Dua minggu berlalu dengan cepat. Selama itu pula Arjuna tidak pernah lagi melihat batang hidung Julia di perusahaanya. Perempuan itu pergi entah ke mana seperti ditelan bumi. Mungkin saja perempuan itu bersembunyi atau trauma setelah kejadian yang menimpanya waktu itu.
Seharusnya perempuan itu sudah mendapatkan sanksi, atau lebih buruk ia dipecat secara tidak terhormat. Bolos bekerja tanpa meminta izin, tentu saja melanggar aturan perusahaan.
Tapi Arjuna menyadari dia juga ikut andil dari apa yang menimpa Julia sekarang. Sedikit campur tangannya, ia mudah saja menyelamatkan karir Julia, dan Arjuna bertekad akan menebus kesalahannya.
Arjuna sadar ia telah salah menilai Julia selama ini.
Arjuna menatap arloji di pergelangan tangannya. Pukul delapan malam. Masih ada waktu untuk bertamu. Meski ia tahu bertamu malam-malam di rumah seorang perempuan yang tinggal sendiri itu tidak baik. Tapi tekadnya untuk malam ini sudah bulat, ia harus membujuk Julia untuk kembali bekerja dan meminta maaf lalu segera bertanggung jawab atas apa yang sudah terjadi.
***
Arjuna menatap rumah bergaya minimalis berlantai dua di depannya. Menurut informasi yang baru ia dapatkan, itu adalah rumah Julia.
Lelaki itu memarkirkan mobilnya di depan pagar dan masuk begitu saja setelah mengetahui pagar rumah tidak terkunci. Berbahaya sekali. Untung kompleks daerah sini ada security yang selalu siaga. Tetapi tetap saja Julia harus waspada.
Lelaki itu memencet bel rumah, dan mengetuk pintu hampir lima kali. Tidak ada tanda-tanda pintu akan terbuka. Sekali lagi Arjuna memencet bel disertai bisikan doa dalam hati, supaya si empunya segera membuka pintu.
Ceklek.
Syukurlah. Arjuna bernafas lega ketika pintu terbuka.
"Kakak siapa?" ucap lelaki muda yang kira-kira berusia lima atau enam belas tahun dengan wajah polos menyembul di balik pintu.
Arjuna menatap pemuda tersebut sangat lama. Pintu itu masih belum dibuka lebar. Arjuna dengan tak sabaran agak mendorong pintu itu supaya terbuka lebih lebar.
Pemuda itu terkejut, dan Arjuna juga ikut terkejut.
Mereka sama-sama terkejut.
Pemuda itu lantas menatap Arjuna waspada, sedangkan Arjuna terus mengamati pemuda di depannya itu dengan banyak pertanyaan.
Pemuda itu memakai “kruk”. Dia hanya berdiri dengan satu kaki. Wajah polosnya terlihat manis, rambutnya berponi miring, kulitnya putih bersih, bola matanya berwarna coklat teduh dengan alis mata yang tajam. Jika dilihat lebih jeli lagi, wajah pemuda itu terlihat ramah.
Arjuna bisa memberi kesimpulan kalau pemuda di depannya ini adalah ….
"Kamu Vino?" Arjuna menebak tidak sabaran.
Pemuda yang bernama Vino itu mengangguk sama penasarannya, "Iya, Kakak temannya Kak Julia?" Vino balik bertanya.
Arjuna tersenyum simpul, lalu menggeleng.
"Bukan. Aku ehm ... pacarnya Kak Julia," jawabnya kemudian sambil melirik seisi ruangan. Julia tidak ada.
"Kak Julia punya pacar baru?" Respon Vino dengan wajah syok. Sadar kalau mereka masih berada di luar, Vino segera mempersilakan Arjuna untuk masuk. "Ayo Kak, masuk kalau begitu!" Selanjutnya wajah pemuda itu kembali ramah.
Vino mengajak Arjuna menuju ruang tamu. Ia berjalan cepat tanpa terlihat kesusahan sama sekali. Arjuna terus memperhatikan bagaimana cara Vino berjalan yang terlihat lincah.
"Kak?"
"Eh?" Arjuna menatap Vino kikuk karena ketahuan sedang memperhatikan kaki Vino dengan lancang.
"Vino panggil Kak Julia dulu."
"Iya."
Arjuna mengangguk menatap kepergian Vino yang menghilang di balik tembok. Samar-samar ia mendengar percakapan antara kakak-adik tersebut. Sebenarnya tidak berniat untuk menguping, hanya saja pembicaraan Julia dan Vino memang terdengar keras.
"Kan udah Kakak bilang jangan bawa masuk orang asing."
"Tapi dia bukan orang asing."
"Namanya siapa?"
"Hehe ... Vino nggak tahu, Kak. Tapi katanya dia pacarnya Kak Julia."
Merasa semakin tidak enak, Arjuna memilih melangkah keluar untuk menghormati privasi pertengkaran antara kedua saudara tersebut. Lelaki itu juga membutuhkan banyak persiapan untuk menemui Julia, bahkan sekarang ia masih gugup memikirkan sapaan yang pas untuk Julia nanti.
"Siapa, Dewa? Kakak udah lama putus sama dia."
"Bukan … pacar Kakak yang baru. Orangnya kelihatan ramah."
"Kakak nggak punya pacar baru, Vin. Siapa tahu kalau dia orang jahat yang lagi nyamar."
"Iya, sih, Kak. Wajahnya agak serem gitu. Kadang ramah, kadang juga tiba-tiba serem, Kak."
"Mana orangnya?" Julia menatap ruang tamu yang kosong. Begitu juga dengan Vino yang menatap sofa dengan heran. Arjuna sudah hilang.
"Tadi Vino suruh dia duduk di sofa. Mungkin dia di luar gara-gara Kakak marah-marah," ujar Vino dengan senyuman penuh kesabaran.
Julia mengangguk dan berjalan menuju pintu.
"Julia!"
"Kamu …," Tatapan mata Julia berubah garang. Belum sempat Arjuna berbicara, pintu hampir saja tertutup kalau kaki panjang Arjuna tidak cepat menghalangi pintu. Terasa sakit, ketika kayu itu mengenai kakinya, tapi ia tahan.
"Tunggu Julia …," Arjuna maju satu langkah untuk masuk. Dia sudah berada di dalam rumah Julia kembali. "Aku mau bicara sebentar saja," katanya lagi setelah melihat ketakutan Julia.
"Aku tidak mau, silahkan anda keluar!" ujar Julia tegas dengan nada penuh hormat untuk atasan.
"Julia...," desah Arjuna, "aku mohon."
Julia menggeleng dan berujar, "Bahkan waktu itu saya memohon pun, anda tidak pernah memberikan saya kesempatan," Julia berkata sedih. "Tolong keluar!" Usirnya sekali lagi.
"Tidak!"
Julia menatap atasannya yang arogan tersebut tak percaya.
"Beri aku waktu sepuluh menit."
Julia menggeleng. Tanda tidak.
"Sembilan menit."
Julia menggeleng lagi.
"Delapan menit."
Julia tetap menggeleng. Sampai gadis itu memutuskan untuk memberi waktu lima menit pada Arjuna.
"Kak, kenapa?" tanya Vino. Sedari tadi pemuda itu hanya menonton pertengkaran orang dewasa tersebut dengan kebingungan.
"Kamu masuk ke kamar dulu ya!" perintah Julia kepada Vino. Sang adik menatap Julia dengan penuh keraguan, lalu akhirnya ia tetap mengangguk dan melangkah masuk ke kamar.
"Bolehkan aku duduk di sofa?” Kembali, Arjuna bertanya.
Julia menatap Arjuna tak suka. Ingin sekali ia mengusir lelaki itu. Tapi ia tak bisa. Akhirnya Julia hanya mengangguk pasrah.
Kini mereka duduk saling berhadapan. Julia menatap Arjuna dengan waspada. Dan Arjuna benar-benar “blank” sejak beberapa lalu ia kembali duduk di sofa, ditambah tatapan Julia yang tak bersahabat. Menurutnya berhadapan dengan klien lebih mudah.
"Hmmm ...."
Arjuna berusaha mencari kalimat pembuka yang baik.
"Tiga menit!" potong Julia tegas.
"Eh," Arjuna menatap Julia tak terima. Dia bahkan belum sempat berbicara. Cepat sekali hitungan waktunya yang berkurang.
"Dua ... Satu …."
"Hei?"
"Pergi!" Julia sudah berdiri menatap nyalang Arjuna.
Sedangkan Arjuna masih pada tempatnya. Duduk, ngotot tidak mau pergi. Ia menggeleng, wajahnya terlihat jenaka. "Kamu menghitungnya terlalu cepat, yang pelan sedikit," Protes Arjuna.
"Keluar!"
"Tap-"
"Keluar!"
"Julia aku-"
"Go out, please!" Tunjuk Julia pada pintu keluar.
Arjuna berdiri. Ia berjalan lemas menuju pintu. Lalu langkah kakinya berhenti, ia menoleh menatap Julia.
"Kamu akan dikenakan sanksi karena terlalu banyak bolos kerja," ucap Arjuna dengan tatapan serius.
"Besok saya sudah mulai bekerja," jawab Julia enteng tanpa mau menatap Arjuna.
"Sanksi tetaplah sanksi Julia." Arjuna berhenti, memikirkan kalimat selanjutnya untuk mengulur waktu. "Gaji kamu akan di potong lagi," lanjutnya.
"Saya terima."
"Tapi kalau kamu masih seenaknya membolos, kamu bakal kena PHK."
"Saya tidak peduli jika harus di PHK!"
Arjuna tercengang. Respon Julia terlampau cepat dan datar. Perempuan itu terlihat tidak peduli jika sampai dia harus dipecat. Jelas itu bukan suatu hal yang baik. Julia tidak boleh jauh dari jangkauannya lagi. Tidak akan. Karena Arjuna merasa dia harus memperbaiki segala hal yang sudah rusak.
Arjuna menggeleng cepat. "Tidak …. Kamu harus kembali bekerja," ucap Arjuna ngotot.
"Saya sudah bilang, besok saya masuk," balas Julia sedikit emosi.
"Dan pekerjaan kamu menumpuk, berarti kamu harus lembur."
"Akan segera saya selesaikan pekerjaan saya."
"Dan-"
"Tolong pergi dari sini. Saya mohon, saya ingin istirahat." Julia mendorong tubuh Arjuna melewati pintu.
Arjuna bisa saja balas balik melawan, tapi ia tidak mau menyakiti Julia lagi. Ia sudah janji. Membiarkan Julia mendorongnya adalah hal terbaik untuk saat ini.
"Tunggu …." Arjuna menahan pintu yang hendap ditutup oleh Julia menggunakan tangan kanannya. Di tatapnya mata gadis itu dengan rasa bersalah. "Aku … aku minta maaf Julia. Aku menyesal. Seharusnya aku tidak melakukan itu padamu. Aku benar-benar merasa bersalah. Aku akan tanggung jawab. Tolong jangan membenciku. Aku janji akan menebus semuanya,” sesal Arjuna dengan sekali nafas. Ia menatap Julia was-was. Berharap pintu maaf Julia terbuka untuknya.
Julia hanya diam. Membalas tatapan Arjuna dengan tatapan penuh lukanya. Perempuan itu menggeleng pelan lalu menutup pintu. Meninggalkan Arjuna yang berdiri tertegun dengan perasaan campur aduk.
Arjuna menghela nafas panjang. Di usap rambutnya kebelakang.
"Julia, jangan lupa tutup pagarnya dulu," ujar Arjuna berharap pintu terbuka. Tapi pintu itu tak kunjung terbuka. "Aku pergi. Sampai jumpa besok."
Bersambung.
Arjuna menatap langit-langit kamar. Matanya memang terpejam, tapi pikirannya melayang entah ke mana. Jiwanya masih sepenuhnya terjaga. Kembali teringat empat hari yang lalu di mana Julia mengusirnya dengan tatapan jijik campur benci.Pria itu mengusap wajahnya gusar. Matanya kembali menatap nyalang. Ia bangun dan duduk bersimpuh di atas kasur, merenungi kesalahannya. Dengan keadaan gelisah ia menatap tanggalan di atas meja yang berada tepat di sebelah kasur. Tanggal tiga belas, tercoret dengan lingkaran merah. Arjuna menandai pada tanggalnya. Hari saat dia meniduri perempuan itu. Hari di mana kehormatan adik tirinya sendiri ia renggut.Di tengah keterpurukan rasa bersalah itu, ponselnya berbunyi nyaring.Klik. Arjuna menggeser tombol warna hijau. Mengangkat telepon dengan perasaan jengkel.Siapa malam-malam begini yang berani menggangguku?"Ada apa?""Arjuna, kau tahu …."Arjuna menjauhkan ponselnya. Ia menatap nama kontak di layar ponselnya. Jonatan. Pria yang sekarang masuk ke daft
Cuaca sore hari ini sangat cerah. Tetapi tak secerah hati perempuan yang berkali-kali dirundung masalah. Justru dia menganggap semua hari sama saja. Julia memarkirkan motornya di bagasi seperti biasa. Dia sudah tidak memiliki mobil karena sudah dijualnya untuk menutupi kebutuhan hidup dan hutang orang tua. Kendaraan satu-satunya yang dia punya sekarang hanyalah motor matic kesayangannya. "Lemas sekali," keluh Julia lirih seraya membuka jaket dan helm. Ia melihat pada kaca spion, berusaha tersenyum untuk dirinya, namun yang terlihat hanya senyuman keletihan. Hari ini, akhir bulan. Pekerjaan di kantor lumayan melelahkan. Semua tubuhnya terasa lesu. Berbagai masalah yang terus menghampiri semakin membuat mentalnya down. Dia benar-benar merasa seperti zombie yang dipaksa untuk hidup. Julia baru saja berjalan lima langkah menuju pintu yang sudah terbuka. Sampai kehadiran seseorang membuat semua bebannya bagai terangkat, hilang dan lenyap. Dia."Papa?" Julia memanggil setengah tak perc
Pukul sembilan pagi.Seharusnya Arjuna masih berada di kantor. Berkutat dengan beberapa dokumen penting yang harus segera diteliti dan ditandatangani. Tetapi akal budinya tak bisa diajak untuk fokus. Otaknya terus meneriakkan sebuah nama, Julia. Tapi tidak untuk pagi ini. Kali ini untuk yang kedua kalinya ia datang berkunjung ke rumah Julia.Arjuna cuma ingin memastikan kalau Julia baik-baik saja. Karena di kantor ia tidak melihat kehadiran Julia, dan Julia juga tidak mengkonfirmasi perihal dia tidak masuk hari ini. Hal itu membuat Arjuna agak was-was.Tidak ada satupun yang tahu kalau Arjuna datang ke rumah Julia. Termasuk Ruben. Dia hanya bilang kepada Ruben bahwa ia memiliki urusan sebentar, lalu pergi ke luar. Pintu tidak terkunci saat Arjuna hendak mengecek rumah Julia yang sepi itu. Bisa dipastikan si pemilik rumah ada di dalam. Tanpa permisi Arjuna main masuk begitu saja. Dirinya berharap tak akan ada orang yang menuduhnya mencuri jika ketahuan masuk ke rumah orang sembarangan
Dua mangkuk mie ayam beserta dua gelas es teh tersaji di atas meja. Arjuna mencicipi bagiannya tanpa sungkan. Tadi sebenarnya Arjuna hampir mengajak Julia makan di restoran langganannya, namun Julia menolak mentah-mentah. Malahan Julia memaksanya untuk makan di sini, warung mie ayam milik Pak Budi. Di sini cukup ramai, hanya saja kebanyakan pembeli dari kalangan pelajar yang masih memakai baju putih abu-abu. Sesekali mereka terdengar heboh dengan canda tawa bagi mereka yang datang bergerombolan. "Cepat dimakan!" perintah Arjuna. Julia sama sekali belum menyentuh makanannya, padahal tadi dia yang paling ngotot mengajak ke sini. Julia melirik Arjuna, lalu mengangguk. "Iya." Lima menit berlalu. Mie ayam milik Arjuna sudah habis, sedangkan Julia masih menyantapnya dengan malas. Sesekali Julia asyik melamun. Sesekali juga dia memaksakan untuk fokus, walau tatapannya kadang terlihat kosong. Kesabaran Arjuna benar-benar diuji kali ini. "Kenapa? Tidak enak?" tanya Arjuna menaikkan alis k
Julia berjalan was-was menuju pintu ketika mendengar seseorang mengetuk pintu dengan brutal. Padahal jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Julia sendiri hampir tidak pernah menerima tamu selarut ini. Biasanya kalaupun memang penting, si penamu akan menghubunginya dulu lewat telepon atau sekedar kirim pesan. Sebelum meraih gagang pintu, Julia berdoa, "Semoga bukan penagih hutang." Julia juga menyempatkan diri untuk mengambil balok kayu kecil yang cukup panjang untuk memukul, di sebelah pintu. Kayu itu memang sudah dipersiapkan untuk berjaga-jaga apabila ada sesuatu yang tidak diinginkan, misalnya maling. Itu kata papanya. Julia membuka pintu pelan. "Hai …." Kepala seseorang langsung muncul dari balik pintu. "Kamu?" Tatapan mata Julia mengekor Arjuna yang main masuk begitu saja. Di tangan kanan-kiri lelaki itu juga tengah menenteng plastik lumayan besar yang berisi makanan hingga membuat plastik itu penuh. Lalu dengan santai Arjuna meletakkannya di atas meja, menatap Julia dan
Hari Minggu pagi, Arjuna kembali berkunjung ke rumah Julia untuk yang kesekian kalinya. Ia juga menenteng dua plastik yang berisi brownies cokelat, pandan, stroberi, vanila, dan juga buah apel untuk Julia. Arjuna tidak tahu apa makanan kesukaan Julia, jadi dia hanya berharap Julia suka. Arjuna mengetuk pintu rumah Julia, namun ia agak heran melihat sepatu yang seukuran pria dewasa berada di sebelah sepatunya, di mana ia berdiri saat ini. Jelas sekali itu bukan sepatu milik Vino dilihat dari ukurannya saja sudah jelas.Arjuna mengalihkan pandangannya ketika pintu terbuka. Lima detik Arjuna masih terpaku di tempatnya. "Kamu siapa?" tanya Arjuna menatap heran lelaki berkulit gelap di depannya yang tidak seharusnya membukakan pintu untuknya. Arjuna menaruh curiga. Pikirannya bertanya-tanya kenapa pintu sampai harus ditutup. Apa yang mereka lakukan di dalam. Mengapa sepi sekali. Arjuna melirik ke sana-sini, atau jangan-jangan Julia diperkosa, pikirnya."Saya Herlambang, Mas ini siapa?"
"Kita harus cepat-cepat menikah Julia." "Aku belum siap." "Kapan kamu siap?"Julia menarik nafas panjang. Tidak akan pernah siap.Mereka kembali terdiam cukup lama dengan pikiran masing-masing. Baru saja Arjuna akan mengeluarkan suaranya, namun suara seseorang dari luar mendahuluinya. Mereka menoleh bersamaan. Lalu kembali saling bertukar tatap, dengan pikiran penuh tanya. Arjuna seperti bertanya lewat isyarat mata, namun Julia menggeleng tidak tahu. Di luar terdapat tiga orang lelaki dengan pakaian formal dengan kemeja dan memakai jas. Sepertinya memang tamu yang ingin berkunjung ke rumah Julia. Mereka terlihat sedang celingukan mengintip dan mencari-cari pemilik rumah. Julia melirik was-was, ia menatap Arjuna, lelaki itu mengangguk meyakinkan Julia kalau tidak akan terjadi apa-apa dan dia akan menunggu Julia di belakang. Arjuna mengira mereka orang atau teman papanya Julia. Padahal Julia yakin, Arjuna dapat mengetahui sorot ketakutan dalam Julia saat ini. Arjuna terus meyakink
Pukul 6 pagi. "Kak, lihat buku teks biologiku nggak?" tanya Vino. Wajah Vino menyembul dari balik pintu kamar yang terbuka. Dia sedari tadi sibuk mencari buku pelajarannya yang entah di mana dengan muka panik."Biar Kakak bantu cari," Julia berjalan masuk ke kamar Vino. Ikut mencari dengan membuka beberapa kardus yang berisi barang-barang milik adiknya itu. "Memangnya mata pelajaran hari ini biologi, ya?" tanya Julia yang masih sibuk mencari. Acara pindahan yang terlalu mendadak membuat Julia tak sempat untuk menata barang-barangnya dengan baik. "Iya … dan guru sudah pesan supaya hari ini membawa buku teks itu," ujar Vino sembari tersenyum. Vino berusaha bersikap santai supaya kakaknya membantu tanpa harus ikutan panik. Vino sendiri juga sangat kasihan dengan kakaknya yang hampir belum istirahat sama sekali karena sibuk mengurus barang-barang yang akan dibawa.Hari ini adalah hari pertamanya Julia menempati rumah kontrakan barunya. Kemarin dia dibantu Arjuna dan beberapa orang suruha
Bonus. Arjuna dan Julia adalah pasangan suami istri yang bahagia. Delapan bulan setelah pernikahan mereka, mereka dikaruniai seorang putra yang diberi nama Arka. Kehadiran Arka membawa keceriaan baru dalam kehidupan mereka.Arka tumbuh dengan pesat. Di usianya yang ke-8 bulan, dia sudah mulai bisa berjalan dan sesekali memanggil "papa" dan "mama". Arka juga suka sekali menunggu di depan pintu, menanti kepulangan sang papa dari bekerja. Setiap kali Arjuna pulang, Arka akan berlari ke arahnya dan memeluk kakinya dengan erat. Arjuna selalu menyempatkan waktu untuk bermain dengan Arka, menggendongnya, dan membacakannya cerita. Julia pun tak kalah sayang dengan Arka. Dia selalu sabar dan telaten mengurus Arka, memandikannya, memakaikannya baju, dan memberinya makan.Suatu hari, Arjuna harus pergi ke luar kota untuk urusan pekerjaan selama beberapa hari. Julia merasa sedih karena anaknya harus berpisah sementara dengan papanya. Namun, dia tetap tegar dan berusaha untuk tidak menunjukkan
Arjuna dan Julia menyambut sang buah hati dengan penuh rasa haru dan bahagia. Sejak kepulangan Julia dari rumah sakit, Arjuna dengan penuh semangat mempelajari segala hal tentang mengurus bayi. Dia dengan telaten memandikan, mengganti popok, dan menggendong buah hati mereka dengan penuh kasih sayang.Suatu sore, Julia mengamati Arjuna dari atas kasur saat dia memandikan bayinya. Arjuna dengan penuh kelembutan membersihkan tubuh mungil sang bayi, sesekali mengajaknya berbicara dengan suara yang begitu lembut. Julia tersentuh melihat betapa Arjuna begitu menikmati momen tersebut, dan rasa cinta serta kasih sayangnya terhadap buah hati mereka semakin kuat."Terima kasih, Arjuna," bisik Julia dengan penuh rasa haru.Arjuna menoleh ke arah Julia dan tersenyum. "Apa pun untuk anak kita," jawabnya dengan penuh kasih sayang.Hari-hari Arjuna dan Julia pun diwarnai dengan kebahagiaan sebagai orang tua baru. Mereka saling bahu membahu dalam mengurus buah hati mereka, dan cinta serta kasih sayan
Jantung Arjuna berdegup kencang, rasa cemas dan khawatir mewarnai wajahnya. Ia duduk di kursi tunggu rumah sakit, menunggu kabar dari sang istri yang tengah menjalani operasi caesar di dalam ruangan yang terlihat sangat tertutup itu. Operasi yang sudah ditunggu-tunggu sekaligus penuh kekhawatiran, karena ini adalah anak pertama mereka.Jam demi jam terasa begitu lama. Arjuna terus memanjatkan doa, memohon kelancaran operasi dan keselamatan bagi istri tercinta. Bayangan wajah sang istri selalu terngiang di benaknya, senyumannya yang hangat dan tawa riang yang selalu menghiasi hari-harinya. Kegiatan istrinya yang suka sekali memasak aneka kue membuatnya teringat pilu. Tiba-tiba, pintu ruangan operasi terbuka. Seorang suster dengan wajah teduh melangkah keluar, membawa selimut kecil berwarna putih. Arjuna bangkit dari kursinya, jantungnya berdebar semakin kencang."Pak Arjuna," Suster itu tersenyum hangat, "Ini putra Bapak." Perlahan, suster membuka selimut itu, memperlihatkan wajah mun
Arjuna berjalan cepat mengikuti perawat yang sudah mendorong istrinya di atas brankar rumah sakit untuk segera dilakukan pemeriksaan. Sedari tadi yang ia lihat Julia hanya menggerang kesakitan dengan mata terpejam. Sungguh Arjuna yang melihat itu ikut merasakan kengerian. Sebagai calon bapak-bapak yang menunggu anaknya lahir dengan kepanikan yang luar biasa, mestinya ia tidak tenang. ***Semua tahap pemeriksaan telah dilakukan. Dokter spesialis kandungan menyarankan Julia untuk segera melakukan operasi caesar hari itu juga dikarenakan posisi janin belum sesuai, juga volume ketuban yang malah berkurang. Tentu saja itu bukanlah hal yang bagus untuk calon bayi. Julia sudah mulai tenang tidak kesakitan lagi. Iya berbaring dengan nyaman di atas brankar. Arjuna menarik kursi, dan duduk di dekat istrinya. Ia mengusap kening istrinya, lalu tersenyum manis. "Kamu mau minum?" tawar Arjuna menyodorkan air mineral ke arah Julia. Para perawat sudah pergi. Kamar VVIP yang sangat luas itu teras
Julia Pov. Seperti hari-hari sebelumnya. Hari ini aku berangkat bekerja dihantar oleh suamiku, Arjuna. Di dalam mobil terasa sunyi, aku maupun dia sama-sama saling menutup mulut. Tidak ada basa-basi seperti biasanya. Hanya ada suara desah nafas lelahku yang sepertinya kebanyakan memikirkan masalah akhir-akhir ini. Yah, lagi-lagi masalah sepele. Selalu saja kepikiran. Sebenarnya aku masih memikirkan perihal semalam. Tentang keinginan Arjuna untuk tetap menjadikan aku istri selamanya. Sebenarnya hal itu diluar ekspektasiku. Kadang aku berpikir untuk tidak bersama selamanya. Tiba-tiba menjelang kelahiran anakku, entah kenapa hatiku menjadi plin-plan. Aku merasa seperti keberatan untuk terus menjadi istrinya. Terkadang pikiran terburukku muncul, aku tidak ingin meneruskan pernikahan ini. Bagaimana kalau aku tidak bisa sepenuhnya mencintainya? Atau bagaimana kalau dia selama ini hanya berpura-pura baik di depanku saja? Maksudku di luar sana, seorang pebisnis besar pasti memiliki selingku
Julia mengerang. Ia melepaskan pelukan suaminya. Namun pelukan itu tak mau terlepas. Semakin erat. Ia juga bahkan sudah mencubit-cubit lengan Arjuna supaya mau melepaskannya, namun suaminya tetap tak bergeming. Julia menghela nafas pendek. "Aku mau mandi. Lengket semua badanku," ujar Julia dengan intonasi lirih. Terlalu pagi untuk bicara dengan intonasi agak tinggi. "Sebentar lagi ... tunggu lima menit lagi," Arjuna merengek, menenggelamkan wajahnya ke dalam rambut panjang istrinya. Menghirup aroma wangi yang semerbak. Sambil tetap masih memeluk istrinya. Julia mengambil ponselnya yang berada di nakas dengan susah payah. Lalu menyetel stopwatch dengan hitungan dimulai lima menit. Ia dengan anteng menikmati setiap detik waktu yang mulai berkurang. Sesekali mengusap lembut wajah suaminya. Jemari lentiknya bermain di sana. Sedang Arjuna semakin tidur terlelap
Pukul 10 malam. Julia menarik selimutnya dan bersiap-siap untuk segera tidur. Arjuna yang berada di sampingnya masih sibuk dengan laptopnya. Lelaki itu masih harus meneliti beberapa berkas yang akan dia kerjakan besok di kantor. "Bagaimana keadaan di kafe untuk beberapa hari ini?" tanya Arjuna memecah keheningan. Lelaki itu menatap ke arah Julia yang juga tengah menatap ke arahnya. Julia mengatur posisi berbaringnya sebelum menjawab. "Kafe kita mengalami peningkatan yang cukup drastis. Hampir setiap hari kafe kita ramai dengan pengunjung," jawab Julia antusias. Lalu ia kembali teringat beberapa waktu yang lalu, ia sangat disibukkan ketika kafe sedang ramai-ramainya dengan pengunjung yang ternyata kebanyakan adalah teman kantornya sendiri. "Kebetulan weekend kemarin teman-teman kantor banyak yang datang ikut melariskan kafe kita," ujar Julia menggebu-gebu. Arjuna mengangguk mendengarkan seluruh cerita dari Julia dengan khidmat. Jadi, usahanya ketika melakukan promosi di kantor bebera
Beberapa hari berlalu. Menjelang istirahat di kantor. Arjuna terlihat sibuk dengan ponsel pintarnya. Matanya fokus menatap tajam gambar menu makanan yang tertera di layar ponselnya. Masih dalam mode konsentrasi diiringi perutnya yang mulai berbunyi."Pesan ini saja, atau yang ini?" ujarnya yang lebih tepat untuk diri sendiri. Ia masih sibuk memilih-milih daftar menu makanan di suatu aplikasi yang tertera. Beberapa menu yang ia lihat dalam keadaan lapar membuat semuanya terasa begitu menggiurkan. Di ruangan itu, Arjuna hanya sendiri, tidak ada yang bisa ia mintai pendapat. Beberapa daftar makanan pesanannya sudah masuk ke dalam list pembayaran dan tinggal menunggu pengantar makanan datang membawakan makanan yang sudah ia pesan. ***Seorang perempuan berkaca mata minus tengah memegang ganggang telepon. Jemari lentiknya dengan lihai memencet angka-angka yang tertera di sana. Segera angka-angka tersebut tersambung pada tujuan yang sudah ditetapkan di kantor tersebut. Tak lama setelah itu
Seperti rencana awal yang telah ditetapkannya kemarin. Hari ini Julia berniat untuk pergi ke rumah papanya. Akan tetapi, tadi pagi-pagi sekali perempuan itu menangkap gerak-gerik mencurigakan dari suaminya, yang ternyata Arjuna memutuskan untuk ikut mengantar sekaligus mengawasi Julia. Sampai selamat tentunya. Mungkin lelaki itu baru sadar bahwa dia sudah harus siap siaga mulai dari sekarang. Takut terjadi apa-apa yang tidak diinginkan. "Kita naik motor lagi, ya," ajak Julia yang kelewat antusias, sampai ia mengabaikan mimik muka Arjuna yang tiba-tiba berubah menjadi pelik, dengan satu lirikan heran mengarah pada Julia. "Serius kamu mau naik motor lagi?" tanya Arjuna berusaha untuk bersabar dengan tingkah aneh-aneh istrinya yang menurutnya lumayan ekstrim untuk seseorang yang sedang hamil tua. Sekarang istrinya sedang hamil tua, bagaimanapun ia menginginkan yang terbaik untuk istrinya. "Iya.""Coba jelaskan secara singkat alasan kamu sangat menyukai berpergian naik motor?" "Sebena