, jam berapa ini?" katanya serak sembari menguap di telepon yang kugenggam."Dah, ah. Kamu kan masih jones, jadi sesekali bantu aku kan nggak apa-apa, Pit.""Jones sih jones, Jani. Tapi besok aku kerja. Belum ada yang ngasih aku nafkah kayak kamu begitu. Aku masih berbentuk dendeng yang harus terus berimprovisasi agar survive di sini," keluhnya."Lha sekarang, kok malah kamu yang curhat sih, Pit?"Dia terdiam, "Eh, iya juga sih ya." Lalu ia tertawa terbahak-bahak sampai telingaku sakit."Jangan ngikik kayak kuntilanak begitu dong, Pit. Bayiku nanti nggak bisa tidur.""Heleh, bayimu masih di perut."Aku bersimpuh di karpet tebal yang terletak di ruang tengah. "Gini, Pit. Sepertinya Papa Biru itu nggak bisa datang. Padahal, kan Biru ngarepin banget ortunya datang semua.""Oh, kok begitu sih?""Ya, kan aku pernah cerita.""Sekilas.""Iya, memang. Sekilas saja sih.
Anjani RahmaAku terpaku menatap Biru yang terlelap di sampingku. Ini sudah agak larut sebenarnya, tadi pukul sembilan, Biru baru pulang. Sedikit terlambat tidak seperti hari biasanya memang. Konon, proyek pembukaan cabang baru JMTV begitu menyita perhatiannya. Ia tampak lelah. Tidak mudah untuk membuka dua cabang sekaligus, di Batam dan Jakarta.Ia pulang dengan wajah kusut, lalu begitu saja ia berbicara perlahan, "Jani, kalau nanti orang tuaku tidak bisa datang. Tidak apa-apa ya. Kan kemarin kita juga sudah bertemu mereka di pernikahan Samu."Lalu Biru meneguk segelas air di meja makannya. Aku hanya terdiam lama mendengarkan hal tersebut, bagaimana ya. Aku sebenarnya tidak kaget, tapi kalau mertuaku turut hadir rasa-rasanya akan istimewa. Bukankah dulu, di Kanigoro orang tua Biru juga tidak menampakkan diri?"Mas, apa Papa dan Mama tahu kalau aku juga sedang hamil?""Iya.""Mereka senang tidak sih mau punya cucu?""Mama sangat bahagia, tapi Mama tidak bisa ke sini.""Papa kenapa?""
Anjani Rahma Tanpa kusadari sejak kehamilan ini, aku jadi sering melupakan hal-hal penting. Karena sepertinya aku terlampau fokus, bisa jadi karena euphoria sudah begitu lama menginginkan bayi, dan bayi itu dari benih Biru!Ups, jangan begitu. Namanya juga takdir, tapi ini juga cara Allah menunjukkan kalau aku memang sebaiknya berjodoh dengan Biru kan ya?"Piit, aku udahan ya," aku menutup gawai dan meletakkan punggungku yang pegal di atas sofa putih keabuan yang besar dan empuk. Pikiranku melayang pada orang tuaku dan Mas Seno.Oh, no! Kenapa aku belum menelpon mereka ya?Aku mengetik pesan instan karena sedikit malas menelpon. Aku tentu saja akan melepon Ibu karena aku harus yakin, kalau sudah memberitahu mereka. Mengundang juga keluarga dari Kanigoro.Kemudian kunyalakan televisi, dan kulihat iklan-iklan popok bayi berseliweran ke sana ke mari. Kembali aku mengingat Nawang dan bayinya. Persalinannya yang heboh, rahim kecil yang bisa terbuka lebar ketika kepala bayi keluar.Oh, ter
Anjani RahmaAku bergegas menaiki tangga menuju lift ke atas atap langit. Itu sebutan untuk penthouse kami, sebenarnya menyebut penthouse juga kurang menyenangkan bisa mengundang orang-orang jahat dan sok tahu. Jadi, kami—maksudku aku dan Biru memutuskan untuk menyebutnya rumah atap langit. Seperti nama kesayanganku, Biru. Duh, aku bucin nggak sih!Setelah seminggu kemarin aku membantu Nawang bersalin, lalu kembali pulih karena Biru merawatku—bayangkan suami yang membantumu pulih. Bagaimana bisa aku tidak jatuh hati padanya? Hanya saja, ya begitulah. Terkadang, aku agak kesulitan menebak apa yang diinginkan Biru. Apa rencananya. Apa juga yang dia inginkan.Bagiku, bahkan hingga aku menjadi istrinya—Biru masih tetap misterius dan penuh teka teki. Bukan—bukannya aku tidak memercayai Biru ya. Tapi, aku merasa ia agak kesulitan membuka diri. Apa karena trauma masa kecil, atau bagaimana. Tumbuh menjadi itik buruk rupa di rumahnya. Padahal, kan dia itu kan ganteng banget! Kalau dibandingin
Langit Biru"Harusnya Mama dan Papa datang.""Tapi, Mama bisa kan?""Insya Allah Mama bisa, Sayang.""Kalau Papa?"Terdengar hening sebentar di ujung sana.Aku sudah terbiasa dengan ini semua, jadi aku tidak merasa sedih ataupun sakit hati jika Papa tidak bersedia datang. Aku memang bukan anak emas Papa. Entahlah, mungkin karena secara genetik bakatku tidak mirip Papa dan Mama."Semoga Papa bisa datang ya Nak."Tentu saja, selalu perkataan itu. Seperti halnya pernikahan pertamaku dahulu, Papa telat datang—kalau-kalau ia tidak tahu itu adalah anak dari relasinya, seorang tokoh politik yang sekarang juga menjadi besannya."Baik, Ma. Tidak apa-apa."Aku menelan ludahku, dan merasa kesal setengah mati. Tapi, biarkan saja. Aku harus kembali bekerja, ada berderet meeting di hari ini, sampai sore mungkin hingga malam menjelang. Itu akan lebih baik ketimbang bayangan Papa dan semua hal tentangnya menghantuiku setelah percakapan pahit ini. OOO"Menurut Mas terapi apa si Argo?" tanya Anjani d