Aku masih ingat saat itu, aku mungkin berusia empat tahun atau kurang. Aku berlari-lari di sepanjang jalan di dusunku yang berdebu dan jalanan berbatu, serta panas menyengat di siang hari. Aku ingin beli cilok.Tampaknya aku berlari terlalu kencang, hingga ketika melewati rumah besar dan megah yang begitu tampak mencolok di desaku, aku tersandung dan menangis. Aku yang mengenakan rok balon selutut, kaus polos berkerah polkadot, dengan rambut diikat kuncir kuda—menangis kencang menggetarkan seisi desa.Kalau siang, di desaku orang-orang ke sawah, ataupun sedang shalat di mushala, jadi tidak ada siapapun di sana. Terasa begitu lengang dan sungguh jauh dari kebisingan.Tangisanku semakin kencang, karena lututku sakit. Aku memanggil-manggil ibuku. Tapi, nyatanya ia tidak datang-datang. Lalu, aku memanggil-manggil kakakku, 'Mas Seno' berulang kali. Hingga akhirnya, ia keluar dari halaman rumah besar dan megah itu. Berlari-lari ke arahku."Duh, Jani kenapa kok nangis?" ia berjongkok dan me
Aku masih bimbang, keras kepala seperti keledai. Ia mendekatiku, di antara gigantik raksasa bandara internasional ini. Lalu lalang orang. Suara-suara sepatu dan sandal. Suara-suara mesin pesawat dan juga microphone yang membelah keramaian."Ini hari yang mungkin cukup berat. Aku bersyukur kamu mau bersamaku, Jani."Mungkin gara-gara mendengar hal itu, aku jadi luluh. Lututku jadi lemah, dan aku pun masuk ke dalam taksi yang dipesannya. Kalau sudah sampai hotel nanti, bagaimana kalau aku lupa diri?Oh, aku sungguh pusing. Ini sangat menyiksa sekali.Biru terdiam di sampingku. Aku juga membisu, dan beberapa kali menguap."Kenapa harus hotel? Kalau kita lupa kendali bagaimana?" aku mengoceh lagi, seperti penyiar radio malam.Dia terkekeh, dan ia bergeser merapatkan bahunya di sampingku, "Bukankah itu bagus? Kita kan belum pernah honeymoon?""Aku bisa membayangkannya. Kamar hotel mahal, seprei putih, hujan di malam hari. Mirip sekali film romantis Hollywood.""Benar sekali.""Oh, aku jadi
Biru melangkah menuju reservasi. Dua resepsionis berpakaian kuning gading itu sepertinya tersentak saat memandang matanya yang setajam elang. Memang sih, ia sedang capek dan bosan, tapi Biru tetaplah Biru.Aku hanya tertawa kecil, lalu berputar di sekitar lobi. Aku memandang ruang ini dengan takjub, semuanya berwarna marun. Merah tembaga, merah delima, merah membara. Ada karpet dengan nuansa merah, serta lampu kristal besar yang ada di tengah-tengah lobi.Aku menatapnya dengan sangat norak, aku tak peduli tampilanku yang aneh. Aku tidak banyak mengenal orang-orang di sini. Lagi pula, mereka juga tidak akan mengenalku, yak an?Jadi, aku sama sekali tidak berperilaku jaim. Itu bukan Jani banget, kecuali terpaksa. Aku mengulum senyum, dan kulihat ada tangga menuju lantai atas.Apakah di sini ada lift? Tentu saja. Aku masih membayangkan berada dalam lift bersama Biru, rasanya begitu menantang. Aku memang sedikit sinting."Bagus sekali kan hotel ini?" ada yang menyapaku, orang asing tentun
Dia mulai melepas kerudungku yang tentu saja sudah tidak karuan. Ia mulai membantuku melepaskan blus berkancingku. Lalu, kain pengkhianat itu tiba-tiba saja terbuka. Seolah berkata, "Monggo pinarak!"Aku seperti ingin tertawa, namun degup dalam dadaku seperti berselancar naik turun di sebuah ombak yang tinggi. Ia meletakkan jemarinya, di pinggangku."Kira-kira apa yang dilakukan pasangan suami istri di dalam kamar hotel, Mbak Anjani?" ia berkata seolah-olah sedang berperan sebagai penggemarku.Aku berdehem keras, seperti apa yang dilakukannya tadi, "Penggemar tidak boleh bertanya itu pada idolanya. Tidak sopan,'" tukasku.Ia tampak tertawa. Lalu berlutut dan melepas sepatuku. Aku menyentuh bahunya, lalu merasa tubuhku melayang. Ia menggendongku.Biru menggendongku. Seperti saat aku balita dahulu. Sungguh ini dejavu. Tokoh kartun Jepang ganteng dari masa laluku ada di sini. Di dekatku.Ia meletakkanku di atas ranjang. Aku seperti melihat tubuhnya gemetar. Oh, dia gemetar? Atau aku?Lam
Aku menguap dan mulai membuka mata, hawa pendingin ruangan di hotel ini cukup sejuk. Mungkin karena terlalu lelah sehingga aku tertidur senyenyak itu. Aku ingat, tadi malam tertidur dan Biru keluar membantu mamanya.Di mana dia sekarang? Aku menoleh, dan menemukan bantal di sampingku kosong. Mungkin sangat repot menyiapkan segala pernak pernik pernikahan kakaknya. Aku baru ingat, kalau ini adalah kakak kandungnya Samu.Aku merasa sungguh bodoh tidak mengetahui secara jelas siapa Biru dan keluarganya ini—keluarga para dokter. Seperti dinasti yang lahir untuk mengobati dan menyembuhkan manusia. Bekerja untuk kemanusiaan.Bantal yang sungguh empuk ini seperti bisa menenggelamkan aku ke dalam mimpi. Ini pasti sudah Subuh. Karena, aku memang sudah sangat terbiasa bangun sepagi ini, apalagi sekarang aku sendiri di kamar ini. Jadi, aku bangun begitu saja.Aku menendang sandal hotel, dan segera menyusuri ruangan. Aku mencengkeram gawaiku, yang
Karena pikiranku sungguh seperti uraian benang yang simpul ujungnya tidak ada di mana-mana, maka aku menanyakan sesuatu yang bodoh tiba-tiba. "Apa mantan istrimu nanti datang, Mas?"Duh, bagus sekali Jani. Sekarang kau menyebut perempuan lain saat sedang berbaring dengan suamimu."Aku harus ngomong apa, Jani?""Ya, cerita semuanya Mas." Tiba-tiba insting jurnalisku keluar, duh aku jadi kepo berat. Aku jadi ingin tahu semuanya tentang Biru.Wajahnya ternyata malah berkerut, dan ia tampak kurang senang. "Dia nanti hadir, mungkin.""Kau yakin, Mas? Sebagai apa? Sebagai mantan?" tiba-tiba aku merasa cemburu dan itu membuatku tak nyaman.Biru tampak tertekan, "Sebagai adik dari mempelai pengantin perempuan.""Oh, bisa begitu ya Mas.""Bisa dong. Buktinya sekarang begitu."Aku meringis, "Namanya Melani kan?""Kau masih ingat ternyata.""Iya, perempuan berambut cokelat panjang dan modis yang datang k
Sejatinya, aku tidak melihat hal-hal yang aneh. Kecuali tentu saja, nanti jika mantan istri Biru muncul dan merusak suasana romantisku dengannya. Hem, itu tidak boleh dong!Aku melihat Papa bergerak dan berdiri menyalami beberapa undangan yang menyapanya. Berbasa-basi. Aku merasa heran, dengan kemmapuannnya mengolah emosi. Tadi, ia begitu kaku dan tampak sulit tersenyum untuk Biru.Namun, rasa-rasanya ia begitu ringan untuk tertawa dan tersenyum pada koleganya.Aku merenung dan berusaha mengerti. Aku kembali meremas tanganku.Biru mengusap bahuku, ia mencondongkan badannya. "Terima kasih sudah di sini, Jani."Aku tercenung sebentar, bingung ingin berkomentar bagaimana. Jadi, sekali lagi. Aku tersenyum. Jangan khawatir, bibirku cukup elastis untuk melakukan kegiatan ringan ini.OOOTiba-tiba ruangan mendadak menjadi begitu hening. Pembawa acara maju ke panggung, begitu juga dengan Papa. Mama sepertinya tampa
Aku merasakan sedikit dejavu.Aku seperti tertarik pada selintas kenangan di masa lalu, mungkin ketika aku masih balita. Saat berusia tiga atau empat tahun. Ibu menggendongku yang sedang sakit panas, dan ia tergopoh-gopoh mengetuk pintu rumah besar dan megah di kampungku."Assalamualaikum, Dok! Dokter Eva!"Pintu terbuka dan sesosok perempuan cantik melihat Ibu dan aku. Lalu segera membawa kami masuk ke ruang praktiknya. Kemudian dia menepuk pipiku hangat dan penuh rasa sayang."Senang sekali punya balita lucu dan menggemaskan seperti ini ya, Bu Rahayu?"Ibu tersenyum manis. "Makasih nggih Dok, saya bingung karena suami sedang ke luar daerah sama koleganya. Biasa rapat gugus."Dokter Eva mengangguk, lalu menggendongku, "Saya juga pingin punyak anak perempuan, malah diberi tiga jagoan lho, Bu Rahayu.""Ya, sudah kita jodohin mereka saya yuk, Dok."Lalu mereka tertawa-tawa. Guyonan khas orang-orang tua di m