"Di mana adikku, Ma?" Arjuna menatap Lauren, mamanya yang baru saja muncul dari dapur sambil sibuk membawa nampan berisi dua gelas jus jeruk.
Wanita itu meletakkan dua gelas jus jeruk itu di atas meja. Di depan Arjuna dengan hati-hati. "Kamu tiba-tiba datang berkunjung ke apartemen Mama hanya untuk menanyakan hal tidak penting itu pada Mama?" tanya wanita itu menunjukkan muka sedih yang sengaja dibuat-buat.
Arjuna mendengus muak. Sudah berkali-kali dia datang menanyakan kabar adiknya. Tetap saja hasilnya nihil. Berkali-kali juga mamanya seolah menghindari topik pembicaraan seputar adik yang belum pernah ia ketahui itu.
Semenjak Lauren bercerai dengan Anton, papa kandung Arjuna, Arjuna diasuh oleh papanya sendiri. Lauren yang notabene adalah mama kandungnya sendiri sangat cuek kepada Arjuna sejak kecil. Wanita itu seakan tidak peduli terhadap tumbuh kembang anaknya.
Arjuna tumbuh besar tanpa kasih sayang dari seorang mama, hal itu yang membuat Arjuna juga tidak terlalu dekat oleh mamanya. Semua sifat yang dimilikinya adalah warisan dari sang papa. Terlebih alasan Lauren bercerai dengan Anton karena Lauren ketahuan selingkuh dengan saingan bisnis Anton sepuluh tahun yang lalu.
Saat ini Arjuna telah berusia dua puluh delapan tahun. Ia semakin dewasa. Semenjak kematian papanya tiga tahun yang lalu, Arjuna hidup mengurusi perusahaanya warisan papanya dibantu oleh pamannya.
"Arjuna tanya sekali lagi. Apa Mama juga menelantarkan adikku sama seperti ketika Mama menelantarkan Arjuna dulu?" tuduh Arjuna dengan nada tinggi. Menatap tajam pada mamanya yang sama sekali tidak terpengaruh dengan bentakan anaknya itu.
Lauren duduk di sofa. Mereka saling berhadapan. Wanita itu bersedekap sambil menyilangkan kaki dengan santai. Menatap Arjuna penuh penilaian. "Arjuna, kamu mewarisi sifat pemarah papamu, ya," ejek Lauren sambil tersenyum basa-basi. "Ya, soal adikmu itu tenang saja. Mama sudah mengirim dia ke panti asuhan, dia pasti dirawat dengan baik di sana," lanjut Lauren santai sambil mengaduk jus jeruknya dengan sedotan. Seolah ia tidak memiliki dosa besar sama sekali.
"Mama benar-benar keterlaluan! Kenapa Mama tidak menitipkannya padaku?" bentak Arjuna marah.
"Memangnya kenapa, anak itu cacat, dan Mama tidak sudi memiliki anak cacat seperti dia. Lagipula buat apa Mama titipkan dia padamu, kamu saja tidak pernah mau bertemu dengan Mama!" Lauren ikut membentak Arjuna, ia kali ini menatap Arjuna tidak suka. Arjuna selalu saja menyalahkannya dalam hal apapun, dan itu membuat Lauren muak.
"Dia anak Mama juga!"
"Apa gunanya memiliki anak cacat!"
"Di mana?" guman Arjunan dengan giginya yang gemeletuk. Ia berusaha mengontrol emosinya yang tinggal di ubun-ubun. "Di mana alamat panti asuhannya?" ujarnya sekali lagi dengan masih menahan amarahnya.
Lauren menyeruput jus jeruknya anggun, gerakan yang sensual. Setengah gelas jusnya tandas. Jemari lentiknya bergerak mengetuk pelipisnya. "Tunggu Mama ingat-ingat dulu." Wanita itu terlihat berpikir keras. Jari telunjuknya menjentik ke atas. "Aaaaa … Mama tahu. Mama tidak akan memberitahumu sebelum kamu mentransfer Mama uang sebanyak tiga ratus juta," ujarnya kemudian dengan santai.
Arjuna mengepalkan tangannya erat. Uang, uang, uang, dan uang. Selalu saja uang yang dipikirkan oleh mamanya. Kalau saja wanita di depannya bukanlah seorang mama kandungnya yang harus dihormati, sudah dari tadi Arjuna menamparnya dengan keras.
"Untuk apa Mama membutuhkan uang sebanyak itu?"
"Kamu tahu sendirikan kehidupan Mama bagaimana setelah bercerai dari papamu. Dan sekarang papa tirimu hanyalah seorang pemabuk setelah dia bangkrut. Oh, dia benar-benar tidak bisa diandalkan. Mama menyesal telah menikahinya." Lauren mendengus. Mengusap pelipisnya kasar berusaha menunjukkan wajah melasnya pada Arjuna.
"Itu karma yang setimpal untuk Mama," seru Arjuna dengan pedas.
"Huh, Mama tidak percaya dengan karma," balas Lauren santai sambil melihat cat kukunya yang mulai terkelupas, lalu mengusapnya pelan membuat kukunya kembali mengilat.
"Arjuna sudah mentransfer uang yang Mama minta ke rekening Mama. Sekarang beri tahu Arjuna di mana adik Arjuna." Arjuna memasukkan ponselnya ke dalam saku jasnya lagi. Sebelumnya ia telah mengirimkan pesan kepada asistennya untuk mentransfer uang sebanyak yang disebutkan Lauren tadi.
Lauren tampak menatap Arjuna dengan wajah berbinar. Kemudian wanita itu menggeleng prihatin. "Astaga, dia cuma adik tirimu. Kenapa kamu peduli sekali padanya dibandingkan dengan Mama, Sayang?" tanya mamanya dengan nada merajuk yang dibuat-buat.
"Ma …!"
Wanita itu menghela nafas panjang. Ia tampak pasrah seraya mengangkat kedua telapak tangannya. "Oke … oke …. Mama kasih tahu. Dia sekarang dirawat oleh anak papa tirimu. Mama tidak tahu kenapa dia mau saja merawat anak cacat itu. Nanti Mama akan mengirimkan berkas dan alamatnya sama kamu. Kamu boleh pegang kata-kata Mama." Lauren berhenti berbicara setelah menjelaskan panjang lebar. Ia kembali menyeruput jus jeruknya sampai tandas. Lalu menatap jam tangan mewahnya. "Oh, ya, Mama tiba-tiba ada urusan mendadak. Mama harus pergi. Bay Sayang, jangan lupa kunci pintunya. Mama menyayangimu, Nak."
Arjuna mengusap kening bekas ciuman singkat mamanya barusan. Telapak tangannya memerah, lipstik mamanya menempel di sana. Lalu pandangannya beralih pada pintu apartemen yang masih terbuka. Kosong. Mama sudah pergi meninggalkannya lagi dengan alasan sibuk. Selalu saja seperti itu. Menghindar.
***
Arjuna menatap pantulan dirinya di depan cermin. Ia menyugar rambut hitamnya yang sedikit memanjang secara asal sehingga terlihat acak-acakkan. Jaket kulit berwarna hitam pekat dipadu celana jeans hitam membalut tubuhnya dengan sempurna. Lalu ia berjalan keluar kamar, memakai sepatu boots kasual berwarna coklat. Seharusnya ia terlihat keren ala “bad boy”, tapi karena wajahnya yang ditekuk kusut sepertinya akan ada banyak orang yang memilih menghindar ketika berpapasan dengannya daripada mengagumi.
Arjuna memakai helm hitamnya. Selanjutnya ia berjalan menuju bagasi untuk mengambil motor sportnya.
Arjuna melajukan motornya dengan kecepatan diatas rata-rata. Pikirannya hari ini sedang kacau. Emosi yang bergejolak terus menguasai dirinya. Diikuti rasa sesak di dada, Arjuna menambah kecepatan laju motornya. Menembus asap polusi sore hari yang semakin hari semakin susah untuk diatasi.
Ketika hidupnya ada di posisi titik terendah seperti ini, Arjuna selalu pergi ke suatu tempat yang tenang dan asri sendirian. Ia membutuhkan waktu untuk berkomunikasi dengan alam.
Menghabiskan waktu di sana adalah salah satu ide liburan terbaiknya. Tempat sejuk nan jauh dari hiruk pikuk perkotaan yang kejam. Di sana akan sangat tenang dan damai.
Di atas bukit itu Arjuna dapat melihat pepohonan hijau yang menyegarkan mata. Mereka kebetulan tumbuh dengan subur. Arjuna memarkirkan motornya tidak jauh dari tempatnya berdiri. Beberapa meter di depannya ada sebuah danau, dan terdapat beberapa orang yang masih memancing di sana dengan suara gelak tawa candaan dari salah satu temannya yang juga ikut memancing. Tempat ini membuat ingatannya tergiring kemasa lalu yang penuh dengan cinta keluarga. Ya, itu dulu sekali.
Arjuna samar-samar mengingat tempat dan kejadian yang indah itu. Tempat inilah yang paling berarti untuknya. Saat ia berusia delapan tahun, papa dan mamanya masih akur. Mereka masih harmonis. Yah, walaupun sebenarnya mamanya kebanyakan lebih sibuk sendiri dengan teman-teman.
Waktu itu Arjuna kecil sangat bahagia. Setiap liburan, tempat ini adalah tempat favorit mereka. Arjuna pernah mendapatkan ikan dengan ukuran besar hasil ia memancing, dan mama langsung memujinya dengan bangga karena waktu itu papa sama sekali belum mendapatkan ikannya. Tetapi semuanya berubah ketika mamanya secara terang-terangan memilih berpaling dan meninggalkan keluarganya demi lelaki lain. Mama melupakan semua kenangan indah mereka. Menganggap semuanya tidaklah penting. Keluarga Arjuna hancur. Waktu ketika orangtuanya memilih untuk bercerai adalah saat Arjuna berusia tiga belas tahun.
Papa yang ditinggalkan mama mulai sakit-sakitan. Tetapi ia tidak pernah memperlihatkan wajah terlukanya di depan Arjuna. Papa selalu berusaha menunjukkan semuanya akan baik-baik saja. Padahal sesuatu yang baik itu tidak pernah ada. Sampai ketika usianya dewasa, papa mulai mengajarkannya untuk memimpin perusahaan. Beberapa tahun kemudian papa wafat. Selanjutnya Arjuna dibantu oleh pamannya untuk memimpin perusahaan.
Mengingat papanya, tiba-tiba membuatnya sedih.
Arjuna melempar batu kerikil secara asal. Seolah-olah emosinya ikut terbuang. Sesak.
"Papa, apa kabarmu di sana semoga papa baik-baik saja di surga. Aku rindu duduk berdua sambil melepas penat. Aku merindukan papa!" ujarnya setengah berteriak kepada angin kencang yang berhembus, diikuti matanya yang berkaca-kaca.
Bersambung.
Facebook @Sim Prabu.
Arjuna menyesap gelas vodka itu hingga tandas. Pikirannya kembali melayang pada kejadian tadi pagi. Saat ia mengunjungi apartemen mamanya untuk mencari tahu keberadaan adiknya, tapi hasilnya lagi-lagi nihil.Arjuna sudah terlanjur mentransfer sejumlah uang yang cukup besar pada mamanya, namun sampai sekarang perempuan itu belum mengirimkan berkas yang ia janjikan.Pikirannya saat ini benar-benar kacau. Bukan uang yang ia permasalahkan, tapi ia memikirkan nasib adiknya yang tidak pernah ia ketahui keberadaanya. Ia bahkan tidak tahu jenis kelamin adiknya itu. Malang sekali nasibnya. Sejak mamanya menikah dengan lelaki itu, Arjuna tidak mau lagi berurusan dengan mamanya. Arjuna bahkan tidak mau tahu siapa ayah tirinya, latar belakang ayah tirinya, keadaan mamanya setelah menikah. Arjuna benar-benar tidak mau tahu. Tapi semakin lama hati kecilnya terbuka, ia merasa perlu mencari adik tirinya yang juga kabarnya ditelantarkan juga oleh mamanya.Sungguh biadab. Ia tidak mau adiknya bernasib
"Aku di mana?!" Julia berteriak marah ketika seorang lelaki asing berkemeja putih datang memasuki kamar dan membuka lakban di mulut Julia secara paksa. Gadis itu memekik, mulutnya terasa panas. Julia terus bergerak-gerak gelisah, menatap lelaki yang tengah memakai masker warna hitam di depannya dengan penuh waspada. Tanganya terikat dari belakang. Gadis itu jelas tidak bisa melakukan perlawanan. Di balik kepasrahannya Julia terus berusaha melepas ikatannya. lelaki di depannya tertawa menatap Julia yang malang. Ia membelai pipi Julia pelan. "Tenang saja Nona cantik. Aku tidak akan menyakitimu kalau kau mau diam," ujarnya hendak mengecup bibir Julia, tapi Julia segera mengelak sehingga kecupan lelaki itu berakhir di pipi kiri Julia."Lepaskan aku!" bentak Julia dengan geram. Lelaki itu terus tertawa tidak peduli."Tidak akan!""Lepaskan, atau aku akan teriak!" bentak Julia sekali lagi dengan marah."Kau teriak pun tidak akan ada yang menolongmu," ucap lelaki itu dengan dingin. Ia mende
"Mama benar-benar keterlaluan!" Arjuna berteriak marah dengan suara yang terdengar nyaring."Apa maksud kamu? Tiba-tiba datang dan langsung marah-marah tidak jelas!" Lauren ikut berdiri, bertanya dengan intonasi yang sama kerasnya. Tatapannya menatap buas kepada putra kandungnya yang semakin kurang ajar itu. Hati kecilnya tidak terima ketika Arjuna terus-terusan membentaknya.Kali ini Lauren tidak menyuguhi air minum untuk Arjuna seperti biasa saat Arjuna mengunjungi apartemennya. Firasat seorang ibu merasakan kalau anaknya akan berkunjung, dan rasanya itu bukanlah hal yang baik untuk hari ini. Tapi sebelum Lauren bergegas keluar, Arjuna sudah terlanjur membuka pintu dengan kasar dengan kemarahan yang ketara. Masuk ke dalam dan langsung meluapkan emosinya yang sedang meluap-luap. Firasat buruknya benar terjadi. Arjuna sekarang begitu marah padanya. "Mama kenapa tega menjual putri Mama, hah!" Lelaki itu menatap mata mamanya dengan nanar. Arjuna mengepalkan tangannya dengan erat. Berusa
Dua minggu berlalu dengan cepat. Selama itu pula Arjuna tidak pernah lagi melihat batang hidung Julia di perusahaanya. Perempuan itu pergi entah ke mana seperti ditelan bumi. Mungkin saja perempuan itu bersembunyi atau trauma setelah kejadian yang menimpanya waktu itu.Seharusnya perempuan itu sudah mendapatkan sanksi, atau lebih buruk ia dipecat secara tidak terhormat. Bolos bekerja tanpa meminta izin, tentu saja melanggar aturan perusahaan.Tapi Arjuna menyadari dia juga ikut andil dari apa yang menimpa Julia sekarang. Sedikit campur tangannya, ia mudah saja menyelamatkan karir Julia, dan Arjuna bertekad akan menebus kesalahannya.Arjuna sadar ia telah salah menilai Julia selama ini. Arjuna menatap arloji di pergelangan tangannya. Pukul delapan malam. Masih ada waktu untuk bertamu. Meski ia tahu bertamu malam-malam di rumah seorang perempuan yang tinggal sendiri itu tidak baik. Tapi tekadnya untuk malam ini sudah bulat, ia harus membujuk Julia untuk kembali bekerja dan meminta maaf
Arjuna menatap langit-langit kamar. Matanya memang terpejam, tapi pikirannya melayang entah ke mana. Jiwanya masih sepenuhnya terjaga. Kembali teringat empat hari yang lalu di mana Julia mengusirnya dengan tatapan jijik campur benci.Pria itu mengusap wajahnya gusar. Matanya kembali menatap nyalang. Ia bangun dan duduk bersimpuh di atas kasur, merenungi kesalahannya. Dengan keadaan gelisah ia menatap tanggalan di atas meja yang berada tepat di sebelah kasur. Tanggal tiga belas, tercoret dengan lingkaran merah. Arjuna menandai pada tanggalnya. Hari saat dia meniduri perempuan itu. Hari di mana kehormatan adik tirinya sendiri ia renggut.Di tengah keterpurukan rasa bersalah itu, ponselnya berbunyi nyaring.Klik. Arjuna menggeser tombol warna hijau. Mengangkat telepon dengan perasaan jengkel.Siapa malam-malam begini yang berani menggangguku?"Ada apa?""Arjuna, kau tahu …."Arjuna menjauhkan ponselnya. Ia menatap nama kontak di layar ponselnya. Jonatan. Pria yang sekarang masuk ke daft
Cuaca sore hari ini sangat cerah. Tetapi tak secerah hati perempuan yang berkali-kali dirundung masalah. Justru dia menganggap semua hari sama saja. Julia memarkirkan motornya di bagasi seperti biasa. Dia sudah tidak memiliki mobil karena sudah dijualnya untuk menutupi kebutuhan hidup dan hutang orang tua. Kendaraan satu-satunya yang dia punya sekarang hanyalah motor matic kesayangannya. "Lemas sekali," keluh Julia lirih seraya membuka jaket dan helm. Ia melihat pada kaca spion, berusaha tersenyum untuk dirinya, namun yang terlihat hanya senyuman keletihan. Hari ini, akhir bulan. Pekerjaan di kantor lumayan melelahkan. Semua tubuhnya terasa lesu. Berbagai masalah yang terus menghampiri semakin membuat mentalnya down. Dia benar-benar merasa seperti zombie yang dipaksa untuk hidup. Julia baru saja berjalan lima langkah menuju pintu yang sudah terbuka. Sampai kehadiran seseorang membuat semua bebannya bagai terangkat, hilang dan lenyap. Dia."Papa?" Julia memanggil setengah tak perc
Pukul sembilan pagi.Seharusnya Arjuna masih berada di kantor. Berkutat dengan beberapa dokumen penting yang harus segera diteliti dan ditandatangani. Tetapi akal budinya tak bisa diajak untuk fokus. Otaknya terus meneriakkan sebuah nama, Julia. Tapi tidak untuk pagi ini. Kali ini untuk yang kedua kalinya ia datang berkunjung ke rumah Julia.Arjuna cuma ingin memastikan kalau Julia baik-baik saja. Karena di kantor ia tidak melihat kehadiran Julia, dan Julia juga tidak mengkonfirmasi perihal dia tidak masuk hari ini. Hal itu membuat Arjuna agak was-was.Tidak ada satupun yang tahu kalau Arjuna datang ke rumah Julia. Termasuk Ruben. Dia hanya bilang kepada Ruben bahwa ia memiliki urusan sebentar, lalu pergi ke luar. Pintu tidak terkunci saat Arjuna hendak mengecek rumah Julia yang sepi itu. Bisa dipastikan si pemilik rumah ada di dalam. Tanpa permisi Arjuna main masuk begitu saja. Dirinya berharap tak akan ada orang yang menuduhnya mencuri jika ketahuan masuk ke rumah orang sembarangan
Dua mangkuk mie ayam beserta dua gelas es teh tersaji di atas meja. Arjuna mencicipi bagiannya tanpa sungkan. Tadi sebenarnya Arjuna hampir mengajak Julia makan di restoran langganannya, namun Julia menolak mentah-mentah. Malahan Julia memaksanya untuk makan di sini, warung mie ayam milik Pak Budi. Di sini cukup ramai, hanya saja kebanyakan pembeli dari kalangan pelajar yang masih memakai baju putih abu-abu. Sesekali mereka terdengar heboh dengan canda tawa bagi mereka yang datang bergerombolan. "Cepat dimakan!" perintah Arjuna. Julia sama sekali belum menyentuh makanannya, padahal tadi dia yang paling ngotot mengajak ke sini. Julia melirik Arjuna, lalu mengangguk. "Iya." Lima menit berlalu. Mie ayam milik Arjuna sudah habis, sedangkan Julia masih menyantapnya dengan malas. Sesekali Julia asyik melamun. Sesekali juga dia memaksakan untuk fokus, walau tatapannya kadang terlihat kosong. Kesabaran Arjuna benar-benar diuji kali ini. "Kenapa? Tidak enak?" tanya Arjuna menaikkan alis k
Bonus. Arjuna dan Julia adalah pasangan suami istri yang bahagia. Delapan bulan setelah pernikahan mereka, mereka dikaruniai seorang putra yang diberi nama Arka. Kehadiran Arka membawa keceriaan baru dalam kehidupan mereka.Arka tumbuh dengan pesat. Di usianya yang ke-8 bulan, dia sudah mulai bisa berjalan dan sesekali memanggil "papa" dan "mama". Arka juga suka sekali menunggu di depan pintu, menanti kepulangan sang papa dari bekerja. Setiap kali Arjuna pulang, Arka akan berlari ke arahnya dan memeluk kakinya dengan erat. Arjuna selalu menyempatkan waktu untuk bermain dengan Arka, menggendongnya, dan membacakannya cerita. Julia pun tak kalah sayang dengan Arka. Dia selalu sabar dan telaten mengurus Arka, memandikannya, memakaikannya baju, dan memberinya makan.Suatu hari, Arjuna harus pergi ke luar kota untuk urusan pekerjaan selama beberapa hari. Julia merasa sedih karena anaknya harus berpisah sementara dengan papanya. Namun, dia tetap tegar dan berusaha untuk tidak menunjukkan
Arjuna dan Julia menyambut sang buah hati dengan penuh rasa haru dan bahagia. Sejak kepulangan Julia dari rumah sakit, Arjuna dengan penuh semangat mempelajari segala hal tentang mengurus bayi. Dia dengan telaten memandikan, mengganti popok, dan menggendong buah hati mereka dengan penuh kasih sayang.Suatu sore, Julia mengamati Arjuna dari atas kasur saat dia memandikan bayinya. Arjuna dengan penuh kelembutan membersihkan tubuh mungil sang bayi, sesekali mengajaknya berbicara dengan suara yang begitu lembut. Julia tersentuh melihat betapa Arjuna begitu menikmati momen tersebut, dan rasa cinta serta kasih sayangnya terhadap buah hati mereka semakin kuat."Terima kasih, Arjuna," bisik Julia dengan penuh rasa haru.Arjuna menoleh ke arah Julia dan tersenyum. "Apa pun untuk anak kita," jawabnya dengan penuh kasih sayang.Hari-hari Arjuna dan Julia pun diwarnai dengan kebahagiaan sebagai orang tua baru. Mereka saling bahu membahu dalam mengurus buah hati mereka, dan cinta serta kasih sayan
Jantung Arjuna berdegup kencang, rasa cemas dan khawatir mewarnai wajahnya. Ia duduk di kursi tunggu rumah sakit, menunggu kabar dari sang istri yang tengah menjalani operasi caesar di dalam ruangan yang terlihat sangat tertutup itu. Operasi yang sudah ditunggu-tunggu sekaligus penuh kekhawatiran, karena ini adalah anak pertama mereka.Jam demi jam terasa begitu lama. Arjuna terus memanjatkan doa, memohon kelancaran operasi dan keselamatan bagi istri tercinta. Bayangan wajah sang istri selalu terngiang di benaknya, senyumannya yang hangat dan tawa riang yang selalu menghiasi hari-harinya. Kegiatan istrinya yang suka sekali memasak aneka kue membuatnya teringat pilu. Tiba-tiba, pintu ruangan operasi terbuka. Seorang suster dengan wajah teduh melangkah keluar, membawa selimut kecil berwarna putih. Arjuna bangkit dari kursinya, jantungnya berdebar semakin kencang."Pak Arjuna," Suster itu tersenyum hangat, "Ini putra Bapak." Perlahan, suster membuka selimut itu, memperlihatkan wajah mun
Arjuna berjalan cepat mengikuti perawat yang sudah mendorong istrinya di atas brankar rumah sakit untuk segera dilakukan pemeriksaan. Sedari tadi yang ia lihat Julia hanya menggerang kesakitan dengan mata terpejam. Sungguh Arjuna yang melihat itu ikut merasakan kengerian. Sebagai calon bapak-bapak yang menunggu anaknya lahir dengan kepanikan yang luar biasa, mestinya ia tidak tenang. ***Semua tahap pemeriksaan telah dilakukan. Dokter spesialis kandungan menyarankan Julia untuk segera melakukan operasi caesar hari itu juga dikarenakan posisi janin belum sesuai, juga volume ketuban yang malah berkurang. Tentu saja itu bukanlah hal yang bagus untuk calon bayi. Julia sudah mulai tenang tidak kesakitan lagi. Iya berbaring dengan nyaman di atas brankar. Arjuna menarik kursi, dan duduk di dekat istrinya. Ia mengusap kening istrinya, lalu tersenyum manis. "Kamu mau minum?" tawar Arjuna menyodorkan air mineral ke arah Julia. Para perawat sudah pergi. Kamar VVIP yang sangat luas itu teras
Julia Pov. Seperti hari-hari sebelumnya. Hari ini aku berangkat bekerja dihantar oleh suamiku, Arjuna. Di dalam mobil terasa sunyi, aku maupun dia sama-sama saling menutup mulut. Tidak ada basa-basi seperti biasanya. Hanya ada suara desah nafas lelahku yang sepertinya kebanyakan memikirkan masalah akhir-akhir ini. Yah, lagi-lagi masalah sepele. Selalu saja kepikiran. Sebenarnya aku masih memikirkan perihal semalam. Tentang keinginan Arjuna untuk tetap menjadikan aku istri selamanya. Sebenarnya hal itu diluar ekspektasiku. Kadang aku berpikir untuk tidak bersama selamanya. Tiba-tiba menjelang kelahiran anakku, entah kenapa hatiku menjadi plin-plan. Aku merasa seperti keberatan untuk terus menjadi istrinya. Terkadang pikiran terburukku muncul, aku tidak ingin meneruskan pernikahan ini. Bagaimana kalau aku tidak bisa sepenuhnya mencintainya? Atau bagaimana kalau dia selama ini hanya berpura-pura baik di depanku saja? Maksudku di luar sana, seorang pebisnis besar pasti memiliki selingku
Julia mengerang. Ia melepaskan pelukan suaminya. Namun pelukan itu tak mau terlepas. Semakin erat. Ia juga bahkan sudah mencubit-cubit lengan Arjuna supaya mau melepaskannya, namun suaminya tetap tak bergeming. Julia menghela nafas pendek. "Aku mau mandi. Lengket semua badanku," ujar Julia dengan intonasi lirih. Terlalu pagi untuk bicara dengan intonasi agak tinggi. "Sebentar lagi ... tunggu lima menit lagi," Arjuna merengek, menenggelamkan wajahnya ke dalam rambut panjang istrinya. Menghirup aroma wangi yang semerbak. Sambil tetap masih memeluk istrinya. Julia mengambil ponselnya yang berada di nakas dengan susah payah. Lalu menyetel stopwatch dengan hitungan dimulai lima menit. Ia dengan anteng menikmati setiap detik waktu yang mulai berkurang. Sesekali mengusap lembut wajah suaminya. Jemari lentiknya bermain di sana. Sedang Arjuna semakin tidur terlelap
Pukul 10 malam. Julia menarik selimutnya dan bersiap-siap untuk segera tidur. Arjuna yang berada di sampingnya masih sibuk dengan laptopnya. Lelaki itu masih harus meneliti beberapa berkas yang akan dia kerjakan besok di kantor. "Bagaimana keadaan di kafe untuk beberapa hari ini?" tanya Arjuna memecah keheningan. Lelaki itu menatap ke arah Julia yang juga tengah menatap ke arahnya. Julia mengatur posisi berbaringnya sebelum menjawab. "Kafe kita mengalami peningkatan yang cukup drastis. Hampir setiap hari kafe kita ramai dengan pengunjung," jawab Julia antusias. Lalu ia kembali teringat beberapa waktu yang lalu, ia sangat disibukkan ketika kafe sedang ramai-ramainya dengan pengunjung yang ternyata kebanyakan adalah teman kantornya sendiri. "Kebetulan weekend kemarin teman-teman kantor banyak yang datang ikut melariskan kafe kita," ujar Julia menggebu-gebu. Arjuna mengangguk mendengarkan seluruh cerita dari Julia dengan khidmat. Jadi, usahanya ketika melakukan promosi di kantor bebera
Beberapa hari berlalu. Menjelang istirahat di kantor. Arjuna terlihat sibuk dengan ponsel pintarnya. Matanya fokus menatap tajam gambar menu makanan yang tertera di layar ponselnya. Masih dalam mode konsentrasi diiringi perutnya yang mulai berbunyi."Pesan ini saja, atau yang ini?" ujarnya yang lebih tepat untuk diri sendiri. Ia masih sibuk memilih-milih daftar menu makanan di suatu aplikasi yang tertera. Beberapa menu yang ia lihat dalam keadaan lapar membuat semuanya terasa begitu menggiurkan. Di ruangan itu, Arjuna hanya sendiri, tidak ada yang bisa ia mintai pendapat. Beberapa daftar makanan pesanannya sudah masuk ke dalam list pembayaran dan tinggal menunggu pengantar makanan datang membawakan makanan yang sudah ia pesan. ***Seorang perempuan berkaca mata minus tengah memegang ganggang telepon. Jemari lentiknya dengan lihai memencet angka-angka yang tertera di sana. Segera angka-angka tersebut tersambung pada tujuan yang sudah ditetapkan di kantor tersebut. Tak lama setelah itu
Seperti rencana awal yang telah ditetapkannya kemarin. Hari ini Julia berniat untuk pergi ke rumah papanya. Akan tetapi, tadi pagi-pagi sekali perempuan itu menangkap gerak-gerik mencurigakan dari suaminya, yang ternyata Arjuna memutuskan untuk ikut mengantar sekaligus mengawasi Julia. Sampai selamat tentunya. Mungkin lelaki itu baru sadar bahwa dia sudah harus siap siaga mulai dari sekarang. Takut terjadi apa-apa yang tidak diinginkan. "Kita naik motor lagi, ya," ajak Julia yang kelewat antusias, sampai ia mengabaikan mimik muka Arjuna yang tiba-tiba berubah menjadi pelik, dengan satu lirikan heran mengarah pada Julia. "Serius kamu mau naik motor lagi?" tanya Arjuna berusaha untuk bersabar dengan tingkah aneh-aneh istrinya yang menurutnya lumayan ekstrim untuk seseorang yang sedang hamil tua. Sekarang istrinya sedang hamil tua, bagaimanapun ia menginginkan yang terbaik untuk istrinya. "Iya.""Coba jelaskan secara singkat alasan kamu sangat menyukai berpergian naik motor?" "Sebena