Wajahku kentara sekali menghangat dan panas. Pastinya memerah sekarang."Bukan—bukan itu. Baju tidur. Baju santai, Mas." Kataku tajam."Oh, begitu. Aku lupa." Ia terkekeh, "Pakai saja bajuku. Banyak."Ya, Tuhan."Aku mau ke toilet," kataku lagi."Yang mana, yang di kamar utama, atau yang dekat dapur?"Aku berpikir, kalau di kamar utama, bisa-bisa dia nanti menyergapku di sana. Duh, aku jadi suudzon."Dekat dapur saja, aku haus."Ia berjalan di sisiku, tergelak. Ia melepas jasnya. Matanya bersinar-sinar menunggu reaksiku, "Duh, panas sekali. Iya nggak sih?" ia juga membuka kemeja kremnya, sekalian saja deh semuanya Mas.Aku ingin memalingkan wajah, atau memejamkan mata. Tapi sungguh sulit.Ia hanya memakai kaos putih pendek, dan tampaknya ia begitu nyaman. Oke, tadi aku salah menyangka kalau Biru mau menari di sini. Menari gemulai dengan pakaian minim. Wajahku menjadi hangat lagi. Aku sedikit tertawa."Apa yang lucu?" ia mendekatiku.Aku kembali mengirup aroma tubuhnya, aku mengendusny
Aku memandangnya, sedikit takut. Terasa gemetar. Ia seperti merunduk, jemarinya memainkan rambutku. Punggungku terasa dingin, badan kulkas ini begitu dingin. Mungkin karena pendingin ruangan yang seperti disetel rendah. Aku waspada, dan melihat celah, aku merunduk dan melewati merendahkan kepalaku dari tangan Biru. Lepas begitu saja, seperti kuda buruan yang tunggang langgang. Aku mendengar tawanya di kejauhan. Tawanya masih terasa merdu. Kakiku memantul-mantul seperti bola bekel. Aku seperti mengelili playground. Tempat bermain ini adalah miliknya. Tempat aku memandang dengan takjub ke sekeliling jendela besar-besar, yang terlihat begitu dekat dengan langit yang berkilauan bintang. Ada kerlip-kerlip lampu metropolis di sana. Ada kilau yang sempurna. Warna-warni.Aku menoleh, dan aku memasuki ruang kerjanya. Bagus benar, jika kakiku tidak lepas dari sepatu berhak setinggi langit itu. terasa lincah, ya kan? Aku tertegun, dari kelokan ke bagian dinding lainnya. Kubuka pintu kaca hi
Aku berdiri, berjalan keluar dari kamar. Menjauh dari ruang kerja tersebut. Aku kembali meneliti apartemennya. Lalu aku melihat kamarnya. Kamar utama. Karena ada dua kamar besar di apartemen ini. Aku melihat kilau yang indah dari kamar itu. "Kau mau tidur?" tawar Biru terasa begitu manis. Ia tampak seperti bocah sekarang, bukan layaknya laki-laki yang menakutkan. "Kenapa kau tampak begitu ragu datang ke pernikahan kakakmu dulu?" tiba-tiba kalimat itu keluar begitu saja. Begitu jelas dari mulutku ini. Ia mengedikkan bahunya, "Kau masih penasaran denganku, Jani?""Iya," jawabku seketika, "aku istrimu, kan?""Yang belum boleh kusentuh.""Benar, tapi kan ada alasannya, Mas.""Baiklah. Mari kita bermain," ia mendesah dengan kalimat itu. Aku menyipitkan mataku. "Masuklah ke kamarku. Aku akan bercerita tentang Samu." Lalu dengan tololnya, aku masuk ke dalam ruangan besar, mewah, kekuningan, dan berpendar lampu-lampu indah. Ada banyak kilau redup di sana. Tempat tidur itu terasa luas. S
Selesai shalat Subuh, aku berganti pakaian. Kulihat Biru masih terkapar di atas tempat tidur. Ia tampak kelelahan. Kamu pasti bertanya kan, ada apa tadi malam?Ada aku, Anjani yang cantik (itu kata Biru lho) dan absurd ini di atas sofa tertidur sampai terdengar azan Subuh di kejauhan.Biru tidak memindahkanku, padahal aku sudah berharap sekali terbangun di atas ranjang dengan baju-baju berhamburan. Duh pikiranku kok begini. Sungguh memprihatinkan.Ia tampak masih ganteng walau tidurnya lelap. Aku baru tahu kalau Biru sesekali mengigau. Sesuatu yang kurang jelas. Ia tidak bisa tidur nyenyak rupanya. Tubuhnya bergerak ke sana ke mari.Apa ia membutuhkan belaianku?Hus.Aku menggelengkan kepalaku. Merasa kasihan padanya. Kenapa aku harus iba pada Biru sih? Harusnya aku tidak begitu. Dia tampan, dia kaya, dia suamiku, ya kan?Aku mengembuskan napas panjang.Lalu mengelilingi kamar, dan membuka semua lemarinya. Aku ingin menemukan sesuatu yang berbau skandal, misalnya baju perempuan atau p
"Argo?" wajahku terasa pucat begitu tahu ia ada di sini.Sore ini aku meliput pembangunan mal di pusat kota, dekat sekali dengan Athena Palace dan juga beberapa apartemen mewah lainnya.Dia tertawa, ia tampak memukau dengan baju dan penampilannya. Tapi, aku tidak silau. Aku sudah memiliki Biru. Kenapa dia di sini?"Hai, Jani. Kau sedang meliput proyek ini kan? Kau bisa tanya-tanya aku, ini proyek perusahaan rekanan kami."Oh, begitu.Aku menggeleng, "Tak perlu, Go. Aku—aku punya narsum sendiri kok.""Hai, kau ini kenapa? Kita masih berteman kan?""Ya. Tapi berteman dengan mantan itu rasanya mustahil.""Kenapa Jani?""Aku—aku sudah—""Hai, Pak!" Bang Napi tiba-tiba saja ada di depanku, lalu bergegas menyalami Argo. "Bapak tahu proyek mal ini?""Saya salah satu rekanan perusahaan ini, dan iya ini proyek kami juga.""Wow, keren sekali. An, kau bisa mewawancarai dia. Kita tidak perlu pusing-pusing mencari narasumber lagi. Lalu kita bisa pulang lebih awal nggak kemaleman," Bang Napi berser
Biru berhasil menangkis serangan Argo, dan seketika saja, suasana berubah menjadi chaos. Sedikit riweh, begitu mungkin ya.Oh, kalau kau ingin bertanya bagaimana sekarang keadaan mereka?Begini, pernahkah kau membayangkan diperebutkan—maksudku membuat dua orang laki-laki berkelahi secara jantan? Itu tentu saja terasa sangat dramatis, seolah perempuan yang membuat mereka berkelahi memiliki kecantikan sejati nan paripurna.Namun, tidak dengan ini. Aku harus bilang apa?Mereka tetap saja berkelahi seperti layaknya dua ibu-ibu berbokong besar, dan bergulingan di lantai, saling jambak, tendang, dan cakar. Aku yang panik—ngomong-ngomong aku selalu saja panik, berteriak sekuat tenaga untuk membelah keramaian proyek pembangunan ini. Setidaknya di sini ada orang kan untuk melerai mereka?"Hei, cukup! Cukup Mas Biru, Argo!" oh suaraku tidak seperti suara perempuan yang sedang ketakutan, tapi mirip sekali seperti suara angsa yang terjepit, suaraku turun naik, dan mereka masih saja bergulingan da
Lalu mobil memasuki area perkantoran JMTV, di belakang kami mobil van yang dikendarai tim Bang Napi juga masuk. Aku merasa mengambang dan merasa ini akan mengubah segalanya sekarang."Jadi, Anjani Siraj, apa kau malu karena aku suamimu?" Biru menutup pintu mobilnya, dan secara posesif matanya menatapku tajam. Aku—maksudku kami, ada di lantai parkir basement."Oh. Tidak. Tidak. Aku hanya tak ingin membuat skandal.""Skandal?""Maksudnya gosip.""Kau takut dengan gosip?""Gosip sekarang, orang-orang di seluruh JMTV akan membicarakan kita. Aku terutama—karyawan baru yang tiba-tiba menjadi istri simpanan bos. Apa kau ingin mereka berkata begitu Mas?""Apa? Kenapa Jani? Itu hanya lembaran kertas biasa. Untuk apa meributkan hal kecil seperti itu? Kau istriku, seharusnya karyawanku tahu."Aku memandang Biru dengan iba, "Ya. Ya. Aku mungkin salah. Aku hanya tak ingin kehebohan."Aku berbalik hendak ke ruang lift, namun Biru menarik tanganku, mendekapku di dadanya sekali lagi. "Kau tidak akan
Aku masih ingat saat itu, aku mungkin berusia empat tahun atau kurang. Aku berlari-lari di sepanjang jalan di dusunku yang berdebu dan jalanan berbatu, serta panas menyengat di siang hari. Aku ingin beli cilok.Tampaknya aku berlari terlalu kencang, hingga ketika melewati rumah besar dan megah yang begitu tampak mencolok di desaku, aku tersandung dan menangis. Aku yang mengenakan rok balon selutut, kaus polos berkerah polkadot, dengan rambut diikat kuncir kuda—menangis kencang menggetarkan seisi desa.Kalau siang, di desaku orang-orang ke sawah, ataupun sedang shalat di mushala, jadi tidak ada siapapun di sana. Terasa begitu lengang dan sungguh jauh dari kebisingan.Tangisanku semakin kencang, karena lututku sakit. Aku memanggil-manggil ibuku. Tapi, nyatanya ia tidak datang-datang. Lalu, aku memanggil-manggil kakakku, 'Mas Seno' berulang kali. Hingga akhirnya, ia keluar dari halaman rumah besar dan megah itu. Berlari-lari ke arahku."Duh, Jani kenapa kok nangis?" ia berjongkok dan me