Sejatinya, aku tidak melihat hal-hal yang aneh. Kecuali tentu saja, nanti jika mantan istri Biru muncul dan merusak suasana romantisku dengannya. Hem, itu tidak boleh dong!
Aku melihat Papa bergerak dan berdiri menyalami beberapa undangan yang menyapanya. Berbasa-basi. Aku merasa heran, dengan kemmapuannnya mengolah emosi. Tadi, ia begitu kaku dan tampak sulit tersenyum untuk Biru.
Namun, rasa-rasanya ia begitu ringan untuk tertawa dan tersenyum pada koleganya.
Aku merenung dan berusaha mengerti. Aku kembali meremas tanganku.
Biru mengusap bahuku, ia mencondongkan badannya. "Terima kasih sudah di sini, Jani."
Aku tercenung sebentar, bingung ingin berkomentar bagaimana. Jadi, sekali lagi. Aku tersenyum. Jangan khawatir, bibirku cukup elastis untuk melakukan kegiatan ringan ini.
OOO
Tiba-tiba ruangan mendadak menjadi begitu hening. Pembawa acara maju ke panggung, begitu juga dengan Papa. Mama sepertinya tampa
Aku merasakan sedikit dejavu.Aku seperti tertarik pada selintas kenangan di masa lalu, mungkin ketika aku masih balita. Saat berusia tiga atau empat tahun. Ibu menggendongku yang sedang sakit panas, dan ia tergopoh-gopoh mengetuk pintu rumah besar dan megah di kampungku."Assalamualaikum, Dok! Dokter Eva!"Pintu terbuka dan sesosok perempuan cantik melihat Ibu dan aku. Lalu segera membawa kami masuk ke ruang praktiknya. Kemudian dia menepuk pipiku hangat dan penuh rasa sayang."Senang sekali punya balita lucu dan menggemaskan seperti ini ya, Bu Rahayu?"Ibu tersenyum manis. "Makasih nggih Dok, saya bingung karena suami sedang ke luar daerah sama koleganya. Biasa rapat gugus."Dokter Eva mengangguk, lalu menggendongku, "Saya juga pingin punyak anak perempuan, malah diberi tiga jagoan lho, Bu Rahayu.""Ya, sudah kita jodohin mereka saya yuk, Dok."Lalu mereka tertawa-tawa. Guyonan khas orang-orang tua di m
Di dalam hall, kami berdampingan berbaur bersama tamu-tamu undangan lainnya. Sesekali menuju meja prasmanan untuk mengambil kue ataupun makanan kecil yang ringan. Menyapa tamu-tamu undangan. Biru membawaku menyapa saudara-saudaranya. Mengenalkanku sebagai kekasihnya, lalu disambut dengan wajah terkejut dan kaget. Seperti melihat hantu. Apakah aku berwajah kuntilanak? "Jani, ini tanteku, adik dari papaku. Tante Ima ini Jani." Begitulah, berputar-putar ke sana ke mari. Menghabiskan seluruh saudara dan kerabat yang datang. Biru mengetatkan tangannya melingkar di pinggangku. Terkadang, jemarinya merambat di sekitar punggungku. Menautkan jemarinya di jemariku yang dingin karena gugup.Ia memandangku. Menatapku, bahkan ketika Melani mantannya datang untuk menyapa—atau untuk meneror mungkin—Biru masih memandangiku. "Kukira hubungan kalian hanya sebatas rekan kerja," Melani mengibaskan rambutnya yang digerai. Rambut yang masih cokelat, make up full cover, kulitnya sedikit gelap, berbeda d
"Mas, ngomong dong." Bisikku panik, ketika seorang tamu seperti ingin menghampiri kami. Padahal aku dan Biru sudah nyempil di pojokan. "Apa? Kenapa?" "Lha, maksudku kenapa mereka begitu penasaran tentang aku?" "Kau kan cantik." "Bukan itu, sepertinya mereka heran aku bisa bersamamu." "Ya, karena aku ganteng." "Duh, jangan berlagak dong, Mas. Biru mengusap lenganku, jemarinya bergerak mengelus punggungku. Aku jadi merinding. Aku tahu, dia ingin membuatku memecah konsentrasi saat ini. Tapi, aku kan mengerti. Aku reporter kan? Seringkali disemprot narasumber atau diajak berlari-lari dalam putaran narasi mbulet. "Mas, jangan bikin aku kurang fokus dong. Kenapa? Kenapa orang-orang sepertinya memandangku seperti pengantin kuntilanak?" "Mereka mungkin heran, kalau aku sudah move on Jani." "Kan bagus? Memangnya mantanmu itu selalu hidup di sekelilingmu?" "Aku sudah lama tidak ke Jakarta, maksudku tidak ke lingkungan keluarga besarku. Sangat lama." "Apa mereka mengasihanimu karena
Aku, Biru, dan Mama Eva, memasuki ruang makan hall yang terletak di sayap kiri hotel. Ketika kami baru melangkahkan kaki, tiba-tiba semua pandangan orang yang berada di sekitar meja makan terpaku pada kami. Aku menelan ludah, canggung. Mungkin aku sedikit gugup. Tapi, aku harus menguatkan diri. Ini keluarga Biru, keluarga mantannya, juga keluarga iparnya. Duh, sinetron banget nggak sih hidup ini.Aku meringis, dan melempar senyum seolah tidak terjadi apa-apa. Aku duduk di sebelah Biru, dan kulihat semua mata memandangiku, memandangi Biru begitu secara bergantian. Beberapa detik yang menyiksa. "Nah, sekarang semua sudah lengkap," Mama Eva berkata, memecah keheningan. Tiba-tiba saja terlintas di benakku, bukankah ini pernikahan Samu dan Melissa? Kenapa aku yang hanya serpihan kerupuk ini tiba-tiba terasa penting dan menyedot perhatian? Kamu cantik, Jani. Rasanya aku ingin menendang kalimat itu ke ujung dunia sana. Aku sama sekali tidak percaya. Aku jurnalis, instingku cukup tajam.
Dunia sungguh aneh. Aku hanya nyengir, dan menyenggol sepatu Biru. "Dia lucu dan senyumnya sangat manis," jawab Biru tanpa tedeng aling-aling. Aku merasa semua orang di meja memandangku. Lalu mereka memandangi Biru, yang tersenyum begitu yakin. Seolah itu adalah jawaban dari sebuah pertanyaan paling horor sedunia. Seperti biasanya, aku merasa pipiku menghangat seperti duduk di dekat api unggun super romantis di atas gunung. Gunung Bromo, satu-satunya 'gunung' yang pernah kudaki. Ya. Memang sih, bukan kudaki. Tapi, mirip-mirip pendakian lah. Walau aku harus sempoyongan di tangga kesekian saat hendak mencapai bibir kawah. Aku sungguh payah memang. Namun, aku yang ingin sekali tahu apakah itu benar atau hanya sekadar kelakar Biru saja, tiba-tiba bertanya, "Itu benar kan?" tanyaku padanya perlahan. Mataku membulat penuh rasa ingin tahu, tiba-tiba aku merasa berendam di sebuah tempat yang dingin dan lembut. Baiklah, kalau dia berbohong. Aku pasti bisa melihat perubahan itu padanya.
Aku menatap sekelilingku yang masih begitu berkilau, gemerlap oleh cahaya putih cemerlang yang dipadu dengan pendar-pendar kilau lampu-lampu kristal di langit-langit bergaya Mediterania.Sementara itu, para pramusaji datang kembali mengambil piring-piring setelah hidangan utama disajikan. Kulihat dua keluarga besar ini mulai tampak bersiap untuk memberikan pidato perwakilan. Sebagaimana lazimnya di resepsi pesta pernikahan.Aku menyandarkan kepalaku pada dada Biru, rasanya aku amat tolol, namun aku tidak bisa menahan godaan tersebut, manakala mata Melani beberapa kali mengkonfrontasi pandanganku. Aku ingin sekali dia tahu, kalau Biru sudah move on. Aku tidak ada masalah dengannya, jika dia tidak mengobarkan peperangan dingin di atas meja makan ini.Aku mendesah ringan, beginilah salah satu risiko jika kau menikah dengan duda/janda. Kau tidak bisa begitu saja melepas dan mengupas masa lalu pasanganmu. Karena itu sudah menjadi bagian hidupnya. Sama seperti masa laluku, yang masih terasa
"Saat Samu masuk fakultas kedokteran, menjadi yang terbaik selama ia di sana. Saya merasa Samu telah bekerja begitu keras. Ketika ia kemudian, lulus dan mengabdi, saya masih melihat Samu total di dunia kemanusiaan. Samu seperti penjelmaan saya di masa muda dulu. Saya bersyukur, dia berhasil melanjutkan dinasti kedokteran di keluarga kami," hadirin kini bertepuk tangan.Aku menatap Biru, dengan iba. Rasa-rasanya hatiku seperti diremas-remas. Aku baru tahu, jika Papa tidak begitu menyukai pilihan Biru.Aku itik buruk rupa, yang harus disingkirkan dari keluarga sempurna Jani.Ah, aku baru mengetahui maksud Biru saat itu. Sesungguhnya aku bingung, keluarga Biru adalah keluarga yang sempurna. Terhormat, kaya, berpengaruh, dan hanya diisi oleh-oleh orang-orang sukses serta good looking. Tapi, kurasa itu hanya cangkang luarnya saja.Rasanya aku merindukan Bapak di kampungku yang sederhana, yang tidak pernah merasa keberatan atas pilihan-pilihan pribadi anaknya, tentu saja dalam hal-hal yang
"Pah, ini kan hanya kudapan saja, nggak perlu diributin begitu dong, Pah." Mama menatap penuh harap pada suaminya yang sedang dengan begitu tajam memandangiku.Aku meletakkan garpu di pinggir piring kue mungil yang akan kumakan. Sementara Biru, tampaknya sedikit acuh dan ia malah melahap kue mungil yang mungkin memiliki ribuan kalori di dalamnya.Itu seperti memberi isyarat kalau omongan papanya tadi tidak perlu didengar, lagi pula siapa yang menyajikan racun setinggi langit di sini? Bukankah mereka ini tuan rumah?"Saya reporter Pa. Saya juga dulu announcer di sebuah radio swasta terkenal di provinsi. Tapi, saya tak perlu mengucapkan itu ke semua orang," jawabku dengan cara semanis mungkin, "terima kasih sarannya, tapi rasanya Melissa dan Samu akan bahagia kalau saya menghabiskan sajian kecil ini."Yah, resmi sekali cara bicaraku seperti sedang mewawancarai seseorang. Maafkan aku yang seperti ini.Mama memandangiku, dengan senyumnya yang tersembunyi. Wajahnya tampak geli, sedangkan B