Share

Sisi Gelap

Penulis: Ainun Qolbi
last update Terakhir Diperbarui: 2022-05-21 11:40:29

Sambil mengantuk dengan nyawa yang belum sepenuhnya terkumpul, Alfi mencuci nasi untuk dimasak, ibunya masih solat subuh, pukul lima pagi. Beberapa persiapan harus setiap hari dilakukan seperti memasak, mencuci baju, dan membuat pesanan es buah untuk pelanggan. Selain bekerja menjaga toko, Alfi juga mempunyai sampingan jualan es, hasilnya sudah jelas untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Pagi itu Alfi mendapat kabar baik dari adiknya, Icha berhasil lolos seleksi berkas disebuah perusahaan besar, dan akan segera interview beberapa hari kedepan. Perusahaan itu cukup bagus, karena untuk kandidat yang lolos seleksi, akan dibiayai sepenuhnya untuk perjalanan ke Jakarta. Icha lolos seleksi dan hanya menyisakan tiga calon kandidat, peluang keterima besar, tapi masi harus seleksi tes terakhir dengan langsung pemilik perusahaan tersebut.

Alfi bersyukur adiknya mendapat pekerjaan yang baik disebuah perusahaan properti di Jakarta, tidak seperti dirinya yang harus merelakan semua impiannya sejak ayahnya pergi dan ibunya jatuh sakit.

Pagi itu Alfi memasak daging ayam, sebagai perayaan kecil-kecilan untuk adiknya yang berhasil lolos seleksi, meskipun tidak mewah, namun perayaan itu sangat berarti bagi empat sosok manusia yang bernasib malang.

————

Sudah tiga hari anak Icha jatuh sakit, tubuhnya menggigil dan tidak bisa minum obat. Obat sampai menumpuk tidak diminum karena memang tidak bisa. Tubuhnya lemah, Alfi mengurus anak Icha seperti anak sendiri, tapi disisi lain, biaya pengobatan yang mahal, Alfi hanya bisa membawanya ke bidan, sebenernya bidan sudah menganjurkan untuk dibawa kerumah sakit yang memiliki peralatan medis yang lebih lengkap, tapi karena terkendala biaya, Alfi hanya bisa mengurusinya dirumah.

Pagi itu setelah semua pekerjaan rumah selesai, Alfi ingin membangunkan anak Icha untuk mandi dan sarapan, Alfi memegang jidatnya, ‘sudah dingin’ gumannya dalam hati, tapi saat dibangunkan, ia tidak bergeming, Alfi mulai panik, Alfi mengecek hidung, sama sekali tidak didapati bernapas, Alfi kemudian berteriak histeris. Pagi itu, ternyata anak Icha sudah meninggal.

Kabar duka segera disampaikan ke Icha, Icha langsung pulang dari bandar lampung, mengetahui anaknya telah tiada, kenapa setelah kabar baik datang selalu diiringi dengan kabar buruk.

Hari itu yang seharusnya mereka merayakan keberhasilan Icha, harus dibungkam dengan kematian anaknya. Hari yang seharusnya menjadi hari bahagia harus berubah menjadi hari duka. Ya memang benar, selalu ada keburukan yang mengiringi kabar baik.

Dipusara pemakaman, Icha duduk tersimpuh, memandang kosong nama anaknya, “maafkan ibu ya nak, harusnya ibu bisa membuayai pengobatanmu lebih awal, namun takdir berkata lain’ maafkan ibu nak, maafkan ibu.”

Alfi menenangkan adiknya, sambil mengelus bahu, “sudah, tidak ada yang harus disalahkan, relakan anakmu, karena dia sudah pasti sekarang bahagia disurga.”

“Kenapa harus sekarang kak.” Icha menangis sambil memeluk kakanya.

Disisi lain, mamanya hanya bisa menangis, karena keterbatasan bicara, ibunya merasa terpukul tidak bisa berbuat banyak untuk kebahagian kedua anak dan cucunya yang sudah meninggal.

“Kamu harus kuat, kamu masih memiliki masa depan panjang, anakmu akan sedih jika mengetahui ibunya terus menerus menangisi kepergiannya.” Alfi memberi motivasi.

“Untuk apa lagi aku bekerja kalau bukan untuk anakku kak? Aku sekarang sudah tidak memiliki alasan untuk semangat kak.” Ucap Icha sambil matanya berkaca-kaca.

Alfi memeluk adiknya, tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut Alfi, ia hanya bisa diam, karena sebenarnya yang merasa lebih hancur adalah Alfi, dia merasa lebih bersalah karena tidak bisa merawat keponakannya sendiri, sehingga adiknya jadi sedih, dan mamanya kehilangan cucu pertama.

Alfi memeluk Icha, mereka berdua menangis, tangis yang menguatkan, apapun keadaannya, mereka harus kuat, dalam hati Alfi berjanji untuk tidak lagi membut adik dan mamanya bersedih.

------

Icha harus merelakan anaknya, meskipun dalam keadaan bersedih dia harus tetap maju, menyongsong masa depan dihadapannya. Icha menyiapkan beberapa persyaratan terakhir untuk lolos seleksi, masih ada waktu satu minggu sebelum waktu itu tiba.

Semuanya sudah beres, tapi hanya satu persyaratan penting yang belum dia selesaikan, yaitu tanda tangan dari ayahnya. Icha sudah lama sekali tidak bertemu ayah, terakhir ketemu saat Icha masih dibangku sekolah menengah atas, sebenarnya bisa saja Icha memalsukan tanda tangan ayahnya, tapi dia tidak rela hati untuk memalsukan itu.

Dengan berat hati, Icha menguhungi nomor ayahnya, didunia maya maupun nyata Icha memang jarang sekali berhubungan dengan ayahnya.

Setelah dering ketiga, suara diujung sana menyapa,

“halo”. Tersedengar kaget, seperti kagetnya Icha saat ini.

“Halo ayah,” jawab Icha senormal mungkin.

“Iya, ada apa nak?” Ucap ayah Icha tanpa basa-basi.

Icha bercerita panjang tentang karirnya, mereka berdua berbincang seru di telvon, melepas kangen yang sangat karena terhalang jarak dan keadaan.

Icha juga bercerita tentang anaknya, ksedihan lalu menyelimuti pembicaraan kedua bapak beranak itu.

“Maafin ayah ya nak, ayah ga bisa berbuat banyak untuk menolongmu dan cucu ayah” terdengar suara bersalah dan penyesalan.

Icha berusaha menetralkan suasana, “ayah ada rencana jengukin kita nggk?”

Ditodong pertanyaan seperti itu, ayah Icha menjawab serba salah,

“maaf ya nak, untuk sekarang belum bisa”

Itu adalah kata maaf yang kesekian kalinya dalam pembicaraan telvon.

“Iya pa, nggk papa, yang penting papa sehat disana” ucap Icha.

“Pa, aku boleh ya memalsukan tanda tangan papa untuk persyaratan berkasku” lanjut Icha.

“Iya nak gapapa, papa sudah merestui kamu, semoga sukses selalu ya”

Icha lalu menutup telvon itu setelah beberapa percakapan basa-basi lainnya.

Sebenarnya Icha sangat butuh sosok ayah dalam kehidupannya, apalagi saat berat seperti ini, meski bagaimanapun Icha lebih kasihan kepada kakaknya, mimpinya harus rela direnggut oleh keluarga, dan mengorbankan cintanya sendiri untuk mengurus anaknya yang belum lama meninggal.

*

Alfi menjadi sosok ayah sekaligus kakak bagi Icha, mereka berdua saling menguatkan, bagaimapun keadaan keluarga mereka, sebagai anak pertama Alfi harus tetap tegar.

Setelah kematian anak Icha, beban Alfi sedikit berkurang, tapi dari sisi nalurinya Alfi sangat kehilangan, anak yang imut nan menggemaskan harus pergi untuk selama-lamanya.

Keluarga kecil itu diselimuti kesedihan beberapa waktu, lagi-lagi harus menerima cobaan yang terus menerus datang, beruntung mereka semua diberikan hati yang kuat untuk menjalaninya.

Rutinitas keseharian Alfi juga tidak jauh beda, tetap sama, berangkat kerja, masih menjadi penjual es sebagai kerjaan sampingan, tapi mereka menemukan harapan kecil, jika Icha ketrima bekerja diperusahaan properti, hidup mereka dapat sedik teringankan.

Gaji dari perusahaan tersebut sudah kebih dari cukup untuk mereka hidup, setiap malam, Icha, Alfi, dan ibunya selalu bangun, solat dan berdoa agar Icha dapat diterima kerja, harapan mereka sangat besar, usaha mereka juga sama.

Icha anak yang pintar, pintar memimpin dan cekatan, namun dia tidak tahu kandidat lain bagaimana keahlian mereka. Icha sangat berharap, bahkan sampai menangis tersedu-sedy setiap dia menengadahkan tangannya saat berdoa.

Ainun Qolbi

Disetiap kabar baik, pasti akan selalu diiringi dengan kanar buruk. Ini yang selalu terjadi pada keluarga Alfi. Saat datang kabar baik Icha lolos tes seleksi pekerjaan, tapi disusul denagn kabar buruk kehilangan yang membuat Icha hancur. Ini tengang buah hati Icha. Kabar menyedihkan.

| Sukai

Bab terkait

  • Asmaraloka   Cakra

    Sore itu cakra menyelesaikan repitisi tetakhirnya, menutupnya dengan lari treadmill sejauh 7 kilo. Cakra mengelap peluhnya yang mengalir dimuka, otot biceps yang kekar dan dada lebar dengan bulu-bulu tipis menyelimuti permukaan kulit membuatnya semakin menawan.Cakra seorang pekerja kantoran yang menghabiskan waktu weekend di gym, dia menjadi member tetap gym Central di Jakarta sejak 3 tahun yang lalu. Cakra selalu dilirik beberapa wanita musiman yang datang kengym cuma beberapa kali lalu berhenti, diujung ruangan wanita tersebut sedang memperhatikan Cakra sambil mengangkat barbel, Cakra tahu jika dia sedang menjadi pusat perhatian.Cakra tidak menghiraukan itu, dalam pikirannya hanya terpaku pada Bella, jarang sekali bahkan tidak pernah Bella menolak untuk diajak bertemu kencan, tapi saat ini Bella tiba-tiba pamit pergi dan tidak mengatakan pergi kemana.Cakra merasa gagal karena di telah menyiapkan surprise yang akan diberikan ke Bella, yaitu cincin pernikahan, Cakra berencana akan m

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-21
  • Asmaraloka   Burj Al Arab

    Setibanya di Dubai, Ain telah memesan hotel salah satu yang tertinggi di Dubai, yaitu Burj Al Arab, Ain memesan hotel dengan king bed, dengan pemandangan yang langsung mengarah pada pantai Jumeira, salah satu destinasi wisata yang akan mereka berdua kunjungi.“Hei, kamu udah bangun” guman Ain sambil matanya silau terkena sinar matahari pagi.Bella menyikap tirai.Bella mendekati Ain lalu mencium bibir Ain, tidak menjawab.“Minum kopi yuk, kopi bagus untuk menghilangkan bau mulut pagi hari” ucap Bella lembut.“Apa? Mulutku bau?” Tanya Ain sambil mencium bau mulutnya sendiri.Bella tertawa menggoda.“Oiya semalam ponsel kamu bunyi terus, memang siapa yang menghubungi?” Ucap Ain memulai percakapan.Bella menuangkan kopi, membuka cemilan yang dia bawa dari Jakarta dan beberapa roti kering, persiapan untuk sarapan mereka berdua.Bella diam.“Iya tadi udah aku cek, mama yang telvon semalam, mau nitip beberapa oleh-oleh, biasalah, ada aja titipa

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-22
  • Asmaraloka   Masa Lalu

    Hubungan Bella dan Cakra mulai renggang saat Cakra ketahuan selingkuh dengan mantannya.“Aku mau kita udahan” ucap Bella sesenggukan.Cakra tidak menjawab, dia hanya diam karena sudah tidak bisa beralasan lagi, dia benar-benar tertangkap basah.“Tolong jangan Bel, aku janji ga akn ngulangin lagi” pinta Cakra.Sembari sesenggukan, suara bela lemah, dia sudah tidak kuasa lagi menumpahkan amarahnya, dia tidak menyangka orang yang selama ini dia sayangi menghianatinya, lebih parahnya kepergok tepat dihadapannya.Malam itu sebenarnya Bella sama sekali tidak berniat keluar, tubuhnya sudah capek bekerja seharian, tapi entah kenap dia ingin keluar sekedar mencari makan dan melepas penat.Bella melihat ponselnya, masih pukul 10 malam, belum terlalu larut untuk keluar cari makan dan mencari udara segar, juga tidak ada pesan dari Cakra, terkahir Cakra bilang badanya demam, jadi dia tidur duluan.Bella menghidupkan mesin motor matic, melewati jalan yang biasa ia

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-23
  • Asmaraloka   Jumeirah

    Orang asia tidak butuh berjemur, apalagi menghitamkan kulit, karena mereka dilahirkan di iklim tropis, yang kulit mereka kebanyakan berwarna sawo matang. Itulah yang terjadi pada Bella dan Ain, baru beberapa menit berjemur, mereka sudah meneduh kembali, ke restoran, memesan makanan dan beberapa cemilan khas Arab. Cuaca hari itu sangat cerah, Bella mengambil beberapa foto untuk di unggah dimedia sosial -tentunya tanpa menampilkan Ain disini, karena hubungan mereka masih backstret- viewnya sangat keren dan romantis, pemandangan langsung ke arah laut lepas. Disisi pantai yang membentang luas, dengan pasir putih halus, terdapat gedung menjulang tinggi dengan gaya separuh kubah tidak sempurna, itulah gedung Burj Al Arab, tempat Ain dan Bella menginap. Restoran tersebut menyajikan berbagai makanan dari seluruh penjuru dunia, pesan nasi goreng pun ada, tapi tidak tahu dengan kualitas rasanya. Mengingat koki dari restoran tersebut bukan asli dari Indonesia. Bella memesan pudding dengan ta

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-28
  • Asmaraloka   Percikan di Burj Al Arab

    Matahari perlahan tenggelam di balik cakrawala Dubai, meninggalkan langit yang dihiasi semburat jingga keemasan. Dari balkon suite Burj Al Arab yang mewah, Bella dan Ain berdiri berdampingan, menikmati pemandangan laut yang begitu memukau. Angin malam yang sejuk menerpa wajah mereka, memberikan perasaan damai yang langka.Bella mengenakan gaun ringan berwarna pastel, sementara Ain masih dalam balutan kemeja putih dengan kancing atas yang sengaja dibiarkan terbuka. Malam itu, suasana terasa begitu santai, jauh dari tekanan pekerjaan atau konflik pribadi yang biasanya membebani mereka."Aku rasa, tempat ini benar-benar berbeda dari tempat manapun," ujar Bella sambil tersenyum kecil, matanya terpaku pada gemerlap lampu kota yang memantul di permukaan laut.Ain mengangguk pelan. "Ya. Kadang aku berpikir, di tempat seperti ini, segalanya terasa lebih sederhana. Masalah-masalah di luar sana seolah hanya bayangan yang memudar."Percakapan mereka malam itu penuh dengan kehangatan. Bella meras

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-13
  • Asmaraloka   Telepon dari Masa Lalu

    Malam di Dubai terasa tenang. Langit gelap dihiasi bintang-bintang yang berkilauan, dan suara ombak dari pantai buatan di sekitar Burj Al Arab menambah kesan damai. Ain duduk di balkon kamar hotelnya, memandangi pemandangan kota yang berkilauan dalam diam. Bella sudah pergi tidur lebih awal setelah makan malam yang sedikit canggung karena insiden di mana Ain tidak sengaja menyebut nama Alfi. Meski Bella mencoba menutupi kekecewaannya dengan senyum kecil, Ain tahu bahwa hal itu telah melukai hati Bella.Sambil menghela napas berat, Ain mengangkat secangkir teh hangat yang telah mendingin di tangannya. Kenangan lama tentang Alfi mengisi pikirannya—cinta pertama yang ia korbankan demi rasa hutang budi. Ia tahu hidup harus terus berjalan, tetapi mengapa bayangan Alfi selalu menghantui dirinya?Ponselnya tiba-tiba bergetar di atas meja kaca kecil. Ain mengerutkan dahi saat melihat nama yang muncul di layar. Sebuah nama yang tak ia sangka akan muncul lagi dalam hidupnya: Alfi. Tubuhnya memb

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-13
  • Asmaraloka   Tamu Tak Diundang

    Pagi itu, Bella tengah duduk di ruang tamu apartemen Ain, memandangi secangkir kopi yang mulai dingin di tangannya. Ia mencoba menenangkan pikirannya yang terus bergulat dengan perasaan cemas sejak malam sebelumnya. Ain sedang keluar untuk sebuah janji bisnis, meninggalkan Bella sendirian.Sambil menghela napas, Bella meraih ponselnya, berharap menemukan sesuatu yang dapat mengalihkan pikirannya. Namun, apa yang ia temukan justru membuatnya semakin gelisah. Sebuah pesan dari Cakra, pria dari masa lalunya yang selama ini ia hindari, muncul di layar ponselnya.“Bella, kita perlu bicara. Ada hal penting yang harus kamu tahu.”Pesan itu sederhana, tapi cukup untuk membuat hati Bella berdegup kencang. Nama Cakra membawa kenangan yang sudah lama ia kubur. Ia adalah bagian dari masa lalu Bella yang penuh liku, seseorang yang pernah membuatnya merasa dihargai sekaligus dikhianati.Bella menggigit bibirnya, mencoba memutuskan apakah ia harus membalas pesan itu atau mengabaikannya. Tapi pikiran

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-13
  • Asmaraloka   Jejak Alfi

    Restoran dengan lampu temaram itu terletak di pinggiran Dubai, jauh dari gemerlap gedung pencakar langit. Ain duduk di meja paling sudut, menatap cangkir kopinya yang sudah dingin. Ia datang lebih awal dari waktu yang disepakati. Bukan karena ingin terlihat antusias, tetapi karena jantungnya terus berdegup kencang sejak Alfi menghubunginya. Dua tahun berlalu sejak mereka terakhir kali bertemu, tetapi memori tentang Alfi tidak pernah benar-benar hilang. Wajah Alfi yang selalu tersenyum, suara lembutnya yang menenangkan, dan kenangan manis yang mereka bagi terus menghantui pikirannya. Ain menarik napas panjang ketika melihat pintu restoran terbuka. Sosok yang sangat ia kenal itu melangkah masuk. Alfi masih seperti yang ia ingat—anggun, tenang, dan penuh percaya diri. Perempuan itu mengenakan gaun hitam sederhana, tetapi kehadirannya begitu memikat, seperti dulu. “Ain,” sapanya dengan senyum tipis, menghampiri meja. “Alfi,” Ain menjawab, mencoba terdengar tenang meskipun ada bada

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-14

Bab terbaru

  • Asmaraloka   Pelarian yang Membebaskan

    Langit pagi itu menyapa mereka dengan keheningan yang aneh, seolah turut merasakan keputusan besar yang baru saja mereka buat. Di luar jendela, langit yang cerah membentang tanpa awan, menyiratkan kebebasan yang akhirnya mereka ambil—setelah begitu banyak waktu terperangkap dalam kebingungannya masing-masing.Bella berdiri di samping jendela rumah sakit, tatapannya kosong, tetapi ada sedikit cahaya yang memantul di matanya. Ia memandang ke luar, mencoba menangkap perasaan yang mulai tumbuh dalam dirinya. Beberapa hari yang lalu, segala sesuatunya terasa berat, seperti beban yang tak terangkat. Namun hari ini, ada sesuatu yang berbeda. Ada secercah harapan, meskipun itu terasa rapuh."Ain," suara Bella terdengar lirih, namun penuh arti. Ain yang duduk di dekat ranjang, menatapnya dengan penuh perhatian, menyadari ada sesuatu yang baru dalam diri Bella."Apa?" jawab Ain, suaranya lebih lembut dari sebelumnya. Ia menatap Bella, sedikit ragu, tetapi juga penuh

  • Asmaraloka   Pengorbanan yang Terlambat

    Hujan masih turun dengan deras saat Ain menggenggam tangan Bella lebih erat, memimpin langkah mereka yang semakin lesu menuju rumah sakit terdekat. Bella terhuyung lemah di sampingnya, tubuhnya masih terguncang oleh apa yang baru saja mereka alami, dan lebih dari itu, hati Bella terbelenggu oleh rasa takut yang semakin dalam.Ain tidak tahu harus bagaimana. Setiap langkah yang mereka ambil semakin menjauh dari tempat di mana Alfi berjuang sendirian. Setiap detik yang berlalu semakin membuat rasa bersalahnya membengkak. Di dalam kepalanya, hanya ada satu pertanyaan yang terus berputar: Apakah mereka telah membuat keputusan yang benar? Apakah mereka seharusnya kembali untuk Alfi?Lalu, saat matanya tertuju pada wajah Bella yang semakin pucat, rasa bersalah itu semakin mencekiknya. Mungkin seharusnya dia tidak membiarkan Bella pergi begitu saja. Seharusnya mereka bertahan, berdua, bersama Alfi. Tapi kenyataannya, mereka melarikan diri. Kini, mereka berada di tempat yang j

  • Asmaraloka   Hujan di Atas Luka

    Hujan turun deras malam itu, mengguyur tanah dengan keteguhan yang sama seperti perasaan Bella. Setiap tetes yang menyentuh kulitnya terasa seolah membawa berat dunia yang tak bisa lagi ia tanggung. Angin dingin menyapu wajahnya, dan langkahnya yang terhuyung-huyung semakin sulit untuk dipertahankan. Bella mencoba berlari, meskipun kaki dan pikirannya seolah menentang niatnya.Cakra, dengan segala kekuatannya, telah mengejarnya, dan kali ini, ia tidak berniat untuk melepaskannya begitu saja. Saat Bella mencoba melarikan diri dari tempat yang semula ia kira aman, Cakra yang penuh amarah melesatkan ancaman yang lebih tajam dari pisau, membuat setiap keputusan Bella terasa semakin sulit. Dan meski hujan tak pernah berhenti, air mata Bella ikut bergulir, membasahi pipinya.Kakinya tersandung sebuah batu besar di tengah jalan, tubuhnya terjatuh ke tanah basah dengan keras. Sebuah rasa sakit yang tajam melilit di pergelangan kakinya, dan ia pun meringis. Cakra sudah terlalu

  • Asmaraloka   Jembatan yang Runtuh

    Pagi itu, sinar matahari mengalir lembut melalui sela-sela pepohonan yang tinggi, menyinari jalan setapak yang berkelok menuju desa terpencil. Ain dan Alfi berjalan bersama, langkah mereka mantap meski ada beban yang tak terungkapkan dalam setiap langkah itu. Mereka telah menempuh perjalanan jauh, melewati hutan-hutan dan bukit-bukit, demi satu tujuan yang kini ada di depan mata mereka: menemukan Bella.Ain memegang secarik kertas yang didapatnya dari pria tua yang bertemu dengannya kemarin. Pada kertas itu tertulis alamat yang mereka yakini sebagai tempat tinggal Bella. Namun, meskipun mereka semakin dekat, ada perasaan cemas yang menggantung di udara—perasaan yang tidak bisa disembunyikan oleh keduanya."Ain, kamu yakin ini tempatnya?" tanya Alfi, menatap peta di tangannya. Suaranya sedikit serak, menandakan betapa lelahnya mereka setelah perjalanan panjang ini.Ain mengangguk pelan, matanya tertuju ke jalan yang semakin menyempit, tanda bahwa mereka sem

  • Asmaraloka   Melodi yang Hilang

    Pagi itu, langit seakan merasakan beban yang tengah dipikul oleh hati manusia. Cahaya matahari yang biasanya begitu cerah, tampak muram, seperti tidak ingin ikut campur dalam kisah yang sedang berlangsung. Di sebuah apartemen yang terletak di lantai lima sebuah gedung tua, Bella berdiri di balik tirai yang memayungi dunia luar. Wajahnya yang dulu cerah kini pucat, seperti langit yang enggan tersenyum.Di sekelilingnya, dunia masih begitu tenang—tapi tidak di dalam hatinya. Di dalam hatinya, badai berputar. Cakra tidak tahu, dia tidak akan tahu, apa yang ada di dalam jiwa Bella. Namun Bella tahu satu hal pasti—dia tidak bisa tinggal di tempat ini lebih lama lagi.Matanya menatap ponsel di tangannya. Pesan itu—pesan yang ditulis dengan begitu hati-hati—seakan membawa Bella kembali ke sebuah tempat yang dulu ia kenal, tempat yang penuh dengan harapan, namun juga terperangkap dalam kenangan pahit. Bukit Kenangan. Tempat yang tak pernah benar-benar b

  • Asmaraloka   Langkah yang Tertinggal

    Malam menggantung seperti tirai kelabu yang penuh debu sejarah. Di kejauhan, suara klakson kendaraan terdengar samar-samar, seperti orkestra sumbang yang dimainkan oleh waktu. Ain berjalan menyusuri lorong sunyi menuju rumah Alfi, sahabat yang selalu menjadi labuhan dari setiap badai dalam hidupnya. Hujan yang tadi turun deras kini hanya menyisakan aroma tanah basah dan titik-titik gerimis yang jatuh malas ke bumi, seolah mereka pun enggan mengganggu ketenangan malam.Langkah Ain terhenti di depan pintu kayu tua yang sudah mulai lapuk di bagian ujungnya. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum mengetuk. Ketukan pertamanya pelan, ragu-ragu—seperti perasaannya sendiri. Namun, ketukan kedua terdengar lebih mantap, sebuah keputusan yang sudah lama dipendam. Tidak sampai sepuluh detik, pintu itu terbuka, memperlihatkan sosok Alfi dengan senyum yang sama seperti dulu: hangat, tenang, dan penuh pengertian."Ain?" Alfi menyipitkan matanya, tampak heran melihat wajah sahabat

  • Asmaraloka   Pesan di Malam Sepi

    Malam itu, Ain duduk sendirian di ruang tamu rumah kontrakannya yang kecil, menikmati kesunyian yang jarang ia rasakan. Setelah seharian bekerja keras, ia merasa sedikit lebih lega karena malam ini tidak ada pekerjaan menumpuk yang harus ia selesaikan. Ia memutuskan untuk mengambil waktu sejenak untuk dirinya sendiri, beristirahat dari segala kewajiban yang selalu mengikatnya. Hujan yang turun di luar jendela menciptakan ketenangan yang nyaman, suara tetesan air menenangkan pikirannya yang terkadang penuh dengan kekhawatiran.Tiba-tiba, ponselnya berbunyi, memecah keheningan yang nyaman itu. Ain melirik layar ponsel yang tergeletak di sampingnya di meja kecil, dan melihat ada pesan masuk. Nomor yang tertera adalah nomor yang tidak dikenalnya. Tanpa berpikir panjang, Ain membuka pesan tersebut. Pesan itu singkat, hanya terdiri dari beberapa kalimat yang langsung menarik perhatian. Meskipun tidak ada nama yang tercantum, Ain merasa seolah-olah ada sesuatu yang sangat pribadi dan mendala

  • Asmaraloka   Kebohongan yang Terbongkar

    Hujan masih mengguyur dengan deras, menciptakan irama yang semakin mendalam dalam kesunyian malam. Cakra berdiri di dekat jendela, matanya terfokus pada langit yang kelam, namun pikirannya jauh melayang. Sejak beberapa minggu terakhir, ia mulai merasakan ada yang berbeda dengan Bella. Wanita yang biasanya ceria dan terbuka, kini terlihat lebih sering menarik diri, menghindar dari percakapan dan cenderung menyimpan rahasia.Cakra mencoba mengabaikan perasaan curiga yang mulai merayap dalam dirinya, namun setiap kali ia berusaha mendekati Bella, ada dinding tak terlihat yang menghalangi. Perubahan kecil, seperti ketidakhadirannya dalam percakapan yang biasanya penuh tawa, atau wajahnya yang tampak murung, membuat Cakra semakin gelisah. Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah Bella sedang menyembunyikan sesuatu darinya?Di satu sisi, Cakra merasa bingung. Ia tahu, dalam hubungan mereka, kejujuran adalah hal yang selalu dijunjung tinggi. Namun, apa yang bisa dia lakukan jika Bella malah semak

  • Asmaraloka   Di Antara Dua Dunia

    Langit Puncak yang biasanya sejuk dan menenangkan terasa seperti penjara bagi Bella. Vila kecil tempat ia tinggal bersama Cakra dikelilingi oleh pepohonan rindang dan udara segar, tetapi keindahan itu tidak mampu mengusir rasa sesak yang terus menghantuinya. Ia duduk di tepi ranjang, memandangi jendela yang terbuka lebar, membiarkan angin pagi masuk ke dalam kamar. Namun, angin itu tidak membawa ketenangan—hanya mengingatkan Bella pada kebebasan yang kini terasa begitu jauh dari jangkauannya.Sudah beberapa minggu sejak ia memutuskan untuk kembali ke Cakra. Keputusan itu bukanlah sesuatu yang ia buat dengan mudah; ia tahu betul risiko yang datang bersamanya. Namun, tekanan emosional dan perasaan tidak punya tempat lain untuk pergi membuatnya merasa tidak memiliki pilihan lain. Cakra, dengan segala janji manisnya, telah meyakinkannya bahwa mereka bisa memulai kembali dari awal—bahwa hubungan mereka bisa diperbaiki.Pada awalnya, Bella mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa keputusan

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status