MALAM di Bhumi Panjalu sudah sempurna dalam kegelapan. Bulan purnama yang tak lagi bulat penuh memancarkan sinar lembutnya di langit. Sang bayu sesekali berembus mengantar hawa dingin.
Suasana hening malam berubah riuh manakala lima penunggang kuda melintasi jalan tanah berdebu. Sekitar tiga ratus depa (kira-kira 550 meter) sebelum mencapai tapal batas Kotaraja, mereka berhenti di muka satu gubug kecil.
"Kita berpisah di sini," kata salah seorang dari mereka.
Dalam remang siraman cahaya bulan, masih terlihat jelas jika lelaki paruh baya yang barusan berkata adalah Kridapala. Dengan demikian, lima orang berkuda itu tak lain adalah komplotan yang baru saja mencelakai Tumanggala dan isteri di Gua Lawendra.
Sebelumnya, setelah membuang tubuh Tumanggala ke sungai, Ranajaya dan Sudhatu segera menyusul Kridapala dan Wipaksa yang keluar gua lebih dulu. Lalu Triguna yang bertugas mengawasi keadaan agak jauh dari gua, turut bergabung pula.
Berlima mere
KRIDAPALA sungguh berotak cerdik, kalau tak mau disebut licik. Ia memanfaatkan betul kepandaiannya bersilat lidah. Sehingga bekel Kerajaan Panjalu itu berhasil meyakinkan Arya Lembana pada cerita karangannya. Sebelumnya, begitu berpencar dengan komplotannya di tepi Bengawan Sigarada (baca lagi Bab 64, Menjalankan Rencana), Kridapala langsung menemui Arya Lembana. Akan tetapi sang senopati tak ada di tempat. Kridapala sempat menunggu dan kembali mendatangi kediaman atasannya itu. Namun agaknya Arya Lembana tengah ada keperluan di istana selama seharian. Kridapala lantas memutuskan untuk menyusul komplotannya ke Gua Lawendra. "Sampaikan pada Gusti Senopati, aku akan kembali datang besok pagi," pesan Kridapala waktu itu, disampaikan pada prajurit penjaga di kediaman Arya Lembana. Dan pagi itu, Kridapala kembali mendatangi kediaman sang senopati. Tentu saja kemunculan bekel kerajaan itu membuat Arya Lembana gusar bukan main. "Setan alas! Ke mana s
DAHI Arya Lembana sontak berkerut dalam mendengar ucapan prajurit yang baru datang. Sepasang matanya memandangi prajurit tersebut lekat-lekat. Setelah beberapa saat sang senopati ingat siapa orang itu. "Kau? Bukankah kau yang ketika itu mengaku sebagai sahabat Tumanggala?" tanya Arya Lembana. Prajurit yang baru datang memang Wyara. Langsung saja ia anggukkan kepala cepat-cepat. "Benar, Gusti, saya Wyara. Saya seharusnya menyampaikan laporan ini kemarin, namun Gusti tidak ada di tempat sampai sore," jawab Wyara dengan nada sedih. Jawaban itu semakin membuat Arya Lembana penasaran. Kabar apa rupanya yang hendak disampaikan? Kelihatannya begitu penting. Senopati itu lantas beri isyarat pada prajurit yang memegangi Wyara agar berlalu. "Katakan, apa yang hendak kau sampaikan padaku?" tanya Arya Lembana kemudian. Sedangkan di tempatnya Kridapala diam-diam mulai berdebar-debar sendiri. Ingin rasanya ia meninggalkan tempat tersebut. Khawatir k
MATAHARI pagi nan hangat menyapa Teluk Secang di selatan Pulau Jawa. Sinar lembutnya menerangi permukaan air laut yang berlomba-lomba ke tepian pantai.Suara ombak berdebur di pantai terdengar ramai. Buih putih yang bertumpuk-tumpuk tertinggal di atas pasir kehitaman nan memanjang.Sementara angin bertiup perlahan, menggoyang daun-daun panjang pohon secang yang masih dihinggapi embun berkilauan. Deretan pohon inilah yang menyebabkan teluk tersebut dinamakan Teluk Secang.Pada dahan-dahan pohon yang lebih tinggi, beberapa ekor burung berkicau riuh sembari bergerak ke sana-sini. Suasana alam yang sangat menenteramkan hati."Oh, sungguh pagi yang begitu sempurna," desah seorang lelaki tua yang baru saja membuka matanya yang cekung.Sepasang pipi lelaki tua itu juga cekung, kalau tak mau dikatakan peot. Sedangkan mulutnya hampir-hampir tak terlihat, tertutup kumis dan janggut panjang yang telah memutih seluruhnya.Rambut panjang lelaki tua itu j
TUJUAN lelaki tua tersebut tidaklah jauh. Sekitar dua ribu tujuh ratus depa (kira-kira 5 kilometer) dari muara terdapat satu percabangan sungai. Di sebelah utara percabangan itu ada hamparan tanah luas.Keseluruhan permukaan tanah luas itu diselimuti rumput tebal menghijau. Sebuah pondok kayu bertiang tinggi tampak berdiri di atasnya. Hanya berjarak beberapa depa dari percabangan sungai tadi.Ke sanalah si lelaki tua membawa Tumanggala. Setibanya di dalam, tubuh sang prajurit dibaringkan ke atas balai-balai kayu."Apa yang terjadi dengan prajurit muda ini? Agaknya dia sempat terlibat perkelahian sebelum terseret aliran sungai sampai ke muara sana," gumam si lelaki tua sembari pandangi sekujur tubuh Tumanggala."Ah, sebaiknya segera aku buatkan ramuan obat untuknya," kata lelaki tua itu lagi.Setelah berkata begitu lelaki tua tersebut melangkah keluar. Sejenak ia berdiam diri di teras pondok. Agaknya tengah menimbang-nimbang. Beberapa helaan napas b
SEMENJAK menemukan Tumanggala di muara, si lelaki tua jadi punya kegiatan baru. Pada pagi hari begitu terang-terang tanah ia akan meninggalkan pondoknya di dekat percabangan sungai.Lelaki tua tersebut pergi ke hutan tak jauh dari pantai. Ia mencari aneka daun, akar, dan tetumbuhan obat lainnya. Utamanya daun dedalu atau gandarusa sebagai pereda nyeri, obat memar, sekaligus penurun panas.Lalu dua atau paling lama tiga kali penanakan nasi berselang lelaki tua tersebut sudah kembali lagi. Sesudah itu ia akan sibuk di bawah, di bagian terbuka di antara tiang-tiang pondok.Di sana, semua bahan obat-obatan yang didapat ia racik dan rebus. Ada juga yang sekedar ditumbuk halus. Ramuan obat yang sudah siap lantas ia bawa naik, untuk diborehkan ke bagian tubuh Tumanggala yang terluka.Sehari sebanyak tiga kali si lelaki tua memborehkan ramuannya. Sementara prajurit Kerajaan Panjalu tersebut masih juga tak sadarkan diri. Entah sudah berapa hari."Apa sebena
DALAM impitan rasa kaget yang begitu kuat, Tumanggala coba mengingat-ingat apa yang telah ia lalui sebelum-sebelumnya. Namun ingatan sang prajurit masih belum kembali sepenuhnya."Terluka katamu, Ki? Bagaimana bisa?" tanya Tumanggala kemudian. Sederet bayangan kejadian mulai melintas di kepalanya."Ya mana aku tahu! Kau yang mendapatkan luka-luka itu, dan itu di tubuhmu, kenapa malah bertanya padaku?" sahut lelaki tua itu, lalu sekali lagi tertawa mengekeh.Agaknya orang ini sangat senang tertawa. Sedikit-sedikit tertawa.Keheranan Tumanggala tambah memuncak. Tapi ia tak hendak bertanya lagi. Hanya otaknya yang diam-diam berpikir keras, terus berusaha mengingat-ingat apa sebenarnya yang telah terjadi padanya.Bayangan-bayangan di kepala sang prajurit mulai menjadi jelas. Ia teringat suatu pagi di Surawana, saat ia tengah berendam di dalam sungai bersama puteranya yang baru berusia tiga tahun."Tapi agaknya luka dalammu sudah pulih, meski mun
MESKI sudah makan kenyang-kenyang dan minus sepuas-puasnya, Tumanggala masih membutuhkan waktu lama untuk sekedar dapat berdiri. Hanya terbaring selama dua puluh hari, serta tanpa asupan makanan maupun minuman sedikit pun, tak heran bila tenaganya sangat lemah.Setelah perutnya terisi dan berulang kali berlatih serta mencoba, barulah selepas tengah hari Tumanggala dapat berdiri tegak serta berjalan. Masih tertatih-tatih, namun sudah jauh lebih baik.Lelaki tua yang menolong prajurit tersebut terlihat sangat gembira melihat itu."Pemulihan tubuhmu terhitung cepat, Anak Muda. Kau juga mempunyai ketahanan tubuh di atas rata-rata. Orang yang tidak sadarkan diri begitu lama biasanya berlanjut pada kematian," ujar si lelaki tua.Saat itu keduanya sedang berjalan ke arah selatan, menyusuri badan sungai yang bermuara ke Teluk Secang. Desau angin menemani langkah mereka. Rambut kedua lelaki berbeda usia itu pun riap-riapan terhalau bayu."Kalaupun kemudian
"ANAK muda, yang menjadi pertanyaan besarku sejak pertama kali menemukanmu adalah siapa yang telah menceburkanmu ke sungai? Atau, siapa yang kau hadapi sebelum kemudian kau dihanyutkan ke dalam sungai ini?" tanya si lelaki tua.Pertanyaan itu juga yang saat itu tengah dicari jawabannya oleh Tumanggala, tapi otaknya masih buntu. Prajurit Kerajaan Panjalu itu pun gelengkan kepala."Itu juga yang ingin aku ketahui saat ini, Ki. Tapi aku tidak dapat mengingatnya. Aku masih belum dapat mengingat semuanya," sahutnya dengan suara lemah.Si lelaki tua angguk-anggukkan kepala. Ia paham benar, seseorang yang baru siuman dari keadaan pingsan sekian lama akan mengalami masa di mana ingatannya sangat lemah. Bahkan sebagian di antaranya tidak dapat mengingat orang-orang terdekat yang selama ini dikenal.Tumanggala termasuk beruntung karena dapat langsung berjalan sejauh ini, juga berbicara dengan sangat lancar. Itu artinya otaknya tidak mengalami kerusakan.Namu