"Saat Samu masuk fakultas kedokteran, menjadi yang terbaik selama ia di sana. Saya merasa Samu telah bekerja begitu keras. Ketika ia kemudian, lulus dan mengabdi, saya masih melihat Samu total di dunia kemanusiaan. Samu seperti penjelmaan saya di masa muda dulu. Saya bersyukur, dia berhasil melanjutkan dinasti kedokteran di keluarga kami," hadirin kini bertepuk tangan.Aku menatap Biru, dengan iba. Rasa-rasanya hatiku seperti diremas-remas. Aku baru tahu, jika Papa tidak begitu menyukai pilihan Biru.Aku itik buruk rupa, yang harus disingkirkan dari keluarga sempurna Jani.Ah, aku baru mengetahui maksud Biru saat itu. Sesungguhnya aku bingung, keluarga Biru adalah keluarga yang sempurna. Terhormat, kaya, berpengaruh, dan hanya diisi oleh-oleh orang-orang sukses serta good looking. Tapi, kurasa itu hanya cangkang luarnya saja.Rasanya aku merindukan Bapak di kampungku yang sederhana, yang tidak pernah merasa keberatan atas pilihan-pilihan pribadi anaknya, tentu saja dalam hal-hal yang
"Pah, ini kan hanya kudapan saja, nggak perlu diributin begitu dong, Pah." Mama menatap penuh harap pada suaminya yang sedang dengan begitu tajam memandangiku.Aku meletakkan garpu di pinggir piring kue mungil yang akan kumakan. Sementara Biru, tampaknya sedikit acuh dan ia malah melahap kue mungil yang mungkin memiliki ribuan kalori di dalamnya.Itu seperti memberi isyarat kalau omongan papanya tadi tidak perlu didengar, lagi pula siapa yang menyajikan racun setinggi langit di sini? Bukankah mereka ini tuan rumah?"Saya reporter Pa. Saya juga dulu announcer di sebuah radio swasta terkenal di provinsi. Tapi, saya tak perlu mengucapkan itu ke semua orang," jawabku dengan cara semanis mungkin, "terima kasih sarannya, tapi rasanya Melissa dan Samu akan bahagia kalau saya menghabiskan sajian kecil ini."Yah, resmi sekali cara bicaraku seperti sedang mewawancarai seseorang. Maafkan aku yang seperti ini.Mama memandangiku, dengan senyumnya yang tersembunyi. Wajahnya tampak geli, sedangkan B
Melani berdiri sempoyongan, dan ia menekankan tangan di sisi badukan toilet yang tampak bersih, kering, dan wangi tentu saja. Kini kami berdiri bersisian. Sama-sama menghadap cermin.Aku membuka tasku, mencari kotak kecil kosmetik. Aku memulas lipstick, dan sedikit merapikan riasan."Akhirnya, kita bisa berdua saja Anjani," ia berkata namun masih terdengar gumaman tidak nyaman.Aku memandanginya dengan rasa iba, aku juga perempuan omong-omong. Aku tahu, mungkin melihat mantan move on, itu terasa mengganggu."Ya, dan kau banyak minum, Melani," sahutku."Aku minum karena ingin lupa, kau tahu Anjani. Melihatmu dan Biru, membuatku sakit hati," ia berkata datar. Sembari menatap wajahnya di cermin besar."Kamu juga bisa move on, Mel.""Aku—aku tidak akan bisa seperti Biru. Dia brengsek, dan sudah menghancurkanku."Aku menangkap rasa cemburu dalam kalimatnya, aku berusaha menyingkirkan emosiku, "Aku tidak mau mencampuri urusanmu. Kamu dan Biru sudah selesai."Ia tertawa keras, mendengarku bi
Saat kecil, karena aku hidup di kampung sederhana dan masih begitu jauh dari dunia modern yang hiruk pikuk—aku sering bermain di alam. Di pekarangan atau padang rumput hijau. Mencari-cari bunga-bunga kecil, dan memilinnya sehingga membentuk bando. Aku mencoba sekali mengingat. Bunga apakah itu? Karena aku tidak ingat namanya apa. Bentuknya kecil, mungil, seperti rumput, dan berdahan panjang. Bisa dijalin seperti anyaman. (Setelah besar kemudian, aku mulai mengerti kalau namanya gletang). Mas Seno membuatkanku bando bunga, di sore hari. Aku dan teman-teman berlarian di padang rumput yang luas. Wajahku penuh dengan bedak berwarna putih, selaiknya anak-anak kecil lainnya. Begitu penuhnya, hingga aku masih melihat taburan-taburan bedak itu melayang-layang di antara helaian napasku. Lalu aku bersin berkali-kali. "Kamu flu ya?" itu suara Biru, dekat sekali denganku. Ia melongok menatapku dengan wajah riang, ada senyum di wajahnya. Ia tampak begitu ganteng seperti tokoh kartun di film an
Rasa-rasanya semuanya terasa semakin jelas. Bagaimana Biru enggan datang ke pernikahan ini. Bagaimana Samu membujuknya. Raungan Melani dan bentuk 'teror' kecilnya. Kemudian, sikap orang tuanya. Bukankah seorang ibu akan selalu membela anaknya, walaupun ia melakukan hal yang salah? Berbeda dengan seorang ayah yang bisa saja mengoreksinya, atau mengingatkan dengan keras. Apa itu yang terjadi pada Biru?Tapi, aku menyukai Mama Eva. Aku suka kehangatannya. Sungguh. Rasa-rasanya pandanganku mengabur, dan tiba-tiba mengembun. Semakin lama, pesta ini semakin ramai. Aku seperti terhimpit di antara banyak orang. Aku memandangi semua orang asing yang lalu lalang di sini. Pantas saja, semua orang memandang iba pada Biru, seolah-olah mengatakan, 'Jangan sedih, Bung.' Lalu, Biru menjawab, 'Aku baik-baik saja, lihat! Aku punya istri kok sekarang.'Aku seperti berdiri di atas ombak. Terayun ke sana ke mari. Jadi, itu yang dirasakan Biru? Itu ketika kau hadir di pernikahan mantan terindahmu. Ke
Aku merunduk di depan taman dan gemetar menahan tangisku.Cengeng sekali kau ini, Jani. Huh, macam anak TK yang kehilangan mainan saja kau ini.Aku mengusap air mataku dengan kasar, bukan dengan gerakan lembut, aku harap persediaan air mata ini habis. Jadi, aku tidak perlu menangisi Biru. Kenapa aku harus menangisinya?Dia tak mengerti perasaanku. Dia hanya memanfaatkanku, ingat itu kan?Aku menyisit hidungku, dan rasa-rasanya suaranya keras sekali. Memalukan. Aku mencari tisu, jangan pikir aku langsung teringat Bos Tissue ya, tapi aku memang ingat.Aku tertawa kecil, di antara tangisanku.Aku mirip orang gila.Taman ini rasanya lebih sepi, menghadap ke jalan raya. Aku bisa melenggang dengan penuh gaya dan melambai pada taksi. Atau memesan taksi online. Tapi, aku belum ingin minggat dari sini. Aku belum kalah kan? Setidaknya beri aku kesempatan menyemprot Biru, dengan semprotan merica.Hem, rasanya itu terlalu sadis.Beberapa tamu memandangku aneh, mereka tidak mungkin mengenaliku. Ti
Aku sepertinya mulai jengkel dengan Mama, kentara sekali ia begitu menyayangi Biru dan memanjakannya sepenuh hati. Mama mungkin tidak akan percaya, kalau putranya itu menikahiku hanya untuk dipamerkan di hadapan mantan pacarnya, mantan istrinya, mantan mertuanya, dan entah mantan apalagi.Banyak sekali kata mantan di sini, bisa kuganti dengan ex-?"Jangan hiraukan Melani, dia memang sedang bingung, Jani. Kau akan baik-baik saja, di sini.""Ma—" aku ingin sekali bertanya tentang Melissa. Tapi, sekali lagi Mama memotong kalimatku."Biru menyukaimu, Sayang. Kau membuatnya tertantang. Kau bisa membuatnya tertawa, dan berpikir bijak. Terima kasih, ya Jani. Sudah ada di sini untuk Biru. Dia betul-betul membutuhkan pendukung moral," tuturnya lagi.Aku menarik napas, mencoba memahami Mama. Namun, aku merasa begitu letih. Tidak ada yang bisa mendengarku di sini. Aku butuh temanku, mungkin aku bisa menelpon Lupita?Mama mencium pipiku, dan kembali memelukku. Ia adalah dokter yang hebat, aku tak
"Jani, dari mana kau menyimpulkan itu semua? Kau di sini karena aku mengajakmu, sebagai istriku. Bukan karena hal lainnya," Biru berkata dengan nada tenang. Tapi, aku membaca sedikit rasa khawatir pada suaranya."Iya. Tapi, karena itu kau harus menikahiku dulu. Sebelum Samu, karena kau ingin memamerkanku di hadapan mantan-mantanmu ini kan? Harusnya aku tahu sejak awal, kau tidak berniat serius padaku!" aku berkata dengan nada pahit. Menutup wajah dengan kedua tanganku, oh sungguh aku sangat menggelikan, dan bersikap dramatis."Apa maksudmu dengan memamerkan?""Kau bercerita tentang Melani, karena ia bertemu denganku di ruang kantormu kan? Tapi, aku tak pernah mendengar cerita tentang Melissa. Ya Allah, bagaimana bisa kau hidup dalam dunia sinetronmu itu, Pak Langit. Kau menikahi saudari dari mantan pacarmu. Lalu, mantanmu itu menikah dengan kakakmu! Skenario yang bagus sekali," aku tertawa. Tertawa dan tertawa mirip sekali orang gila. Apa aku sudah hilang akal?"Skenario? Apa kau pik
Anjani RahmaSangat menawan dengan jas putih sempurna. Dengan bunga kecil di saku atas jasnya. Rambutnya tampak berkilau ditimpa sinar lampu, aku mengingat rambut itu. Mirip rambut aktor Jepang. Dulu, saat aku kecil, aku merasa ia penjelmaan tokoh manga.Ketika aku sudah mendekat padanya. Aku mengenali wangi parfum kesukaannya. Ketika pandangan kami bertemu, beberapa detik waktu membeku. Seolah ada yang lepas begitu saja dari dalam diriku. Seperti gumpalan kertas yang menggelinding. Ada kelegaan dan rasa nyaman.Tentu saja, kami akan selalu bersama-sama, iya kan?Kami akan baik-baik saja.Aku tersenyum, ia pun demikian. Lalu, ia membimbingku.Aku menyerahkan buket bungaku pada Lupita. Jemari Biru meremas tanganku lembut. Aku menatapnya, seperti sedang kecanduan sesuatu.Jani, ingat ini di hall masih banyak orang."Mas.""Sst, jangan ngobrol dulu, Jani. Ini masih jalan.""Eh, iya.""Kamu cantik."Aku tersipu-sipu, dan seketika itu semua orang di dalam hall terasa lenyap.Baiklah, aku h
Anjani RahmaTentu saja aku terperangah. Itu aku. Iya, itu aku.Perempuan dalam balutan kebaya dengan ekor dua meter itu, aku. Nyaris saja aku lupa bagaimana wajahku. Ya, bagaimana sih. Ini seperti tampilan artis begitu. Tampaknya terlalu cantik dan glamour. Namun, begitulah aku sekarang.Sebentar lagi, aku akan turun di hall utama Plaza Athena. Ada ribuan pasang mata yang akan mengamati gerak gerikku. Tentu saja mungkin ada yang penasaran karyawan seperti apa yang bisa memikat bos CEO-nya. Apakah kejadian itu ada di alam nyata, tidak sekadar dalam cerita-cerita fiksi ala platform?Setidaknya, tadi sudah hampir satu jam aku berada di suite mempelai perempuan. Menyiapkan diri untuk tampil sebaik mungkin di malam bersejarah ini.Aku menelan ludah canggung.Rasa-rasanya mustahil rencanaku berhasil, tapi sejauh ini kurasa cukup lancar. Aku masih belum membayangkan bagaimana reaksi Biru, karena kata Ibu tidak boleh bertemu dulu dengan mempelai laki—biar nggak sial. Padahal, kata Ibu juga i
Anjani Rahma "Sabar, Jani. Nanti giliranmu keluar, kita menunggu aba-aba dari sekretaris EO ya," Ibu seperti mengerti pikiranku.Semua ini terasa begitu glamour, memang ini bukan gayaku. Namun, ini adalah lifestyle relasi Biru dan budaya di kalangan mereka. Jadi, menurutku tidak mengapa. Hal yang masih kupikirkan adalah adanya pesan dari Mbak Wati, yang sedang menunggu Pak Menkes di halaman kantor Gubernur.Well, iya. Aku masih minta bantuan divisi Aneh Tapi Nyata, kan mereka juga sahabat sejati. Ada juga tim dari acara Talk Show Kesehatan yang sudah bersiap di rooftop yang disulap seperti studio tertutup yang sangat lux, agar kalau Pak Menkes datang. Saat acara berlangsung angin besar tidak mengganggu."Keluarga Biru sudah datang, Nduk," Ibu tersenyum begitu manis.Aku merasa kaget, "Siapa saja Bu?""Lho ya keluarga Biru, semua anggota keluarganya.""Papa juga?""Ya harus to. Kan ini putra kesayangan Dokter Mada."Kesayangan. Ya, semoga saja deh Bu. Aku sedikit nyengir, namun hatiku
Anjani RahmaBaik. Baiklah. Aku tidak boleh panik.Rencana ini akan berhasil, namun sebenarnya aku cemas juga."Jani, aku rasa rencana itu terlalu berani," bisik Lupita di telingaku.Aku sedang menggenggam gawai, dan jemariku berkeringat karena udara dingin dalam ruangan di tepi langit ini. Bukan, ini bukan apartemen atap langit. Melainkan, Plaza Athena, tempat resepsi pernikahan kami berlangsung malam ini.Beberapa hari kemarin, semua sudah dirancang dengan baik oleh EO dan juga beberapa kerabat yang datang dari seluruh nusantara. Tentu saja, Ibu dan Bapak, serta Mas Seno ikut membantu. Karena, Biru seorang diri di sini. Maksudku, kerabatnya sudah diundang, hanya saja sepertinya tidak ada budaya rewang ya. Sebab itu, Biru sangat mengandalkan EO. Tapi, kan selalu ada yang harus dibenahi ini dan itu."Jangan pesimis begitu dong, Pit." Kataku sedikit kesal, kalau aku sedang dirias mungkin MUA, mungkin dia akan terbelalak melihat ekspresiku ini. Karena bisa-bisa merusak riasan.Oh iya,
Anjani Rahma Maka, karena aku tidak punya siapa-siapa yang bisa diganggu di jam begini. Aku menelpon Lupita."Jani, ampun dah, jam berapa ini?" katanya serak sembari menguap di telepon yang kugenggam."Dah, ah. Kamu kan masih jones, jadi sesekali bantu aku kan nggak apa-apa, Pit.""Jones sih jones, Jani. Tapi besok aku kerja. Belum ada yang ngasih aku nafkah kayak kamu begitu. Aku masih berbentuk dendeng yang harus terus berimprovisasi agar survive di sini," keluhnya."Lha sekarang, kok malah kamu yang curhat sih, Pit?"Dia terdiam, "Eh, iya juga sih ya." Lalu ia tertawa terbahak-bahak sampai telingaku sakit."Jangan ngikik kayak kuntilanak begitu dong, Pit. Bayiku nanti nggak bisa tidur.""Heleh, bayimu masih di perut."Aku bersimpuh di karpet tebal yang terletak di ruang tengah. "Gini, Pit. Sepertinya Papa Biru itu nggak bisa datang. Padahal, kan Biru ngarepin banget ortunya datang semua.""Oh, kok begitu sih?""Ya, kan aku pernah cerita.""Sekilas.""Iya, memang. Sekilas saja sih.
Anjani RahmaAku terpaku menatap Biru yang terlelap di sampingku. Ini sudah agak larut sebenarnya, tadi pukul sembilan, Biru baru pulang. Sedikit terlambat tidak seperti hari biasanya memang. Konon, proyek pembukaan cabang baru JMTV begitu menyita perhatiannya. Ia tampak lelah. Tidak mudah untuk membuka dua cabang sekaligus, di Batam dan Jakarta.Ia pulang dengan wajah kusut, lalu begitu saja ia berbicara perlahan, "Jani, kalau nanti orang tuaku tidak bisa datang. Tidak apa-apa ya. Kan kemarin kita juga sudah bertemu mereka di pernikahan Samu."Lalu Biru meneguk segelas air di meja makannya. Aku hanya terdiam lama mendengarkan hal tersebut, bagaimana ya. Aku sebenarnya tidak kaget, tapi kalau mertuaku turut hadir rasa-rasanya akan istimewa. Bukankah dulu, di Kanigoro orang tua Biru juga tidak menampakkan diri?"Mas, apa Papa dan Mama tahu kalau aku juga sedang hamil?""Iya.""Mereka senang tidak sih mau punya cucu?""Mama sangat bahagia, tapi Mama tidak bisa ke sini.""Papa kenapa?""
Anjani Rahma Tanpa kusadari sejak kehamilan ini, aku jadi sering melupakan hal-hal penting. Karena sepertinya aku terlampau fokus, bisa jadi karena euphoria sudah begitu lama menginginkan bayi, dan bayi itu dari benih Biru!Ups, jangan begitu. Namanya juga takdir, tapi ini juga cara Allah menunjukkan kalau aku memang sebaiknya berjodoh dengan Biru kan ya?"Piit, aku udahan ya," aku menutup gawai dan meletakkan punggungku yang pegal di atas sofa putih keabuan yang besar dan empuk. Pikiranku melayang pada orang tuaku dan Mas Seno.Oh, no! Kenapa aku belum menelpon mereka ya?Aku mengetik pesan instan karena sedikit malas menelpon. Aku tentu saja akan melepon Ibu karena aku harus yakin, kalau sudah memberitahu mereka. Mengundang juga keluarga dari Kanigoro.Kemudian kunyalakan televisi, dan kulihat iklan-iklan popok bayi berseliweran ke sana ke mari. Kembali aku mengingat Nawang dan bayinya. Persalinannya yang heboh, rahim kecil yang bisa terbuka lebar ketika kepala bayi keluar.Oh, ter
Anjani RahmaAku bergegas menaiki tangga menuju lift ke atas atap langit. Itu sebutan untuk penthouse kami, sebenarnya menyebut penthouse juga kurang menyenangkan bisa mengundang orang-orang jahat dan sok tahu. Jadi, kami—maksudku aku dan Biru memutuskan untuk menyebutnya rumah atap langit. Seperti nama kesayanganku, Biru. Duh, aku bucin nggak sih!Setelah seminggu kemarin aku membantu Nawang bersalin, lalu kembali pulih karena Biru merawatku—bayangkan suami yang membantumu pulih. Bagaimana bisa aku tidak jatuh hati padanya? Hanya saja, ya begitulah. Terkadang, aku agak kesulitan menebak apa yang diinginkan Biru. Apa rencananya. Apa juga yang dia inginkan.Bagiku, bahkan hingga aku menjadi istrinya—Biru masih tetap misterius dan penuh teka teki. Bukan—bukannya aku tidak memercayai Biru ya. Tapi, aku merasa ia agak kesulitan membuka diri. Apa karena trauma masa kecil, atau bagaimana. Tumbuh menjadi itik buruk rupa di rumahnya. Padahal, kan dia itu kan ganteng banget! Kalau dibandingin
Langit Biru"Harusnya Mama dan Papa datang.""Tapi, Mama bisa kan?""Insya Allah Mama bisa, Sayang.""Kalau Papa?"Terdengar hening sebentar di ujung sana.Aku sudah terbiasa dengan ini semua, jadi aku tidak merasa sedih ataupun sakit hati jika Papa tidak bersedia datang. Aku memang bukan anak emas Papa. Entahlah, mungkin karena secara genetik bakatku tidak mirip Papa dan Mama."Semoga Papa bisa datang ya Nak."Tentu saja, selalu perkataan itu. Seperti halnya pernikahan pertamaku dahulu, Papa telat datang—kalau-kalau ia tidak tahu itu adalah anak dari relasinya, seorang tokoh politik yang sekarang juga menjadi besannya."Baik, Ma. Tidak apa-apa."Aku menelan ludahku, dan merasa kesal setengah mati. Tapi, biarkan saja. Aku harus kembali bekerja, ada berderet meeting di hari ini, sampai sore mungkin hingga malam menjelang. Itu akan lebih baik ketimbang bayangan Papa dan semua hal tentangnya menghantuiku setelah percakapan pahit ini. OOO"Menurut Mas terapi apa si Argo?" tanya Anjani d