Dunia sungguh aneh. Aku hanya nyengir, dan menyenggol sepatu Biru. "Dia lucu dan senyumnya sangat manis," jawab Biru tanpa tedeng aling-aling. Aku merasa semua orang di meja memandangku. Lalu mereka memandangi Biru, yang tersenyum begitu yakin. Seolah itu adalah jawaban dari sebuah pertanyaan paling horor sedunia. Seperti biasanya, aku merasa pipiku menghangat seperti duduk di dekat api unggun super romantis di atas gunung. Gunung Bromo, satu-satunya 'gunung' yang pernah kudaki. Ya. Memang sih, bukan kudaki. Tapi, mirip-mirip pendakian lah. Walau aku harus sempoyongan di tangga kesekian saat hendak mencapai bibir kawah. Aku sungguh payah memang. Namun, aku yang ingin sekali tahu apakah itu benar atau hanya sekadar kelakar Biru saja, tiba-tiba bertanya, "Itu benar kan?" tanyaku padanya perlahan. Mataku membulat penuh rasa ingin tahu, tiba-tiba aku merasa berendam di sebuah tempat yang dingin dan lembut. Baiklah, kalau dia berbohong. Aku pasti bisa melihat perubahan itu padanya.
Aku menatap sekelilingku yang masih begitu berkilau, gemerlap oleh cahaya putih cemerlang yang dipadu dengan pendar-pendar kilau lampu-lampu kristal di langit-langit bergaya Mediterania.Sementara itu, para pramusaji datang kembali mengambil piring-piring setelah hidangan utama disajikan. Kulihat dua keluarga besar ini mulai tampak bersiap untuk memberikan pidato perwakilan. Sebagaimana lazimnya di resepsi pesta pernikahan.Aku menyandarkan kepalaku pada dada Biru, rasanya aku amat tolol, namun aku tidak bisa menahan godaan tersebut, manakala mata Melani beberapa kali mengkonfrontasi pandanganku. Aku ingin sekali dia tahu, kalau Biru sudah move on. Aku tidak ada masalah dengannya, jika dia tidak mengobarkan peperangan dingin di atas meja makan ini.Aku mendesah ringan, beginilah salah satu risiko jika kau menikah dengan duda/janda. Kau tidak bisa begitu saja melepas dan mengupas masa lalu pasanganmu. Karena itu sudah menjadi bagian hidupnya. Sama seperti masa laluku, yang masih terasa
"Saat Samu masuk fakultas kedokteran, menjadi yang terbaik selama ia di sana. Saya merasa Samu telah bekerja begitu keras. Ketika ia kemudian, lulus dan mengabdi, saya masih melihat Samu total di dunia kemanusiaan. Samu seperti penjelmaan saya di masa muda dulu. Saya bersyukur, dia berhasil melanjutkan dinasti kedokteran di keluarga kami," hadirin kini bertepuk tangan.Aku menatap Biru, dengan iba. Rasa-rasanya hatiku seperti diremas-remas. Aku baru tahu, jika Papa tidak begitu menyukai pilihan Biru.Aku itik buruk rupa, yang harus disingkirkan dari keluarga sempurna Jani.Ah, aku baru mengetahui maksud Biru saat itu. Sesungguhnya aku bingung, keluarga Biru adalah keluarga yang sempurna. Terhormat, kaya, berpengaruh, dan hanya diisi oleh-oleh orang-orang sukses serta good looking. Tapi, kurasa itu hanya cangkang luarnya saja.Rasanya aku merindukan Bapak di kampungku yang sederhana, yang tidak pernah merasa keberatan atas pilihan-pilihan pribadi anaknya, tentu saja dalam hal-hal yang
"Pah, ini kan hanya kudapan saja, nggak perlu diributin begitu dong, Pah." Mama menatap penuh harap pada suaminya yang sedang dengan begitu tajam memandangiku.Aku meletakkan garpu di pinggir piring kue mungil yang akan kumakan. Sementara Biru, tampaknya sedikit acuh dan ia malah melahap kue mungil yang mungkin memiliki ribuan kalori di dalamnya.Itu seperti memberi isyarat kalau omongan papanya tadi tidak perlu didengar, lagi pula siapa yang menyajikan racun setinggi langit di sini? Bukankah mereka ini tuan rumah?"Saya reporter Pa. Saya juga dulu announcer di sebuah radio swasta terkenal di provinsi. Tapi, saya tak perlu mengucapkan itu ke semua orang," jawabku dengan cara semanis mungkin, "terima kasih sarannya, tapi rasanya Melissa dan Samu akan bahagia kalau saya menghabiskan sajian kecil ini."Yah, resmi sekali cara bicaraku seperti sedang mewawancarai seseorang. Maafkan aku yang seperti ini.Mama memandangiku, dengan senyumnya yang tersembunyi. Wajahnya tampak geli, sedangkan B
Melani berdiri sempoyongan, dan ia menekankan tangan di sisi badukan toilet yang tampak bersih, kering, dan wangi tentu saja. Kini kami berdiri bersisian. Sama-sama menghadap cermin.Aku membuka tasku, mencari kotak kecil kosmetik. Aku memulas lipstick, dan sedikit merapikan riasan."Akhirnya, kita bisa berdua saja Anjani," ia berkata namun masih terdengar gumaman tidak nyaman.Aku memandanginya dengan rasa iba, aku juga perempuan omong-omong. Aku tahu, mungkin melihat mantan move on, itu terasa mengganggu."Ya, dan kau banyak minum, Melani," sahutku."Aku minum karena ingin lupa, kau tahu Anjani. Melihatmu dan Biru, membuatku sakit hati," ia berkata datar. Sembari menatap wajahnya di cermin besar."Kamu juga bisa move on, Mel.""Aku—aku tidak akan bisa seperti Biru. Dia brengsek, dan sudah menghancurkanku."Aku menangkap rasa cemburu dalam kalimatnya, aku berusaha menyingkirkan emosiku, "Aku tidak mau mencampuri urusanmu. Kamu dan Biru sudah selesai."Ia tertawa keras, mendengarku bi
Saat kecil, karena aku hidup di kampung sederhana dan masih begitu jauh dari dunia modern yang hiruk pikuk—aku sering bermain di alam. Di pekarangan atau padang rumput hijau. Mencari-cari bunga-bunga kecil, dan memilinnya sehingga membentuk bando. Aku mencoba sekali mengingat. Bunga apakah itu? Karena aku tidak ingat namanya apa. Bentuknya kecil, mungil, seperti rumput, dan berdahan panjang. Bisa dijalin seperti anyaman. (Setelah besar kemudian, aku mulai mengerti kalau namanya gletang). Mas Seno membuatkanku bando bunga, di sore hari. Aku dan teman-teman berlarian di padang rumput yang luas. Wajahku penuh dengan bedak berwarna putih, selaiknya anak-anak kecil lainnya. Begitu penuhnya, hingga aku masih melihat taburan-taburan bedak itu melayang-layang di antara helaian napasku. Lalu aku bersin berkali-kali. "Kamu flu ya?" itu suara Biru, dekat sekali denganku. Ia melongok menatapku dengan wajah riang, ada senyum di wajahnya. Ia tampak begitu ganteng seperti tokoh kartun di film an
Rasa-rasanya semuanya terasa semakin jelas. Bagaimana Biru enggan datang ke pernikahan ini. Bagaimana Samu membujuknya. Raungan Melani dan bentuk 'teror' kecilnya. Kemudian, sikap orang tuanya. Bukankah seorang ibu akan selalu membela anaknya, walaupun ia melakukan hal yang salah? Berbeda dengan seorang ayah yang bisa saja mengoreksinya, atau mengingatkan dengan keras. Apa itu yang terjadi pada Biru?Tapi, aku menyukai Mama Eva. Aku suka kehangatannya. Sungguh. Rasa-rasanya pandanganku mengabur, dan tiba-tiba mengembun. Semakin lama, pesta ini semakin ramai. Aku seperti terhimpit di antara banyak orang. Aku memandangi semua orang asing yang lalu lalang di sini. Pantas saja, semua orang memandang iba pada Biru, seolah-olah mengatakan, 'Jangan sedih, Bung.' Lalu, Biru menjawab, 'Aku baik-baik saja, lihat! Aku punya istri kok sekarang.'Aku seperti berdiri di atas ombak. Terayun ke sana ke mari. Jadi, itu yang dirasakan Biru? Itu ketika kau hadir di pernikahan mantan terindahmu. Ke
Aku merunduk di depan taman dan gemetar menahan tangisku.Cengeng sekali kau ini, Jani. Huh, macam anak TK yang kehilangan mainan saja kau ini.Aku mengusap air mataku dengan kasar, bukan dengan gerakan lembut, aku harap persediaan air mata ini habis. Jadi, aku tidak perlu menangisi Biru. Kenapa aku harus menangisinya?Dia tak mengerti perasaanku. Dia hanya memanfaatkanku, ingat itu kan?Aku menyisit hidungku, dan rasa-rasanya suaranya keras sekali. Memalukan. Aku mencari tisu, jangan pikir aku langsung teringat Bos Tissue ya, tapi aku memang ingat.Aku tertawa kecil, di antara tangisanku.Aku mirip orang gila.Taman ini rasanya lebih sepi, menghadap ke jalan raya. Aku bisa melenggang dengan penuh gaya dan melambai pada taksi. Atau memesan taksi online. Tapi, aku belum ingin minggat dari sini. Aku belum kalah kan? Setidaknya beri aku kesempatan menyemprot Biru, dengan semprotan merica.Hem, rasanya itu terlalu sadis.Beberapa tamu memandangku aneh, mereka tidak mungkin mengenaliku. Ti