Hujan deras mengguyur malam itu, menciptakan genangan air yang memantulkan kilatan petir. Di sebuah ruang tamu megah, tubuh seorang wanita tergeletak tak bernyawa di atas lantai marmer putih yang kini ternoda darah. Suara jerit tangis pelayan menggema, namun yang paling menghancurkan adalah tatapan Kael—tatapan seorang suami yang baru saja kehilangan cinta sejatinya. Di sudut ruangan, Selena berdiri terpaku. Tangannya gemetar, matanya nanar memandang pisau berlumuran darah yang entah bagaimana bisa tergeletak di dekat kakinya. Dia tidak tahu apa yang terjadi, hanya ingatan samar-samar saat dirinya datang untuk menyampaikan laporan kerja kepada istri Tuan Kael beberapa jam lalu. "Ini pasti mimpi buruk,"gumamnya, napasnya terengah. Namun, jeritan pelayan tiba-tiba menghentikan lamunannya. "Itu dia pelakunya! Selena! Aku melihatnya masuk tadi, dan sekarang... Nyonya sudah mati!" Kata-kata itu menggema seperti lonceng kematian di telinga Selena. Pandangannya mengabur saat pa
Selena memeluk lututnya erat, air mata terus mengalir tanpa henti. Rasa dingin dan lembap di ruang bawah tanah itu seperti menjadi perwujudan nasibnya yang suram. Dia tak henti-hentinya menangis, memikirkan bagaimana hidupnya berubah begitu drastis dalam sekejap. "Nyonya... kenapa ini terjadi pada saya? Kenapa mereka tidak percaya?" isaknya, suaranya terdengar lirih, nyaris tenggelam dalam gemuruh keheningan. Dia masih bisa mengingat dengan jelas malam itu—sosok wanita misterius yang melompat dari jendela kamar Nyonya Arlena. "Itu bukan saya... itu dia!" Selena berbisik, hampir berteriak, namun suaranya hanya bergema di dinding dingin penjaranya. Rasa takut terus menggerogotinya, tapi lebih besar dari rasa takut itu adalah kesedihannya. Selena merindukan Nyonya Arlena yang selama ini memperlakukannya seperti keluarga. Senyum lembut Nyonya, perhatian kecilnya, hingga cara dia memanggil Selena dengan suara hangatnya. Semuanya terasa seperti mimpi buruk. Namun kini, orang yan
"Dia benar-benar tidak masuk akal!"gumam Selena, menendang ember kecil di sudut ruangan. Ember itu meluncur dan menabrak tembok, membuat suara gaduh yang mengganggu keheningan. Selena jatuh terduduk di lantai dingin, air matanya mulai mengalir lagi. Ia menatap langit-langit ruangan yang penuh debu, mencoba mencari cara untuk membebaskan dirinya dari situasi ini. "Bagaimana aku bisa membuktikan apa pun kalau aku terkunci di sini? Orang itu jelas berada di luar. Apakah dia ingin aku berbicara dengan tembok?" Selena berbicara sendiri, nada sarkastis dalam suaranya semakin menonjol. Namun, di balik rasa putus asanya, Selena mulai menyusun rencana. "Kalau aku tidak bisa keluar, aku harus membuat mereka yang ada di luar masuk ke sini." Selena mengusap air matanya dan mulai berpikir keras. Dia tahu bahwa tidak ada jalan keluar kecuali dia menggunakan akalnya. "Aku harus memanfaatkan setiap orang yang datang ke tempat ini. Mungkin penjaga, mungkin siapa pun. Aku harus membuat mereka
"Hahaha..tentu saja,dia pernah bekerja padaku dan menggoda suamiku,dia berniat membunuhku namun salah sasaran yang terbunuh adalah suamiku,hatiku begitu pedih." Ucap wanita itu berakting menangis penuh drama. "Dan kematian istrimu bisa jadi rencananya untuk mendapatkanmu,apalagi kamu seorang pria kaya dan tampan pewaris segalanya." Kael semakin kesal mendengar cerita itu,dia langsung masuk ke mobilnya.Berniat akan menghancurkan Selena,Kael seolah terhipnotis oleh cerita bohong yang dibuat Bianca yang belum tentu ada bukti kebenarannya. Dia berbalik dan berjalan menuju mobilnya, meninggalkan Bianca berdiri di bawah payung merahnya. Saat Kael masuk ke mobil dan menutup pintu, dia sempat menatap kaca spion. Bianca masih berdiri di sana, menatap ke arahnya dengan senyum kecil yang penuh arti. Hujan semakin deras, menyamarkan sosok wanita itu. Tapi entah kenapa, ada sesuatu tentang Bianca yang terus mengganggu pikirannya, seolah dia membawa misteri yang belum terpecahkan. Kael m
Sementara itu, Selena mencoba memperbaiki situasi. "Saya serius, Tuan. Kalau sofanya mau tetap jadi kenangan, mungkin perlu dilap atau dilapis ulang. Saya bisa bantu bersihkan." Kael memijit pelipisnya, lalu menatap Selena tajam. "Satu kata lagi tentang sofa itu, aku pastikan kamu tidur di lantai." Selena tersenyum kikuk, mengangguk cepat, dan segera berlalu, meninggalkan para pelayan yang mencoba menahan tawa mereka agar tak kena semprot Kael lagi. "Sofa kenangan ya... menarik juga," bisik salah satu pelayan sambil cekikian. Setelah suasana agak reda, Kael memutuskan untuk memberikan hukuman lain pada Selena. Dia masih kesal dengan komentar spontan Selena soal sofa kenangannya. "Selena," panggil Kael, suaranya tegas. Selena, yang baru saja hendak mengambil kain lap untuk membersihkan meja, menoleh dengan ekspresi waspada. "Ya, Tuan?" "Kamu bilang tadi ingin membantu. Baiklah, ini kesempatanmu. Pergilah ke dapur dan masak makan malam untukku." Mata Selena membelalak."
Selena menghela napas, berjalan menuju tangga yang mengarah ke ruang bawah tanah. Ada sedikit rasa kecewa di dalam hatinya, namun dia tahu, ini adalah hidupnya sekarang—sebuah hidup yang terkekang oleh tuduhan yang tak adil. "Aku tidak peduli dengan apa yang mereka pikirkan," gumamnya dalam hati. "Aku akan buktikan kebenaran, bahkan jika aku harus bertahan dengan perlakuan ini."Begitu sampai di ruang bawah tanah yang dingin dan gelap, Selena langsung menuju tempat tidurnya. Hanya ada selembar selimut lusuh yang menjadi temannya di malam hari. Dia merebahkan diri, menatap langit-langit yang kosong. "Tuan Kael... jika kamu benar-benar mencintai Nyonya,kamu juga harus percaya padaku," pikir Selena, namun pikirannya segera terganggu dengan suara langkah kaki yang terdengar di lantai atas. "Apa mereka masih terus membicarakanku?" Selena bergumam dengan kesal, namun dia segera menenangkan diri. Tidak ada gunanya terlalu memikirkan mereka. "Yang penting sekarang, aku harus buktikan kebenar
Selena pun berhenti dan menoleh ke arah Kael. "Sebelum kamu pergi,buatkan dulu kopi untukku! Tapi jangan salah lagi seperti masakan tadi." Selena hanya mengangguk kemudian pergi ke dapur. Selena berjalan perlahan menuju kamar Kael dengan segelas kopi ditangannya sambil bergumam "Di malam begini dia ingin minum kopi,apa tidak takut insomnia?ini kan waktunya tidur.Aku saja sudah mengantuk." Selena kembali menguap.Kael yang mendengar langkah kaki Selena langsung berdiri di depan pintu dan menegurnya dari jauh. "Kenapa lama sekali? Kamu malah berbicara sendiri.Cepat bawa kesini!" "Ah iya Tuan..maaf." Selena segera membawa kopi yang sudah ia buat dengan hati-hati. Kopi tersebut sudah tercium aromanya yang harum, meski di dalam hati Selena masih merasa cemas akan reaksi Kael terhadap segala hal yang ia lakukan. Ia berjalan cepat menuju ruang tempat Kael duduk, berharap kali ini tak ada yang salah. Sesampainya di depan Kael, ia menyodorkan cangkir kopi dengan kedua tangan. **"Ini kop
Pintu ruangan terbuka perlahan, dan sosok Bianca muncul dengan langkah percaya diri. Gaun satin berwarna merah tua membalut tubuhnya, dengan belahan dada yang terlalu rendah untuk diabaikan. Aroma parfum mewahnya segera memenuhi udara, meninggalkan jejak yang tajam namun menggoda. Bibirnya yang merah menyala membentuk senyuman yang dipaksakan, namun tatapan matanya jelas—ia memiliki tujuan yang tersembunyi. Kael, yang sedang sibuk menata dokumen di meja kerjanya, hanya melirik sekilas sebelum kembali memfokuskan perhatiannya pada tumpukan kertas di hadapannya. Tidak ada ketertarikan, tidak ada kekaguman, hanya tatapan dingin yang seolah mampu menembus niat di balik setiap gerakan Bianca. "Kael…" panggil Bianca dengan suara yang lembut, hampir mendesah, seakan namanya adalah mantra yang hanya bisa ia ucapkan dengan bisikan. Tanpa mengangkat wajahnya, Kael menjawab datar, "Duduklah." Bianca tersenyum kecil, lalu melangkah anggun menuju kursi di seberang Kael. Dengan gerakan yang dis
Sore itu, suasana villa mewah di pusat kota dipenuhi oleh obrolan ringan dan tawa. Ronald dan Bianca baru saja tiba, sedikit terlambat dari jadwal. "Maaf, kami terlambat," ucap Ronald sambil menggandeng tangan Bianca. "Tidak apa-apa," balas Jason, salah satu teman Ronald. "Maklum, pengantin baru," timpal Christine, istri Jason, sambil tertawa kecil. Bianca tersenyum sambil melirik Arlena, yang dengan ramah berkata, "Bianca, duduk saja di sini." Bianca segera duduk di samping Arlena, sementara Ronald memilih untuk tetap di dekatnya. "Arlena, suamimu ke mana? Kenapa dia tidak pernah terlihat mendampingimu?" tanya Christine penasaran. Arlena tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan rasa sesak di dadanya. "Dia sibuk sekali akhir-akhir ini. Pekerjaannya menumpuk." "Ya ampun, aku beruntung Ronald selalu bisa mendampingiku," celetuk Bianca sambil menyender di bahu Ronald dengan bangga. Ronald ikut menimpali, "Suamimu pasti juga punya waktu luang. Kamu harus bangga dia berjuang
Di siang hari yang hangat, Kael duduk di kursi ruangannya dengan wajah serius. Dia telah memanggil Selena untuk membahas sesuatu yang terus menghantui pikirannya. Ketika Selena masuk, Kael memulai pembicaraan dengan nada rendah, namun tegas. "Selena... tolong jawab dengan jujur. Ada masalah apa kamu dengan Arlena dalam rekaman CCTV itu?" tanyanya, sorot matanya tajam, tapi suaranya berusaha menenangkan. Selena menunduk, menggenggam jemarinya yang gemetar. "Tuan... maaf, aku tidak bisa menceritakannya. Itu adalah rahasia Nyonya," jawabnya pelan. Tanpa sadar, air mata mulai mengalir di pipinya. Kael mendesah, mencoba menahan emosinya. "Rahasia Arlena adalah rahasiaku juga, Selena. Aku suaminya. Jadi, aku berhak tahu," tegas Kael, nadanya sedikit mengeras. Selena menggeleng pelan, lalu menghapus air matanya dengan tisu. "Bukan seperti itu, Tuan... tapi..." ucapnya, suaranya terhenti di tengah kalimat. Air matanya makin deras, membuat Kael semakin bingung dan cemas. Kael memanda
Malam telah larut, dan suasana rumah Kael terasa hening, hanya diiringi oleh suara jarum jam yang berdetak pelan di dinding ruang tamu. Selena duduk di sofa dengan posisi gelisah, tangannya memegang cangkir teh yang sejak tadi tak disentuh. Tatapannya kosong, tetapi pikirannya penuh dengan berbagai prasangka yang membuncah tanpa kendali. "Kenapa dia belum pulang juga?" gumam Selena dengan nada lirih, tetapi penuh kekesalan. "Apa yang mereka lakukan selama ini? Restoran apa yang buka sampai selarut ini? Apakah... apakah dia benar-benar tidak peduli lagi dengan Nyonya?" Selena menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan perasaan marah dan kecewa yang semakin meluap. Pikiran-pikirannya mulai liar, membayangkan hal-hal yang tak seharusnya ia pikirkan. "Bianca itu... wanita licik. Dia pasti memanfaatkan keadaan. Dan Tuan... dia bahkan tidak menghormati kematian istrinya! Baru saja istrinya meninggal, dia sudah sibuk dengan wanita lain!" suara Selena semakin kesal. Ia berdiri dari sofa, m
Ruangan Kael dipenuhi dengan keheningan yang menyesakkan. Hanya suara jarum jam di dinding yang terdengar, seolah menghitung setiap detik dari rasa bersalah yang kini memenuhi hatinya. Duduk di kursi kerjanya, Kael bersandar dengan kedua tangan menutupi wajahnya. Pikirannya berputar tanpa arah, mencoba memahami setiap teka-teki yang menggantung di sekelilingnya. "Sepertinya aku terlalu keras padanya… Aku bahkan belum selesai bertanya padanya tentang masalah Arlena." Kael menghela napas panjang. Penyesalan menyelimuti hatinya. Bayangan wajah Selena, yang berlinang air mata dan penuh luka, terus menghantuinya. Selama ini, ia hanya melihat Selena sebagai sosok yang penuh teka-teki, tersangka yang paling mudah untuk disalahkan. Namun, ada satu hal yang tak bisa ia abaikan: tekad dan keberanian Selena saat mencoba menjelaskan sesuatu kepadanya. Dia bukanlah seorang pengecut yang akan bersembunyi jika bersalah. "Besok aku akan berbicara dengannya secara baik-baik. Aku harus memberikan
Suasana di rumah Kael berubah mencekam setelah penemuan jejak kaki misterius di halaman. Langit gelap mulai menyelimuti, namun ketegangan di dalam rumah terasa semakin pekat. Kael berdiri dengan tangan mengepal, rahangnya mengeras, dan sorot matanya tajam memandang Dave yang baru saja melaporkan temuannya."Aku menemukan jejak kaki pria dewasa yang mencurigakan. Jejak ini berasal dari halaman pagar dan mengarah ke lorong. Tampaknya seseorang berusaha menyelinap ke rumah Anda, tapi untungnya benda berharga di sekitar sini masih aman. Sepertinya bukan itu tujuannya," ujar Dave dengan nada serius.Kael menghela napas dalam, matanya menyipit saat memikirkan kemungkinan yang baru saja Dave utarakan."Berarti yang Selena lihat itu memang benar," gumamnya pelan, rasa bersalah merayap di hatinya."Apa ada lagi?" tanyanya dengan suara rendah namun tegas."Tidak ada, Tuan. Hanya jejak kaki itu saja. Saya tidak tahu pasti apa tujuannya karena tidak ada petunjuk lain yang mencurigakan."Kael memi
Langit mulai berubah kelam ketika matahari sepenuhnya tenggelam di balik cakrawala. Lampu halaman depan rumah Kael mulai menyala, memberikan cahaya redup yang membingkai wajah tegang Selena. Dengan tubuh yang masih kotor dan tangan yang berlumuran tanah, ia berdiri di tengah halaman dengan pandangan penuh kewaspadaan."Aku tahu kamu pasti muncul lagi," gumam Selena, matanya tajam menatap ke arah gerbang yang mulai diselimuti bayangan malam.Beberapa menit kemudian, suara langkah kaki terdengar samar dari balik pagar besi yang menjulang tinggi. Selena memicingkan mata, melihat sosok pria berjas hitam yang bergerak perlahan di balik pagar, seolah sedang mengendap-endap. Wajahnya tertutup bayangan, dan gerak-geriknya tampak mencurigakan."Dasar pengecut! Aku tahu kamu akan kembali!" pikir Selena geram.Dengan cepat, ia merunduk dan mengangkat sebongkah batu besar di dekat kakinya. Napasnya memburu, tangannya bergetar oleh tenaga yang ia kumpulkan."Akhirnya dapat juga! Kamu membuatku kes
Langit mendung masih menggantung di luar jendela kaca gedung kantor megah milik Kael Evander. Sorot cahaya suram masuk melalui tirai yang sedikit terbuka, memantulkan kilauan redup di permukaan meja kayu mahoni yang luas di depannya. Kael melangkah cepat melewati lorong kantor yang dipenuhi pegawai yang sedang sibuk dengan aktivitas mereka. Tatapan tajamnya yang biasanya penuh wibawa kini terlihat kosong, sementara lingkaran hitam di bawah matanya semakin jelas terlihat. "Selamat siang, Tuan," ucap beberapa pegawai sambil membungkukkan badan dengan sopan. Kael hanya mengangguk kecil tanpa menoleh, langkahnya tegas namun terburu-buru, seakan ada beban berat yang mendorongnya untuk segera sampai di ruangannya. Begitu pintu ruangannya tertutup rapat, Kael mendapati beberapa orang sudah menunggunya. Salah satunya adalah pria paruh baya dengan setelan jas rapi dan kacamata tebal—Notaris keluarga Evander. Dokumen-dokumen bersegel resmi tersusun rapi di hadapannya. "Tuan Kael," ujar not
Restoran yang seharusnya menjadi tempat pembicaraan serius antara Kael dan Bianca terasa semakin pengap dengan atmosfer ketegangan yang kian memuncak. Dekorasi bunga nan romantis terasa begitu salah di tengah topik yang mereka bicarakan. Kael menatap Bianca dengan tatapan penuh tuntutan."Baiklah, kita lupakan dulu soal Selena," ujar Kael dengan nada tegas, matanya yang tajam menusuk Bianca. "Aku ingin tahu, apa kamu tahu sesuatu tentang Arlena sebelum dia tewas?"Bianca menarik napas dalam, seakan menyiapkan dirinya untuk berbicara. "Waktu itu aku bertemu dengannya di Mall. Arlena sedang menangis terisak-isak di kamar mandi. Selena... dia hanya berdiri di luar, diam, tidak melakukan apa pun untuk menenangkan Arlena. Aku ingin menghampirinya, ingin menenangkannya, tapi... aku takut Selena akan menghalangiku. Jadi, terpaksa aku biarkan."Kael merasakan sesuatu menghantam dadanya. "Arlena… menangis?" tanyanya dengan suara serak, seolah kalimat itu sulit keluar dari bibirnya.Bianca meng
Pagi itu, udara di dalam rumah Kael terasa lebih berat dari biasanya. Selena, yang sedang sibuk mengepel lantai, merasakan ketegangan yang menggelayuti dirinya. Ia melewati kamar Kael, matanya melirik pintu yang tertutup rapat, bertanya-tanya apakah Kael masih tidur atau sudah bangun. Namun, tidak ada suara apapun yang terdengar dari dalam kamar. "Dia masih tidur, kah?" tanya Selena dalam hati, merasakan sedikit keheranan. Namun, tugasnya tetap harus diselesaikan. Tak lama kemudian, ketua pelayan mendekat dan memberinya perintah. "Selena, hari ini kamu bertugas mengepel semua lantai di setiap sudut!" ujar ketua pelayan dengan nada tegas. "Baiklah," jawab Selena, tetapi matanya tak bisa lepas dari kamar Kael yang masih hening. Ia merasa ada sesuatu yang ganjil, namun segera melanjutkan pekerjaannya. Tiba-tiba, suara mobil terparkir di halaman rumah Kael, membuat Selena berhenti sejenak. Ia melirik lewat jendela dan melihat sosok Bianca turun dari mobil. Rasa kesal mulai merayap di