Home / Romansa / Asmaraloka / Menjadi Kita Semudah Membalik Telapak Tangan

Share

Menjadi Kita Semudah Membalik Telapak Tangan

Author: Ainun Qolbi
last update Last Updated: 2021-07-26 09:54:27

“Trust me, kita bisa mulai semuanya dari awal lagi” pinta Alfi dengan mata yang mulai menahan air mata yang ingin keluar, ia mulai emosional.

Hening sejenak.

Ain menghela nafas perlahan, “Sorry, i can’t do that anymore” Ain menjawab dengan intonasi penekanan di bagian ‘anymore’

“A, aku janji” air mata Alfi sudah tidak dapat dibendung lagi, tumpah ruah di sepasang pipi mungil di antara hidung yang mancung.

Diluar kaca restoran, hujan gerimis membasahi bumi, orang lalu lalang sibuk bergegas pulang dari kantor, ada yang meneduh di toko yang sudah tutup, ada juga yang menerabas gerimis hujan karena mungkin tergesa-gesa. Keadaan hatiku saat ini tak jauh beda dari lima tahun silam. ‘Alfi selalu mempesona’. Guman Ain dalam hati.

“Janji? Udah berapa kali aku dengar kata itu Fi?” Ain tidak memperdulikan air mata itu. Menjawabnya dengan tersenyum getir.

“Waiters!!” Seru Ain.

Ain menyodorkan selembar uang seratus dolar kepada waiters yang datang.

“Ini untuk bill meja nomor enam, kembaliannya ambil aja” ujar Ain kepada waiters.

Merasa di situasi yang canggung karena melihat perempuan sedang menangis di depan pelanggan yang menyodorkan uang seratus dolar, waiters itu hanya mengangguk pelan lalu pergi.

Itu kan Ainun Qolbi, pemilik tunggal perusahaan properti yang semua orang pasti tahu, dan wanita itu, siapa?’  guman waiters dalam hati.

“A, kamu ga bisa tinggal lebih lama lagi?” Alfi kembali memulai percakapan, mencoba menahan Ain lebih lama lagi. “Aku ingin jelasin kesalahpahaman ini” lanjutnya.

………………..

Aku adalah Ainun Qolbi, pemilik tunggal perusahaan properti terbesar di lampung. Semua perusahaan swasta maupun pemerintah paham betul dengan manuver perusahaan Ainun Qolbi.

Perusahaanku memiliki rekam jejak tersingkat dan bersih di bidang properti, dan mulai beberapa bulan yang lalu aku melebarkan sayap perusahaan dibidang makanan, tepatnya restoran yang sedang menjadi tempat aku dengan Alfi bertemu, itu sudah menjadi restoranku.

Semua karyawan memang belum pernah bertemu secara langsung dan formal denganku, karna dibidang restoran, aku telah mengerahkan sepenuhnya ke Amin, tangan kananku sekaligus pemimpin perusahaan Ainun Qolbi dibidang makanan.

Aku bisa setenar dan sebesar ini seperti sekarang karena Alfi. Seorang wanita yang telah merubah cara pandang hidupku sampai aku menjadi seorang bos besar. 

Saat kami masih bersama, lima tahun silam, kami telah merencanakan trip keliling dunia yang dimulai dari Dubai karena Dubai merupakan negara yang paling diinginkan Alfi jika dia bisa jalan-jalan keluar negeri.

Dimulai dari Dubai, lalu menginap di Maldives yang terkenal dengan tempat serpihan surga, setelah itu menikmati sunset di Turki sambil melihat pemandangan balon udara. Mengunjungi kota teromantis di dunia, Paris dengan kemolekan menara eiffel.

Aku ingat betul janji yang kita pegang bersama saat itu, Alfi tersenyum gembira dengan semua rencana janji kita keliling dunia. ‘Bawa aku kemanapun kamu pergi’ pintanya saat itu. Sudah lama sekali aku tidak melihatnya segembira hari itu.

…………..

Namaku Alfisar Nur Ilma, aku wanita egois dengan orang tua yang harus dirawat karena menderita penyakit stroke. Aku hanya seorang wanita biasa yang pendidikannya hanya setingkat menengah atas, aku tidak seberuntung wanita diluar sana yang dapat menikmati bangku kuliah. Aku harus membantu ekonomi keluarga karena keadaan. Aku harus dewasa, sebelum waktunya.

Keluargaku broken home saat usiaku sekelas anak SMP kelas dua, aku memiliki satu adik perempuan yang sangat aku sayangi, satu-satunya adik yang menjadi alasanku tetap tegar menghadapi kenyataan. Mungkin kalau aku tidak memiliki adik perempuan, aku sudah menjadi salah satu penghuni kolong jembatan karena menderita gila.

Ain adalah laki-laki terbaik yang pernah aku temui selama ini, yah memang terbaik, bahkan Ain lebih baik dari ayahku sendiri. Ayahku adalah kekecewaan terbesar dalam hidupku. Begitulah, seorang ayah bisa menjadi cinta pertama sekaligus menjadi kekecewaan terbesar bagi anak perempuannya.

Pertemuanku pertama dengan Ain tidak ada yang istimewa, semua biasa saja. Sebelum menjadi bos besar, Ain adalah seorang yang bekerja disalah satu klinik swasta tempat mama dan nenek menjalani terapi rawat jalan pasca serangan stroke.

Mama dan nenek menjalani terapi seminggu sekali, yang berarti ritme pertemuanku dengan Ain juga seminggu sekali.

Awal mula, hanya perasaan kagum seorang perempuan terhadap laki-laki yang mulai tumbuh, padahal aku kira perasaanku sudah mati saat ayah pergi meninggalkan mama. Yah, Ain adalah satu-satunya orang yang berhasil menumbuhkan rasa sukaku yang selama ini sudah lama hilang.

Ain sama sekali tidak butuh effort yang lebih untuk menumbuhkan rasa kagum terhadapnya, Ain tidak melakukan apapun, aku yang terbuai dengan gerak geriknya, kelincahan nya, ucapannya yang begitu lancar menjelaskan penyakit mama, dan puncaknya adalah dimana keajaiban tangannya yang dapat menyembuhkan sakit leherku, seketika.

……………

Ain menatap wajah Alfi lamat-lamat.

“Jelasin apa lagi Fi?” Jawab Ain dengan nada yang sebisa mungkin terlihat normal, sembari mengenakan jaket abu-abu, bersiap untuk pergi.

Hening lagi sejenak.

“Plis A, aku mohon untuk terakhir kalinya beri aku kesempatan untuk jelasin, aku gatau kalo kejadiannya bakal kaya gini”. Alfi memohon dengan cemas yang membuat suaranya semakin mengecil, kalah dengan isak tangis.

“Fi, i can’t trust you, jadi semua yang mau kamu jelasin itu percuma, aku ga akan percaya” Ain menjawab getir: bohong.

“Oke gapapa, kalo gitu dengerin aku ngomong, setelah itu terserah kamu” Alfi tetap ngotot.

Oh tidak, aku gamau tenggelam terlalu dalam lagi berurusan denganmu Alfi, kamu adalah sumber kelemahan dan kekuatan terbesarku selama ini’.

“Percuma, buang-buang waktu, kamu udah punya anak, siapa namanya? Kalo ga salah Ainun ya? Fi, sampai kapan kamu masih nginget aku terus?…”

“Lima menit A, dengerin aku ngomong lima menit aja, kalo memang kamu sudah ga peduli lagi setelah itu, aku sudah pasrah” potong Alfi, itulah cara terakhir membujuk Ain.

……………

Alfi, bahkan aku masih ingat nama lengkapnya setelah bertahun-tahun tidak bertemu. Wanita yang sudah kuberikan berkali-kali kesempatan untuk berbohong.

Aku masih ingat bagaimana dia berbohong untuk pertama kali, saat itu kami mulai menjalin komunikasi setelah dia meminta nomorku. Kami akrab dan obrolan kami nyambung, bahkan chat sampai tengah malam, tapi satu yang aku curigai waktu itu, dia sangat susah untuk di telpon.

Selalu berpikir positif ternyata tidak baik dalam hubungan yang mulai melibatkan rasa suka, kamu akan dituntut untuk selalu berpikir positif bahkan disaat kamu sudah tidak mempunyai alasan logis untuk itu.

Setiap kali aku ingin nelpon, dia selalu menghindar dengan segudang alasan, mulai dari ditelpon ayah padahal itu hampir tengah malam, lagi ga mood padahal waktu itu baik-baik saja, sampai tiba-tiba menghilang gitu aja kalau sudah menyangkut masalah telpon.

Aku mulai hafal ritme chattingan kita, menurutku banyak sekali kejanggalan yang aneh dan tidak dapat ditoleransi lagi, tapi selalu berpikir positif dapat membuatku sadar tapi pura-pura terlihat baik-baik saja bahwa aku sedang dibohongi, atau setidaknya aku tahu dia sedang menyembunyikan sesuatu.

…………

“Apa yang mau kamu jelasin Fi? Coba lihat aku sekarang, aku sudah menjadi bos besar seperti yang aku janjikan ke kamu dulu, aku udah punya uang untuk bebasin kamu dari hutang budi keluarga itu, aku udah pesen semua tiket pesawat untuk perjalan trip kita keliling dunia, aku udah pesen semua hotel yang akan kita inapin, bahkan aku juga udah pesen bidan yang akan ngerawat mama saat kita tinggal pergi.

Tapi apa yang aku peroleh dari semua usahaku Fi? waktu aku ingin nunjukin semua surprise itu ke kamu, surprise yang sudah aku siapin bertahun-tahun lamanya, malah yang aku dapetin adalah kamu udah punya anak, aku bahkan batalin semua skedul rapat yang kalo itu ditaksir aku rugi sembilan digit angka Fi, hanya untuk apa coba? hanya untuk menemui pak Mijan, lurah desamu, aku ingin memastikan dengan benar apakah itu anakmu atau bukan, dan ternyata yang tertulis di KK itu memang benar anakmu. Aku bahkan masih ingat nama anakmu itu Fi, Afnan Ainun Qolbi” Ain menjelaskan panjang lebar, mengeluarkan semua yang selama ini ia pendam, sambil menahan getir yang amat sangat.

Alfi hanya duduk terdiam dikursi, otak dan tubuhnya belum bisa menerima dan percaya semua yang dilakukan Ain kepadanya selama ini.

Ain melanjutkan “saat aku tahu itu anakmu Fi, aku pulang kerumah menemui orang tuaku dan bilang bahwa aku sudah pasrah mau dicarikan jodoh sama siapa, coba lihat jari manis tangan kananku ini Fi, ini adalah cincin tunangan, aku sudah bertunangan minggu lalu, memang benar wanita itu tidak begitu kucintai, tapi dia cukup baik kepadaku dan dapat mengobati hatiku yang selama ini hancur karenamu Fi. Jadi semua yang ingin kamu jelaskan sekarang itu sudah ga ada pengaruh apapun, ga akan merubah apapun. Dulu waktu aku belum bisa apa-apa untuk hubungan ini, aku hanya bisa membuat janji agar kita bisa hidup bareng, sekarang setelah aku punya segalanya untuk menebusmu, bahkan untuk menjadikan kita semudah membalik telapak tangan, tapi apa yang aku dapat dari semua usahaku ini Fi?” Ain menjelaskan dengan menahan air mata yang memberontak untuk keluar. ‘Shit, aku sudah mempersiapkan diriku untuk menghadapi momen ini tapi tetap saja aku belum siap.

……………..

Saat itu adikku berhasil kubiayai untuk kuliah di jurusan manajemen syariah disalah satu universitas di bandar lampung. Adikku adalah seorang wanita yang pintar, berpendirian teguh, selalu mendapat rangking saat SMA, namun dibalik itu semua adikku juga memiliki segudang trauma yang sama denganku.

Saat itu sepulang dari kerja, aku melihat adikku pulang kerumah, menangis di hadapan mama sambil bersimpuh di kakinya. Aku tidak tahu perihal apa dia tiba-tiba pulang dan menangis sebegitu dalamnya. Adikku sosok yang tegar, dan selama aku tinggal bersamanya, aku hanya melihat dia menangis sekali saat ayahku pergi, dan aku melihatnya menangis yang kedua kalinya sekarang.

Aku tahu pasti bukan masalah sepele hingga dia menangis di hadapan mama, mama juga menangis, apa yang harus kuperbuat?

Seketika itu juga, aku terpaku di tempat, tak pernah terbayangkan sedikitpun adikku melakukan perbuatan yang tidak pantas, aku tahu keluargaku broken home, ayah meninggalkan kami, dan kami hanya keluarga kecil yang terdiri dari tiga orang, mama, aku, dan adikku Icha. Tapi Icha, kenapa kamu melakukan hal setega itu?.

Aku menjadi kepala keluarga meskipun aku perempuan, mengambil alih semua tanggung jawab dan permasalahan dalam keluarga, seperti yang telah kubilang di awal, aku perempuan dewasa sebelum waktunya.

Icha hamil, dan kandunganya telah memasuki bulan ke empat, sedangkan icha sudah menginjak semester enam. Mahasiswi yang ketahuan hamil diluar nikah akan drop out, yang berarti mimpi icha akan luntur seketika itu juga.

Entah apa yang kupikirkan saat itu, aku memutuskan untuk mengasuh dan mengatasnamakan anak Icha menjadi anakku, semua itu ku lakukan agar Icha dapat meraih mimpinya. Aku tidak akan membiarkan seorang anak yang ia kandung menghalangi mimpi adikku.

Semua berjalan lancar, Icha lulus dengan predikat cumlaud, dan anak itu, menjadi anakku, aku menamainya Afnan Ainun Qolbi, dan tertulis di kartu keluargaku sendiri, seorang ibu dengan satu orang anak tanpa ayah.

Satu masalah tentang adikku selesai, kini saatnya aku menyelesaikan masalahku sendiri agar terbebas dan aku dapat dimiliki oleh Ain seutuhnya.

Aku memiliki hutang budi dengan sebuah keluarga yang selama ini tidak dapat kubayar, hutang budi ini yang menjadi tembok penghalang hubunganku dengan Ain.

Keluarga itu memiliki seorang bujang bernama Putra, dan Putra menyukaiku, menganggapku sebagai kekasihnya, dan sialnya aku sama sekali tidak berdaya untuk menolaknya.

Hutang budi itu berawal saat mama sakit, semua biaya rumah sakit ditanggung oleh keluarga Putra, saat itu aku tidak mengerti apa yang mereka lakukan, tapi lambat laun, aku paham apa yang mereka mau.

Putra sudah hampir melamarku berkali-kali, tapi berkali-kali juga aku beralasan belum mau menikah kalau mama belum sembuh. Itulah satu-satunya benteng yang kupunya agar aku tidak dimiliki oleh orang lain kecuali Ain.

Hari-hari kuhabiskan untuk dagang dan bekerja, pagi hari aku menjadi pedagang, sore hari aku bekerja sebagai penjaga toko dan tidak ada hari libur. Hari demi hari aku selalu menyisihkan uang dari hasil keuntunganku berjualan, itu tidak mudah, aku harus super hemat, aku tak pernah beli skin care, perawatan wajah seperti yang dilakukan wanita seusiaku, riasan yang kupakai hanya lipstik dan bedak, semua pengeluaran dihemat agar aku bisa menabung. Terkadang harus kupakai untuk beberapa kepentingan kuliah adikku.

Setelah jerih payah menabung bertahun-tahun, akhirnya terkumpullah uang yang cukup untuk membayar hutang budiku. ‘Tunggu aku Ain, tinggal sebentar lagi aku akan meruntuhkan tembok penghalang kita’.

Setelah cekcok lumayan lama, akhirnya keluarga Putra mau menerima uang sebagai ganti balas budiku, dan dengan ga enak hati aku menjelaskan semuanya agar dapat mereka terima dan masuk akal.

Aku tahu Putra orang baik, penyayang, dan menerimaku apa adanya, tapi sayangnya aku tak pernah bisa untuk menyukainya meskipun berkali-kali kucoba. Hatiku hanya terkunci oleh satu nama; Ain.

…………..

Saat itu aku berada di Singapura, sedang mempersiapkan kantor pusat untuk perusahaanku karena sebentar lagi aku akan membawa perusahaan ini menuju kancah global. Tiba-tiba  ponsel pribadiku berbunyi. Aku sudah lupa kapan terakhir kali ponsel pribadiku berbunyi, karna hanya segelintir orang saja yang tahu nomor pribadi milikku, jika ada yang menghubungi, berarti itu adalah seseorang dari masa lalu yang kukenal.

“Aku ingin bertemu nanti malam, ditempat pertama kali kita makan bareng”.

Aku terkejut dengan siapa yang mengirim pesan tersebut, kubaca berkali-kali nama itu tetap saja sama, “Alfi” malaikat manisku.

Aku terbang ke Indonesia setelah susah payah mengatur dan menunda jadwalku di Singapura, semua staf dan kolegaku heran kenapa aku menunda dan membatalkan beberapa acara yang harus kuhadiri, karna selama ini aku sekalipun tidak pernah melakukan hal tersebut.

“Aku harus menyelesaikan semuanya malam ini”.

…………

Ain menghelas nafas panjang, berusaha memutus suasana canggung lima menit terakhir, “Dah ya, semuanya sudah cukup, ga ada lagi yang perlu dijelasin”.

Ain berjalan menuju pintu keluar restoran dengan perasaan yang campur aduk, setengah dari dirinya sama sekali tidak tega dengan apa yang ia perbuat kepada Alfi.

Terdapat tong sampah tepat di samping pintu keluar restoran, Ain melepaskan cincin di jari manisnya, membuangnya ke tong sampah. Cincin itu hanya imitasi yang Ain beli di penjual asongan yang ia temui di tengah perjalanan menuju restoran. ‘Ternyata ada gunanya juga aku beli cincin ini.’

Related chapters

  • Asmaraloka   Lembur

    Pagi itu Bella telah menandatangani beberapa map yang telah menumpuk di mejanya, melihat jam di layar hp ‘masih pukul sembilan’.Bella iseng membuka aplikasi chat kemudian mengirim sederet pesan “A, seminggu ini aku udah menyelesaikan beberapa urusan untuk minggu depan, aku juga sudah membuat pengumuman skedul jadwal, aku siap untuk tur kita.”Bella tersenyum manis, pipinya merah merona saat malu-malu, aduhai aku sudah lama sekali tidak bahagia seperti ini.Di Ujung sana, Ain membuka layar ponselnya, pesan di nomor pribadi. Selesai memimpin rapat kecil yang membahas tentang tujuan jangka panjang. Melihat isi pesan tersebut Ain merasakan kelegaan yang menyusup bercampur dengan rasa bersalah.Ain membuang jauh-jauh perasaan tersebut, ia ber

    Last Updated : 2021-07-26
  • Asmaraloka   Cinta Tanpa Rasa Percaya

    Cinta tanpa kepercayaan bagaikan perahu yang berlayar tanpa nahkoda, terombang ambing tanpa tujuan, hanya menunggu waktu hingga kapal tersebut menyerah, karam. Dua hari sebelum keberangkatannya ke Dubai, Ain mengunjungi makam ibunya, di pusara itu ia mengusap nisan ibunya, berkeluh kesah tentang hidupnya yang selama ini merasa sendirian. “Ma, mama apa kabar disana? Pasti mama baik-baik saja kan. Maaf ya ma aku kesini cuma ngeluh terus sama mama. Sekarang juga gitu ma” Ain tersenyum sejenak. “Ma masalahku saat ini bukan lagi tentang susahnya cari uang, aku udah cukup untuk dibilang berhasil ma, sekarang perusahaanku sudah mau buka cabang di Singapura ma, yang mau aku tanyakan sebenarnya cinta itu butuh pengorbanan nggak sih ma? Ma, selama ini aku memang jarang banget bahkan hampir ga pernah sama sekali membahas te

    Last Updated : 2021-07-27
  • Asmaraloka   Sisi Gelap

    Sambil mengantuk dengan nyawa yang belum sepenuhnya terkumpul, Alfi mencuci nasi untuk dimasak, ibunya masih solat subuh, pukul lima pagi. Beberapa persiapan harus setiap hari dilakukan seperti memasak, mencuci baju, dan membuat pesanan es buah untuk pelanggan. Selain bekerja menjaga toko, Alfi juga mempunyai sampingan jualan es, hasilnya sudah jelas untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pagi itu Alfi mendapat kabar baik dari adiknya, Icha berhasil lolos seleksi berkas disebuah perusahaan besar, dan akan segera interview beberapa hari kedepan. Perusahaan itu cukup bagus, karena untuk kandidat yang lolos seleksi, akan dibiayai sepenuhnya untuk perjalanan ke Jakarta. Icha lolos seleksi dan hanya menyisakan tiga calon kandidat, peluang keterima besar, tapi masi harus seleksi tes terakhir dengan langsung pemilik perusahaan tersebut. Alfi bersyukur adiknya mendapat pekerjaan yang baik disebuah perusahaan properti di Jakarta, tidak seperti dirinya yang harus merelakan semua impiannya sejak

    Last Updated : 2022-05-21
  • Asmaraloka   Cakra

    Sore itu cakra menyelesaikan repitisi tetakhirnya, menutupnya dengan lari treadmill sejauh 7 kilo. Cakra mengelap peluhnya yang mengalir dimuka, otot biceps yang kekar dan dada lebar dengan bulu-bulu tipis menyelimuti permukaan kulit membuatnya semakin menawan.Cakra seorang pekerja kantoran yang menghabiskan waktu weekend di gym, dia menjadi member tetap gym Central di Jakarta sejak 3 tahun yang lalu. Cakra selalu dilirik beberapa wanita musiman yang datang kengym cuma beberapa kali lalu berhenti, diujung ruangan wanita tersebut sedang memperhatikan Cakra sambil mengangkat barbel, Cakra tahu jika dia sedang menjadi pusat perhatian.Cakra tidak menghiraukan itu, dalam pikirannya hanya terpaku pada Bella, jarang sekali bahkan tidak pernah Bella menolak untuk diajak bertemu kencan, tapi saat ini Bella tiba-tiba pamit pergi dan tidak mengatakan pergi kemana.Cakra merasa gagal karena di telah menyiapkan surprise yang akan diberikan ke Bella, yaitu cincin pernikahan, Cakra berencana akan m

    Last Updated : 2022-05-21
  • Asmaraloka   Burj Al Arab

    Setibanya di Dubai, Ain telah memesan hotel salah satu yang tertinggi di Dubai, yaitu Burj Al Arab, Ain memesan hotel dengan king bed, dengan pemandangan yang langsung mengarah pada pantai Jumeira, salah satu destinasi wisata yang akan mereka berdua kunjungi.“Hei, kamu udah bangun” guman Ain sambil matanya silau terkena sinar matahari pagi.Bella menyikap tirai.Bella mendekati Ain lalu mencium bibir Ain, tidak menjawab.“Minum kopi yuk, kopi bagus untuk menghilangkan bau mulut pagi hari” ucap Bella lembut.“Apa? Mulutku bau?” Tanya Ain sambil mencium bau mulutnya sendiri.Bella tertawa menggoda.“Oiya semalam ponsel kamu bunyi terus, memang siapa yang menghubungi?” Ucap Ain memulai percakapan.Bella menuangkan kopi, membuka cemilan yang dia bawa dari Jakarta dan beberapa roti kering, persiapan untuk sarapan mereka berdua.Bella diam.“Iya tadi udah aku cek, mama yang telvon semalam, mau nitip beberapa oleh-oleh, biasalah, ada aja titipa

    Last Updated : 2022-05-22
  • Asmaraloka   Masa Lalu

    Hubungan Bella dan Cakra mulai renggang saat Cakra ketahuan selingkuh dengan mantannya.“Aku mau kita udahan” ucap Bella sesenggukan.Cakra tidak menjawab, dia hanya diam karena sudah tidak bisa beralasan lagi, dia benar-benar tertangkap basah.“Tolong jangan Bel, aku janji ga akn ngulangin lagi” pinta Cakra.Sembari sesenggukan, suara bela lemah, dia sudah tidak kuasa lagi menumpahkan amarahnya, dia tidak menyangka orang yang selama ini dia sayangi menghianatinya, lebih parahnya kepergok tepat dihadapannya.Malam itu sebenarnya Bella sama sekali tidak berniat keluar, tubuhnya sudah capek bekerja seharian, tapi entah kenap dia ingin keluar sekedar mencari makan dan melepas penat.Bella melihat ponselnya, masih pukul 10 malam, belum terlalu larut untuk keluar cari makan dan mencari udara segar, juga tidak ada pesan dari Cakra, terkahir Cakra bilang badanya demam, jadi dia tidur duluan.Bella menghidupkan mesin motor matic, melewati jalan yang biasa ia

    Last Updated : 2022-05-23
  • Asmaraloka   Jumeirah

    Orang asia tidak butuh berjemur, apalagi menghitamkan kulit, karena mereka dilahirkan di iklim tropis, yang kulit mereka kebanyakan berwarna sawo matang. Itulah yang terjadi pada Bella dan Ain, baru beberapa menit berjemur, mereka sudah meneduh kembali, ke restoran, memesan makanan dan beberapa cemilan khas Arab. Cuaca hari itu sangat cerah, Bella mengambil beberapa foto untuk di unggah dimedia sosial -tentunya tanpa menampilkan Ain disini, karena hubungan mereka masih backstret- viewnya sangat keren dan romantis, pemandangan langsung ke arah laut lepas. Disisi pantai yang membentang luas, dengan pasir putih halus, terdapat gedung menjulang tinggi dengan gaya separuh kubah tidak sempurna, itulah gedung Burj Al Arab, tempat Ain dan Bella menginap. Restoran tersebut menyajikan berbagai makanan dari seluruh penjuru dunia, pesan nasi goreng pun ada, tapi tidak tahu dengan kualitas rasanya. Mengingat koki dari restoran tersebut bukan asli dari Indonesia. Bella memesan pudding dengan ta

    Last Updated : 2022-05-28
  • Asmaraloka   Percikan di Burj Al Arab

    Matahari perlahan tenggelam di balik cakrawala Dubai, meninggalkan langit yang dihiasi semburat jingga keemasan. Dari balkon suite Burj Al Arab yang mewah, Bella dan Ain berdiri berdampingan, menikmati pemandangan laut yang begitu memukau. Angin malam yang sejuk menerpa wajah mereka, memberikan perasaan damai yang langka.Bella mengenakan gaun ringan berwarna pastel, sementara Ain masih dalam balutan kemeja putih dengan kancing atas yang sengaja dibiarkan terbuka. Malam itu, suasana terasa begitu santai, jauh dari tekanan pekerjaan atau konflik pribadi yang biasanya membebani mereka."Aku rasa, tempat ini benar-benar berbeda dari tempat manapun," ujar Bella sambil tersenyum kecil, matanya terpaku pada gemerlap lampu kota yang memantul di permukaan laut.Ain mengangguk pelan. "Ya. Kadang aku berpikir, di tempat seperti ini, segalanya terasa lebih sederhana. Masalah-masalah di luar sana seolah hanya bayangan yang memudar."Percakapan mereka malam itu penuh dengan kehangatan. Bella meras

    Last Updated : 2025-01-13

Latest chapter

  • Asmaraloka   Pelarian yang Membebaskan

    Langit pagi itu menyapa mereka dengan keheningan yang aneh, seolah turut merasakan keputusan besar yang baru saja mereka buat. Di luar jendela, langit yang cerah membentang tanpa awan, menyiratkan kebebasan yang akhirnya mereka ambil—setelah begitu banyak waktu terperangkap dalam kebingungannya masing-masing.Bella berdiri di samping jendela rumah sakit, tatapannya kosong, tetapi ada sedikit cahaya yang memantul di matanya. Ia memandang ke luar, mencoba menangkap perasaan yang mulai tumbuh dalam dirinya. Beberapa hari yang lalu, segala sesuatunya terasa berat, seperti beban yang tak terangkat. Namun hari ini, ada sesuatu yang berbeda. Ada secercah harapan, meskipun itu terasa rapuh."Ain," suara Bella terdengar lirih, namun penuh arti. Ain yang duduk di dekat ranjang, menatapnya dengan penuh perhatian, menyadari ada sesuatu yang baru dalam diri Bella."Apa?" jawab Ain, suaranya lebih lembut dari sebelumnya. Ia menatap Bella, sedikit ragu, tetapi juga penuh

  • Asmaraloka   Pengorbanan yang Terlambat

    Hujan masih turun dengan deras saat Ain menggenggam tangan Bella lebih erat, memimpin langkah mereka yang semakin lesu menuju rumah sakit terdekat. Bella terhuyung lemah di sampingnya, tubuhnya masih terguncang oleh apa yang baru saja mereka alami, dan lebih dari itu, hati Bella terbelenggu oleh rasa takut yang semakin dalam.Ain tidak tahu harus bagaimana. Setiap langkah yang mereka ambil semakin menjauh dari tempat di mana Alfi berjuang sendirian. Setiap detik yang berlalu semakin membuat rasa bersalahnya membengkak. Di dalam kepalanya, hanya ada satu pertanyaan yang terus berputar: Apakah mereka telah membuat keputusan yang benar? Apakah mereka seharusnya kembali untuk Alfi?Lalu, saat matanya tertuju pada wajah Bella yang semakin pucat, rasa bersalah itu semakin mencekiknya. Mungkin seharusnya dia tidak membiarkan Bella pergi begitu saja. Seharusnya mereka bertahan, berdua, bersama Alfi. Tapi kenyataannya, mereka melarikan diri. Kini, mereka berada di tempat yang j

  • Asmaraloka   Hujan di Atas Luka

    Hujan turun deras malam itu, mengguyur tanah dengan keteguhan yang sama seperti perasaan Bella. Setiap tetes yang menyentuh kulitnya terasa seolah membawa berat dunia yang tak bisa lagi ia tanggung. Angin dingin menyapu wajahnya, dan langkahnya yang terhuyung-huyung semakin sulit untuk dipertahankan. Bella mencoba berlari, meskipun kaki dan pikirannya seolah menentang niatnya.Cakra, dengan segala kekuatannya, telah mengejarnya, dan kali ini, ia tidak berniat untuk melepaskannya begitu saja. Saat Bella mencoba melarikan diri dari tempat yang semula ia kira aman, Cakra yang penuh amarah melesatkan ancaman yang lebih tajam dari pisau, membuat setiap keputusan Bella terasa semakin sulit. Dan meski hujan tak pernah berhenti, air mata Bella ikut bergulir, membasahi pipinya.Kakinya tersandung sebuah batu besar di tengah jalan, tubuhnya terjatuh ke tanah basah dengan keras. Sebuah rasa sakit yang tajam melilit di pergelangan kakinya, dan ia pun meringis. Cakra sudah terlalu

  • Asmaraloka   Jembatan yang Runtuh

    Pagi itu, sinar matahari mengalir lembut melalui sela-sela pepohonan yang tinggi, menyinari jalan setapak yang berkelok menuju desa terpencil. Ain dan Alfi berjalan bersama, langkah mereka mantap meski ada beban yang tak terungkapkan dalam setiap langkah itu. Mereka telah menempuh perjalanan jauh, melewati hutan-hutan dan bukit-bukit, demi satu tujuan yang kini ada di depan mata mereka: menemukan Bella.Ain memegang secarik kertas yang didapatnya dari pria tua yang bertemu dengannya kemarin. Pada kertas itu tertulis alamat yang mereka yakini sebagai tempat tinggal Bella. Namun, meskipun mereka semakin dekat, ada perasaan cemas yang menggantung di udara—perasaan yang tidak bisa disembunyikan oleh keduanya."Ain, kamu yakin ini tempatnya?" tanya Alfi, menatap peta di tangannya. Suaranya sedikit serak, menandakan betapa lelahnya mereka setelah perjalanan panjang ini.Ain mengangguk pelan, matanya tertuju ke jalan yang semakin menyempit, tanda bahwa mereka sem

  • Asmaraloka   Melodi yang Hilang

    Pagi itu, langit seakan merasakan beban yang tengah dipikul oleh hati manusia. Cahaya matahari yang biasanya begitu cerah, tampak muram, seperti tidak ingin ikut campur dalam kisah yang sedang berlangsung. Di sebuah apartemen yang terletak di lantai lima sebuah gedung tua, Bella berdiri di balik tirai yang memayungi dunia luar. Wajahnya yang dulu cerah kini pucat, seperti langit yang enggan tersenyum.Di sekelilingnya, dunia masih begitu tenang—tapi tidak di dalam hatinya. Di dalam hatinya, badai berputar. Cakra tidak tahu, dia tidak akan tahu, apa yang ada di dalam jiwa Bella. Namun Bella tahu satu hal pasti—dia tidak bisa tinggal di tempat ini lebih lama lagi.Matanya menatap ponsel di tangannya. Pesan itu—pesan yang ditulis dengan begitu hati-hati—seakan membawa Bella kembali ke sebuah tempat yang dulu ia kenal, tempat yang penuh dengan harapan, namun juga terperangkap dalam kenangan pahit. Bukit Kenangan. Tempat yang tak pernah benar-benar b

  • Asmaraloka   Langkah yang Tertinggal

    Malam menggantung seperti tirai kelabu yang penuh debu sejarah. Di kejauhan, suara klakson kendaraan terdengar samar-samar, seperti orkestra sumbang yang dimainkan oleh waktu. Ain berjalan menyusuri lorong sunyi menuju rumah Alfi, sahabat yang selalu menjadi labuhan dari setiap badai dalam hidupnya. Hujan yang tadi turun deras kini hanya menyisakan aroma tanah basah dan titik-titik gerimis yang jatuh malas ke bumi, seolah mereka pun enggan mengganggu ketenangan malam.Langkah Ain terhenti di depan pintu kayu tua yang sudah mulai lapuk di bagian ujungnya. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum mengetuk. Ketukan pertamanya pelan, ragu-ragu—seperti perasaannya sendiri. Namun, ketukan kedua terdengar lebih mantap, sebuah keputusan yang sudah lama dipendam. Tidak sampai sepuluh detik, pintu itu terbuka, memperlihatkan sosok Alfi dengan senyum yang sama seperti dulu: hangat, tenang, dan penuh pengertian."Ain?" Alfi menyipitkan matanya, tampak heran melihat wajah sahabat

  • Asmaraloka   Pesan di Malam Sepi

    Malam itu, Ain duduk sendirian di ruang tamu rumah kontrakannya yang kecil, menikmati kesunyian yang jarang ia rasakan. Setelah seharian bekerja keras, ia merasa sedikit lebih lega karena malam ini tidak ada pekerjaan menumpuk yang harus ia selesaikan. Ia memutuskan untuk mengambil waktu sejenak untuk dirinya sendiri, beristirahat dari segala kewajiban yang selalu mengikatnya. Hujan yang turun di luar jendela menciptakan ketenangan yang nyaman, suara tetesan air menenangkan pikirannya yang terkadang penuh dengan kekhawatiran.Tiba-tiba, ponselnya berbunyi, memecah keheningan yang nyaman itu. Ain melirik layar ponsel yang tergeletak di sampingnya di meja kecil, dan melihat ada pesan masuk. Nomor yang tertera adalah nomor yang tidak dikenalnya. Tanpa berpikir panjang, Ain membuka pesan tersebut. Pesan itu singkat, hanya terdiri dari beberapa kalimat yang langsung menarik perhatian. Meskipun tidak ada nama yang tercantum, Ain merasa seolah-olah ada sesuatu yang sangat pribadi dan mendala

  • Asmaraloka   Kebohongan yang Terbongkar

    Hujan masih mengguyur dengan deras, menciptakan irama yang semakin mendalam dalam kesunyian malam. Cakra berdiri di dekat jendela, matanya terfokus pada langit yang kelam, namun pikirannya jauh melayang. Sejak beberapa minggu terakhir, ia mulai merasakan ada yang berbeda dengan Bella. Wanita yang biasanya ceria dan terbuka, kini terlihat lebih sering menarik diri, menghindar dari percakapan dan cenderung menyimpan rahasia.Cakra mencoba mengabaikan perasaan curiga yang mulai merayap dalam dirinya, namun setiap kali ia berusaha mendekati Bella, ada dinding tak terlihat yang menghalangi. Perubahan kecil, seperti ketidakhadirannya dalam percakapan yang biasanya penuh tawa, atau wajahnya yang tampak murung, membuat Cakra semakin gelisah. Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah Bella sedang menyembunyikan sesuatu darinya?Di satu sisi, Cakra merasa bingung. Ia tahu, dalam hubungan mereka, kejujuran adalah hal yang selalu dijunjung tinggi. Namun, apa yang bisa dia lakukan jika Bella malah semak

  • Asmaraloka   Di Antara Dua Dunia

    Langit Puncak yang biasanya sejuk dan menenangkan terasa seperti penjara bagi Bella. Vila kecil tempat ia tinggal bersama Cakra dikelilingi oleh pepohonan rindang dan udara segar, tetapi keindahan itu tidak mampu mengusir rasa sesak yang terus menghantuinya. Ia duduk di tepi ranjang, memandangi jendela yang terbuka lebar, membiarkan angin pagi masuk ke dalam kamar. Namun, angin itu tidak membawa ketenangan—hanya mengingatkan Bella pada kebebasan yang kini terasa begitu jauh dari jangkauannya.Sudah beberapa minggu sejak ia memutuskan untuk kembali ke Cakra. Keputusan itu bukanlah sesuatu yang ia buat dengan mudah; ia tahu betul risiko yang datang bersamanya. Namun, tekanan emosional dan perasaan tidak punya tempat lain untuk pergi membuatnya merasa tidak memiliki pilihan lain. Cakra, dengan segala janji manisnya, telah meyakinkannya bahwa mereka bisa memulai kembali dari awal—bahwa hubungan mereka bisa diperbaiki.Pada awalnya, Bella mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa keputusan

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status