"Jani, dari mana kau menyimpulkan itu semua? Kau di sini karena aku mengajakmu, sebagai istriku. Bukan karena hal lainnya," Biru berkata dengan nada tenang. Tapi, aku membaca sedikit rasa khawatir pada suaranya."Iya. Tapi, karena itu kau harus menikahiku dulu. Sebelum Samu, karena kau ingin memamerkanku di hadapan mantan-mantanmu ini kan? Harusnya aku tahu sejak awal, kau tidak berniat serius padaku!" aku berkata dengan nada pahit. Menutup wajah dengan kedua tanganku, oh sungguh aku sangat menggelikan, dan bersikap dramatis."Apa maksudmu dengan memamerkan?""Kau bercerita tentang Melani, karena ia bertemu denganku di ruang kantormu kan? Tapi, aku tak pernah mendengar cerita tentang Melissa. Ya Allah, bagaimana bisa kau hidup dalam dunia sinetronmu itu, Pak Langit. Kau menikahi saudari dari mantan pacarmu. Lalu, mantanmu itu menikah dengan kakakmu! Skenario yang bagus sekali," aku tertawa. Tertawa dan tertawa mirip sekali orang gila. Apa aku sudah hilang akal?"Skenario? Apa kau pik
"Hai," kataku parau. Aku berhenti dan meletakkan gawai di telingaku. Mencoba mendengar dengan baik."Kau di mana Jani? Kau bersama Biru?""Iya. Ini di pernikahan saudarinya."Lama sekali tak terdengar suara apapun di sana. Sepertinya dia agak kaget atau mungkin sedang sibuk dengan sesuatu."Saudari?""Saudaranya, Samu.""Oh.""Kenapa?""Nggak apa-apa. Apa yang kau pakai saat ke pernikahan Samu?"Kenapa dia harus bertanya itu. Tapi, dengan tololnya aku berkata, "Kebaya biru."Dia seperti terdiam lama. Aku sampai mendengar suara napasnya."Kapan kau ke Surabaya? Aku ingin mengirimkan buku-bukumu yang tertinggal di rumah. Mungkin kau membutuhkannya, untuk kerja."Aku ingin menangis, tapi aku menahannya."Besok, atau mungkin nanti.""Kau baik-baik saja?"Tidak. Aku kembali ingin menangis. Sungguh cengeng sekali."Ya."Aku merasa bayangan Biru mendekat padaku. Lalu tiba-tiba aku merasa sedikit gemetar dan merinding. Ia meraih gawai dari tanganku dengan sekali gerakan cepat. Ia melihat pang
Ketika itu, aku dan Mas Seno masih anak-anak.Kami tampak serupa dengan baju jahitan Ibu. Ibu memang pandai menjahit. Aku mengenakan kaus dan rok selutut dengan model balon polkadot. Sedang Mas Seno, mau saja mengenakan kemeja dengan motif polkadot dan celana panjang polos. Jadilah, aku dan Mas Seno seperti dua saudara kembar.Kuncir rambutku berayun-ayun senada dengan irama langkahku menyusuri jalanan di sepanjang desaku. Hari itu sudah sore, jadi kami semua, anak-anak di kampung sudah mandi dan bersiap-siap bermain.Mas Seno menarik tanganku, dan berbisik, "Yuk, kita ke rumah Biru.""Kak Biru?""Iya," Mas Seno mengangguk.Maka aku mengikutinya dengan malas-malasan. Aku ingin membeli cilok, tapi malah diajak ke rumah megah, mewah, namun menyeramkan dan sepi.Apa serunya? Otakku berpikir begitu."Ayo, Jani. Cepat!" Mas Seno menoleh sekilas ke arahku. Ia melambaikan tangannya. Sementara aku ogah-ogahan bergerak. "Hei, jangan manyun begitu." Tegurnya lagi.Akhirnya, terpaksa aku berlari
"Eheem," itu pasti suara Mas Seno."Kak, kami di sini gangguin nggak?" itu pasti suara si Bumi apa tadi namanya. Adik Biru kan? Kenapa sepertinya ia lebih humoris tidak sepertinya kakaknya yang galak dan menyeramkan ini.Menyeramkan sih, tapi ganteng.Duh, fokus-fokus dong Jani. Katanya mau minggat."Dua masalah sederhana, Jani. Melissa dan Argo," dia berbisik di telingaku dengan tenang dan suara dalam. Jemarinya mengelus lenganku. Rasanya, aku tidak bisa berpaling."Apa kamu masih percaya sama Argo? Setelah apa yang dia lakukan padamu?" matanya menyipit mirip sekali mata seorang serial killer.Tapi, hei tunggu. Apa dia tahu apa yang dilakukan Argo? Aku tidak pernah bercerita apapun padanya?Oh, mungkin maksudnya bukan tentang perselingkuhan itu. Namun, tentang bagaimana Argo menceraikanku."Mas, Argo kan hanya ingin ngembaliin buku. Itu masalah teknis saja. Tidak perlu diperpanjang," sahutku lembut, padahal aku jengkel dicurigai begitu."Begitu? Kenapa aku sulit percaya?" ia seperti
Aku menghabiskan soreku di rumah Mas Seno dan Mbak Shanti. Sejak turun dari mobil, dan memasuki rumah mungil di kawasan Depok yang lumayan sejuk, tidak sepanas saat aku berada di taman hotel, lututku lunglai.Namun, keriangan dari dua bersaudara keponakanku, Amir dan Amelia, serta merta membuat hatiku sedikit riang. Kepalaku dipenuhi oleh bayangan Biru. Juga obrolan singkat dengan Bumi—adik iparku. Duh, aku berani mengatakannya sebagai ipar sekarang.Kenapa ipar-iparku keren-keren semuanya?Apa aku sekeren mereka? Itu tidak penting, karena hari ini sudah memasuki malam. Awan mendung menggantung kecil di langit yang berhias taburan bintang. Ini malam yang sangat menyebalkan dan sepertinya sia-sia saja.Aku di sini—di rumah Mas Seno, tapi pikiranku melayang pada Biru, dan keluarganya. Apa ada resepsi juga di malam hari? Misalnya gala dinner begitu?Sedari tadi, aku mondar mandir ke sana ke mari. Namun, akhirnya aku pun menelpon Biru. Lama sekali tidak diangkat. Sehingga dadaku semakin l
Aku tahu, aku sedang berperilaku tidak wajar. Aku berdehem untuk memahami semua.Aku kembali memijit nomor Biru, jangan sampai ia mengabaikan panggilanku lagi sekarang.Tapi, tiba-tiba rasa malu membuatku memutuskan lagi sambungan itu. Aku melemparkan gawai di ranjang. Mirip seperti melempar granat. Harusnya aku sedikit menjaga citra diri dong. Harusnya begitu lah.Sedikit jaim dong, Jani. Jangan malu-maluin lagi.Gawaiku berdering dan nama Biru melayang-layang di monitornya. Aku tersengat."Ya, Mas?" aku berkata dengan nada tenang yang penuh kepura-puraan. Aku menekan panggal tangan ke pelipis. Rasa-rasanya aku tidak punya martabat."Tadi, ada panggilan masuk. Masih ada ya, musim miscalled di era pesan instan begini?" ia menyindirku, itu sudah pasti. Di belakangnya, musik berdentum-dentum dengan kerasnya. Di mana dia sekarang? Aku tiba-tiba curiga dia turun ke lantai diskotik, dan meliuk-liuk dengan belasan model berbaju cantik, ketat, dan seksi."Di mana sih ini Mas?" loh kok aku ma
Gawaiku mendengung sementara aku memacu langkah lebih cepat dan hampir saja memasuki area lobi. Aku merogoh saku blusku, dan rokku melambai-lambai di sepanjang jalan. Angin cukup kencang, aku seperti melihat bayangan Marilyn Monroe di sini. Mirip nggak sih denganku—eh bajuku ini.Ada nama Biru melayang di layar LED-nya. Ia takut sekali rupanya, berlomba denganku kali ini."Kamu sudah sampai mana, Jani?"Aku hanya mendesah, dan berpacu lagi dengan langkah-langkahku. Kini aku sampai di dalam lobi, aku melihat beberapa resepsionis mengucapkan salam. Aku tersenyum, mereka pasti mengingatku.Gadis biasa yang datang bersama laki-laki paling ganteng di hotel ini. Jadi, aku sangat gampang diingat. Karena menimbulkan tatapan iri dari para pegawai perempuan yang bekerja di lobi. Aku memang seberuntung itu, Girls. Aku terkekeh."Aku sudah sampai lobi. Aku menang!" teriakku pada gawai di telingaku.Sepatu hak tinggi merahku menggema di seluruh gedung, dan sepertinya perlombaan ini menghasilkan p
Dia kumat, dan pipiku memerah, "Kenapa kau ke sini lagi? Kangen? Atau mau menyerahkan diri secara baik-baik?"Dia menurunkanku di sofa panjang. Aku melesak ke atas sofa, seolah-olah terhisap busa dan kainnya. Aku meraih bantal sofa, memeluknya dengan erat lalu berguling."Jadi, apa jawabanmu?" ia bertanya lagi."Apa Mas nggak lapar?" aku pandai sekali mengalihkan percakapan yang kurang menguntungkan posisiku sebagai perempuan. Ia mengelus perutnya. Ia masih memakai kaos olahraga yang besar.Ia membungkuk, melepas kaos sweater, ia mengenakan kaos tanpa lengan di baliknya. Aku menatap bahu dan punggung terlatih itu dengan air liur menetes. Aku sungguh menyedihkan."Kenapa badanmu bagus?""Aku suka ke gym, kan sudah kubilang dulu.""Tidak. Apa nggak terlalu sibuk?""Aku pengangguran Jani, jadi kalau aku bosan aku ke gym.""Enak sekali punya hobi olahraga.""Nanti akan kau akan kuajak ke gym.""Gym pribadi?" mataku mendelik, "aku memakai hijab, kalau di gym umum gerah.""Boleh."Ia sepert