BEGITU asap dan debu luruh, suasana di dalam Gua Lawendra menjadi begitu hening. Tumanggala berada dalam keadaan antara sadar dan tidak. Ia tak dapat menggerakkan sekujur tubuh sama sekali.
Namun sepasang telinga sang prajurit masih dapat menangkap suara-suara, meski samar. Suara yang pertama didengarnya adalah langkah kaki seseorang mendekat ke arahnya.
Itu suara kaki Ranajaya yang menghampirinya sembari membawa dua batang obor. Lelaki bercambang bauk lebat tersebut hentikan langkah setengah depa dari tubuh Tumanggala.
"Agaknya dia sudah mati, Kang," terdengar satu suara dari arah belakang. Yang berkata Sudhatu, satu-satunya anak buah Ranajaya yang masih hidup.
Yang diajak bicara tak langsung menanggapi. Sepasang matanya masih terus mengamat-amati keadaan Tumanggala baik-baik. Lalu dengan sebelah kakinya tubuh si prajurit ditendang hingga terbalik, menjadi telentang. Dalam penglihatannya tak ada tanda-tanda kehidupan sama sekali.
"Pukulan kami men
MALAM di Bhumi Panjalu sudah sempurna dalam kegelapan. Bulan purnama yang tak lagi bulat penuh memancarkan sinar lembutnya di langit. Sang bayu sesekali berembus mengantar hawa dingin.Suasana hening malam berubah riuh manakala lima penunggang kuda melintasi jalan tanah berdebu. Sekitar tiga ratus depa (kira-kira 550 meter) sebelum mencapai tapal batas Kotaraja, mereka berhenti di muka satu gubug kecil."Kita berpisah di sini," kata salah seorang dari mereka.Dalam remang siraman cahaya bulan, masih terlihat jelas jika lelaki paruh baya yang barusan berkata adalah Kridapala. Dengan demikian, lima orang berkuda itu tak lain adalah komplotan yang baru saja mencelakai Tumanggala dan isteri di Gua Lawendra.Sebelumnya, setelah membuang tubuh Tumanggala ke sungai, Ranajaya dan Sudhatu segera menyusul Kridapala dan Wipaksa yang keluar gua lebih dulu. Lalu Triguna yang bertugas mengawasi keadaan agak jauh dari gua, turut bergabung pula.Berlima mere
KRIDAPALA sungguh berotak cerdik, kalau tak mau disebut licik. Ia memanfaatkan betul kepandaiannya bersilat lidah. Sehingga bekel Kerajaan Panjalu itu berhasil meyakinkan Arya Lembana pada cerita karangannya. Sebelumnya, begitu berpencar dengan komplotannya di tepi Bengawan Sigarada (baca lagi Bab 64, Menjalankan Rencana), Kridapala langsung menemui Arya Lembana. Akan tetapi sang senopati tak ada di tempat. Kridapala sempat menunggu dan kembali mendatangi kediaman atasannya itu. Namun agaknya Arya Lembana tengah ada keperluan di istana selama seharian. Kridapala lantas memutuskan untuk menyusul komplotannya ke Gua Lawendra. "Sampaikan pada Gusti Senopati, aku akan kembali datang besok pagi," pesan Kridapala waktu itu, disampaikan pada prajurit penjaga di kediaman Arya Lembana. Dan pagi itu, Kridapala kembali mendatangi kediaman sang senopati. Tentu saja kemunculan bekel kerajaan itu membuat Arya Lembana gusar bukan main. "Setan alas! Ke mana s
DAHI Arya Lembana sontak berkerut dalam mendengar ucapan prajurit yang baru datang. Sepasang matanya memandangi prajurit tersebut lekat-lekat. Setelah beberapa saat sang senopati ingat siapa orang itu. "Kau? Bukankah kau yang ketika itu mengaku sebagai sahabat Tumanggala?" tanya Arya Lembana. Prajurit yang baru datang memang Wyara. Langsung saja ia anggukkan kepala cepat-cepat. "Benar, Gusti, saya Wyara. Saya seharusnya menyampaikan laporan ini kemarin, namun Gusti tidak ada di tempat sampai sore," jawab Wyara dengan nada sedih. Jawaban itu semakin membuat Arya Lembana penasaran. Kabar apa rupanya yang hendak disampaikan? Kelihatannya begitu penting. Senopati itu lantas beri isyarat pada prajurit yang memegangi Wyara agar berlalu. "Katakan, apa yang hendak kau sampaikan padaku?" tanya Arya Lembana kemudian. Sedangkan di tempatnya Kridapala diam-diam mulai berdebar-debar sendiri. Ingin rasanya ia meninggalkan tempat tersebut. Khawatir k
MATAHARI pagi nan hangat menyapa Teluk Secang di selatan Pulau Jawa. Sinar lembutnya menerangi permukaan air laut yang berlomba-lomba ke tepian pantai.Suara ombak berdebur di pantai terdengar ramai. Buih putih yang bertumpuk-tumpuk tertinggal di atas pasir kehitaman nan memanjang.Sementara angin bertiup perlahan, menggoyang daun-daun panjang pohon secang yang masih dihinggapi embun berkilauan. Deretan pohon inilah yang menyebabkan teluk tersebut dinamakan Teluk Secang.Pada dahan-dahan pohon yang lebih tinggi, beberapa ekor burung berkicau riuh sembari bergerak ke sana-sini. Suasana alam yang sangat menenteramkan hati."Oh, sungguh pagi yang begitu sempurna," desah seorang lelaki tua yang baru saja membuka matanya yang cekung.Sepasang pipi lelaki tua itu juga cekung, kalau tak mau dikatakan peot. Sedangkan mulutnya hampir-hampir tak terlihat, tertutup kumis dan janggut panjang yang telah memutih seluruhnya.Rambut panjang lelaki tua itu j
TUJUAN lelaki tua tersebut tidaklah jauh. Sekitar dua ribu tujuh ratus depa (kira-kira 5 kilometer) dari muara terdapat satu percabangan sungai. Di sebelah utara percabangan itu ada hamparan tanah luas.Keseluruhan permukaan tanah luas itu diselimuti rumput tebal menghijau. Sebuah pondok kayu bertiang tinggi tampak berdiri di atasnya. Hanya berjarak beberapa depa dari percabangan sungai tadi.Ke sanalah si lelaki tua membawa Tumanggala. Setibanya di dalam, tubuh sang prajurit dibaringkan ke atas balai-balai kayu."Apa yang terjadi dengan prajurit muda ini? Agaknya dia sempat terlibat perkelahian sebelum terseret aliran sungai sampai ke muara sana," gumam si lelaki tua sembari pandangi sekujur tubuh Tumanggala."Ah, sebaiknya segera aku buatkan ramuan obat untuknya," kata lelaki tua itu lagi.Setelah berkata begitu lelaki tua tersebut melangkah keluar. Sejenak ia berdiam diri di teras pondok. Agaknya tengah menimbang-nimbang. Beberapa helaan napas b
SEMENJAK menemukan Tumanggala di muara, si lelaki tua jadi punya kegiatan baru. Pada pagi hari begitu terang-terang tanah ia akan meninggalkan pondoknya di dekat percabangan sungai.Lelaki tua tersebut pergi ke hutan tak jauh dari pantai. Ia mencari aneka daun, akar, dan tetumbuhan obat lainnya. Utamanya daun dedalu atau gandarusa sebagai pereda nyeri, obat memar, sekaligus penurun panas.Lalu dua atau paling lama tiga kali penanakan nasi berselang lelaki tua tersebut sudah kembali lagi. Sesudah itu ia akan sibuk di bawah, di bagian terbuka di antara tiang-tiang pondok.Di sana, semua bahan obat-obatan yang didapat ia racik dan rebus. Ada juga yang sekedar ditumbuk halus. Ramuan obat yang sudah siap lantas ia bawa naik, untuk diborehkan ke bagian tubuh Tumanggala yang terluka.Sehari sebanyak tiga kali si lelaki tua memborehkan ramuannya. Sementara prajurit Kerajaan Panjalu tersebut masih juga tak sadarkan diri. Entah sudah berapa hari."Apa sebena
DALAM impitan rasa kaget yang begitu kuat, Tumanggala coba mengingat-ingat apa yang telah ia lalui sebelum-sebelumnya. Namun ingatan sang prajurit masih belum kembali sepenuhnya."Terluka katamu, Ki? Bagaimana bisa?" tanya Tumanggala kemudian. Sederet bayangan kejadian mulai melintas di kepalanya."Ya mana aku tahu! Kau yang mendapatkan luka-luka itu, dan itu di tubuhmu, kenapa malah bertanya padaku?" sahut lelaki tua itu, lalu sekali lagi tertawa mengekeh.Agaknya orang ini sangat senang tertawa. Sedikit-sedikit tertawa.Keheranan Tumanggala tambah memuncak. Tapi ia tak hendak bertanya lagi. Hanya otaknya yang diam-diam berpikir keras, terus berusaha mengingat-ingat apa sebenarnya yang telah terjadi padanya.Bayangan-bayangan di kepala sang prajurit mulai menjadi jelas. Ia teringat suatu pagi di Surawana, saat ia tengah berendam di dalam sungai bersama puteranya yang baru berusia tiga tahun."Tapi agaknya luka dalammu sudah pulih, meski mun
MESKI sudah makan kenyang-kenyang dan minus sepuas-puasnya, Tumanggala masih membutuhkan waktu lama untuk sekedar dapat berdiri. Hanya terbaring selama dua puluh hari, serta tanpa asupan makanan maupun minuman sedikit pun, tak heran bila tenaganya sangat lemah.Setelah perutnya terisi dan berulang kali berlatih serta mencoba, barulah selepas tengah hari Tumanggala dapat berdiri tegak serta berjalan. Masih tertatih-tatih, namun sudah jauh lebih baik.Lelaki tua yang menolong prajurit tersebut terlihat sangat gembira melihat itu."Pemulihan tubuhmu terhitung cepat, Anak Muda. Kau juga mempunyai ketahanan tubuh di atas rata-rata. Orang yang tidak sadarkan diri begitu lama biasanya berlanjut pada kematian," ujar si lelaki tua.Saat itu keduanya sedang berjalan ke arah selatan, menyusuri badan sungai yang bermuara ke Teluk Secang. Desau angin menemani langkah mereka. Rambut kedua lelaki berbeda usia itu pun riap-riapan terhalau bayu."Kalaupun kemudian
BEGITULAH kehidupan di dunia. Tak selamanya kegelapan nan muram menyungkupi. Selama bumi masih berputar, maka akan ada saatnya matahari muncul memancarkan sinar. Memberi terang pada seluruh makhluk. Malam yang gelap pun berganti menjadi siang nan benderang. Selubung hitam menghilang bersama menguapnya embun di dedaunan. Tumanggala sedang berada pada titik itu. Di mana kegetiran yang memayungi kehidupannya perlahan-lahan sirna. Dari keadaan terpuruk hampir mati, prajurit Panjalu tersebut memperoleh kejayaan yang tak disangka-sangka. "Lagi-lagi kau menanamkan jasa besar bagi kerajaan, Tumanggala. Gusti Prabu merasa sangat senang sekali persekongkolan jahat Agreswara terbongkar. Semua berkat dirimu," kata Rakryan Tumenggung pada Tumanggala sore itu. Yang diajak bicara tentu saja senang dipuji begitu. Namun ia pendam dalam-dalam kebanggaan itu. Kepalanya tetap ditundukkan dengan takzim. "Saya hanya menjalankan dharma bakti sebagai seorang prajurit Panjalu, Gusti Tumenggung. Sebagai se
KOTARAJA tiba-tiba saja berubah sibuk pagi itu. Pengakuan Ganaseta membuat Arya Lembana bergerak cepat. Senopati tersebut langsung menghadap Rakryan Rangga dan Rakryan Tumenggung sekaligus.Di hadapan panglima tertinggi Kerajaan Panjalu itu, kembali Ganaseta mengulangi keterangannya. Bahwa perampokan demi perampokan yang terjadi di seantero kerajaan selama ini didalangi oleh seorang berpangkat tinggi.Pejabat itulah yang mengatur tempat-tempat mana saja yang harus dikacau dengan perampokan. Dimulai dari desa-desa yang jauh. Lalu semakin lama semakin mendekat ke Kotaraja.Tujuan akhir dari rencana itu adalah menggoyang kewibawaan Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya, raja Panjalu yang tengah bertahta.Sayang, baru sampai Katang Katang dan Lusem rencana itu agaknya harus berakhir. Bermaksud membalaskan dendam pribadinya, Tumanggala secara tak sengaja justru berhadapan dengan kelompok itu dan membongkar niat jahat mereka."Berarti benar dugaan kita. Ru
SENOPATI Arya Lembana bergegas keluar kamar begitu diberi tahu ada telik sandi datang menghadap. Langkah kakinya diayunkan cepat-cepat menuju pendopo. Tamunya sudah menunggu di sana. Hari masih sangat pagi. Permukaan dedaunan masih berhias embun yang bening laksana kristal. Di langit, mendung kelabu nan tebal menghalangi sinar matahari. Membuat keadaan remang-remang. Telik sandi di pendopo langsung haturkan sembah hormat begitu melihat kedatangan Arya Lembana. Orangnya masih muda, berusia kisaran pertengahan dua puluhan. Badannya kukuh, tegap berisi selayaknya prajurit Panjalu lain. "Ada kabar apa?" tanya Arya Lembana setelah menerima haturan sembah. "Saya membawa kabar dari Lusem, Gusti Senopati," jawab telik sandi tersebut. "Hmm, Lusem?" Arya Lembana amat-amati telik sandi di hadapannya. Barulah sang senopati ingat kalau orang itu memang yang ditugaskan di kawasan barat Kotaraja. "Benar, Gusti," sahut si telik sandi. "Semalam terjadi
UCAPAN anak buah Ranajaya itu membuat Tumanggala kernyitkan kening. Raut keheranan tampak jelas pada wajah prajurit Panjalu itu. Apa lagi ini? Batinnya bertanya-tanya. Tumanggala tinggalkan Ranajaya begitu saja. Ia sama sekali tak khawatir buruannya itu kabur, sebab sudah tak mampu bergerak lagi. Sang prajurit lebih tertarik pada keterangan lelaki tadi. "Jelaskan apa maksud ucapanmu!" ujar Tumanggala begitu tiba di sebelah si lelaki. Belum sempat lelaki tadi menjawab, Ranajaya sudah menghardik anak buahnya itu. "Keparat kau, Ganaseta! Apa yang akan kau katakan?" Hal ini membuat Tumanggala semakin tertarik. Dari berdiri, kini sang prajurit jongkok di sebelah lelaki yang dipanggil Ganaseta oleh Ranajaya tadi. Dalam jarak sedekat itu Tumanggala dapat melihat lebih jelas wajah orang. Seketika parasnya berubah. Wajah itu tidak asing dalam ingatannya. Rasa-rasanya pernah bertemu, tapi entah di mana. "Tunggu! Aku rasa kita pernah bert
PERTARUNGAN satu lawan satu pun pecah. Ranajaya yang sebenarnya sudah kecut nyali berlaku nekat. Ia tak hendak menyerah begitu saja. Meski semakin lama semakin terdesak, sebisa mungkin ia ladeni serangan Tumanggala.Bisa ditebak, pertarungan itu berjalan berat sebelah. Hanya dalam tempo dua setengah jurus berselang, terlihat bagaimana Tumanggala sangat menguasai keadaan. Pukulan dan tendangannya berkali-kali mendarat di tubuh Ranajaya.Buk! Buk! Buk!Dalam satu kesempatan, Tumanggala mengirim tiga pukulan beruntun menggunakan tangan kiri. Sasaran tinju itu adalah dada Ranajaya yang sama sekali tak dapat mengelak.Tubuh lelaki bercambang bauk lebat itu tersuruk ke belakang. Terkena telaknya pukulan beruntun Tumanggala. Belum puas, sang prajurit sudah menambahkan serangan lagi. Kali ini dengan tiga tendangan berturut-turut.Des! Des! Des!"Aaaaaa!"Lagi-lagi Ranajaya tak kuasa berkelit. Hantaman tiga tendangan beruntun tersebut membuat
DIKEROYOK empat lawan bersenjata seperti itu tentulah bukan perkara mudah. Karenanya pada awal-awal pertarunganTumanggala agak keteteran. Namun setelah berjalan beberapa jurus, mulai terlihat bahwa dua dari empat lawannya tersebut sudah tak bertenaga.Dengan cerdik sang prajurit lantas pusatkan serangannya pada dua orang tersebut. Dua lelaki yang punggungnya terluka parah, dan telah kehilangan begitu banyak darah.Sembari berkelit menghindari tusukan dan sambaran golok Ranajaya serta satu anak buahnya yang lain, Tumanggala berhasil mengirim tendangan keras ke dua lelaki yang menjadi sasaran utamanya."Hiaaaat!"Des! Des!Dua lelaki tersebut terpekik. Dada mereka serasa sesak bukan main saat kaki Tumanggala singgah. Tubuh keduanya terjajar mundur. Baru berhenti saat punggung mereka yang sudah terluka menghantam dinding salah satu rumah penduduk.Setelah itu kedua lelaki tersebut jatuh duduk, lalu terguling-guling berselimut lumpur nan k
TUMANGGALA sontak batalkan niat. Pedang yang sudah teracung di atas kepala perlahan-lahan diturunkan kembali. Kepalanya berputar, memandang ke arah Ranajaya yang sudah berada tak jauh darinya."Ah, Tumanggala. Sungguh tak kusangka seorang kesatria Panjalu bisa punya pikiran serendah ini," ujar Ranajaya bermaksud mengejek."Lelaki jahanam! Kau harus mati di tanganku sebagai balasan kematian anak dan isteriku!" balas Tumanggala menggeram. Tatapan matanya berkilat-kilat.Amarah sang prajurit semakin menggelegak. Sudah sejak tadi-tadi ia ingin menghabisi Ranajaya. Namun tiga anak buah lelaki biadab itu tiba-tiba datang menghalangi."Ah, ah, kau ini sungguh lucu, Tumanggala," sahut Ranajaya, masih dengan nada mengejek. "Aku sama sekali tidak membunuh anak dan isterimu. Bagaimana mungkin kau bilang aku harus mati sebagai balasan kematian mereka?"Tumanggala kertakkan rahang. Ia hendak menanggapi ucapan lawan, namun Ranajaya sudah mendahului."Anak
TUMANGGALA dapat menduga apa yang tengah dilakukan lawan. Tentulah lelaki yang sudah terdesak itu memanggil bala bantuan.Benar saja. Tak lama berselang muncul dua lelaki yang juga bercambang bauk lebat dari arah berlainan. Setengah berlari keduanya menuju ke arena pertarungan sembari mengacungkan golok besar di tangan masing-masing.Tumanggala mendengus. Bibirnya mengukir seringai lebar."Bagus! Cepat ke sini kalian berdua, biar sekalian aku habisi!" geram Tumanggala begitu melihat dua lawan barunya tersebut."Jangan besar mulut! Kaulah yang akan mati di tangan kami!" bentak salah satu dari dua lelaki yang baru muncul.Tanpa memperpanjang kata lagi, dua lelaki yang baru muncul sudah menyerbu ke arah Tumanggala. Dua golok besar disabetkan ke depan. Satu mengarah ke ulu hati, satunya lagi mengarah ke batang leher!"Hiaaaat!"Wuuut! Wuuut!Sambaran golok menimbulkan suara menderu. Gaungnya yang terdengar jelas membuat bulu kuduk
MENDENGAR bentakan tersebut Tumanggala terkaget-kaget. Cepat sang prajurit Panjalu balikkan badan untuk melihat siapa yang berada di belakangnya. Satu tindakan seketika yang terhitung ceroboh.Rasa kaget Tumanggala kemudian bertambah-tambah. Belum sempat matanya melihat orang yang berteriak tadi dengan jelas, satu serangan deras sudah menyambut. Sebilah golok besar menyambar ke arahnya.Wuutt!Suara menderu keras terdengar bersamaan dengan datangnya sambaran golok. Tumanggala yang tak siap dengan serangan itu mengambil cara termudah untuk mempertahankan diri.Dalam satu gerak cepat pedang di tangan sang prajurit diayunkan untuk menyambut datangnya serangan. Tak lupa tenaga dalam ia kerahkan.Sriiing!Angin yang dibelah laju pedang menimbulkan suara berdesing. Cahaya kobaran api dari rumah-rumah terbakar yang jatuh di badan pedang, membuat senjata andalan Tumanggala itu terlihat berkilat-kilat.Lalu sekejap kemudian ....Trang!