Biru mengulurkan tangannya, aku menerima tangan itu dan mencium punggung tangannya yang wangi. Kapan dia tidak wangi, kalau biasanya aku masih tahu diri tak mengharapkan membayangkan apa dengan parfumnya yang terasa maskulin dan mengintimidasi, sekarang malah pikiranku melayang-layang lagi.Duh, Jani. Inget dong!Aku tersenyum, ia menatapku lembut. Mata cokelatnya, tampak menghitam kelam. Aku tahu, jika ia sedang begitu serius dan antusias begitulah matanya berkilat-kilat. Apa yang ada di pikiran Biru sekarang?Ingat, Jani. Sekarang, banyak orang kamu harus jadi pengantin yang anggun dan kalem, jangan loncat-loncat seperti biasanya.Biru tersenyum sekali lagi, sementara di sekitarku saudara-saudara sepupuku seperti terpana melihat siapa suamiku sekarang. Oh, apa mereka tidak tahu skilku dalam mencari jodoh, duh jadi sombong.Biru menundukkan kepalanya, dan berbisik di telingaku, rasa-rasanya itu tidak mungkin mengingat di sini terasa ramai."Kamu cantik, kamu selalu cantik."Duh, jadi
Mas.Emas.Aku baru saja teringat mahar Biru tadi, saat ia menyebutnya dengan lantang dan meyakinkan di ruang tamu eh—ruang akad. Begitu. Dari mana ia mendapatkan emas murni dengan berat 230 gram secepat itu? Apa ia punya asisten khusus di sini? Apa justru dia malah sudah menyiapkannya.Semua itu berputar di kelapaku dan aku merasa berdenging mengingat ini."Apa kau sudah menyiapkan semua?" aku mengerjap, menatap binar mata Biru yang cokelat dan terasa sedikit menghitam karena sinar temaram dan kekuningan di kamarku yang sempit. Ranjang besiku yang berkeriut ramai, dan kelambu putih tipis yang berkibar-kibar lebai karena tertiup angin dari kipas besar yang menempel di tembok."Apanya, Jani?" ia seperti tertawa. Aku merasa sangat bodoh saat ini. Apa yang harus kulakukan? Aku tidak ingin malam ini kacau, tapi aku tahu ia pasti mengingat syarat ketika aku dan dia menikah sirri dahulu.Aku masih belum mau bercampur.Aku menggeser tubuhku yang terasa panas dan gugup, sedikit ke samping men
Aku meremas pundak Biru, dan merasakan betapa liat setiap inchi kulit tubuhnya. Apa dia begitu gemar berolahraga? Gawat, aku harus sering-sering lari atau ke gym sekarang!Aku mencoba beringsut, namun kurasakan jari-jari Biru menekan pinggangku dan menekan tubuhku ke daun jendela. Beruntung jendela ini besar, dan berdesain mirip jendela-jendela di rumah-rumah era colonial. Ada teralis besi, dan tembok melengkung yang bisa digunakan Biru untuk menggodaku."Terima kasih, itu pujian jujur dari istri yang baik."Aku seperti mendengar embusan napasnya mendekat, aku seperti tersihir. Ini terasa menggelisahkan, apa yang akan ia lakukan?Aku membuka mataku, menemukan hidungnya ada di sana. Di depan hidungku!Salah satu jemarinya, mengusap daun telingaku dengan lembut, aku bergidik. Tubuhku meremang.Tahan! Tahan Jani, surat sah belum jadi!Tapi, aku seperti tidak sadarkan diri. Aku terbengong di depan mata cokelatnya."Jani. Anjani."Ia menyebutkan namaku dengan begitu manis."Kau jangan bert
Aku terbangun karena hawa panas dan suara-suara pujian dari dusun terdengar begitu saja. Lagi pula, aku tidak bisa tidur. Nyamuk-nyamuk ini kok ya tahu kalau sekarang ini malam yang penting, walaupun sudah diberi obat nyamuk bakar, tetap saja mendengung dengan begitu genit.Aku ingin tahu, bagaimana Biru merasakan situasi seperti ini. Apakah ia bisa betah berada di rumahku yang sangat terbatas dan aneh begini. Namun, sejauh yang kutahu, ia malah sering tertawa-tawa. Begitulah Biru sekarang. Entah kenapa aku melihat wajahnya begitu ceria.Apa ia begitu senang sudah menikahiku?Duh, jadi kepedean. Harusnya, aku dong yang berteriak histeris ke sekeliling kampungku yang berdebu, panas, dan ndeso ini. Mengumumkan pada orang-orang yang seringkali mengghibahiku mengenai statusku dulu, dan menyayangkan kalau aku menggugat Argo.Well, bagiku perselingkuhan itu tidak ada ampun, sama dengan KDRT. Perempuan walaupun seabsurd dan seaneh diriku ini, setidaknya punya sedikit batasanlah kalau dizalim
"Silakan," kataku agak formal. Hanya ada cahaya lilin berkedip-kedip yang membuatku teringat penyinaran di sebagian kafe-kafe besar. Mirip sekali. Ia melepas kemejanya, aku menutup sebagian mulutku dengan jemari. Aku tidak menyangka ia punya badan sebagus itu—maksudku lengan sebagus itu. Dia sekarang hanya memakai celana panjang dan kaus putih tanpa lengan. "Lenganmu, bagus." "Terima kasih," ia tersenyum, "apa kau tergoda untuk menyentuhnya, Jani?" ia menantangku.Aku menggeleng, "Nanti saja, saat sudah resmi." Sementara itu aku menahan liurku."Sekarang kan sudah halal."Aku memalingkan pandanganku, ke atap yang gelap. Aku harus menyembunyikan wajah bernafsuku.Aku tidak sadar ia berjalan mendekatiku, tidak ada barang-barang jatuh karena sinar temaram lumayan baik untuk rumah gelap gulita di dusun kecil seperti ini.Dia duduk di sisi ranjangku. Ranjang besi tua sialan ini berkeriut lagi, sungguh menjengkelkan. Padahal kami tidak melakukan apa-apa. Sungguh ranjang pembohong gila da
Hari itu, aku tidak menemukan baju bersih apapun di kamar kosku. Iya, aku telah kembali ke kosku, tentu saja. Biru sedang berada di luar sebentar menungguku, merapikan baju-baju atau apapun yang bisa kubawa ke rumahnya nanti.Ingat kan, aku tidak membawa apapun kemarin selain koper berisi beberapa helai pakaian. Aku dan Biru, segera kembali ke sini Minggu pagi. Biru ada beberapa meeting penting di hari Senin, ia tidak mengambil cuti. Aku juga tidak mau merepotkan JMTV dengan pengumuman kurang penting tentang pernikahan kami.Aku masih menunggu saat yang tepat untuk memberi tahu teman-teman di kantor. Aku tidak ingin Biru mendapatkan isu dan skandal baru. Itu tidak baik untuk perkembangan dan branding JMTV.Toh, aku juga senang jika mereka tidak tahu, belum tahu, dan tidak curiga statusku telah berubah. Aku istri Biru, lho sekarang. Andaikan aku bisa mengumumkan itu ke semua orang. Aku mungkin harus menunggu setidaknya selama semingguan ini."Sudah selesai, Jani?" ia melongok lewat pin
Sepuluh menit berlalu. Aku terdiam kembali dalam kamarku. Rasanya begitu lengang. Beberapa menit lalu, masih ada Biru di sini. Suasana lebih baik dari ini, sekarang tampak sunyi.Aku berjalan ke dapur dan membuat kopi. Aku melepas baju resmiku, menggantinya dengan baju kasual. Kaos yang sudah kehilangan warnanya. Kaos putih yang sudah tampak longgar dan molor.OOOAku terbangun dan melihat jam dinding mendekati angka tujuh. Oh, aku kesiangan! Aku meloncat dari tempat tidur. Aku tidak boleh terlambat, bisa marah nanti Bos Tissu. Apalagi kalau aku nanti ketemu Biru, bakal direcokin nanti seharian.Aku terbelalak. Sepertinya ada yang salah. Oh, aku lupa.Aku sudah menikah.Dengan Langit Biru.Aku mengusap wajahku, aku ternyata tertidur setelah menunggu Biru sampai malam kemarin. Mungkin dia banyak urusan, urusan dengan kakaknya atau bahkan mungkin dengan keluarga besarnya.Rasanya gemetar membayangkan bagaimana nanti keluarga Biru. Apa mereka seperti versi nyata Indonesian Tatler? Begitu
Aku menjauhkan kartu berwarna kuning itu, ketika melihat Bos Tissu datang dan memberi isyarat pada kami. Iya, aku tidak terlalu penasaran siapa yang mengirim bunga ini, jangan-jangan malah Argo."Perhatian," begitulah Bos Tissu kalau sedang mengintruksikan sesuatu yang penting, "ada orang kah di sini?" ia bertanya lagi. Mungkin, ia lupa kalau ia sendiri adalah orang, bukan orang utan.Aku mengernyit melihat tampilan Bos Tissu kali ini, ia berdiri di depan menangkap semua pemandangan divisi Aneh Tapi Langka, yang mungkin baginya sedikit terlalu riuh, jika ia berbicara. Ia berdehem, terbatuk-batuk. Lalu semua orang di ruangan ini terdiam."Baik. Rekan-rekanku, aku sudah mendapatkan perhatian kalian semua. Begitu kan?"Aku menoleh, ada Mbak Tina yang mengedipkan matanya padaku. Lalu di ujung ruangan Bang Napi setengah berdiri melihat Bos Tissu di depan."Begini," ia membuka catatannya, lalu memakai kacamata. Perutnya bergerak-gerak saat ia bicara, perut lima bulan Bos Tissu. Baguslah,