Aku merunduk di depan taman dan gemetar menahan tangisku.Cengeng sekali kau ini, Jani. Huh, macam anak TK yang kehilangan mainan saja kau ini.Aku mengusap air mataku dengan kasar, bukan dengan gerakan lembut, aku harap persediaan air mata ini habis. Jadi, aku tidak perlu menangisi Biru. Kenapa aku harus menangisinya?Dia tak mengerti perasaanku. Dia hanya memanfaatkanku, ingat itu kan?Aku menyisit hidungku, dan rasa-rasanya suaranya keras sekali. Memalukan. Aku mencari tisu, jangan pikir aku langsung teringat Bos Tissue ya, tapi aku memang ingat.Aku tertawa kecil, di antara tangisanku.Aku mirip orang gila.Taman ini rasanya lebih sepi, menghadap ke jalan raya. Aku bisa melenggang dengan penuh gaya dan melambai pada taksi. Atau memesan taksi online. Tapi, aku belum ingin minggat dari sini. Aku belum kalah kan? Setidaknya beri aku kesempatan menyemprot Biru, dengan semprotan merica.Hem, rasanya itu terlalu sadis.Beberapa tamu memandangku aneh, mereka tidak mungkin mengenaliku. Ti
Aku sepertinya mulai jengkel dengan Mama, kentara sekali ia begitu menyayangi Biru dan memanjakannya sepenuh hati. Mama mungkin tidak akan percaya, kalau putranya itu menikahiku hanya untuk dipamerkan di hadapan mantan pacarnya, mantan istrinya, mantan mertuanya, dan entah mantan apalagi.Banyak sekali kata mantan di sini, bisa kuganti dengan ex-?"Jangan hiraukan Melani, dia memang sedang bingung, Jani. Kau akan baik-baik saja, di sini.""Ma—" aku ingin sekali bertanya tentang Melissa. Tapi, sekali lagi Mama memotong kalimatku."Biru menyukaimu, Sayang. Kau membuatnya tertantang. Kau bisa membuatnya tertawa, dan berpikir bijak. Terima kasih, ya Jani. Sudah ada di sini untuk Biru. Dia betul-betul membutuhkan pendukung moral," tuturnya lagi.Aku menarik napas, mencoba memahami Mama. Namun, aku merasa begitu letih. Tidak ada yang bisa mendengarku di sini. Aku butuh temanku, mungkin aku bisa menelpon Lupita?Mama mencium pipiku, dan kembali memelukku. Ia adalah dokter yang hebat, aku tak
"Jani, dari mana kau menyimpulkan itu semua? Kau di sini karena aku mengajakmu, sebagai istriku. Bukan karena hal lainnya," Biru berkata dengan nada tenang. Tapi, aku membaca sedikit rasa khawatir pada suaranya."Iya. Tapi, karena itu kau harus menikahiku dulu. Sebelum Samu, karena kau ingin memamerkanku di hadapan mantan-mantanmu ini kan? Harusnya aku tahu sejak awal, kau tidak berniat serius padaku!" aku berkata dengan nada pahit. Menutup wajah dengan kedua tanganku, oh sungguh aku sangat menggelikan, dan bersikap dramatis."Apa maksudmu dengan memamerkan?""Kau bercerita tentang Melani, karena ia bertemu denganku di ruang kantormu kan? Tapi, aku tak pernah mendengar cerita tentang Melissa. Ya Allah, bagaimana bisa kau hidup dalam dunia sinetronmu itu, Pak Langit. Kau menikahi saudari dari mantan pacarmu. Lalu, mantanmu itu menikah dengan kakakmu! Skenario yang bagus sekali," aku tertawa. Tertawa dan tertawa mirip sekali orang gila. Apa aku sudah hilang akal?"Skenario? Apa kau pik
"Hai," kataku parau. Aku berhenti dan meletakkan gawai di telingaku. Mencoba mendengar dengan baik."Kau di mana Jani? Kau bersama Biru?""Iya. Ini di pernikahan saudarinya."Lama sekali tak terdengar suara apapun di sana. Sepertinya dia agak kaget atau mungkin sedang sibuk dengan sesuatu."Saudari?""Saudaranya, Samu.""Oh.""Kenapa?""Nggak apa-apa. Apa yang kau pakai saat ke pernikahan Samu?"Kenapa dia harus bertanya itu. Tapi, dengan tololnya aku berkata, "Kebaya biru."Dia seperti terdiam lama. Aku sampai mendengar suara napasnya."Kapan kau ke Surabaya? Aku ingin mengirimkan buku-bukumu yang tertinggal di rumah. Mungkin kau membutuhkannya, untuk kerja."Aku ingin menangis, tapi aku menahannya."Besok, atau mungkin nanti.""Kau baik-baik saja?"Tidak. Aku kembali ingin menangis. Sungguh cengeng sekali."Ya."Aku merasa bayangan Biru mendekat padaku. Lalu tiba-tiba aku merasa sedikit gemetar dan merinding. Ia meraih gawai dari tanganku dengan sekali gerakan cepat. Ia melihat pang
Ketika itu, aku dan Mas Seno masih anak-anak.Kami tampak serupa dengan baju jahitan Ibu. Ibu memang pandai menjahit. Aku mengenakan kaus dan rok selutut dengan model balon polkadot. Sedang Mas Seno, mau saja mengenakan kemeja dengan motif polkadot dan celana panjang polos. Jadilah, aku dan Mas Seno seperti dua saudara kembar.Kuncir rambutku berayun-ayun senada dengan irama langkahku menyusuri jalanan di sepanjang desaku. Hari itu sudah sore, jadi kami semua, anak-anak di kampung sudah mandi dan bersiap-siap bermain.Mas Seno menarik tanganku, dan berbisik, "Yuk, kita ke rumah Biru.""Kak Biru?""Iya," Mas Seno mengangguk.Maka aku mengikutinya dengan malas-malasan. Aku ingin membeli cilok, tapi malah diajak ke rumah megah, mewah, namun menyeramkan dan sepi.Apa serunya? Otakku berpikir begitu."Ayo, Jani. Cepat!" Mas Seno menoleh sekilas ke arahku. Ia melambaikan tangannya. Sementara aku ogah-ogahan bergerak. "Hei, jangan manyun begitu." Tegurnya lagi.Akhirnya, terpaksa aku berlari
"Eheem," itu pasti suara Mas Seno."Kak, kami di sini gangguin nggak?" itu pasti suara si Bumi apa tadi namanya. Adik Biru kan? Kenapa sepertinya ia lebih humoris tidak sepertinya kakaknya yang galak dan menyeramkan ini.Menyeramkan sih, tapi ganteng.Duh, fokus-fokus dong Jani. Katanya mau minggat."Dua masalah sederhana, Jani. Melissa dan Argo," dia berbisik di telingaku dengan tenang dan suara dalam. Jemarinya mengelus lenganku. Rasanya, aku tidak bisa berpaling."Apa kamu masih percaya sama Argo? Setelah apa yang dia lakukan padamu?" matanya menyipit mirip sekali mata seorang serial killer.Tapi, hei tunggu. Apa dia tahu apa yang dilakukan Argo? Aku tidak pernah bercerita apapun padanya?Oh, mungkin maksudnya bukan tentang perselingkuhan itu. Namun, tentang bagaimana Argo menceraikanku."Mas, Argo kan hanya ingin ngembaliin buku. Itu masalah teknis saja. Tidak perlu diperpanjang," sahutku lembut, padahal aku jengkel dicurigai begitu."Begitu? Kenapa aku sulit percaya?" ia seperti
Aku menghabiskan soreku di rumah Mas Seno dan Mbak Shanti. Sejak turun dari mobil, dan memasuki rumah mungil di kawasan Depok yang lumayan sejuk, tidak sepanas saat aku berada di taman hotel, lututku lunglai.Namun, keriangan dari dua bersaudara keponakanku, Amir dan Amelia, serta merta membuat hatiku sedikit riang. Kepalaku dipenuhi oleh bayangan Biru. Juga obrolan singkat dengan Bumi—adik iparku. Duh, aku berani mengatakannya sebagai ipar sekarang.Kenapa ipar-iparku keren-keren semuanya?Apa aku sekeren mereka? Itu tidak penting, karena hari ini sudah memasuki malam. Awan mendung menggantung kecil di langit yang berhias taburan bintang. Ini malam yang sangat menyebalkan dan sepertinya sia-sia saja.Aku di sini—di rumah Mas Seno, tapi pikiranku melayang pada Biru, dan keluarganya. Apa ada resepsi juga di malam hari? Misalnya gala dinner begitu?Sedari tadi, aku mondar mandir ke sana ke mari. Namun, akhirnya aku pun menelpon Biru. Lama sekali tidak diangkat. Sehingga dadaku semakin l
Aku tahu, aku sedang berperilaku tidak wajar. Aku berdehem untuk memahami semua.Aku kembali memijit nomor Biru, jangan sampai ia mengabaikan panggilanku lagi sekarang.Tapi, tiba-tiba rasa malu membuatku memutuskan lagi sambungan itu. Aku melemparkan gawai di ranjang. Mirip seperti melempar granat. Harusnya aku sedikit menjaga citra diri dong. Harusnya begitu lah.Sedikit jaim dong, Jani. Jangan malu-maluin lagi.Gawaiku berdering dan nama Biru melayang-layang di monitornya. Aku tersengat."Ya, Mas?" aku berkata dengan nada tenang yang penuh kepura-puraan. Aku menekan panggal tangan ke pelipis. Rasa-rasanya aku tidak punya martabat."Tadi, ada panggilan masuk. Masih ada ya, musim miscalled di era pesan instan begini?" ia menyindirku, itu sudah pasti. Di belakangnya, musik berdentum-dentum dengan kerasnya. Di mana dia sekarang? Aku tiba-tiba curiga dia turun ke lantai diskotik, dan meliuk-liuk dengan belasan model berbaju cantik, ketat, dan seksi."Di mana sih ini Mas?" loh kok aku ma