Arjuna mencengkram kemudi mobilnya dengan erat. Rahangnya mengeras. Pintu mobilnya dibukanya dengan kasar. Ia berjalan ke belakang dengan langkah lebar. Menatap lampu mobilnya yang pecah dan beberapa goresan lecet menghiasi bodi belakang mobil BMW-nya. Itu mobilnya yang keluaran terbaru. Dan Arjuna baru membelinya beberapa hari yang lalu.
"Bisa dijelaskan, Nona, apa yang sudah terjadi?" seru Arjuna marah sambil memandangi pemilik mobil Jazz putih yang baru saja menabrak mobil mewahnya tanpa sebab. Teledor, tentu saja.
Gadis yang diketahui bernama Julia itu mendekat takut-takut. Ia menatap Arjuna dengan raut penuh penyesalan. Wajah gadis itu terlihat kusut mungkin karena kelelahan. Tapi Arjuna tak mau peduli. Di luar sana banyak orang yang memang sengaja memperlihatkan wajah melas supaya bebas dari hukum dan tanggung jawab.
"Pak, Arjuna? Maaf, saya-"
"Kamu mengenalku?" Arjuna memotong pembicaraan Julia cepat. Alisya saling menaut menatap gadis di depannya dengan rasa penuh ingin tahu.
"Saya salah satu staf anda,” jawab Julia takut.
"Bagus aku bisa dengan mudah mengeluarkanmu dari kantor," potong Arjuna lagi dengan geram karena ia bisa menebak ke mana arah pembicaraan Julia.
Sangat beruntung bagi Arjuna karena ternyata gadis di depannya ini adalah salah satu karyawannya di kantor. Mudah saja memecat gadis itu, hanya dengan kuasanya dan beberapa bumbu yang mengandung “tuduhan”, maka besok Arjuna pastikan gadis itu tidak akan muncul di kantor lagi.
Julia maju selangkah. Ia menatap Arjuna dengan tampang lelah bercampur melasnya. Kedua telapak tangannya saling menyatu sejajar dengan wajahnya, membuat gerakan memohon pengampunan pada Arjuna. Lelaki itu balas dengan meludah di aspal. Tak peduli.
Arjuna menatap wajah gadis kusam itu tak tertarik. Malahan ia membuang muka karena muak menatap Julia yang terus memohon meminta maaf. Arjuna paling benci bila ada seseorang yang melakukan kesalahan hanya cuma bisanya mengemis minta maaf.
"Pak Arjuna tolong, Pak. Jangan pecat saya. Saya janji saya akan membayar ganti rugi. Saya benar-benar ti-"
"Dengan apa? Dengan apa kamu menggantinya? Dengan gajimu yang tidak seberapa itu?" bentak Arjuna dengan intonasi tingginya. "Dengarkan baik-baik, Nona … bahkan dengan bekerja selama sepuluh tahun di perusahaanku, itu tidak akan cukup untuk menggantikan kerusakannya," lanjut Arjuna lagi dengan kemarahan yang sudah tak bisa ditahannya. Telapak tangannya juga ikut menggebrak kap mesin mobil Jazz milik Julia, menyalurkan kemarahan.
"Pak, saya moh-"
"Kamu tahu apa kesalahanmu?" Lagi-lagi Arjuna memotong pembicaraan Julia dengan geram.
"Saya telah menabrak mob-"
Arjuna mencengkram dagu gadis itu. Memaksanya untuk menatap ke dalam matanya yang tajam. Julia menatap Arjuna dengan ketakutan. Cengkraman pria itu sangat kuat. Sang bos tidak main-main saat marah.
Arjuna sungguh geram karena dari tadi Julia terus menunduk tak berani bertatapan dengan matanya langsung. Beruntung hari masih terlalu pagi. Jalanan masih sangat sepi. Seandainya saja kalau jalanan ramai, Arjuna akan habis dihakimi massa karena telah menganiaya seorang perempuan di jalan.
"Kalau memang sedang mengantuk, jangan mengemudikan mobil di jalan. Kamu bisa saja membunuh orang lain! Kamu tahu kan, betapa menyebalkannya ketika kita sudah berhati-hati, tapi malah orang lain yang teledor dan merugikan kita," bentak Arjuna marah.
Arjuna melonggarkan cengkraman tangannya. Merogoh saku celananya untuk mengambil ponselnya yang terus berbunyi nyaring. Sangat mengganggu. Sembelum mengangkat telpon tersebut, Arjuna menatap Julia tajam.
"Tunggu sebentar. Urusan kita belum selesai." Arjuna pergi menjahui Julia. Lalu beberapa menit kemudian ia kembali dengan wajah yang lebih seram.
"Sepertinya kamu kali ini sangat beruntung, Nona. Tapi lihat saja aku akan membuat perhitungan denganmu lain kali."
Seusai mengatakan itu, Arjuna memasuki mobilnya dengan langkah tergesa-gesa. Meninggalkan Julia yang masih terpaku di tempat dengan jantung yang masih berpacu dengan cepat. Setelah mobil Arjuna menghilang dari pandangannya, barulah Julia dapat bernafas lega disertai cairan bening yang merembes di matanya.
***
Hari Minggu seharusnya hari untuk menyejukkan pikiran. Namun tidak dengan Julia. Setiap hari dia diberi tekanan oleh dunia yang kejam untuk terus-terusan menghadapi masalah yang begitu menyebalkan. Rasanya menyebalkan sekali menjadi manusia yang selalu dirundung masalah bertubi-tubi.
Julia menghembuskan nafas lelah. Ia menjatuhkan tubuhnya di sofa ruang tamu rumahnya.
"Loh, Kak. Kapan sampai rumah?" Vino, adiknya yang berusia lima belas tahun tahun tertatih-tatih menghampirinya dengan sepiring nasi di tangannya. Dia ikut duduk di sofa ruang tamu bersama Julia, lalu menyalakan tv.
Julia tersenyum, "belum ada lima menit."
Vino mengangguk. Dia menggigit krupuk beserta tempe lalu memasukan nasi ke dalam mulutnya. Vino mengunyah dengan nikmat. Julia mencuri pandang, lalu kembali fokus ke tv menonton berita.
"Kak Julia, sudah sarapan?"
"Tadi sudah."
"Kak Julia berbohong. Nasinya masih utuh sebelum Vino ambil. Jangan diet, Kak. Nggak perlu."
"Siapa yang diet. Kakak cuma nggak selera mau makan."
"Lah ... kayak gitu kok bilangnya sudah sarapan. Kakak ada masalah lagi ya?" tanya Vino penuh perhatian.
"Cuma masalah sepele. Kamu nggak perlu tahu. Fokus saja sama sekolahmu. Cepat atau lambat masalah Kakak bakal selesai, kok. Tenang saja, kamu nggak perlu khawatir." Julia mengusap rambut Vino dengan sayang. Ingin sekali Vino menepis tangan Kakanya karena geli. Bagaimanapun juga Vino kan sudah puber. Masih saja diperlakukan seperti adik kecil.
Vino memang cukup mengerti dengan berbagai masalah yang menimpa pada keluarga mereka. Tetapi dia lebih memilih diam, sebagai anak yang paling muda dia memang belum terlalu berhak ikut campur. Ia tidak mau sok mengerti dengan berbagai masalah yang dihadapi keluarga.
Walaupun begitu sebenarnya Vino terus memikirkan keluarganya. Diam-diam dia selalu berdoa supaya keluarganya baik-baik saja. Dia juga selalu perhatian dengan Julia. Dia juga berjuang untuk mendapat peringkat pertama di sekolah agar kelak menjadi orang sukses dan berguna untuk keluarganya. Untuk sekarang, cukuplah bagi Vino agar tidak berbuat masalah supaya tidak memperburuk keadaan.
"Iya. Vino nggak akan ikut campur. Tapi setidaknya Kakak berbagilah sedikit masalah yang Kakak punya. Entah sekedar cerita. Yah ... walaupun Vino belum bisa memberikan solusi seperti orang dewasa, setidaknya beban Kakak akan berkurang sedikit," balas Vino, ia kembali menyendok makanan ke mulut sambil fokus melihat acara di tv.
"Makannya cepatlah tumbuh besar biar bisa bantu Kakak dalam hal ini itu."
"Memangnya Vino masih kecil? Vino udah SMA loh, Kak. Udah pubertas juga. Nih, bukti kalau Vino udah pantes dipanggil mas-mas." Vino menunjuk jerawat yang meradang di pipi kirinya.
"Iya deh ... iya. Habiskan dulu makanan kamu."
Vino mengangguk dan menyuap sampai habis tidak tersisa makanannya.
"Tadi Vino lihat lampu mobil depan Kakak pecah. Kakak nggak apa-apakan?" tanya Vino setelah meletakkan piring di atas meja.
"Enggak. Cuma nyerempet pagar orang tadi pagi."
"Beneran?" tanya Vino curiga. Pasalnya apa yang Vino lihat tadi, itu lebih mirip mobil tertabrak mobil dibandingkan ketabrak pagar orang.
Sepertinya Vino harus terpaksa pura-pura percaya lagi dengan apa yang Julia katakan.
"Bener. Udah … jangan banyak tanya. Kakak mau ke kamar dulu. Jangan lupa piringnya sekalian dicuci," perintah Julia seraya pergi dengan langkah lelah.
Vino tidak menyahut. Ia tahu Julia sedang menyembunyikan berbagai hal. Vino tahu kakaknya lebih memilih menyimpan semuanya sendiri daripada berbagi cerita. Vino menatap kepergian kakaknya dengan perasaan campur aduk, lebih tepatnya ia sedih.
***
Di dalam kamar, Julia menatap pantulan dirinya di depan cermin. Air matanya merembes lagi. Ia meratapi nasibnya sendiri. Ia tidak mau membuat Vino khawatir padanya. Cukuplah dia yang menanggung beban ini, tak mengapa.
Di tempat itu, di kamarnya juga Julia selalu menangis sendiri. Berharap tidak ada yang tahu beban yang ia tanggung di pundaknya. Lalu nanti ketika ia keluar, ia akan tersenyum pada dunia seolah-olah dia baik-baik saja.
Bersambung.
Sebelumnya, bagi yang berkenan silakan mampir ke akun facebook saya @Sim Prabu.
Julia melebarkan bola matanya syok. Memandang dua manusia yang sedang melakukan aksi mesum itu di ruangan CEO. Perempuan itu menjadi salah tingkah ketika Arjuna si pemeran utama lelaki yang lebih dulu tersadar tengah balas menatapnya dengan tajam.Bersiap-siap Arjuna akan mengamuk."Pak Arjun eh …. Maaf saya tadi sudah mengetuk pintu tapi and-""KELUAR!" Teriakkan Arjuna menggema memenuhi ruangan itu.Julia sadar kalau Arjuna akan semakin marah padanya setelah ini. Dengan raut menyesal karena telah mengganggu “aktifitas” sang atasan, Julia pamit undur diri dengan gerakan tubuh yang masih sangat sopan. Walaupun sebenarnya ia mati-matian menahan ketegangan. Leher belakangnya tiba-tiba merinding. Bulu halus di sekujur tubuhnya sepertinya ikut berdiri.Julia berkomat-kamit memohon ampun kepada Sang Kuasa karena matanya sudah mulai ternodai untuk aksi tidak senonoh yang tidak sengaja ia lihat tadi. Gadis itu menunggu di luar dengan gelisah. Kata-kata “pecat” dari tadi terus terngiang di ot
"Di mana adikku, Ma?" Arjuna menatap Lauren, mamanya yang baru saja muncul dari dapur sambil sibuk membawa nampan berisi dua gelas jus jeruk.Wanita itu meletakkan dua gelas jus jeruk itu di atas meja. Di depan Arjuna dengan hati-hati. "Kamu tiba-tiba datang berkunjung ke apartemen Mama hanya untuk menanyakan hal tidak penting itu pada Mama?" tanya wanita itu menunjukkan muka sedih yang sengaja dibuat-buat.Arjuna mendengus muak. Sudah berkali-kali dia datang menanyakan kabar adiknya. Tetap saja hasilnya nihil. Berkali-kali juga mamanya seolah menghindari topik pembicaraan seputar adik yang belum pernah ia ketahui itu.Semenjak Lauren bercerai dengan Anton, papa kandung Arjuna, Arjuna diasuh oleh papanya sendiri. Lauren yang notabene adalah mama kandungnya sendiri sangat cuek kepada Arjuna sejak kecil. Wanita itu seakan tidak peduli terhadap tumbuh kembang anaknya.Arjuna tumbuh besar tanpa kasih sayang dari seorang mama, hal itu yang membuat Arjuna juga tidak terlalu dekat oleh mamany
Arjuna menyesap gelas vodka itu hingga tandas. Pikirannya kembali melayang pada kejadian tadi pagi. Saat ia mengunjungi apartemen mamanya untuk mencari tahu keberadaan adiknya, tapi hasilnya lagi-lagi nihil.Arjuna sudah terlanjur mentransfer sejumlah uang yang cukup besar pada mamanya, namun sampai sekarang perempuan itu belum mengirimkan berkas yang ia janjikan.Pikirannya saat ini benar-benar kacau. Bukan uang yang ia permasalahkan, tapi ia memikirkan nasib adiknya yang tidak pernah ia ketahui keberadaanya. Ia bahkan tidak tahu jenis kelamin adiknya itu. Malang sekali nasibnya. Sejak mamanya menikah dengan lelaki itu, Arjuna tidak mau lagi berurusan dengan mamanya. Arjuna bahkan tidak mau tahu siapa ayah tirinya, latar belakang ayah tirinya, keadaan mamanya setelah menikah. Arjuna benar-benar tidak mau tahu. Tapi semakin lama hati kecilnya terbuka, ia merasa perlu mencari adik tirinya yang juga kabarnya ditelantarkan juga oleh mamanya.Sungguh biadab. Ia tidak mau adiknya bernasib
"Aku di mana?!" Julia berteriak marah ketika seorang lelaki asing berkemeja putih datang memasuki kamar dan membuka lakban di mulut Julia secara paksa. Gadis itu memekik, mulutnya terasa panas. Julia terus bergerak-gerak gelisah, menatap lelaki yang tengah memakai masker warna hitam di depannya dengan penuh waspada. Tanganya terikat dari belakang. Gadis itu jelas tidak bisa melakukan perlawanan. Di balik kepasrahannya Julia terus berusaha melepas ikatannya. lelaki di depannya tertawa menatap Julia yang malang. Ia membelai pipi Julia pelan. "Tenang saja Nona cantik. Aku tidak akan menyakitimu kalau kau mau diam," ujarnya hendak mengecup bibir Julia, tapi Julia segera mengelak sehingga kecupan lelaki itu berakhir di pipi kiri Julia."Lepaskan aku!" bentak Julia dengan geram. Lelaki itu terus tertawa tidak peduli."Tidak akan!""Lepaskan, atau aku akan teriak!" bentak Julia sekali lagi dengan marah."Kau teriak pun tidak akan ada yang menolongmu," ucap lelaki itu dengan dingin. Ia mende
"Mama benar-benar keterlaluan!" Arjuna berteriak marah dengan suara yang terdengar nyaring."Apa maksud kamu? Tiba-tiba datang dan langsung marah-marah tidak jelas!" Lauren ikut berdiri, bertanya dengan intonasi yang sama kerasnya. Tatapannya menatap buas kepada putra kandungnya yang semakin kurang ajar itu. Hati kecilnya tidak terima ketika Arjuna terus-terusan membentaknya.Kali ini Lauren tidak menyuguhi air minum untuk Arjuna seperti biasa saat Arjuna mengunjungi apartemennya. Firasat seorang ibu merasakan kalau anaknya akan berkunjung, dan rasanya itu bukanlah hal yang baik untuk hari ini. Tapi sebelum Lauren bergegas keluar, Arjuna sudah terlanjur membuka pintu dengan kasar dengan kemarahan yang ketara. Masuk ke dalam dan langsung meluapkan emosinya yang sedang meluap-luap. Firasat buruknya benar terjadi. Arjuna sekarang begitu marah padanya. "Mama kenapa tega menjual putri Mama, hah!" Lelaki itu menatap mata mamanya dengan nanar. Arjuna mengepalkan tangannya dengan erat. Berusa
Dua minggu berlalu dengan cepat. Selama itu pula Arjuna tidak pernah lagi melihat batang hidung Julia di perusahaanya. Perempuan itu pergi entah ke mana seperti ditelan bumi. Mungkin saja perempuan itu bersembunyi atau trauma setelah kejadian yang menimpanya waktu itu.Seharusnya perempuan itu sudah mendapatkan sanksi, atau lebih buruk ia dipecat secara tidak terhormat. Bolos bekerja tanpa meminta izin, tentu saja melanggar aturan perusahaan.Tapi Arjuna menyadari dia juga ikut andil dari apa yang menimpa Julia sekarang. Sedikit campur tangannya, ia mudah saja menyelamatkan karir Julia, dan Arjuna bertekad akan menebus kesalahannya.Arjuna sadar ia telah salah menilai Julia selama ini. Arjuna menatap arloji di pergelangan tangannya. Pukul delapan malam. Masih ada waktu untuk bertamu. Meski ia tahu bertamu malam-malam di rumah seorang perempuan yang tinggal sendiri itu tidak baik. Tapi tekadnya untuk malam ini sudah bulat, ia harus membujuk Julia untuk kembali bekerja dan meminta maaf
Arjuna menatap langit-langit kamar. Matanya memang terpejam, tapi pikirannya melayang entah ke mana. Jiwanya masih sepenuhnya terjaga. Kembali teringat empat hari yang lalu di mana Julia mengusirnya dengan tatapan jijik campur benci.Pria itu mengusap wajahnya gusar. Matanya kembali menatap nyalang. Ia bangun dan duduk bersimpuh di atas kasur, merenungi kesalahannya. Dengan keadaan gelisah ia menatap tanggalan di atas meja yang berada tepat di sebelah kasur. Tanggal tiga belas, tercoret dengan lingkaran merah. Arjuna menandai pada tanggalnya. Hari saat dia meniduri perempuan itu. Hari di mana kehormatan adik tirinya sendiri ia renggut.Di tengah keterpurukan rasa bersalah itu, ponselnya berbunyi nyaring.Klik. Arjuna menggeser tombol warna hijau. Mengangkat telepon dengan perasaan jengkel.Siapa malam-malam begini yang berani menggangguku?"Ada apa?""Arjuna, kau tahu …."Arjuna menjauhkan ponselnya. Ia menatap nama kontak di layar ponselnya. Jonatan. Pria yang sekarang masuk ke daft
Cuaca sore hari ini sangat cerah. Tetapi tak secerah hati perempuan yang berkali-kali dirundung masalah. Justru dia menganggap semua hari sama saja. Julia memarkirkan motornya di bagasi seperti biasa. Dia sudah tidak memiliki mobil karena sudah dijualnya untuk menutupi kebutuhan hidup dan hutang orang tua. Kendaraan satu-satunya yang dia punya sekarang hanyalah motor matic kesayangannya. "Lemas sekali," keluh Julia lirih seraya membuka jaket dan helm. Ia melihat pada kaca spion, berusaha tersenyum untuk dirinya, namun yang terlihat hanya senyuman keletihan. Hari ini, akhir bulan. Pekerjaan di kantor lumayan melelahkan. Semua tubuhnya terasa lesu. Berbagai masalah yang terus menghampiri semakin membuat mentalnya down. Dia benar-benar merasa seperti zombie yang dipaksa untuk hidup. Julia baru saja berjalan lima langkah menuju pintu yang sudah terbuka. Sampai kehadiran seseorang membuat semua bebannya bagai terangkat, hilang dan lenyap. Dia."Papa?" Julia memanggil setengah tak perc
Bonus. Arjuna dan Julia adalah pasangan suami istri yang bahagia. Delapan bulan setelah pernikahan mereka, mereka dikaruniai seorang putra yang diberi nama Arka. Kehadiran Arka membawa keceriaan baru dalam kehidupan mereka.Arka tumbuh dengan pesat. Di usianya yang ke-8 bulan, dia sudah mulai bisa berjalan dan sesekali memanggil "papa" dan "mama". Arka juga suka sekali menunggu di depan pintu, menanti kepulangan sang papa dari bekerja. Setiap kali Arjuna pulang, Arka akan berlari ke arahnya dan memeluk kakinya dengan erat. Arjuna selalu menyempatkan waktu untuk bermain dengan Arka, menggendongnya, dan membacakannya cerita. Julia pun tak kalah sayang dengan Arka. Dia selalu sabar dan telaten mengurus Arka, memandikannya, memakaikannya baju, dan memberinya makan.Suatu hari, Arjuna harus pergi ke luar kota untuk urusan pekerjaan selama beberapa hari. Julia merasa sedih karena anaknya harus berpisah sementara dengan papanya. Namun, dia tetap tegar dan berusaha untuk tidak menunjukkan
Arjuna dan Julia menyambut sang buah hati dengan penuh rasa haru dan bahagia. Sejak kepulangan Julia dari rumah sakit, Arjuna dengan penuh semangat mempelajari segala hal tentang mengurus bayi. Dia dengan telaten memandikan, mengganti popok, dan menggendong buah hati mereka dengan penuh kasih sayang.Suatu sore, Julia mengamati Arjuna dari atas kasur saat dia memandikan bayinya. Arjuna dengan penuh kelembutan membersihkan tubuh mungil sang bayi, sesekali mengajaknya berbicara dengan suara yang begitu lembut. Julia tersentuh melihat betapa Arjuna begitu menikmati momen tersebut, dan rasa cinta serta kasih sayangnya terhadap buah hati mereka semakin kuat."Terima kasih, Arjuna," bisik Julia dengan penuh rasa haru.Arjuna menoleh ke arah Julia dan tersenyum. "Apa pun untuk anak kita," jawabnya dengan penuh kasih sayang.Hari-hari Arjuna dan Julia pun diwarnai dengan kebahagiaan sebagai orang tua baru. Mereka saling bahu membahu dalam mengurus buah hati mereka, dan cinta serta kasih sayan
Jantung Arjuna berdegup kencang, rasa cemas dan khawatir mewarnai wajahnya. Ia duduk di kursi tunggu rumah sakit, menunggu kabar dari sang istri yang tengah menjalani operasi caesar di dalam ruangan yang terlihat sangat tertutup itu. Operasi yang sudah ditunggu-tunggu sekaligus penuh kekhawatiran, karena ini adalah anak pertama mereka.Jam demi jam terasa begitu lama. Arjuna terus memanjatkan doa, memohon kelancaran operasi dan keselamatan bagi istri tercinta. Bayangan wajah sang istri selalu terngiang di benaknya, senyumannya yang hangat dan tawa riang yang selalu menghiasi hari-harinya. Kegiatan istrinya yang suka sekali memasak aneka kue membuatnya teringat pilu. Tiba-tiba, pintu ruangan operasi terbuka. Seorang suster dengan wajah teduh melangkah keluar, membawa selimut kecil berwarna putih. Arjuna bangkit dari kursinya, jantungnya berdebar semakin kencang."Pak Arjuna," Suster itu tersenyum hangat, "Ini putra Bapak." Perlahan, suster membuka selimut itu, memperlihatkan wajah mun
Arjuna berjalan cepat mengikuti perawat yang sudah mendorong istrinya di atas brankar rumah sakit untuk segera dilakukan pemeriksaan. Sedari tadi yang ia lihat Julia hanya menggerang kesakitan dengan mata terpejam. Sungguh Arjuna yang melihat itu ikut merasakan kengerian. Sebagai calon bapak-bapak yang menunggu anaknya lahir dengan kepanikan yang luar biasa, mestinya ia tidak tenang. ***Semua tahap pemeriksaan telah dilakukan. Dokter spesialis kandungan menyarankan Julia untuk segera melakukan operasi caesar hari itu juga dikarenakan posisi janin belum sesuai, juga volume ketuban yang malah berkurang. Tentu saja itu bukanlah hal yang bagus untuk calon bayi. Julia sudah mulai tenang tidak kesakitan lagi. Iya berbaring dengan nyaman di atas brankar. Arjuna menarik kursi, dan duduk di dekat istrinya. Ia mengusap kening istrinya, lalu tersenyum manis. "Kamu mau minum?" tawar Arjuna menyodorkan air mineral ke arah Julia. Para perawat sudah pergi. Kamar VVIP yang sangat luas itu teras
Julia Pov. Seperti hari-hari sebelumnya. Hari ini aku berangkat bekerja dihantar oleh suamiku, Arjuna. Di dalam mobil terasa sunyi, aku maupun dia sama-sama saling menutup mulut. Tidak ada basa-basi seperti biasanya. Hanya ada suara desah nafas lelahku yang sepertinya kebanyakan memikirkan masalah akhir-akhir ini. Yah, lagi-lagi masalah sepele. Selalu saja kepikiran. Sebenarnya aku masih memikirkan perihal semalam. Tentang keinginan Arjuna untuk tetap menjadikan aku istri selamanya. Sebenarnya hal itu diluar ekspektasiku. Kadang aku berpikir untuk tidak bersama selamanya. Tiba-tiba menjelang kelahiran anakku, entah kenapa hatiku menjadi plin-plan. Aku merasa seperti keberatan untuk terus menjadi istrinya. Terkadang pikiran terburukku muncul, aku tidak ingin meneruskan pernikahan ini. Bagaimana kalau aku tidak bisa sepenuhnya mencintainya? Atau bagaimana kalau dia selama ini hanya berpura-pura baik di depanku saja? Maksudku di luar sana, seorang pebisnis besar pasti memiliki selingku
Julia mengerang. Ia melepaskan pelukan suaminya. Namun pelukan itu tak mau terlepas. Semakin erat. Ia juga bahkan sudah mencubit-cubit lengan Arjuna supaya mau melepaskannya, namun suaminya tetap tak bergeming. Julia menghela nafas pendek. "Aku mau mandi. Lengket semua badanku," ujar Julia dengan intonasi lirih. Terlalu pagi untuk bicara dengan intonasi agak tinggi. "Sebentar lagi ... tunggu lima menit lagi," Arjuna merengek, menenggelamkan wajahnya ke dalam rambut panjang istrinya. Menghirup aroma wangi yang semerbak. Sambil tetap masih memeluk istrinya. Julia mengambil ponselnya yang berada di nakas dengan susah payah. Lalu menyetel stopwatch dengan hitungan dimulai lima menit. Ia dengan anteng menikmati setiap detik waktu yang mulai berkurang. Sesekali mengusap lembut wajah suaminya. Jemari lentiknya bermain di sana. Sedang Arjuna semakin tidur terlelap
Pukul 10 malam. Julia menarik selimutnya dan bersiap-siap untuk segera tidur. Arjuna yang berada di sampingnya masih sibuk dengan laptopnya. Lelaki itu masih harus meneliti beberapa berkas yang akan dia kerjakan besok di kantor. "Bagaimana keadaan di kafe untuk beberapa hari ini?" tanya Arjuna memecah keheningan. Lelaki itu menatap ke arah Julia yang juga tengah menatap ke arahnya. Julia mengatur posisi berbaringnya sebelum menjawab. "Kafe kita mengalami peningkatan yang cukup drastis. Hampir setiap hari kafe kita ramai dengan pengunjung," jawab Julia antusias. Lalu ia kembali teringat beberapa waktu yang lalu, ia sangat disibukkan ketika kafe sedang ramai-ramainya dengan pengunjung yang ternyata kebanyakan adalah teman kantornya sendiri. "Kebetulan weekend kemarin teman-teman kantor banyak yang datang ikut melariskan kafe kita," ujar Julia menggebu-gebu. Arjuna mengangguk mendengarkan seluruh cerita dari Julia dengan khidmat. Jadi, usahanya ketika melakukan promosi di kantor bebera
Beberapa hari berlalu. Menjelang istirahat di kantor. Arjuna terlihat sibuk dengan ponsel pintarnya. Matanya fokus menatap tajam gambar menu makanan yang tertera di layar ponselnya. Masih dalam mode konsentrasi diiringi perutnya yang mulai berbunyi."Pesan ini saja, atau yang ini?" ujarnya yang lebih tepat untuk diri sendiri. Ia masih sibuk memilih-milih daftar menu makanan di suatu aplikasi yang tertera. Beberapa menu yang ia lihat dalam keadaan lapar membuat semuanya terasa begitu menggiurkan. Di ruangan itu, Arjuna hanya sendiri, tidak ada yang bisa ia mintai pendapat. Beberapa daftar makanan pesanannya sudah masuk ke dalam list pembayaran dan tinggal menunggu pengantar makanan datang membawakan makanan yang sudah ia pesan. ***Seorang perempuan berkaca mata minus tengah memegang ganggang telepon. Jemari lentiknya dengan lihai memencet angka-angka yang tertera di sana. Segera angka-angka tersebut tersambung pada tujuan yang sudah ditetapkan di kantor tersebut. Tak lama setelah itu
Seperti rencana awal yang telah ditetapkannya kemarin. Hari ini Julia berniat untuk pergi ke rumah papanya. Akan tetapi, tadi pagi-pagi sekali perempuan itu menangkap gerak-gerik mencurigakan dari suaminya, yang ternyata Arjuna memutuskan untuk ikut mengantar sekaligus mengawasi Julia. Sampai selamat tentunya. Mungkin lelaki itu baru sadar bahwa dia sudah harus siap siaga mulai dari sekarang. Takut terjadi apa-apa yang tidak diinginkan. "Kita naik motor lagi, ya," ajak Julia yang kelewat antusias, sampai ia mengabaikan mimik muka Arjuna yang tiba-tiba berubah menjadi pelik, dengan satu lirikan heran mengarah pada Julia. "Serius kamu mau naik motor lagi?" tanya Arjuna berusaha untuk bersabar dengan tingkah aneh-aneh istrinya yang menurutnya lumayan ekstrim untuk seseorang yang sedang hamil tua. Sekarang istrinya sedang hamil tua, bagaimanapun ia menginginkan yang terbaik untuk istrinya. "Iya.""Coba jelaskan secara singkat alasan kamu sangat menyukai berpergian naik motor?" "Sebena