Ain berdiri tegak di tepi pantai, angin laut yang sejuk menerpa wajahnya. Langit sore itu begitu tenang, seperti mencoba menenangkan hati yang sedang terbelah. Ombak yang berdebur di ujung kaki pantai seakan menjadi suara yang menggema di dalam pikirannya, mengingatkannya pada semua yang telah terjadi. Pada Bella, pada Alfi, pada segala hal yang telah menghiasi hidupnya—dan kini, semuanya terasa hilang begitu saja.
Dia menatap horizon yang tak berbatas, di mana langit bertemu dengan laut. Seperti halnya dirinya, tak tahu lagi harus kemana, tak tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Keseimbangannya goyah, seolah semua yang telah dia perjuangkan selama ini hancur dalam sekejap mata. Momen-momen indah bersama Bella dan Alfi seperti bayangan yang terus terulang di pikirannya, namun setiap kali ia meraihnya, ia merasa semakin jauh darinya. Kenangan itu sekarang hanyalah serpihan-sepihan yang menorehkan luka di hatinya—luka yang tak akan pernah sembuh.
Ain menar
Desiran ombak menghantam cadas, terdengar sayup angin berhembus sepoi-sepoi membuat suasana dipinggir pantai semakin syahdu, ombak sesekali mencapai bibir pantai tempat Ain mendirikan gazebo untuk pesta merayakan keberhasilan mendirikan kantor pusat di Singapura. Malam itu Ain habiskan dengan beberapa teman kantor dan pejabat tinggi di perusahaan.Amin bermain gitar, mereka semua mengelilingi api unggun kecil, sambil melantunkan lagu ‘secukupnya’ lagu yang lumayan populer saat Ain masih dibangku kuliah.Gelak tawa sambut menyambut mengiringi petikan gitar Amin ditengah-tengah dentingan gelas dan botol kaca, bersama-sama melantunkan lagu indie yang membuat pesta tersebut menjadi pesta mellow, seperti suasana hati Ain saat ini.“Bos, silahkan request lagu apa” seru Amin meminta.
“Trust me, kita bisa mulai semuanya dari awal lagi” pinta Alfi dengan mata yang mulai menahan air mata yang ingin keluar, ia mulai emosional.Hening sejenak.Ain menghela nafas perlahan, “Sorry, i can’t do that anymore” Ain menjawab dengan intonasi penekanan di bagian ‘anymore’“A, aku janji” air mata Alfi sudah tidak dapat dibendung lagi, tumpah ruah di sepasang pipi mungil di antara hidung yang mancung.Diluar kaca restoran, hujan gerimis membasahi bumi, orang lalu lalang sibuk bergegas pulang dari kantor, ada yang meneduh di toko yang sudah tutup, ada juga yang menerabas gerimis hujan karena mungkin tergesa-gesa. Keadaan hatiku saat ini tak jauh beda dari lima tahun silam. ‘Alfi selalu mempesona&rsqu
Pagi itu Bella telah menandatangani beberapa map yang telah menumpuk di mejanya, melihat jam di layar hp ‘masih pukul sembilan’.Bella iseng membuka aplikasi chat kemudian mengirim sederet pesan “A, seminggu ini aku udah menyelesaikan beberapa urusan untuk minggu depan, aku juga sudah membuat pengumuman skedul jadwal, aku siap untuk tur kita.”Bella tersenyum manis, pipinya merah merona saat malu-malu, aduhai aku sudah lama sekali tidak bahagia seperti ini.Di Ujung sana, Ain membuka layar ponselnya, pesan di nomor pribadi. Selesai memimpin rapat kecil yang membahas tentang tujuan jangka panjang. Melihat isi pesan tersebut Ain merasakan kelegaan yang menyusup bercampur dengan rasa bersalah.Ain membuang jauh-jauh perasaan tersebut, ia ber
Cinta tanpa kepercayaan bagaikan perahu yang berlayar tanpa nahkoda, terombang ambing tanpa tujuan, hanya menunggu waktu hingga kapal tersebut menyerah, karam. Dua hari sebelum keberangkatannya ke Dubai, Ain mengunjungi makam ibunya, di pusara itu ia mengusap nisan ibunya, berkeluh kesah tentang hidupnya yang selama ini merasa sendirian. “Ma, mama apa kabar disana? Pasti mama baik-baik saja kan. Maaf ya ma aku kesini cuma ngeluh terus sama mama. Sekarang juga gitu ma” Ain tersenyum sejenak. “Ma masalahku saat ini bukan lagi tentang susahnya cari uang, aku udah cukup untuk dibilang berhasil ma, sekarang perusahaanku sudah mau buka cabang di Singapura ma, yang mau aku tanyakan sebenarnya cinta itu butuh pengorbanan nggak sih ma? Ma, selama ini aku memang jarang banget bahkan hampir ga pernah sama sekali membahas te
Sambil mengantuk dengan nyawa yang belum sepenuhnya terkumpul, Alfi mencuci nasi untuk dimasak, ibunya masih solat subuh, pukul lima pagi. Beberapa persiapan harus setiap hari dilakukan seperti memasak, mencuci baju, dan membuat pesanan es buah untuk pelanggan. Selain bekerja menjaga toko, Alfi juga mempunyai sampingan jualan es, hasilnya sudah jelas untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pagi itu Alfi mendapat kabar baik dari adiknya, Icha berhasil lolos seleksi berkas disebuah perusahaan besar, dan akan segera interview beberapa hari kedepan. Perusahaan itu cukup bagus, karena untuk kandidat yang lolos seleksi, akan dibiayai sepenuhnya untuk perjalanan ke Jakarta. Icha lolos seleksi dan hanya menyisakan tiga calon kandidat, peluang keterima besar, tapi masi harus seleksi tes terakhir dengan langsung pemilik perusahaan tersebut. Alfi bersyukur adiknya mendapat pekerjaan yang baik disebuah perusahaan properti di Jakarta, tidak seperti dirinya yang harus merelakan semua impiannya sejak
Sore itu cakra menyelesaikan repitisi tetakhirnya, menutupnya dengan lari treadmill sejauh 7 kilo. Cakra mengelap peluhnya yang mengalir dimuka, otot biceps yang kekar dan dada lebar dengan bulu-bulu tipis menyelimuti permukaan kulit membuatnya semakin menawan.Cakra seorang pekerja kantoran yang menghabiskan waktu weekend di gym, dia menjadi member tetap gym Central di Jakarta sejak 3 tahun yang lalu. Cakra selalu dilirik beberapa wanita musiman yang datang kengym cuma beberapa kali lalu berhenti, diujung ruangan wanita tersebut sedang memperhatikan Cakra sambil mengangkat barbel, Cakra tahu jika dia sedang menjadi pusat perhatian.Cakra tidak menghiraukan itu, dalam pikirannya hanya terpaku pada Bella, jarang sekali bahkan tidak pernah Bella menolak untuk diajak bertemu kencan, tapi saat ini Bella tiba-tiba pamit pergi dan tidak mengatakan pergi kemana.Cakra merasa gagal karena di telah menyiapkan surprise yang akan diberikan ke Bella, yaitu cincin pernikahan, Cakra berencana akan m
Setibanya di Dubai, Ain telah memesan hotel salah satu yang tertinggi di Dubai, yaitu Burj Al Arab, Ain memesan hotel dengan king bed, dengan pemandangan yang langsung mengarah pada pantai Jumeira, salah satu destinasi wisata yang akan mereka berdua kunjungi.“Hei, kamu udah bangun” guman Ain sambil matanya silau terkena sinar matahari pagi.Bella menyikap tirai.Bella mendekati Ain lalu mencium bibir Ain, tidak menjawab.“Minum kopi yuk, kopi bagus untuk menghilangkan bau mulut pagi hari” ucap Bella lembut.“Apa? Mulutku bau?” Tanya Ain sambil mencium bau mulutnya sendiri.Bella tertawa menggoda.“Oiya semalam ponsel kamu bunyi terus, memang siapa yang menghubungi?” Ucap Ain memulai percakapan.Bella menuangkan kopi, membuka cemilan yang dia bawa dari Jakarta dan beberapa roti kering, persiapan untuk sarapan mereka berdua.Bella diam.“Iya tadi udah aku cek, mama yang telvon semalam, mau nitip beberapa oleh-oleh, biasalah, ada aja titipa
Hubungan Bella dan Cakra mulai renggang saat Cakra ketahuan selingkuh dengan mantannya.“Aku mau kita udahan” ucap Bella sesenggukan.Cakra tidak menjawab, dia hanya diam karena sudah tidak bisa beralasan lagi, dia benar-benar tertangkap basah.“Tolong jangan Bel, aku janji ga akn ngulangin lagi” pinta Cakra.Sembari sesenggukan, suara bela lemah, dia sudah tidak kuasa lagi menumpahkan amarahnya, dia tidak menyangka orang yang selama ini dia sayangi menghianatinya, lebih parahnya kepergok tepat dihadapannya.Malam itu sebenarnya Bella sama sekali tidak berniat keluar, tubuhnya sudah capek bekerja seharian, tapi entah kenap dia ingin keluar sekedar mencari makan dan melepas penat.Bella melihat ponselnya, masih pukul 10 malam, belum terlalu larut untuk keluar cari makan dan mencari udara segar, juga tidak ada pesan dari Cakra, terkahir Cakra bilang badanya demam, jadi dia tidur duluan.Bella menghidupkan mesin motor matic, melewati jalan yang biasa ia
Ain berdiri tegak di tepi pantai, angin laut yang sejuk menerpa wajahnya. Langit sore itu begitu tenang, seperti mencoba menenangkan hati yang sedang terbelah. Ombak yang berdebur di ujung kaki pantai seakan menjadi suara yang menggema di dalam pikirannya, mengingatkannya pada semua yang telah terjadi. Pada Bella, pada Alfi, pada segala hal yang telah menghiasi hidupnya—dan kini, semuanya terasa hilang begitu saja.Dia menatap horizon yang tak berbatas, di mana langit bertemu dengan laut. Seperti halnya dirinya, tak tahu lagi harus kemana, tak tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Keseimbangannya goyah, seolah semua yang telah dia perjuangkan selama ini hancur dalam sekejap mata. Momen-momen indah bersama Bella dan Alfi seperti bayangan yang terus terulang di pikirannya, namun setiap kali ia meraihnya, ia merasa semakin jauh darinya. Kenangan itu sekarang hanyalah serpihan-sepihan yang menorehkan luka di hatinya—luka yang tak akan pernah sembuh.Ain menar
Kehidupan telah membawa Bella dan Ain melalui begitu banyak kejadian yang penuh teka-teki, pengorbanan, dan kehilangan. Mereka telah melewati jalan yang panjang dan berliku, dengan banyak kali terjatuh dan bangkit kembali. Namun, kali ini, di bawah langit yang sama, di tempat yang penuh dengan kenangan, mereka berdiri bersama, siap menghadapi kenyataan yang mereka takuti selama ini.Mereka telah mengalahkan Cakra, menghancurkan rencana balas dendam yang berbahaya. Namun, meskipun kemenangan itu membawa kedamaian sementara, keduanya tahu bahwa mereka harus menghadapi sesuatu yang lebih dalam—sesuatu yang telah mengikat mereka dengan masa lalu yang penuh kebingungan dan luka. Semua jalan mereka telah terjalin dalam satu kisah yang sama, kisah yang melibatkan Alfi, cinta yang hilang, dan semua pengorbanan yang telah mereka buat demi mencapai kedamaian.Bella dan Ain berdiri di tempat itu, di sebuah taman yang pernah menjadi saksi bisu dari banyak kenangan indah. Tam
Malam itu terasa lebih gelap dari biasanya, meskipun langit dipenuhi bintang. Bella dan Ain berdiri di tengah keheningan, perasaan mereka masih terombang-ambing oleh apa yang baru saja mereka temui—tulisan tangan Alfi, pesan yang mengungkapkan bahwa kebenaran yang selama ini mereka cari ternyata lebih rumit dan lebih berbahaya daripada yang mereka bayangkan. Di atas batu itu, di tempat yang penuh kenangan, mereka menyadari bahwa Cakra masih mengendalikan banyak hal, meski kini, ia hanya ada dalam bayang-bayang.“Cakra,” Bella berbisik, suaranya penuh kebingungan dan ketakutan. “Dia masih ada, Ain. Kita bisa saja terjebak dalam perangkapnya tanpa kita sadari.”Ain mengangguk pelan, hatinya dipenuhi dengan keresahan yang mendalam. Meskipun mereka telah menemukan begitu banyak petunjuk, meskipun mereka akhirnya mengerti bahwa Alfi masih hidup dan mungkin menyimpan kunci untuk menghentikan Cakra, rasa takut itu tak bisa hilang begitu saja. Cak
Langit malam terlihat lebih luas dari yang Bella ingat. Bintang-bintang berkelip cerah di langit yang gelap, seolah-olah menatapnya dengan tatapan penuh misteri. Tempat ini, sebuah taman kecil di pinggir kota, selalu menjadi tempat mereka bertemu di masa lalu—tempat yang penuh dengan kenangan manis, tawa, dan kebahagiaan yang tampaknya sudah lama hilang. Namun malam ini, suasana itu terasa berbeda. Udara yang biasanya menenangkan kini terasa berat, seolah menyimpan kegelisahan yang sama dalam dada mereka berdua.Bella berdiri di sana, di bawah pohon besar yang dulu sering mereka duduki bersama. Angin semilir menggerakkan dedaunan, dan bau tanah basah menguar di udara. Setiap langkah yang ia ambil menuju tempat itu terasa penuh keraguan, setiap detik semakin menambah ketegangan dalam dirinya. Begitu banyak yang telah terjadi sejak terakhir kali mereka bertemu. Begitu banyak kata yang tidak terucap, begitu banyak luka yang belum sembuh. Dan kini, di bawah bintang-bintang
Bella duduk di tepi tempat tidurnya, mata terpejam rapat, mencoba mencari kedamaian dalam kegelapan yang melingkupi malam. Suara detak jam yang berdetak pelan, seakan-akan menjadi satu-satunya pengingat bahwa waktu terus berjalan, meskipun hidupnya terasa terhenti. Sudah berhari-hari sejak kejadian yang mengubah segalanya—sejak perpisahannya dengan Ain. Setiap saat yang dilaluinya seakan diselimuti oleh bayangan wajah Ain, yang seakan terus menghantuinya, meski ia berusaha sekuat tenaga untuk melupakan.Malam ini terasa lebih sunyi dari biasanya. Tidak ada suara hujan, tidak ada angin yang berdesir, hanya kesunyian yang terasa begitu pekat. Bella menarik napas panjang, berusaha mengusir semua pikiran yang datang mengganggu. Ia harus melanjutkan hidup. Itu adalah keputusannya. Ia tidak bisa terus berada di tempat ini, terjebak dalam kenangan yang menyakitkan. Tidak bisa terus menghukum dirinya sendiri atas keputusan yang sudah ia buat.Namun, seiring dengan pemiki
Langkah Ain terasa semakin berat seiring semakin dekatnya ia dengan tempat itu. Jalan yang dilalui sudah begitu familiar, namun ada perasaan yang berbeda—sebuah rasa yang mencekam, seperti ada sesuatu yang tak terlihat mengikutinya, menunggu di balik setiap sudut. Hujan yang turun sejak tadi semakin deras, membasahi rambutnya, mengaburkan pandangannya, namun ia tidak peduli. Ini adalah perjalanan yang ia pilih untuk ditempuh. Perjalanan yang ia rasa tidak hanya akan mengungkapkan misteri Bella, tetapi juga dirinya sendiri.Taman itu—tempat yang pernah mereka kunjungi bertahun-tahun lalu—terletak di ujung jalan kecil, tersembunyi di balik pepohonan lebat dan pagar besi yang sudah mulai berkarat. Dulu, tempat ini adalah tempat yang tenang, penuh dengan kenangan indah, namun kini, setiap sudutnya terasa asing dan penuh dengan kesunyian yang menekan. Angin malam berdesir, membawa aroma tanah basah, dan suasana yang dulu nyaman kini terasa suram, seperti menyembu
Keheningan yang membungkus dunia mereka terasa asing. Meskipun Cakra telah berhasil mereka hadapi, meskipun Bella akhirnya bebas dari cengkeraman tangan jahatnya, masih ada ruang kosong yang tak bisa diisi—ruang antara mereka berdua. Ain dan Bella. Setelah semua yang terjadi, mereka harus melangkah jauh dari satu sama lain, meskipun untuk sementara, untuk memberi ruang bagi perasaan yang bergejolak.Bella berdiri di tepi jendela kamar, menatap hujan yang mulai turun dengan perlahan di luar. Setiap tetes air yang jatuh terasa seperti petir yang menghantam relung hatinya. Hatinya yang sebelumnya penuh dengan ketakutan dan kecemasan kini perlahan diselimuti oleh kebingungan yang lebih dalam. Apa yang sebenarnya terjadi antara Alfi dan Cakra? Kenapa semuanya harus terungkap dengan cara yang begitu menyakitkan?Ia menutup matanya sejenak, mencoba untuk menenangkan diri, namun bayangan Cakra yang terenggut dari kehidupannya baru saja menghilang, dan tempat itu kini ter
Setiap langkah terasa lebih berat daripada yang terakhir. Bella dan Ain berjalan menyusuri lorong gelap yang mengarah ke ruang bawah tanah, yang kini semakin terasa seperti labirin yang tak terpecahkan. Walau mereka merasa semakin dekat dengan solusi yang akan menghentikan Cakra, semakin mereka mendekat, semakin besar pula tekanan emosional yang mendera hati mereka. Rasanya seperti dunia mereka mengerut, seiring dengan semakin sedikitnya ruang untuk bernapas.Ain, yang berjalan di samping Bella, tidak bisa mengalihkan pandangannya dari layar ponselnya yang kini menampilkan koordinat yang harus mereka tuju. Jantungnya berdegup kencang, dan pikiran tentang Alfi yang terjebak dalam rencana Cakra terus berputar-putar di kepalanya. Tidak ada yang lebih menakutkan daripada memikirkan kenyataan bahwa orang yang mereka percayai mungkin sudah terperangkap dalam jaringan kebohongan yang begitu dalam, dan tidak ada cara yang mudah untuk menariknya keluar.Bella menatap ponsel di
Malam telah tiba dengan sunyi yang mencekam, dan langit di atas pelabuhan utara dipenuhi awan gelap yang menghalangi cahaya bulan. Di bawahnya, air laut bergelombang dengan suara gemuruh yang terdengar lebih keras daripada biasanya, seolah-olah angin malam ikut berbisik tentang rahasia yang tersembunyi di kedalaman. Bella dan Ain berdiri di ujung pelabuhan, menatap cahaya lampu yang redup di kejauhan. Tempat ini terasa asing, bahkan lebih asing dari yang mereka bayangkan.Mereka telah menempuh perjalanan jauh, mengikuti petunjuk yang ditemukan Ain di pesan tadi malam—pesan yang seolah menjadi jawaban dari seluruh kebingungan yang telah mereka alami. Namun, semakin dekat mereka dengan tujuan, semakin besar ketegangan yang terasa. Ada sesuatu yang tak bisa mereka ungkapkan, sebuah rasa yang merayap dalam setiap langkah mereka. Meskipun mereka berdua berusaha untuk tetap tenang, suasana malam itu membawa rasa cemas yang semakin membelenggu.“Apakah kita benar-