Hubungan Bella dan Cakra mulai renggang saat Cakra ketahuan selingkuh dengan mantannya.“Aku mau kita udahan” ucap Bella sesenggukan.Cakra tidak menjawab, dia hanya diam karena sudah tidak bisa beralasan lagi, dia benar-benar tertangkap basah.“Tolong jangan Bel, aku janji ga akn ngulangin lagi” pinta Cakra.Sembari sesenggukan, suara bela lemah, dia sudah tidak kuasa lagi menumpahkan amarahnya, dia tidak menyangka orang yang selama ini dia sayangi menghianatinya, lebih parahnya kepergok tepat dihadapannya.Malam itu sebenarnya Bella sama sekali tidak berniat keluar, tubuhnya sudah capek bekerja seharian, tapi entah kenap dia ingin keluar sekedar mencari makan dan melepas penat.Bella melihat ponselnya, masih pukul 10 malam, belum terlalu larut untuk keluar cari makan dan mencari udara segar, juga tidak ada pesan dari Cakra, terkahir Cakra bilang badanya demam, jadi dia tidur duluan.Bella menghidupkan mesin motor matic, melewati jalan yang biasa ia
Orang asia tidak butuh berjemur, apalagi menghitamkan kulit, karena mereka dilahirkan di iklim tropis, yang kulit mereka kebanyakan berwarna sawo matang. Itulah yang terjadi pada Bella dan Ain, baru beberapa menit berjemur, mereka sudah meneduh kembali, ke restoran, memesan makanan dan beberapa cemilan khas Arab. Cuaca hari itu sangat cerah, Bella mengambil beberapa foto untuk di unggah dimedia sosial -tentunya tanpa menampilkan Ain disini, karena hubungan mereka masih backstret- viewnya sangat keren dan romantis, pemandangan langsung ke arah laut lepas. Disisi pantai yang membentang luas, dengan pasir putih halus, terdapat gedung menjulang tinggi dengan gaya separuh kubah tidak sempurna, itulah gedung Burj Al Arab, tempat Ain dan Bella menginap. Restoran tersebut menyajikan berbagai makanan dari seluruh penjuru dunia, pesan nasi goreng pun ada, tapi tidak tahu dengan kualitas rasanya. Mengingat koki dari restoran tersebut bukan asli dari Indonesia. Bella memesan pudding dengan ta
Matahari perlahan tenggelam di balik cakrawala Dubai, meninggalkan langit yang dihiasi semburat jingga keemasan. Dari balkon suite Burj Al Arab yang mewah, Bella dan Ain berdiri berdampingan, menikmati pemandangan laut yang begitu memukau. Angin malam yang sejuk menerpa wajah mereka, memberikan perasaan damai yang langka.Bella mengenakan gaun ringan berwarna pastel, sementara Ain masih dalam balutan kemeja putih dengan kancing atas yang sengaja dibiarkan terbuka. Malam itu, suasana terasa begitu santai, jauh dari tekanan pekerjaan atau konflik pribadi yang biasanya membebani mereka."Aku rasa, tempat ini benar-benar berbeda dari tempat manapun," ujar Bella sambil tersenyum kecil, matanya terpaku pada gemerlap lampu kota yang memantul di permukaan laut.Ain mengangguk pelan. "Ya. Kadang aku berpikir, di tempat seperti ini, segalanya terasa lebih sederhana. Masalah-masalah di luar sana seolah hanya bayangan yang memudar."Percakapan mereka malam itu penuh dengan kehangatan. Bella meras
Malam di Dubai terasa tenang. Langit gelap dihiasi bintang-bintang yang berkilauan, dan suara ombak dari pantai buatan di sekitar Burj Al Arab menambah kesan damai. Ain duduk di balkon kamar hotelnya, memandangi pemandangan kota yang berkilauan dalam diam. Bella sudah pergi tidur lebih awal setelah makan malam yang sedikit canggung karena insiden di mana Ain tidak sengaja menyebut nama Alfi. Meski Bella mencoba menutupi kekecewaannya dengan senyum kecil, Ain tahu bahwa hal itu telah melukai hati Bella.Sambil menghela napas berat, Ain mengangkat secangkir teh hangat yang telah mendingin di tangannya. Kenangan lama tentang Alfi mengisi pikirannya—cinta pertama yang ia korbankan demi rasa hutang budi. Ia tahu hidup harus terus berjalan, tetapi mengapa bayangan Alfi selalu menghantui dirinya?Ponselnya tiba-tiba bergetar di atas meja kaca kecil. Ain mengerutkan dahi saat melihat nama yang muncul di layar. Sebuah nama yang tak ia sangka akan muncul lagi dalam hidupnya: Alfi. Tubuhnya memb
Pagi itu, Bella tengah duduk di ruang tamu apartemen Ain, memandangi secangkir kopi yang mulai dingin di tangannya. Ia mencoba menenangkan pikirannya yang terus bergulat dengan perasaan cemas sejak malam sebelumnya. Ain sedang keluar untuk sebuah janji bisnis, meninggalkan Bella sendirian.Sambil menghela napas, Bella meraih ponselnya, berharap menemukan sesuatu yang dapat mengalihkan pikirannya. Namun, apa yang ia temukan justru membuatnya semakin gelisah. Sebuah pesan dari Cakra, pria dari masa lalunya yang selama ini ia hindari, muncul di layar ponselnya.“Bella, kita perlu bicara. Ada hal penting yang harus kamu tahu.”Pesan itu sederhana, tapi cukup untuk membuat hati Bella berdegup kencang. Nama Cakra membawa kenangan yang sudah lama ia kubur. Ia adalah bagian dari masa lalu Bella yang penuh liku, seseorang yang pernah membuatnya merasa dihargai sekaligus dikhianati.Bella menggigit bibirnya, mencoba memutuskan apakah ia harus membalas pesan itu atau mengabaikannya. Tapi pikiran
Restoran dengan lampu temaram itu terletak di pinggiran Dubai, jauh dari gemerlap gedung pencakar langit. Ain duduk di meja paling sudut, menatap cangkir kopinya yang sudah dingin. Ia datang lebih awal dari waktu yang disepakati. Bukan karena ingin terlihat antusias, tetapi karena jantungnya terus berdegup kencang sejak Alfi menghubunginya. Dua tahun berlalu sejak mereka terakhir kali bertemu, tetapi memori tentang Alfi tidak pernah benar-benar hilang. Wajah Alfi yang selalu tersenyum, suara lembutnya yang menenangkan, dan kenangan manis yang mereka bagi terus menghantui pikirannya. Ain menarik napas panjang ketika melihat pintu restoran terbuka. Sosok yang sangat ia kenal itu melangkah masuk. Alfi masih seperti yang ia ingat—anggun, tenang, dan penuh percaya diri. Perempuan itu mengenakan gaun hitam sederhana, tetapi kehadirannya begitu memikat, seperti dulu. “Ain,” sapanya dengan senyum tipis, menghampiri meja. “Alfi,” Ain menjawab, mencoba terdengar tenang meskipun ada bada
Malam di Dubai terasa lebih sejuk dari biasanya. Angin lembut menyapu balkon suite hotel, membawa aroma laut dari kejauhan. Bella berdiri di sisi balkon, memandang lampu-lampu kota yang memukau. Gaun malam sederhana yang ia kenakan bergerak pelan tertiup angin, membuatnya terlihat seperti bagian dari keindahan malam itu. Ain melangkah keluar dari dalam kamar, membawa dua cangkir teh hangat. Suara langkahnya di lantai marmer menarik perhatian Bella, yang langsung menoleh dan tersenyum kecil. “Terima kasih,” katanya pelan, menerima satu cangkir. Mereka berdua berdiri berdampingan, menatap pemandangan malam yang memukau. Tidak ada yang berbicara untuk beberapa saat, hanya keheningan yang terasa nyaman di antara mereka. Namun, Bella bisa merasakan detak jantungnya semakin cepat. Kedekatan Ain malam itu membuatnya merasa seperti melupakan semua kerumitan hidupnya, meskipun hanya sesaat. “Aku tidak pernah membayangkan bisa berada di tempat seperti ini,” Bella akhirnya berkata, memecah
Pagi itu, Bella berdiri di balkon kamar hotelnya, memandangi pemandangan kota Dubai yang dipenuhi kemewahan. Angin sejuk meniup rambutnya, tetapi rasa gelisah di hatinya jauh lebih kuat daripada apa pun yang bisa ia rasakan di luar. Keputusan yang telah ia buat semalam terus bergema di pikirannya: ia harus kembali ke Indonesia. Semua yang terjadi dalam beberapa hari terakhir telah membuatnya lelah secara emosional. Pertemuan tak terduga dengan Cakra, konfrontasi di balkon, hingga ancaman terselubung yang dilontarkan oleh pria itu—semuanya telah mencapai puncaknya. Bella merasa bahwa meninggalkan Dubai adalah satu-satunya cara untuk memberinya ruang bernapas. Dengan hati yang berat, ia mulai mengemas barang-barangnya. Setiap pakaian yang dilipat ke dalam koper seolah-olah mewakili satu kenangan yang harus ia tinggalkan. Ketika ia mencapai meja kerja di sudut ruangan, matanya tertuju pada bingkai foto kecil yang ia bawa dari kantor—foto bersama timnya, termasuk Ain. Ia mengambilnya,
Langit pagi itu menyapa mereka dengan keheningan yang aneh, seolah turut merasakan keputusan besar yang baru saja mereka buat. Di luar jendela, langit yang cerah membentang tanpa awan, menyiratkan kebebasan yang akhirnya mereka ambil—setelah begitu banyak waktu terperangkap dalam kebingungannya masing-masing.Bella berdiri di samping jendela rumah sakit, tatapannya kosong, tetapi ada sedikit cahaya yang memantul di matanya. Ia memandang ke luar, mencoba menangkap perasaan yang mulai tumbuh dalam dirinya. Beberapa hari yang lalu, segala sesuatunya terasa berat, seperti beban yang tak terangkat. Namun hari ini, ada sesuatu yang berbeda. Ada secercah harapan, meskipun itu terasa rapuh."Ain," suara Bella terdengar lirih, namun penuh arti. Ain yang duduk di dekat ranjang, menatapnya dengan penuh perhatian, menyadari ada sesuatu yang baru dalam diri Bella."Apa?" jawab Ain, suaranya lebih lembut dari sebelumnya. Ia menatap Bella, sedikit ragu, tetapi juga penuh
Hujan masih turun dengan deras saat Ain menggenggam tangan Bella lebih erat, memimpin langkah mereka yang semakin lesu menuju rumah sakit terdekat. Bella terhuyung lemah di sampingnya, tubuhnya masih terguncang oleh apa yang baru saja mereka alami, dan lebih dari itu, hati Bella terbelenggu oleh rasa takut yang semakin dalam.Ain tidak tahu harus bagaimana. Setiap langkah yang mereka ambil semakin menjauh dari tempat di mana Alfi berjuang sendirian. Setiap detik yang berlalu semakin membuat rasa bersalahnya membengkak. Di dalam kepalanya, hanya ada satu pertanyaan yang terus berputar: Apakah mereka telah membuat keputusan yang benar? Apakah mereka seharusnya kembali untuk Alfi?Lalu, saat matanya tertuju pada wajah Bella yang semakin pucat, rasa bersalah itu semakin mencekiknya. Mungkin seharusnya dia tidak membiarkan Bella pergi begitu saja. Seharusnya mereka bertahan, berdua, bersama Alfi. Tapi kenyataannya, mereka melarikan diri. Kini, mereka berada di tempat yang j
Hujan turun deras malam itu, mengguyur tanah dengan keteguhan yang sama seperti perasaan Bella. Setiap tetes yang menyentuh kulitnya terasa seolah membawa berat dunia yang tak bisa lagi ia tanggung. Angin dingin menyapu wajahnya, dan langkahnya yang terhuyung-huyung semakin sulit untuk dipertahankan. Bella mencoba berlari, meskipun kaki dan pikirannya seolah menentang niatnya.Cakra, dengan segala kekuatannya, telah mengejarnya, dan kali ini, ia tidak berniat untuk melepaskannya begitu saja. Saat Bella mencoba melarikan diri dari tempat yang semula ia kira aman, Cakra yang penuh amarah melesatkan ancaman yang lebih tajam dari pisau, membuat setiap keputusan Bella terasa semakin sulit. Dan meski hujan tak pernah berhenti, air mata Bella ikut bergulir, membasahi pipinya.Kakinya tersandung sebuah batu besar di tengah jalan, tubuhnya terjatuh ke tanah basah dengan keras. Sebuah rasa sakit yang tajam melilit di pergelangan kakinya, dan ia pun meringis. Cakra sudah terlalu
Pagi itu, sinar matahari mengalir lembut melalui sela-sela pepohonan yang tinggi, menyinari jalan setapak yang berkelok menuju desa terpencil. Ain dan Alfi berjalan bersama, langkah mereka mantap meski ada beban yang tak terungkapkan dalam setiap langkah itu. Mereka telah menempuh perjalanan jauh, melewati hutan-hutan dan bukit-bukit, demi satu tujuan yang kini ada di depan mata mereka: menemukan Bella.Ain memegang secarik kertas yang didapatnya dari pria tua yang bertemu dengannya kemarin. Pada kertas itu tertulis alamat yang mereka yakini sebagai tempat tinggal Bella. Namun, meskipun mereka semakin dekat, ada perasaan cemas yang menggantung di udara—perasaan yang tidak bisa disembunyikan oleh keduanya."Ain, kamu yakin ini tempatnya?" tanya Alfi, menatap peta di tangannya. Suaranya sedikit serak, menandakan betapa lelahnya mereka setelah perjalanan panjang ini.Ain mengangguk pelan, matanya tertuju ke jalan yang semakin menyempit, tanda bahwa mereka sem
Pagi itu, langit seakan merasakan beban yang tengah dipikul oleh hati manusia. Cahaya matahari yang biasanya begitu cerah, tampak muram, seperti tidak ingin ikut campur dalam kisah yang sedang berlangsung. Di sebuah apartemen yang terletak di lantai lima sebuah gedung tua, Bella berdiri di balik tirai yang memayungi dunia luar. Wajahnya yang dulu cerah kini pucat, seperti langit yang enggan tersenyum.Di sekelilingnya, dunia masih begitu tenang—tapi tidak di dalam hatinya. Di dalam hatinya, badai berputar. Cakra tidak tahu, dia tidak akan tahu, apa yang ada di dalam jiwa Bella. Namun Bella tahu satu hal pasti—dia tidak bisa tinggal di tempat ini lebih lama lagi.Matanya menatap ponsel di tangannya. Pesan itu—pesan yang ditulis dengan begitu hati-hati—seakan membawa Bella kembali ke sebuah tempat yang dulu ia kenal, tempat yang penuh dengan harapan, namun juga terperangkap dalam kenangan pahit. Bukit Kenangan. Tempat yang tak pernah benar-benar b
Malam menggantung seperti tirai kelabu yang penuh debu sejarah. Di kejauhan, suara klakson kendaraan terdengar samar-samar, seperti orkestra sumbang yang dimainkan oleh waktu. Ain berjalan menyusuri lorong sunyi menuju rumah Alfi, sahabat yang selalu menjadi labuhan dari setiap badai dalam hidupnya. Hujan yang tadi turun deras kini hanya menyisakan aroma tanah basah dan titik-titik gerimis yang jatuh malas ke bumi, seolah mereka pun enggan mengganggu ketenangan malam.Langkah Ain terhenti di depan pintu kayu tua yang sudah mulai lapuk di bagian ujungnya. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum mengetuk. Ketukan pertamanya pelan, ragu-ragu—seperti perasaannya sendiri. Namun, ketukan kedua terdengar lebih mantap, sebuah keputusan yang sudah lama dipendam. Tidak sampai sepuluh detik, pintu itu terbuka, memperlihatkan sosok Alfi dengan senyum yang sama seperti dulu: hangat, tenang, dan penuh pengertian."Ain?" Alfi menyipitkan matanya, tampak heran melihat wajah sahabat
Malam itu, Ain duduk sendirian di ruang tamu rumah kontrakannya yang kecil, menikmati kesunyian yang jarang ia rasakan. Setelah seharian bekerja keras, ia merasa sedikit lebih lega karena malam ini tidak ada pekerjaan menumpuk yang harus ia selesaikan. Ia memutuskan untuk mengambil waktu sejenak untuk dirinya sendiri, beristirahat dari segala kewajiban yang selalu mengikatnya. Hujan yang turun di luar jendela menciptakan ketenangan yang nyaman, suara tetesan air menenangkan pikirannya yang terkadang penuh dengan kekhawatiran.Tiba-tiba, ponselnya berbunyi, memecah keheningan yang nyaman itu. Ain melirik layar ponsel yang tergeletak di sampingnya di meja kecil, dan melihat ada pesan masuk. Nomor yang tertera adalah nomor yang tidak dikenalnya. Tanpa berpikir panjang, Ain membuka pesan tersebut. Pesan itu singkat, hanya terdiri dari beberapa kalimat yang langsung menarik perhatian. Meskipun tidak ada nama yang tercantum, Ain merasa seolah-olah ada sesuatu yang sangat pribadi dan mendala
Hujan masih mengguyur dengan deras, menciptakan irama yang semakin mendalam dalam kesunyian malam. Cakra berdiri di dekat jendela, matanya terfokus pada langit yang kelam, namun pikirannya jauh melayang. Sejak beberapa minggu terakhir, ia mulai merasakan ada yang berbeda dengan Bella. Wanita yang biasanya ceria dan terbuka, kini terlihat lebih sering menarik diri, menghindar dari percakapan dan cenderung menyimpan rahasia.Cakra mencoba mengabaikan perasaan curiga yang mulai merayap dalam dirinya, namun setiap kali ia berusaha mendekati Bella, ada dinding tak terlihat yang menghalangi. Perubahan kecil, seperti ketidakhadirannya dalam percakapan yang biasanya penuh tawa, atau wajahnya yang tampak murung, membuat Cakra semakin gelisah. Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah Bella sedang menyembunyikan sesuatu darinya?Di satu sisi, Cakra merasa bingung. Ia tahu, dalam hubungan mereka, kejujuran adalah hal yang selalu dijunjung tinggi. Namun, apa yang bisa dia lakukan jika Bella malah semak
Langit Puncak yang biasanya sejuk dan menenangkan terasa seperti penjara bagi Bella. Vila kecil tempat ia tinggal bersama Cakra dikelilingi oleh pepohonan rindang dan udara segar, tetapi keindahan itu tidak mampu mengusir rasa sesak yang terus menghantuinya. Ia duduk di tepi ranjang, memandangi jendela yang terbuka lebar, membiarkan angin pagi masuk ke dalam kamar. Namun, angin itu tidak membawa ketenangan—hanya mengingatkan Bella pada kebebasan yang kini terasa begitu jauh dari jangkauannya.Sudah beberapa minggu sejak ia memutuskan untuk kembali ke Cakra. Keputusan itu bukanlah sesuatu yang ia buat dengan mudah; ia tahu betul risiko yang datang bersamanya. Namun, tekanan emosional dan perasaan tidak punya tempat lain untuk pergi membuatnya merasa tidak memiliki pilihan lain. Cakra, dengan segala janji manisnya, telah meyakinkannya bahwa mereka bisa memulai kembali dari awal—bahwa hubungan mereka bisa diperbaiki.Pada awalnya, Bella mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa keputusan