"Aku di mana?!" Julia berteriak marah ketika seorang lelaki asing berkemeja putih datang memasuki kamar dan membuka lakban di mulut Julia secara paksa. Gadis itu memekik, mulutnya terasa panas.
Julia terus bergerak-gerak gelisah, menatap lelaki yang tengah memakai masker warna hitam di depannya dengan penuh waspada. Tanganya terikat dari belakang. Gadis itu jelas tidak bisa melakukan perlawanan. Di balik kepasrahannya Julia terus berusaha melepas ikatannya.
lelaki di depannya tertawa menatap Julia yang malang. Ia membelai pipi Julia pelan. "Tenang saja Nona cantik. Aku tidak akan menyakitimu kalau kau mau diam," ujarnya hendak mengecup bibir Julia, tapi Julia segera mengelak sehingga kecupan lelaki itu berakhir di pipi kiri Julia.
"Lepaskan aku!" bentak Julia dengan geram. Lelaki itu terus tertawa tidak peduli.
"Tidak akan!"
"Lepaskan, atau aku akan teriak!" bentak Julia sekali lagi dengan marah.
"Kau teriak pun tidak akan ada yang menolongmu," ucap lelaki itu dengan dingin. Ia mendekat, duduk di ranjang sebelah Julia, lalu merogoh saku celananya. Tiga pil yang menurut Julia asing sudah berada di genggaman tangan lelaki itu. Selanjutnya lelaki itu meraih botol air mineral diatas meja. "Minum ini!" perintahnya pada Julia.
"Tidak mau!" Julia menggeleng keras. Lelaki itu menjambak rambut Julia erat, membuat gadis itu mendongak ke atas.
"Minum sekarang juga jalang!" perintahnya sekali lagi dengan tatapan tidak mau dibantah. Julia terus menggeleng kuat walau kulit kepalanya terasa sakit ketika digerakkan.
Lelaki itu masih menjambak rambut Julia. Tidak kehabisan akal, lelaki itu mencengkram mulut Julia kuat, membuat mulut perempuan itu sedikit terbuka, lalu tiga butir pil tadi sudah berpindah ke dalam mulut Julia. Diraihnya botol mineral tadi, "minum dan telan!" perintahnya.
Julia terus menggeleng kuat. Air matanya sudah menetes dari tadi. Julia menangis, ia sangat ketakutan sekarang. Julia tidak pernah membayangkan kejadian menjijikan seperti ini akan terjadi.
"Cepat telan!" teriak lelaki itu dengan satu tamparan keras pada pipi Julia, membuat gadis itu spontan menelan ketiga butir pilnya karena terkejut.
"Bagus, setelah ini kau akan menjadi gadis penurut, dan kau adalah sumber uangku," kata lelaki itu tertawa puas lalu pergi meninggalkan Julia yang menangis sesegukan.
***
"Bagaimana?" Arjuna menatap lelaki yang baru saja keluar dari kamar 505 dengan tatapan sulit diartikan.
"Sukses, sebentar lagi obatnya akan bereaksi," jawab lelaki itu dengan senyuman tipisnya.
Arjuna mengernyit. Menatap lelaki di depannya tajam. "Kau memberikannya obat itu?" tanyanya memastikan.
"Tentu saja. Apalagi?"
"Cih, seharusnya kau tidak memberikan obat itu, Bodoh!” Arjuna memaki dengan tangan yang sudah mencengkram erat kerah baju lelaki itu. Membuat dua kancing teratasnya lepas.
"Kau gila, dia gadis keras kepala. Dia tidak akan sudi melakukan hal itu denganmu tanpa obat itu," jawab lelaki itu membela diri. Ia juga menepis lengan Arjuna keras. Namun Arjuna malah mencengkram lebih kuat.
"Tapi aku tidak menyuruhmu melakukan hal bodoh semacam itu kan!"
"Aku sudah terlanjur memberikan obat itu padanya, terserah kau mau apakan dia. Aku pergi, masih banyak urusan. Dan aku harap kau tidak lupa dengan kesepakatan kita.” Lelaki itu mendorong tubuh Arjuna. Cengkraman pada lehernya terlepas. Lantas lelaki itu pergi meninggalkan Arjuna dengan sebal setelah merapikan kemejanya yang kusut.
Arjuna menatap pintu yang bertuliskan angka 505 itu dengan datar. Membukanya, lalu melenggang masuk ke dalam. Hal pertama yang dilihatnya adalah Julia yang terlihat kacau. Tangan lelaki itu mengepal erat, ingatkan Arjuna nanti untuk menghajar Jonatan karena telah membuat Julia menangis. Sungguh, Arjuna tidak membayar Jonatan untuk menyiksa Julia seperti itu.
"Julia …?" Arjuna berjalan mendekati ranjang. Ia mengusap pipi Julia yang memerah karena tamparan Jonatan, lalu beralih melepaskan ikatan pada tangan Julia.
"P-Pak Arjuna …." Julia mengerang menahan sesuatu.
"Kamu baik-baik saja?"
"To-tolong jangan mendekat," Julia mendorong tubuh Arjuna pelan, memberikan jarak pada mereka berdua. Mati-matian perempuan itu menahan hasratnya terhadap sentuhan Arjuna yang menggebu.
Tetapi tentu saja Arjuna lelaki normal. Sesungguhnya dialah dalang atas kejadian semua ini. Ia tidak akan melewatkan kesempatan ini. Bagaimanapun juga Arjuna telah membayar mahal kepada Jonatan.
Dalam gelapnya malam, Arjuna tersenyum sinis menatap gadis di depannya yang tak berdaya itu. Tak ada rasa simpati sama sekali. Dan tak mungkin waktu bisa diundur. Seandainya Julia tak pernah menantang Arjuna, mungkin kejadian ini tak akan pernah terjadi.
***
Arjuna terbangun dari tidurnya dan mendapati Julia sudah tidak ada di sampingnya. Kamar yang ditempati mereka tadi malam berantakan parah. Ah, tiba-tiba Arjuna mengingat kejadian panas semalam. Sangat menyenangkan.
Arjuna kemudian mencari ponselnya yang berbunyi. Panggilan dari Ruben membuat jantungnya berpacu cepat. Semoga ada berita baik yang akan disampaikan Ruben untuk hari ini.
***
Arjuna langsung menghampiri Ruben. Bahkan ia masih mengenakan pakaian tadi pagi, yang berarti pakaiannya semalam ketika menginap di hotel. Ia duduk di sofa apartemen milik Ruben dengan tidak sabaran. Ruben masih mandi. Sialan. Padahal tadi ia buru-buru sekali.
"Maaf, karena sudah membuatmu menunggu lama." Ruben datang dengan rambut yang masih basah. Ia memakai kaos dan celana pendek berwarna putih. Dia terlihat sangat santai dan segar. Menaruh satu kaleng soda untuk Arjuna, dan satu kaleng soda diteguknya sendiri. "Uhmm, bagaimana kabarmu. Kenapa kau terlihat acak-acakkan seperti itu, Arjuna?"
Arjuna mendengus. Ia datang ke sini sepagi ini, bahkan tanpa mandi bukan untuk basa-basi tidak penting seperti ini. Arjuna sudah terlalu lama menunggu. Bahkan hampir setahun pencariannya. Ditambah sahabat gilanya ini ketika mandi tadi sangat lama.
"Apa yang ingin kau sampaikan. Kuharap ini kabar baik," ucap Arjuna tegas.
"Ya, ini memang kabar baik untukmu."
"Bisa kau serahkan berkasnya sekarang?"
Ruben mengambil ponselnya.
"Tidak ada berkas. Tapi aku akan memberitahumu secara langsung. Dan beberapa catatan penting aku taruh di sini," Ia menunjukkan ponselnya. Arjuna menyuruhnya untuk cepat-cepat, karena ia sudah tak sabar menunggu. Sedangkan Ruben hanya cengar-cengir membuat semuanya semakin lama.
"Jadi … sebenarnya selama ini kita mengenal orang yang merawat Vino Mahardika Putra, adikmu." Ruben menatap ekspresi Arjuna yang masih datar. Ruben lalu membuka berkas foto yang baru saja dikirimkan oleh mata-matanya. Dua orang manusia yang berbeda umur dan jenis kelamin. Ia memperlihatkannya pada Arjuna. "Dia adalah perempuan yang merawat adikmu, namanya Rayya Julia Putri. Kabar baiknya dia bekerja di perusahaan kita," jelas Ruben panjang lebar. Lelaki berkaos putih itu mengharapkan reaksi senang dari sahabatnya, tetapi Arjuna tak kunjung bereaksi. Arjuna malah terdiam dengan pikiran kosong. Ia menatap Ruben tanpa ekspresi. Nafasnya sesak. Hatinya berharap cemas kalau Julia yang semalam bukanlah adik tiri yang sekarang tengah ia bicarakan. Tapi memorinya masih ingat betul kalau beberapa waktu lalu ia meminta data tentang Julia pada sekretarisnya. Tapi faktanya memang benar. Mereka sedang membicarakan Julia yang “itu”.
"Ruben …." Arjuna menatap luar jendela dengan datar, "Ini kabar buruk," lanjutnya dengan suara setengah berbisik.
Bersambung.
"Mama benar-benar keterlaluan!" Arjuna berteriak marah dengan suara yang terdengar nyaring."Apa maksud kamu? Tiba-tiba datang dan langsung marah-marah tidak jelas!" Lauren ikut berdiri, bertanya dengan intonasi yang sama kerasnya. Tatapannya menatap buas kepada putra kandungnya yang semakin kurang ajar itu. Hati kecilnya tidak terima ketika Arjuna terus-terusan membentaknya.Kali ini Lauren tidak menyuguhi air minum untuk Arjuna seperti biasa saat Arjuna mengunjungi apartemennya. Firasat seorang ibu merasakan kalau anaknya akan berkunjung, dan rasanya itu bukanlah hal yang baik untuk hari ini. Tapi sebelum Lauren bergegas keluar, Arjuna sudah terlanjur membuka pintu dengan kasar dengan kemarahan yang ketara. Masuk ke dalam dan langsung meluapkan emosinya yang sedang meluap-luap. Firasat buruknya benar terjadi. Arjuna sekarang begitu marah padanya. "Mama kenapa tega menjual putri Mama, hah!" Lelaki itu menatap mata mamanya dengan nanar. Arjuna mengepalkan tangannya dengan erat. Berusa
Dua minggu berlalu dengan cepat. Selama itu pula Arjuna tidak pernah lagi melihat batang hidung Julia di perusahaanya. Perempuan itu pergi entah ke mana seperti ditelan bumi. Mungkin saja perempuan itu bersembunyi atau trauma setelah kejadian yang menimpanya waktu itu.Seharusnya perempuan itu sudah mendapatkan sanksi, atau lebih buruk ia dipecat secara tidak terhormat. Bolos bekerja tanpa meminta izin, tentu saja melanggar aturan perusahaan.Tapi Arjuna menyadari dia juga ikut andil dari apa yang menimpa Julia sekarang. Sedikit campur tangannya, ia mudah saja menyelamatkan karir Julia, dan Arjuna bertekad akan menebus kesalahannya.Arjuna sadar ia telah salah menilai Julia selama ini. Arjuna menatap arloji di pergelangan tangannya. Pukul delapan malam. Masih ada waktu untuk bertamu. Meski ia tahu bertamu malam-malam di rumah seorang perempuan yang tinggal sendiri itu tidak baik. Tapi tekadnya untuk malam ini sudah bulat, ia harus membujuk Julia untuk kembali bekerja dan meminta maaf
Arjuna menatap langit-langit kamar. Matanya memang terpejam, tapi pikirannya melayang entah ke mana. Jiwanya masih sepenuhnya terjaga. Kembali teringat empat hari yang lalu di mana Julia mengusirnya dengan tatapan jijik campur benci.Pria itu mengusap wajahnya gusar. Matanya kembali menatap nyalang. Ia bangun dan duduk bersimpuh di atas kasur, merenungi kesalahannya. Dengan keadaan gelisah ia menatap tanggalan di atas meja yang berada tepat di sebelah kasur. Tanggal tiga belas, tercoret dengan lingkaran merah. Arjuna menandai pada tanggalnya. Hari saat dia meniduri perempuan itu. Hari di mana kehormatan adik tirinya sendiri ia renggut.Di tengah keterpurukan rasa bersalah itu, ponselnya berbunyi nyaring.Klik. Arjuna menggeser tombol warna hijau. Mengangkat telepon dengan perasaan jengkel.Siapa malam-malam begini yang berani menggangguku?"Ada apa?""Arjuna, kau tahu …."Arjuna menjauhkan ponselnya. Ia menatap nama kontak di layar ponselnya. Jonatan. Pria yang sekarang masuk ke daft
Cuaca sore hari ini sangat cerah. Tetapi tak secerah hati perempuan yang berkali-kali dirundung masalah. Justru dia menganggap semua hari sama saja. Julia memarkirkan motornya di bagasi seperti biasa. Dia sudah tidak memiliki mobil karena sudah dijualnya untuk menutupi kebutuhan hidup dan hutang orang tua. Kendaraan satu-satunya yang dia punya sekarang hanyalah motor matic kesayangannya. "Lemas sekali," keluh Julia lirih seraya membuka jaket dan helm. Ia melihat pada kaca spion, berusaha tersenyum untuk dirinya, namun yang terlihat hanya senyuman keletihan. Hari ini, akhir bulan. Pekerjaan di kantor lumayan melelahkan. Semua tubuhnya terasa lesu. Berbagai masalah yang terus menghampiri semakin membuat mentalnya down. Dia benar-benar merasa seperti zombie yang dipaksa untuk hidup. Julia baru saja berjalan lima langkah menuju pintu yang sudah terbuka. Sampai kehadiran seseorang membuat semua bebannya bagai terangkat, hilang dan lenyap. Dia."Papa?" Julia memanggil setengah tak perc
Pukul sembilan pagi.Seharusnya Arjuna masih berada di kantor. Berkutat dengan beberapa dokumen penting yang harus segera diteliti dan ditandatangani. Tetapi akal budinya tak bisa diajak untuk fokus. Otaknya terus meneriakkan sebuah nama, Julia. Tapi tidak untuk pagi ini. Kali ini untuk yang kedua kalinya ia datang berkunjung ke rumah Julia.Arjuna cuma ingin memastikan kalau Julia baik-baik saja. Karena di kantor ia tidak melihat kehadiran Julia, dan Julia juga tidak mengkonfirmasi perihal dia tidak masuk hari ini. Hal itu membuat Arjuna agak was-was.Tidak ada satupun yang tahu kalau Arjuna datang ke rumah Julia. Termasuk Ruben. Dia hanya bilang kepada Ruben bahwa ia memiliki urusan sebentar, lalu pergi ke luar. Pintu tidak terkunci saat Arjuna hendak mengecek rumah Julia yang sepi itu. Bisa dipastikan si pemilik rumah ada di dalam. Tanpa permisi Arjuna main masuk begitu saja. Dirinya berharap tak akan ada orang yang menuduhnya mencuri jika ketahuan masuk ke rumah orang sembarangan
Dua mangkuk mie ayam beserta dua gelas es teh tersaji di atas meja. Arjuna mencicipi bagiannya tanpa sungkan. Tadi sebenarnya Arjuna hampir mengajak Julia makan di restoran langganannya, namun Julia menolak mentah-mentah. Malahan Julia memaksanya untuk makan di sini, warung mie ayam milik Pak Budi. Di sini cukup ramai, hanya saja kebanyakan pembeli dari kalangan pelajar yang masih memakai baju putih abu-abu. Sesekali mereka terdengar heboh dengan canda tawa bagi mereka yang datang bergerombolan. "Cepat dimakan!" perintah Arjuna. Julia sama sekali belum menyentuh makanannya, padahal tadi dia yang paling ngotot mengajak ke sini. Julia melirik Arjuna, lalu mengangguk. "Iya." Lima menit berlalu. Mie ayam milik Arjuna sudah habis, sedangkan Julia masih menyantapnya dengan malas. Sesekali Julia asyik melamun. Sesekali juga dia memaksakan untuk fokus, walau tatapannya kadang terlihat kosong. Kesabaran Arjuna benar-benar diuji kali ini. "Kenapa? Tidak enak?" tanya Arjuna menaikkan alis k
Julia berjalan was-was menuju pintu ketika mendengar seseorang mengetuk pintu dengan brutal. Padahal jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Julia sendiri hampir tidak pernah menerima tamu selarut ini. Biasanya kalaupun memang penting, si penamu akan menghubunginya dulu lewat telepon atau sekedar kirim pesan. Sebelum meraih gagang pintu, Julia berdoa, "Semoga bukan penagih hutang." Julia juga menyempatkan diri untuk mengambil balok kayu kecil yang cukup panjang untuk memukul, di sebelah pintu. Kayu itu memang sudah dipersiapkan untuk berjaga-jaga apabila ada sesuatu yang tidak diinginkan, misalnya maling. Itu kata papanya. Julia membuka pintu pelan. "Hai …." Kepala seseorang langsung muncul dari balik pintu. "Kamu?" Tatapan mata Julia mengekor Arjuna yang main masuk begitu saja. Di tangan kanan-kiri lelaki itu juga tengah menenteng plastik lumayan besar yang berisi makanan hingga membuat plastik itu penuh. Lalu dengan santai Arjuna meletakkannya di atas meja, menatap Julia dan
Hari Minggu pagi, Arjuna kembali berkunjung ke rumah Julia untuk yang kesekian kalinya. Ia juga menenteng dua plastik yang berisi brownies cokelat, pandan, stroberi, vanila, dan juga buah apel untuk Julia. Arjuna tidak tahu apa makanan kesukaan Julia, jadi dia hanya berharap Julia suka. Arjuna mengetuk pintu rumah Julia, namun ia agak heran melihat sepatu yang seukuran pria dewasa berada di sebelah sepatunya, di mana ia berdiri saat ini. Jelas sekali itu bukan sepatu milik Vino dilihat dari ukurannya saja sudah jelas.Arjuna mengalihkan pandangannya ketika pintu terbuka. Lima detik Arjuna masih terpaku di tempatnya. "Kamu siapa?" tanya Arjuna menatap heran lelaki berkulit gelap di depannya yang tidak seharusnya membukakan pintu untuknya. Arjuna menaruh curiga. Pikirannya bertanya-tanya kenapa pintu sampai harus ditutup. Apa yang mereka lakukan di dalam. Mengapa sepi sekali. Arjuna melirik ke sana-sini, atau jangan-jangan Julia diperkosa, pikirnya."Saya Herlambang, Mas ini siapa?"
Bonus. Arjuna dan Julia adalah pasangan suami istri yang bahagia. Delapan bulan setelah pernikahan mereka, mereka dikaruniai seorang putra yang diberi nama Arka. Kehadiran Arka membawa keceriaan baru dalam kehidupan mereka.Arka tumbuh dengan pesat. Di usianya yang ke-8 bulan, dia sudah mulai bisa berjalan dan sesekali memanggil "papa" dan "mama". Arka juga suka sekali menunggu di depan pintu, menanti kepulangan sang papa dari bekerja. Setiap kali Arjuna pulang, Arka akan berlari ke arahnya dan memeluk kakinya dengan erat. Arjuna selalu menyempatkan waktu untuk bermain dengan Arka, menggendongnya, dan membacakannya cerita. Julia pun tak kalah sayang dengan Arka. Dia selalu sabar dan telaten mengurus Arka, memandikannya, memakaikannya baju, dan memberinya makan.Suatu hari, Arjuna harus pergi ke luar kota untuk urusan pekerjaan selama beberapa hari. Julia merasa sedih karena anaknya harus berpisah sementara dengan papanya. Namun, dia tetap tegar dan berusaha untuk tidak menunjukkan
Arjuna dan Julia menyambut sang buah hati dengan penuh rasa haru dan bahagia. Sejak kepulangan Julia dari rumah sakit, Arjuna dengan penuh semangat mempelajari segala hal tentang mengurus bayi. Dia dengan telaten memandikan, mengganti popok, dan menggendong buah hati mereka dengan penuh kasih sayang.Suatu sore, Julia mengamati Arjuna dari atas kasur saat dia memandikan bayinya. Arjuna dengan penuh kelembutan membersihkan tubuh mungil sang bayi, sesekali mengajaknya berbicara dengan suara yang begitu lembut. Julia tersentuh melihat betapa Arjuna begitu menikmati momen tersebut, dan rasa cinta serta kasih sayangnya terhadap buah hati mereka semakin kuat."Terima kasih, Arjuna," bisik Julia dengan penuh rasa haru.Arjuna menoleh ke arah Julia dan tersenyum. "Apa pun untuk anak kita," jawabnya dengan penuh kasih sayang.Hari-hari Arjuna dan Julia pun diwarnai dengan kebahagiaan sebagai orang tua baru. Mereka saling bahu membahu dalam mengurus buah hati mereka, dan cinta serta kasih sayan
Jantung Arjuna berdegup kencang, rasa cemas dan khawatir mewarnai wajahnya. Ia duduk di kursi tunggu rumah sakit, menunggu kabar dari sang istri yang tengah menjalani operasi caesar di dalam ruangan yang terlihat sangat tertutup itu. Operasi yang sudah ditunggu-tunggu sekaligus penuh kekhawatiran, karena ini adalah anak pertama mereka.Jam demi jam terasa begitu lama. Arjuna terus memanjatkan doa, memohon kelancaran operasi dan keselamatan bagi istri tercinta. Bayangan wajah sang istri selalu terngiang di benaknya, senyumannya yang hangat dan tawa riang yang selalu menghiasi hari-harinya. Kegiatan istrinya yang suka sekali memasak aneka kue membuatnya teringat pilu. Tiba-tiba, pintu ruangan operasi terbuka. Seorang suster dengan wajah teduh melangkah keluar, membawa selimut kecil berwarna putih. Arjuna bangkit dari kursinya, jantungnya berdebar semakin kencang."Pak Arjuna," Suster itu tersenyum hangat, "Ini putra Bapak." Perlahan, suster membuka selimut itu, memperlihatkan wajah mun
Arjuna berjalan cepat mengikuti perawat yang sudah mendorong istrinya di atas brankar rumah sakit untuk segera dilakukan pemeriksaan. Sedari tadi yang ia lihat Julia hanya menggerang kesakitan dengan mata terpejam. Sungguh Arjuna yang melihat itu ikut merasakan kengerian. Sebagai calon bapak-bapak yang menunggu anaknya lahir dengan kepanikan yang luar biasa, mestinya ia tidak tenang. ***Semua tahap pemeriksaan telah dilakukan. Dokter spesialis kandungan menyarankan Julia untuk segera melakukan operasi caesar hari itu juga dikarenakan posisi janin belum sesuai, juga volume ketuban yang malah berkurang. Tentu saja itu bukanlah hal yang bagus untuk calon bayi. Julia sudah mulai tenang tidak kesakitan lagi. Iya berbaring dengan nyaman di atas brankar. Arjuna menarik kursi, dan duduk di dekat istrinya. Ia mengusap kening istrinya, lalu tersenyum manis. "Kamu mau minum?" tawar Arjuna menyodorkan air mineral ke arah Julia. Para perawat sudah pergi. Kamar VVIP yang sangat luas itu teras
Julia Pov. Seperti hari-hari sebelumnya. Hari ini aku berangkat bekerja dihantar oleh suamiku, Arjuna. Di dalam mobil terasa sunyi, aku maupun dia sama-sama saling menutup mulut. Tidak ada basa-basi seperti biasanya. Hanya ada suara desah nafas lelahku yang sepertinya kebanyakan memikirkan masalah akhir-akhir ini. Yah, lagi-lagi masalah sepele. Selalu saja kepikiran. Sebenarnya aku masih memikirkan perihal semalam. Tentang keinginan Arjuna untuk tetap menjadikan aku istri selamanya. Sebenarnya hal itu diluar ekspektasiku. Kadang aku berpikir untuk tidak bersama selamanya. Tiba-tiba menjelang kelahiran anakku, entah kenapa hatiku menjadi plin-plan. Aku merasa seperti keberatan untuk terus menjadi istrinya. Terkadang pikiran terburukku muncul, aku tidak ingin meneruskan pernikahan ini. Bagaimana kalau aku tidak bisa sepenuhnya mencintainya? Atau bagaimana kalau dia selama ini hanya berpura-pura baik di depanku saja? Maksudku di luar sana, seorang pebisnis besar pasti memiliki selingku
Julia mengerang. Ia melepaskan pelukan suaminya. Namun pelukan itu tak mau terlepas. Semakin erat. Ia juga bahkan sudah mencubit-cubit lengan Arjuna supaya mau melepaskannya, namun suaminya tetap tak bergeming. Julia menghela nafas pendek. "Aku mau mandi. Lengket semua badanku," ujar Julia dengan intonasi lirih. Terlalu pagi untuk bicara dengan intonasi agak tinggi. "Sebentar lagi ... tunggu lima menit lagi," Arjuna merengek, menenggelamkan wajahnya ke dalam rambut panjang istrinya. Menghirup aroma wangi yang semerbak. Sambil tetap masih memeluk istrinya. Julia mengambil ponselnya yang berada di nakas dengan susah payah. Lalu menyetel stopwatch dengan hitungan dimulai lima menit. Ia dengan anteng menikmati setiap detik waktu yang mulai berkurang. Sesekali mengusap lembut wajah suaminya. Jemari lentiknya bermain di sana. Sedang Arjuna semakin tidur terlelap
Pukul 10 malam. Julia menarik selimutnya dan bersiap-siap untuk segera tidur. Arjuna yang berada di sampingnya masih sibuk dengan laptopnya. Lelaki itu masih harus meneliti beberapa berkas yang akan dia kerjakan besok di kantor. "Bagaimana keadaan di kafe untuk beberapa hari ini?" tanya Arjuna memecah keheningan. Lelaki itu menatap ke arah Julia yang juga tengah menatap ke arahnya. Julia mengatur posisi berbaringnya sebelum menjawab. "Kafe kita mengalami peningkatan yang cukup drastis. Hampir setiap hari kafe kita ramai dengan pengunjung," jawab Julia antusias. Lalu ia kembali teringat beberapa waktu yang lalu, ia sangat disibukkan ketika kafe sedang ramai-ramainya dengan pengunjung yang ternyata kebanyakan adalah teman kantornya sendiri. "Kebetulan weekend kemarin teman-teman kantor banyak yang datang ikut melariskan kafe kita," ujar Julia menggebu-gebu. Arjuna mengangguk mendengarkan seluruh cerita dari Julia dengan khidmat. Jadi, usahanya ketika melakukan promosi di kantor bebera
Beberapa hari berlalu. Menjelang istirahat di kantor. Arjuna terlihat sibuk dengan ponsel pintarnya. Matanya fokus menatap tajam gambar menu makanan yang tertera di layar ponselnya. Masih dalam mode konsentrasi diiringi perutnya yang mulai berbunyi."Pesan ini saja, atau yang ini?" ujarnya yang lebih tepat untuk diri sendiri. Ia masih sibuk memilih-milih daftar menu makanan di suatu aplikasi yang tertera. Beberapa menu yang ia lihat dalam keadaan lapar membuat semuanya terasa begitu menggiurkan. Di ruangan itu, Arjuna hanya sendiri, tidak ada yang bisa ia mintai pendapat. Beberapa daftar makanan pesanannya sudah masuk ke dalam list pembayaran dan tinggal menunggu pengantar makanan datang membawakan makanan yang sudah ia pesan. ***Seorang perempuan berkaca mata minus tengah memegang ganggang telepon. Jemari lentiknya dengan lihai memencet angka-angka yang tertera di sana. Segera angka-angka tersebut tersambung pada tujuan yang sudah ditetapkan di kantor tersebut. Tak lama setelah itu
Seperti rencana awal yang telah ditetapkannya kemarin. Hari ini Julia berniat untuk pergi ke rumah papanya. Akan tetapi, tadi pagi-pagi sekali perempuan itu menangkap gerak-gerik mencurigakan dari suaminya, yang ternyata Arjuna memutuskan untuk ikut mengantar sekaligus mengawasi Julia. Sampai selamat tentunya. Mungkin lelaki itu baru sadar bahwa dia sudah harus siap siaga mulai dari sekarang. Takut terjadi apa-apa yang tidak diinginkan. "Kita naik motor lagi, ya," ajak Julia yang kelewat antusias, sampai ia mengabaikan mimik muka Arjuna yang tiba-tiba berubah menjadi pelik, dengan satu lirikan heran mengarah pada Julia. "Serius kamu mau naik motor lagi?" tanya Arjuna berusaha untuk bersabar dengan tingkah aneh-aneh istrinya yang menurutnya lumayan ekstrim untuk seseorang yang sedang hamil tua. Sekarang istrinya sedang hamil tua, bagaimanapun ia menginginkan yang terbaik untuk istrinya. "Iya.""Coba jelaskan secara singkat alasan kamu sangat menyukai berpergian naik motor?" "Sebena