Share

Bab 8

Author: Nisa Fitri
last update Last Updated: 2025-01-02 10:33:41

Pintu ruangan terbuka perlahan, dan sosok Bianca muncul dengan langkah percaya diri. Gaun satin berwarna merah tua membalut tubuhnya, dengan belahan dada yang terlalu rendah untuk diabaikan. Aroma parfum mewahnya segera memenuhi udara, meninggalkan jejak yang tajam namun menggoda. Bibirnya yang merah menyala membentuk senyuman yang dipaksakan, namun tatapan matanya jelas—ia memiliki tujuan yang tersembunyi.

Kael, yang sedang sibuk menata dokumen di meja kerjanya, hanya melirik sekilas sebelum kembali memfokuskan perhatiannya pada tumpukan kertas di hadapannya. Tidak ada ketertarikan, tidak ada kekaguman, hanya tatapan dingin yang seolah mampu menembus niat di balik setiap gerakan Bianca.

"Kael…" panggil Bianca dengan suara yang lembut, hampir mendesah, seakan namanya adalah mantra yang hanya bisa ia ucapkan dengan bisikan.

Tanpa mengangkat wajahnya, Kael menjawab datar, "Duduklah."

Bianca tersenyum kecil, lalu melangkah anggun menuju kursi di seberang Kael. Dengan gerakan yang disengaja, ia menjatuhkan dirinya perlahan di atas kursi, mencoba menarik perhatian pria di hadapannya.

"Terima kasih sudah mengizinkanku bertemu denganmu," ucap Bianca dengan nada yang dibuat-buat ramah.

Kael hanya menggumam pendek. "Hmm."

Bianca menatapnya lekat-lekat, mencoba membaca ekspresi di wajah Kael yang tak menunjukkan celah sedikit pun. "Kamu begitu unik, yah. Itulah yang membuatku tertarik."

Tanpa sedikit pun mengangkat pandangan, Kael menjawab dingin, "Aku tidak membutuhkanmu untuk tertarik padaku."

Bianca terkekeh pelan, meskipun sorot matanya memancarkan kekecewaan yang samar. "Haha… Jangan seperti itu, Kael. Aku hanya bercanda."

Kael akhirnya mengangkat wajahnya, matanya tajam menatap Bianca. "Apa tujuanmu bertemu denganku? Jika hanya untuk basa-basi, lebih baik kamu pergi sekarang."

Bianca terlihat sedikit gelagapan, namun ia dengan cepat menyembunyikan kegelisahannya di balik senyum kecil. "Mm… itu…"

Kael mengetuk permukaan meja dengan jarinya, nadanya semakin tegas. "Kuharap kamu mengetahui sesuatu tentang Arlena maka dari itu aku mengijinkanmu masuk.Jika kamu ingin bicara tentang Arlena, katakan sekarang. Jika bukan tentang itu, jangan buang waktuku."

Bianca menegakkan punggungnya, lalu menundukkan kepala sedikit. "Ah, tentu saja, Kael. Aku… tahu sesuatu sebelum Arlena kehilangan nyawanya."

Mata Kael menyipit, fokusnya sepenuhnya beralih pada Bianca. "Bagus. Kalau begitu cepat ceritakan padaku!"

Namun Bianca hanya tersenyum tipis, matanya menatap ke sekitar ruangan. "Tidak semudah itu, Kael. Aku sengaja datang kemari karena ingin bicara berdua saja, di tempat yang lebih aman. Aku khawatir ada yang menguping atau mencari celah untuk memutarbalikkan ucapanku."

Kael menatapnya dalam-dalam, seakan menilai setiap kata yang diucapkannya. Setelah beberapa saat hening, ia akhirnya bersuara, "Baiklah. Tapi ada satu syarat jika kita akan bertemu lagi."

Bianca memiringkan kepalanya, penasaran. "Syarat? Apa itu?"

Kael menunjuk ke arah gaun yang dikenakan Bianca, nadanya tegas dan tak bisa dibantah. "Pakaianmu. Gunakan pakaian yang sopan. Jangan seperti sekarang yang membuatku merasa tidak nyaman."

Bianca menunduk sedikit, menatap dadanya yang terbuka lebar, lalu tertawa kecil. "Kael… tidak apa jika kamu tergoda. Aku tahu kamu pria normal, jadi jangan berpura-pura tidak tertarik."

Dengan langkah ringan, Bianca berdiri dan mendekati Kael, tangannya terulur, berusaha menyentuh wajahnya. Namun sebelum jarinya sempat menyentuh kulit Kael, pria itu dengan cepat menepis tangan Bianca.

"Bukankah sudah kubilang, jangan menyentuhku!" seru Kael dengan nada rendah namun penuh ancaman. Matanya memancarkan kemarahan yang tertahan.

Bianca terkejut, tangannya menggantung di udara sejenak sebelum ia menariknya kembali. "Maaf, Kael. Aku hanya… merindukan suamiku. Dan aku merasa…"

Kael menyela cepat, nadanya tajam bak pisau. "Kalau kamu merindukan suamimu, pergilah ke makamnya. Bukan datang ke sini dan mencoba merayuku. Itu tidak masuk akal."

Bianca menggigit bibirnya, sorot matanya berubah sendu. Namun, di balik itu, masih ada kilatan manipulasi yang tidak bisa disembunyikan. "Aku… aku hanya merasa tidak tahan melihatmu seperti ini. Kamu begitu menawan, Kael. Aku pikir… mungkin aku bisa menghiburmu."

Kael menghela napas panjang, kepalanya sedikit tertunduk sebelum kembali menatap Bianca. "Aku tidak butuh penghiburan darimu. Ini masalahku, dan aku akan menyelesaikannya sendiri."

Keduanya terdiam dalam ketegangan yang terasa begitu pekat di udara. Bianca akhirnya mundur selangkah, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya.

"Baiklah, Kael. Aku akan memenuhi syaratmu. Jika itu yang membuatmu mau mendengarkanku."

Kael hanya mengangguk kecil, pandangannya kembali jatuh pada dokumen di mejanya. "Keluar dari ruangan ini, Bianca. Kita akan bertemu lagi, tapi pastikan kamu datang dengan niat yang jelas dan pakaian yang pantas."

Bianca menatapnya sejenak, lalu berbalik dan berjalan menuju pintu dengan langkah yang jauh lebih kaku daripada saat ia datang. Sebelum keluar, ia berhenti di ambang pintu dan menoleh sekali lagi.

"Sampai bertemu lagi, Kael."

Disamping itu Selena hendak memasuki ruangan dengan membawa nampan berisi kopi seperti yang diperintahkan oleh Kael. Matanya masih terlihat sedikit mengantuk, namun ia berusaha keras untuk tetap fokus. Dengan langkah hati-hati, ia mencoba berjalan menuju Kael.

Namun, di saat yang bersamaan, Bianca berbalik hendak keluar dari ruangan. Gerakan cepat Bianca yang penuh percaya diri membuatnya bertabrakan dengan Selena di ambang pintu.

"Astaga!" pekik Bianca ketika cangkir kopi dari nampan Selena terguncang dan sebagian isinya tumpah mengenai gaun merah elegannya.

"Maaf, saya tidak sengaja…" ucap Selena panik, matanya melebar melihat noda kopi yang sekarang merusak kain mahal di tubuh Bianca.

Bianca menatap Selena dengan tajam, wajahnya memerah oleh amarah. "Bodoh! Apa kamu tidak punya mata?! Ini gaun mahal, kamu tahu?!" serunya dengan suara tajam yang menusuk telinga Selena.

Kael, yang sejak tadi mengamati dari mejanya, berdiri dengan tatapan tajam ke arah keduanya. "Selena, apa yang kamu lakukan?!" tanyanya dengan nada keras namun tetap terkendali.

Selena menggigit bibir bawahnya, merasa bersalah namun juga sedikit terguncang. Namun, ketika matanya bertemu dengan Bianca, ekspresi Selena berubah. Wajah wanita di hadapannya itu seketika membangkitkan kenangan yang sudah lama terkubur.

"Bianca…?" gumam Selena pelan, suaranya nyaris bergetar.

Bianca yang tengah sibuk membersihkan bajunya dengan sapu tangan mendongak, menatap Selena dengan sorot mata tajam. "Apa?! Kamu masih ingat denganku?" tanyanya dengan nada penuh ejekan.

Selena menatap Bianca lekat-lekat, napasnya mulai terasa berat. Wajah itu, senyum sinis itu… semuanya mengingatkannya pada kejadian tragis di masa lalu. "Kamu… kamu… pembunuh…" bisik Selena dengan suara hampir tak terdengar, namun cukup jelas untuk Bianca menangkap maksudnya.

Tatapan Bianca mengeras, lalu dia melangkah cepat mendekati Selena, berdiri hanya beberapa inci darinya. "Apa yang baru saja kamu katakan?" suaranya rendah namun penuh ancaman.

Selena mundur selangkah, namun keberanian muncul di balik rasa takutnya. "Aku tahu siapa kamu sebenarnya. Kamu bukan wanita baik-baik seperti yang kamu tunjukkan di depan Tuan Kael. Kamu… bertanggung jawab atas kematian suamimu."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Antara Iba dan Curiga   Bab 9

    “Jangan bicara sembarangan! Kamu tidak tahu apa-apa tentangku. Kamu hanya pembantu!” desis Bianca tajam, matanya memancarkan amarah yang tertahan. Selena tidak gentar. Dengan rahang yang mengeras dan mata yang kini dipenuhi keberanian, ia berbisik tegas, “Aku tahu… aku tahu setiap detail yang kamu lakukan terhadap suamimu.” Bianca membeku sejenak, ekspresinya berubah. Ia melirik sekilas ke arah Kael yang sedang sibuk menelepon seseorang sambil menandatangani dokumen-dokumen di mejanya. Pria itu tampak terlalu tenggelam dalam tugasnya dan tak peduli dengan apa yang terjadi di antara kedua wanita itu. Melihat kesempatan itu, senyum licik tersungging di bibir Bianca. “Kamu menyebutku pembunuh? Mana buktinya? Bukankah kamu juga pembunuh dan sudah terbukti jelas membunuh Arlena?” Wajah Selena menegang, tetapi ia segera menepis rasa gentarnya. “Aku tidak melakukannya. Aku curiga kamulah dalang di balik tewasnya Nyonya Arlena.Dan sekarang kamu mencoba mendekati Tuan Kael membuatku se

    Last Updated : 2025-01-02
  • Antara Iba dan Curiga   Bab 10

    Selena masih berdiri di tengah taman, memandangi bunga yang tampak begitu hidup meski sinar matahari sore mulai meredup. Jemarinya perlahan menyentuh kelopak bunga itu, seakan berharap bisa merasakan kembali kehangatan sosok Arlena melalui setiap seratnya. Tanpa disadari, air mata mulai menggenang di sudut matanya, memburamkan pandangannya akan bunga yang begitu berarti baginya. Butiran air mata itu akhirnya jatuh, mengalir perlahan di pipinya yang pucat. "Nyonya… setiap benda di sekitarku selalu mengingatkanku padamu. Senyummu, suaramu, dan caramu membuat segalanya terasa begitu indah di rumah ini." bisik Selena dengan suara bergetar. Angin sore berhembus pelan, seolah mengusap lembut wajahnya, membawa serpihan kenangan yang kini hanya tinggal bayangan di dalam benaknya. Selena buru-buru menghapus air matanya dengan punggung tangan, berusaha menenangkan dirinya. "Tuan Kael masih membutuhkan bantuanmu, Selena. Kamu tidak boleh lemah…" gumamnya pada dirinya sendiri, mencoba membang

    Last Updated : 2025-01-02
  • Antara Iba dan Curiga   Bab 11

    Selena sampai di depan pintu ruang kerja Kael.Suara ketukan pelan terdengar di pintu tersebut.Tok... tok... tok..."Masuk," suara Kael terdengar datar, nyaris tanpa emosi.Dengan hati-hati, Selena membuka pintu dan melangkah masuk. Di balik meja kerjanya, Kael tampak sibuk berbicara dengan seseorang di telepon, wajahnya serius dan tatapannya tajam menusuk layar laptop di hadapannya."Tuan... kopi Anda," ucap Selena dengan suara pelan, berusaha tidak mengganggu percakapan penting itu.Tanpa menoleh, Kael hanya mengangguk dan memberi isyarat agar Selena meletakkan kopi di atas meja. Selena dengan sigap meletakkan cangkir porselen itu di atas tatakan, aroma kopi hangat seakan berusaha mencairkan ketegangan di ruangan itu."Permisi, Tuan..." bisik Selena sebelum melangkah mundur dan menutup pintu dengan hati-hati.Begitu berada di luar, Selena menarik napas panjang. Hatinya masih dipenuhi kecemasan yang belum reda sepenuhnya sejak kejadian di pagar tadi. Ditambah lagi, tatapan dingin Kae

    Last Updated : 2025-01-03
  • Antara Iba dan Curiga   Bab 12

    Pagi itu, udara di dalam rumah Kael terasa lebih berat dari biasanya. Selena, yang sedang sibuk mengepel lantai, merasakan ketegangan yang menggelayuti dirinya. Ia melewati kamar Kael, matanya melirik pintu yang tertutup rapat, bertanya-tanya apakah Kael masih tidur atau sudah bangun. Namun, tidak ada suara apapun yang terdengar dari dalam kamar. "Dia masih tidur, kah?" tanya Selena dalam hati, merasakan sedikit keheranan. Namun, tugasnya tetap harus diselesaikan. Tak lama kemudian, ketua pelayan mendekat dan memberinya perintah. "Selena, hari ini kamu bertugas mengepel semua lantai di setiap sudut!" ujar ketua pelayan dengan nada tegas. "Baiklah," jawab Selena, tetapi matanya tak bisa lepas dari kamar Kael yang masih hening. Ia merasa ada sesuatu yang ganjil, namun segera melanjutkan pekerjaannya. Tiba-tiba, suara mobil terparkir di halaman rumah Kael, membuat Selena berhenti sejenak. Ia melirik lewat jendela dan melihat sosok Bianca turun dari mobil. Rasa kesal mulai merayap di

    Last Updated : 2025-01-03
  • Antara Iba dan Curiga   Bab 13

    Restoran yang seharusnya menjadi tempat pembicaraan serius antara Kael dan Bianca terasa semakin pengap dengan atmosfer ketegangan yang kian memuncak. Dekorasi bunga nan romantis terasa begitu salah di tengah topik yang mereka bicarakan. Kael menatap Bianca dengan tatapan penuh tuntutan."Baiklah, kita lupakan dulu soal Selena," ujar Kael dengan nada tegas, matanya yang tajam menusuk Bianca. "Aku ingin tahu, apa kamu tahu sesuatu tentang Arlena sebelum dia tewas?"Bianca menarik napas dalam, seakan menyiapkan dirinya untuk berbicara. "Waktu itu aku bertemu dengannya di Mall. Arlena sedang menangis terisak-isak di kamar mandi. Selena... dia hanya berdiri di luar, diam, tidak melakukan apa pun untuk menenangkan Arlena. Aku ingin menghampirinya, ingin menenangkannya, tapi... aku takut Selena akan menghalangiku. Jadi, terpaksa aku biarkan."Kael merasakan sesuatu menghantam dadanya. "Arlena… menangis?" tanyanya dengan suara serak, seolah kalimat itu sulit keluar dari bibirnya.Bianca meng

    Last Updated : 2025-01-03
  • Antara Iba dan Curiga   Bab 14

    Langit mendung masih menggantung di luar jendela kaca gedung kantor megah milik Kael Evander. Sorot cahaya suram masuk melalui tirai yang sedikit terbuka, memantulkan kilauan redup di permukaan meja kayu mahoni yang luas di depannya. Kael melangkah cepat melewati lorong kantor yang dipenuhi pegawai yang sedang sibuk dengan aktivitas mereka. Tatapan tajamnya yang biasanya penuh wibawa kini terlihat kosong, sementara lingkaran hitam di bawah matanya semakin jelas terlihat. "Selamat siang, Tuan," ucap beberapa pegawai sambil membungkukkan badan dengan sopan. Kael hanya mengangguk kecil tanpa menoleh, langkahnya tegas namun terburu-buru, seakan ada beban berat yang mendorongnya untuk segera sampai di ruangannya. Begitu pintu ruangannya tertutup rapat, Kael mendapati beberapa orang sudah menunggunya. Salah satunya adalah pria paruh baya dengan setelan jas rapi dan kacamata tebal—Notaris keluarga Evander. Dokumen-dokumen bersegel resmi tersusun rapi di hadapannya. "Tuan Kael," ujar not

    Last Updated : 2025-01-04
  • Antara Iba dan Curiga   Bab 15

    Langit mulai berubah kelam ketika matahari sepenuhnya tenggelam di balik cakrawala. Lampu halaman depan rumah Kael mulai menyala, memberikan cahaya redup yang membingkai wajah tegang Selena. Dengan tubuh yang masih kotor dan tangan yang berlumuran tanah, ia berdiri di tengah halaman dengan pandangan penuh kewaspadaan."Aku tahu kamu pasti muncul lagi," gumam Selena, matanya tajam menatap ke arah gerbang yang mulai diselimuti bayangan malam.Beberapa menit kemudian, suara langkah kaki terdengar samar dari balik pagar besi yang menjulang tinggi. Selena memicingkan mata, melihat sosok pria berjas hitam yang bergerak perlahan di balik pagar, seolah sedang mengendap-endap. Wajahnya tertutup bayangan, dan gerak-geriknya tampak mencurigakan."Dasar pengecut! Aku tahu kamu akan kembali!" pikir Selena geram.Dengan cepat, ia merunduk dan mengangkat sebongkah batu besar di dekat kakinya. Napasnya memburu, tangannya bergetar oleh tenaga yang ia kumpulkan."Akhirnya dapat juga! Kamu membuatku kes

    Last Updated : 2025-01-04
  • Antara Iba dan Curiga   Bab 16

    Suasana di rumah Kael berubah mencekam setelah penemuan jejak kaki misterius di halaman. Langit gelap mulai menyelimuti, namun ketegangan di dalam rumah terasa semakin pekat. Kael berdiri dengan tangan mengepal, rahangnya mengeras, dan sorot matanya tajam memandang Dave yang baru saja melaporkan temuannya."Aku menemukan jejak kaki pria dewasa yang mencurigakan. Jejak ini berasal dari halaman pagar dan mengarah ke lorong. Tampaknya seseorang berusaha menyelinap ke rumah Anda, tapi untungnya benda berharga di sekitar sini masih aman. Sepertinya bukan itu tujuannya," ujar Dave dengan nada serius.Kael menghela napas dalam, matanya menyipit saat memikirkan kemungkinan yang baru saja Dave utarakan."Berarti yang Selena lihat itu memang benar," gumamnya pelan, rasa bersalah merayap di hatinya."Apa ada lagi?" tanyanya dengan suara rendah namun tegas."Tidak ada, Tuan. Hanya jejak kaki itu saja. Saya tidak tahu pasti apa tujuannya karena tidak ada petunjuk lain yang mencurigakan."Kael memi

    Last Updated : 2025-01-05

Latest chapter

  • Antara Iba dan Curiga   Bab 20

    Sore itu, suasana villa mewah di pusat kota dipenuhi oleh obrolan ringan dan tawa. Ronald dan Bianca baru saja tiba, sedikit terlambat dari jadwal. "Maaf, kami terlambat," ucap Ronald sambil menggandeng tangan Bianca. "Tidak apa-apa," balas Jason, salah satu teman Ronald. "Maklum, pengantin baru," timpal Christine, istri Jason, sambil tertawa kecil. Bianca tersenyum sambil melirik Arlena, yang dengan ramah berkata, "Bianca, duduk saja di sini." Bianca segera duduk di samping Arlena, sementara Ronald memilih untuk tetap di dekatnya. "Arlena, suamimu ke mana? Kenapa dia tidak pernah terlihat mendampingimu?" tanya Christine penasaran. Arlena tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan rasa sesak di dadanya. "Dia sibuk sekali akhir-akhir ini. Pekerjaannya menumpuk." "Ya ampun, aku beruntung Ronald selalu bisa mendampingiku," celetuk Bianca sambil menyender di bahu Ronald dengan bangga. Ronald ikut menimpali, "Suamimu pasti juga punya waktu luang. Kamu harus bangga dia berjuang

  • Antara Iba dan Curiga   Bab 19

    Di siang hari yang hangat, Kael duduk di kursi ruangannya dengan wajah serius. Dia telah memanggil Selena untuk membahas sesuatu yang terus menghantui pikirannya. Ketika Selena masuk, Kael memulai pembicaraan dengan nada rendah, namun tegas. "Selena... tolong jawab dengan jujur. Ada masalah apa kamu dengan Arlena dalam rekaman CCTV itu?" tanyanya, sorot matanya tajam, tapi suaranya berusaha menenangkan. Selena menunduk, menggenggam jemarinya yang gemetar. "Tuan... maaf, aku tidak bisa menceritakannya. Itu adalah rahasia Nyonya," jawabnya pelan. Tanpa sadar, air mata mulai mengalir di pipinya. Kael mendesah, mencoba menahan emosinya. "Rahasia Arlena adalah rahasiaku juga, Selena. Aku suaminya. Jadi, aku berhak tahu," tegas Kael, nadanya sedikit mengeras. Selena menggeleng pelan, lalu menghapus air matanya dengan tisu. "Bukan seperti itu, Tuan... tapi..." ucapnya, suaranya terhenti di tengah kalimat. Air matanya makin deras, membuat Kael semakin bingung dan cemas. Kael memanda

  • Antara Iba dan Curiga   Bab 18

    Malam telah larut, dan suasana rumah Kael terasa hening, hanya diiringi oleh suara jarum jam yang berdetak pelan di dinding ruang tamu. Selena duduk di sofa dengan posisi gelisah, tangannya memegang cangkir teh yang sejak tadi tak disentuh. Tatapannya kosong, tetapi pikirannya penuh dengan berbagai prasangka yang membuncah tanpa kendali. "Kenapa dia belum pulang juga?" gumam Selena dengan nada lirih, tetapi penuh kekesalan. "Apa yang mereka lakukan selama ini? Restoran apa yang buka sampai selarut ini? Apakah... apakah dia benar-benar tidak peduli lagi dengan Nyonya?" Selena menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan perasaan marah dan kecewa yang semakin meluap. Pikiran-pikirannya mulai liar, membayangkan hal-hal yang tak seharusnya ia pikirkan. "Bianca itu... wanita licik. Dia pasti memanfaatkan keadaan. Dan Tuan... dia bahkan tidak menghormati kematian istrinya! Baru saja istrinya meninggal, dia sudah sibuk dengan wanita lain!" suara Selena semakin kesal. Ia berdiri dari sofa, m

  • Antara Iba dan Curiga   Bab 17

    Ruangan Kael dipenuhi dengan keheningan yang menyesakkan. Hanya suara jarum jam di dinding yang terdengar, seolah menghitung setiap detik dari rasa bersalah yang kini memenuhi hatinya. Duduk di kursi kerjanya, Kael bersandar dengan kedua tangan menutupi wajahnya. Pikirannya berputar tanpa arah, mencoba memahami setiap teka-teki yang menggantung di sekelilingnya. "Sepertinya aku terlalu keras padanya… Aku bahkan belum selesai bertanya padanya tentang masalah Arlena." Kael menghela napas panjang. Penyesalan menyelimuti hatinya. Bayangan wajah Selena, yang berlinang air mata dan penuh luka, terus menghantuinya. Selama ini, ia hanya melihat Selena sebagai sosok yang penuh teka-teki, tersangka yang paling mudah untuk disalahkan. Namun, ada satu hal yang tak bisa ia abaikan: tekad dan keberanian Selena saat mencoba menjelaskan sesuatu kepadanya. Dia bukanlah seorang pengecut yang akan bersembunyi jika bersalah. "Besok aku akan berbicara dengannya secara baik-baik. Aku harus memberikan

  • Antara Iba dan Curiga   Bab 16

    Suasana di rumah Kael berubah mencekam setelah penemuan jejak kaki misterius di halaman. Langit gelap mulai menyelimuti, namun ketegangan di dalam rumah terasa semakin pekat. Kael berdiri dengan tangan mengepal, rahangnya mengeras, dan sorot matanya tajam memandang Dave yang baru saja melaporkan temuannya."Aku menemukan jejak kaki pria dewasa yang mencurigakan. Jejak ini berasal dari halaman pagar dan mengarah ke lorong. Tampaknya seseorang berusaha menyelinap ke rumah Anda, tapi untungnya benda berharga di sekitar sini masih aman. Sepertinya bukan itu tujuannya," ujar Dave dengan nada serius.Kael menghela napas dalam, matanya menyipit saat memikirkan kemungkinan yang baru saja Dave utarakan."Berarti yang Selena lihat itu memang benar," gumamnya pelan, rasa bersalah merayap di hatinya."Apa ada lagi?" tanyanya dengan suara rendah namun tegas."Tidak ada, Tuan. Hanya jejak kaki itu saja. Saya tidak tahu pasti apa tujuannya karena tidak ada petunjuk lain yang mencurigakan."Kael memi

  • Antara Iba dan Curiga   Bab 15

    Langit mulai berubah kelam ketika matahari sepenuhnya tenggelam di balik cakrawala. Lampu halaman depan rumah Kael mulai menyala, memberikan cahaya redup yang membingkai wajah tegang Selena. Dengan tubuh yang masih kotor dan tangan yang berlumuran tanah, ia berdiri di tengah halaman dengan pandangan penuh kewaspadaan."Aku tahu kamu pasti muncul lagi," gumam Selena, matanya tajam menatap ke arah gerbang yang mulai diselimuti bayangan malam.Beberapa menit kemudian, suara langkah kaki terdengar samar dari balik pagar besi yang menjulang tinggi. Selena memicingkan mata, melihat sosok pria berjas hitam yang bergerak perlahan di balik pagar, seolah sedang mengendap-endap. Wajahnya tertutup bayangan, dan gerak-geriknya tampak mencurigakan."Dasar pengecut! Aku tahu kamu akan kembali!" pikir Selena geram.Dengan cepat, ia merunduk dan mengangkat sebongkah batu besar di dekat kakinya. Napasnya memburu, tangannya bergetar oleh tenaga yang ia kumpulkan."Akhirnya dapat juga! Kamu membuatku kes

  • Antara Iba dan Curiga   Bab 14

    Langit mendung masih menggantung di luar jendela kaca gedung kantor megah milik Kael Evander. Sorot cahaya suram masuk melalui tirai yang sedikit terbuka, memantulkan kilauan redup di permukaan meja kayu mahoni yang luas di depannya. Kael melangkah cepat melewati lorong kantor yang dipenuhi pegawai yang sedang sibuk dengan aktivitas mereka. Tatapan tajamnya yang biasanya penuh wibawa kini terlihat kosong, sementara lingkaran hitam di bawah matanya semakin jelas terlihat. "Selamat siang, Tuan," ucap beberapa pegawai sambil membungkukkan badan dengan sopan. Kael hanya mengangguk kecil tanpa menoleh, langkahnya tegas namun terburu-buru, seakan ada beban berat yang mendorongnya untuk segera sampai di ruangannya. Begitu pintu ruangannya tertutup rapat, Kael mendapati beberapa orang sudah menunggunya. Salah satunya adalah pria paruh baya dengan setelan jas rapi dan kacamata tebal—Notaris keluarga Evander. Dokumen-dokumen bersegel resmi tersusun rapi di hadapannya. "Tuan Kael," ujar not

  • Antara Iba dan Curiga   Bab 13

    Restoran yang seharusnya menjadi tempat pembicaraan serius antara Kael dan Bianca terasa semakin pengap dengan atmosfer ketegangan yang kian memuncak. Dekorasi bunga nan romantis terasa begitu salah di tengah topik yang mereka bicarakan. Kael menatap Bianca dengan tatapan penuh tuntutan."Baiklah, kita lupakan dulu soal Selena," ujar Kael dengan nada tegas, matanya yang tajam menusuk Bianca. "Aku ingin tahu, apa kamu tahu sesuatu tentang Arlena sebelum dia tewas?"Bianca menarik napas dalam, seakan menyiapkan dirinya untuk berbicara. "Waktu itu aku bertemu dengannya di Mall. Arlena sedang menangis terisak-isak di kamar mandi. Selena... dia hanya berdiri di luar, diam, tidak melakukan apa pun untuk menenangkan Arlena. Aku ingin menghampirinya, ingin menenangkannya, tapi... aku takut Selena akan menghalangiku. Jadi, terpaksa aku biarkan."Kael merasakan sesuatu menghantam dadanya. "Arlena… menangis?" tanyanya dengan suara serak, seolah kalimat itu sulit keluar dari bibirnya.Bianca meng

  • Antara Iba dan Curiga   Bab 12

    Pagi itu, udara di dalam rumah Kael terasa lebih berat dari biasanya. Selena, yang sedang sibuk mengepel lantai, merasakan ketegangan yang menggelayuti dirinya. Ia melewati kamar Kael, matanya melirik pintu yang tertutup rapat, bertanya-tanya apakah Kael masih tidur atau sudah bangun. Namun, tidak ada suara apapun yang terdengar dari dalam kamar. "Dia masih tidur, kah?" tanya Selena dalam hati, merasakan sedikit keheranan. Namun, tugasnya tetap harus diselesaikan. Tak lama kemudian, ketua pelayan mendekat dan memberinya perintah. "Selena, hari ini kamu bertugas mengepel semua lantai di setiap sudut!" ujar ketua pelayan dengan nada tegas. "Baiklah," jawab Selena, tetapi matanya tak bisa lepas dari kamar Kael yang masih hening. Ia merasa ada sesuatu yang ganjil, namun segera melanjutkan pekerjaannya. Tiba-tiba, suara mobil terparkir di halaman rumah Kael, membuat Selena berhenti sejenak. Ia melirik lewat jendela dan melihat sosok Bianca turun dari mobil. Rasa kesal mulai merayap di

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status