Selena menghela napas, berjalan menuju tangga yang mengarah ke ruang bawah tanah. Ada sedikit rasa kecewa di dalam hatinya, namun dia tahu, ini adalah hidupnya sekarang—sebuah hidup yang terkekang oleh tuduhan yang tak adil. "Aku tidak peduli dengan apa yang mereka pikirkan," gumamnya dalam hati. "Aku akan buktikan kebenaran, bahkan jika aku harus bertahan dengan perlakuan ini."
Begitu sampai di ruang bawah tanah yang dingin dan gelap, Selena langsung menuju tempat tidurnya. Hanya ada selembar selimut lusuh yang menjadi temannya di malam hari. Dia merebahkan diri, menatap langit-langit yang kosong. "Tuan Kael... jika kamu benar-benar mencintai Nyonya,kamu juga harus percaya padaku," pikir Selena, namun pikirannya segera terganggu dengan suara langkah kaki yang terdengar di lantai atas. "Apa mereka masih terus membicarakanku?" Selena bergumam dengan kesal, namun dia segera menenangkan diri. Tidak ada gunanya terlalu memikirkan mereka. "Yang penting sekarang, aku harus buktikan kebenaran. Aku harus tahu siapa yang benar-benar membunuh Nyonya Arlena." Namun, ada satu hal yang masih mengganggu pikirannya: wanita yang melompat dari jendela itu. Selena masih bisa melihatnya dengan jelas di dalam ingatannya—wanita itu tampak tergesa-gesa, penuh ketakutan, dan berlari sebelum melompat ke luar jendela. "Siapa dia? Dan apa hubungannya dengan Nyonya Arlena?"pikir Selena, namun semakin banyak dia mencoba untuk mengingat, semakin samar bayangan wanita itu. Dengan tubuh yang lelah dan pikiran yang kacau, Selena menutup matanya dan mencoba tidur. Namun, meskipun matanya terpejam, tidur itu terasa sangat jauh. Rasa ketakutan dan kecemasan terus mengganggu pikirannya. "Jika aku tidak bisa membuktikan diriku tidak bersalah, apakah aku akan terus dihukum seperti ini?" Tapi Selena tahu satu hal: dia tidak akan menyerah. Apapun yang terjadi, dia akan mencari tahu kebenaran dan membuktikan bahwa dia bukanlah pembunuh itu. Di dalam kegelapan ruang bawah tanah yang sunyi, Selena memejamkan matanya dan berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak pernah menyerah, meskipun dunia terus menuduhnya. -------------- Di kamar Kael yang besar dan sunyi, ruangan itu terasa begitu sepi, meskipun ada pelayan yang bekerja di sekitar rumah. Kael duduk di tepi ranjang, menatap sebuah foto yang diletakkan di meja samping tempat tidur. Foto itu menunjukkan senyum hangat Arlena, istrinya yang kini sudah tiada. Kael menggenggam foto itu erat, matanya berkaca-kaca, namun dia berusaha keras untuk tidak menangis. "Arlena..." bisiknya pelan, suaranya serak. "Aku tak tahu harus bagaimana tanpa kamu di sini." Sejak pemakaman Arlena, Kael merasa seperti bagian dirinya hilang. Setiap langkah yang dia ambil, setiap ruangan yang dia masuki, semuanya terasa kosong. "Selena..." Kael memejamkan mata sejenak, menahan gejolak emosi yang kembali muncul. "Apakah kamu benar-benar yang melakukannya?" Namun, entah kenapa, meskipun semua bukti yang ada mengarah pada Selena, Kael merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan semua itu. Sikap Selena yang canggung, konyol, dan bahkan kadang menggelikan, membuat Kael merasa bahwa dia bukan tipe orang yang bisa melakukan hal mengerikan seperti itu. "Kamu... bahkan tak bisa memasak tanpa membuatnya jadi berbahaya." Kael terkekeh pelan, meskipun hatinya masih penuh kesedihan. Tatapan Kael kembali jatuh ke foto Arlena. "Aku tahu aku harus membalas dendammu, tapi... bagaimana aku bisa membenci Selena yang begitu bodoh? Dia bahkan tak tahu bagaimana membuat nasi yang benar." Dia menghela napas panjang dan mengusap wajahnya dengan tangan. Setiap kali Kael mencoba untuk mempercayai bahwa Selena adalah pelakunya, ada sesuatu yang menahannya. Mungkin itu karena dia terlalu sering melihat sisi lain dari Selena yang jujur dan tidak berdosa—seperti ketika dia terkaget-kaget karena garam atau ketika dia sangat takut melihat wajah Kael yang marah. "Apa ini... beban yang harus aku tanggung?" pikir Kael. "Aku merasa kehilangan dua orang. Arlena, dan sekarang... Selena yang aku tak tahu harus bagaimana." Kael meletakkan foto itu kembali di meja, berjalan menuju jendela, dan menatap langit yang gelap. Dia merasa bingung dan terperangkap dalam keputusan yang sulit. "Selena... jika kamu benar-benar yang melakukan itu, bagaimana aku bisa menghukummu? Tapi jika kamu tidak melakukannya, bagaimana aku bisa membiarkanmu pergi begitu saja?" Di dalam hatinya, Kael masih bergulat dengan perasaan yang berat—perasaan sakit kehilangan Arlena, perasaan marah dan bingung atas kematian istrinya, dan juga perasaan yang mulai tumbuh untuk Selena, yang meskipun konyol, membuatnya merasa sedikit terhibur dalam kekosongan yang ada. Namun, Kael tahu, dia harus memilih jalan yang benar, apapun itu. Kael menatap bayangan dirinya di cermin. "Aku harus tegas, tapi hati ini... selalu saja ragu." ---------- Di ruang bawah tanah Selena pun mulai tertidur namun terkejut saat mendengar suara pengawal yang memanggilnya dengan tegas. Matanya yang baru saja hendak terpejam kini terbuka lebar. Dengan perasaan berat, dia menarik napas dalam-dalam dan berusaha menenangkan diri. "Apa lagi sekarang?" gumamnya dalam hati. Pengawal yang berdiri di pintu ruang bawah tanah itu menunggu dengan sikap tegas. "Tuan Kael meminta kamu untuk datang sekarang!" Suaranya tidak menunjukkan sedikitpun belas kasihan. Selena tahu, ini adalah perintah yang tak bisa ditolak, meski hatinya merasa lelah dan tertekan. Dengan langkah lambat, Selena bangkit dari tempat tidurnya yang keras dan dingin. Badannya terasa kaku setelah berbaring dalam posisi yang tidak nyaman sepanjang malam. Ia merapikan rambut yang kusut dan menatap pintu besi yang mengarah keluar. Tak ada pilihan lain selain pergi dan mengikuti perintah Tuan Kael, meskipun hatinya penuh dengan keraguan. "Kenapa Tuan Kael memanggilku? Apa yang ingin dia lakukan sekarang?" pikirnya, berjalan menaiki tangga menuju lantai atas. Setiap langkahnya terasa berat, seperti beban yang semakin menambah rasa lelah di pundaknya. Sesampainya di ruang utama, Selena melihat Tuan Kael duduk di kursi, tampak masih dipenuhi dengan amarah dan kesedihan. Namun ada sesuatu yang berbeda kali ini—ada sedikit kehati-hatian di matanya. "Tuan," Selena menyapa dengan suara rendah, mencoba tidak menunjukkan rasa takut meskipun tubuhnya terasa gemetar. Kael menatapnya dengan tajam, matanya penuh dengan emosi yang sulit terbaca. "Selena." suaranya keras namun dipenuhi dengan keletihan. "Aku ingin kamu menjelaskan semuanya. Aku sudah terlalu lama menanggung kebenaran yang tidak aku ketahui." Selena bisa merasakan ketegangan yang mengalir di udara. Dia tahu ini adalah kesempatan untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi, namun keraguan masih menghantui dirinya. "Tuan Kael, saya tidak tahu siapa yang membunuh Nyonya Arlena. Saya tidak bersalah, Tuan. Saya hanya melayani seperti yang saya perintahkan," ucapnya, berusaha untuk berbicara dengan jujur meskipun hatinya bergetar. Kael bangkit dari kursinya dan berjalan mendekat, tatapannya semakin tajam. "Kalau begitu, siapa yang bisa aku percayai?" tanyanya, suaranya bergetar dengan frustasi yang mendalam. "Ku bilang kamu tidak bersalah, tapi bukti-bukti itu... semuanya mengarah kepadamu. Dan aku tidak bisa menahan rasa sakit ini. Semua orang mengatakan bahwa kamu pembunuhnya." Selena terdiam, merasa dirinya terpojok. "Tuan, saya tidak bisa mengubah apa yang orang lain katakan, tapi saya bisa menjelaskan kepada Tuan kalau saya benar-benar tidak melakukannya," ucapnya dengan penuh harap. Kael menarik napas panjang, matanya menunjukkan kelelahan yang mendalam. "Mungkin... mungkin aku sudah terlalu lama menutup mata terhadap kebenaran." Dia berjalan menjauh dan duduk kembali di kursi, seolah berpikir keras. "Namun, aku tidak bisa membiarkanmu pergi begitu saja tanpa bukti." Selena hanya bisa diam, merasa jantungnya berdegup cepat. Setiap kata yang keluar dari mulut Kael membuatnya semakin ragu, semakin terhimpit. Dia tahu jika ini adalah saat yang menentukan—antara hidup dan mati, antara pembenaran dan penghukuman. Namun, Selena juga tahu satu hal: dia tidak bisa menyerah begitu saja. Dia harus menemukan cara untuk membuktikan dirinya tidak bersalah. Tapi di tengah semua ketegangan ini, ada satu perasaan yang mulai tumbuh di hatinya—perasaan yang tak terungkapkan, perasaan yang mungkin sudah lama ia pendam sejak pertama kali bekerja untuk Tuan Kael. "Apakah aku masih punya harapan?" pikirnya. Dengan segenap kekuatan, Selena berusaha mengendalikan dirinya. "Tuan Kael... saya janji saya akan mencari bukti yang akan membuktikan saya tidak bersalah,"** ucapnya dengan penuh tekad. "Tolong beri saya kesempatan." Kael menatapnya lama, seakan menimbang setiap kata yang keluar dari mulut Selena. Akhirnya, setelah beberapa saat yang penuh ketegangan, dia mengangguk perlahan. "Aku beri kesempatan. Tapi ingat, jika kamu tidak bisa membuktikan dirimu, aku tidak bisa menjamin apa yang akan terjadi padamu." Selena mengangguk dengan penuh tekad, meskipun rasa takut masih mengendap di dalam hatinya. "Terima kasih, Tuan. Saya akan mencari bukti itu, saya janji." Kael hanya mengangguk,Selena pun melangkah pergi hendak meninggalkan ruangan Kael namun Kael kembali memanggilnya. "Selena!"Selena pun berhenti dan menoleh ke arah Kael. "Sebelum kamu pergi,buatkan dulu kopi untukku! Tapi jangan salah lagi seperti masakan tadi." Selena hanya mengangguk kemudian pergi ke dapur. Selena berjalan perlahan menuju kamar Kael dengan segelas kopi ditangannya sambil bergumam "Di malam begini dia ingin minum kopi,apa tidak takut insomnia?ini kan waktunya tidur.Aku saja sudah mengantuk." Selena kembali menguap.Kael yang mendengar langkah kaki Selena langsung berdiri di depan pintu dan menegurnya dari jauh. "Kenapa lama sekali? Kamu malah berbicara sendiri.Cepat bawa kesini!" "Ah iya Tuan..maaf." Selena segera membawa kopi yang sudah ia buat dengan hati-hati. Kopi tersebut sudah tercium aromanya yang harum, meski di dalam hati Selena masih merasa cemas akan reaksi Kael terhadap segala hal yang ia lakukan. Ia berjalan cepat menuju ruang tempat Kael duduk, berharap kali ini tak ada yang salah. Sesampainya di depan Kael, ia menyodorkan cangkir kopi dengan kedua tangan. **"Ini kop
Pintu ruangan terbuka perlahan, dan sosok Bianca muncul dengan langkah percaya diri. Gaun satin berwarna merah tua membalut tubuhnya, dengan belahan dada yang terlalu rendah untuk diabaikan. Aroma parfum mewahnya segera memenuhi udara, meninggalkan jejak yang tajam namun menggoda. Bibirnya yang merah menyala membentuk senyuman yang dipaksakan, namun tatapan matanya jelas—ia memiliki tujuan yang tersembunyi. Kael, yang sedang sibuk menata dokumen di meja kerjanya, hanya melirik sekilas sebelum kembali memfokuskan perhatiannya pada tumpukan kertas di hadapannya. Tidak ada ketertarikan, tidak ada kekaguman, hanya tatapan dingin yang seolah mampu menembus niat di balik setiap gerakan Bianca. "Kael…" panggil Bianca dengan suara yang lembut, hampir mendesah, seakan namanya adalah mantra yang hanya bisa ia ucapkan dengan bisikan. Tanpa mengangkat wajahnya, Kael menjawab datar, "Duduklah." Bianca tersenyum kecil, lalu melangkah anggun menuju kursi di seberang Kael. Dengan gerakan yang dis
“Jangan bicara sembarangan! Kamu tidak tahu apa-apa tentangku. Kamu hanya pembantu!” desis Bianca tajam, matanya memancarkan amarah yang tertahan. Selena tidak gentar. Dengan rahang yang mengeras dan mata yang kini dipenuhi keberanian, ia berbisik tegas, “Aku tahu… aku tahu setiap detail yang kamu lakukan terhadap suamimu.” Bianca membeku sejenak, ekspresinya berubah. Ia melirik sekilas ke arah Kael yang sedang sibuk menelepon seseorang sambil menandatangani dokumen-dokumen di mejanya. Pria itu tampak terlalu tenggelam dalam tugasnya dan tak peduli dengan apa yang terjadi di antara kedua wanita itu. Melihat kesempatan itu, senyum licik tersungging di bibir Bianca. “Kamu menyebutku pembunuh? Mana buktinya? Bukankah kamu juga pembunuh dan sudah terbukti jelas membunuh Arlena?” Wajah Selena menegang, tetapi ia segera menepis rasa gentarnya. “Aku tidak melakukannya. Aku curiga kamulah dalang di balik tewasnya Nyonya Arlena.Dan sekarang kamu mencoba mendekati Tuan Kael membuatku se
Selena masih berdiri di tengah taman, memandangi bunga yang tampak begitu hidup meski sinar matahari sore mulai meredup. Jemarinya perlahan menyentuh kelopak bunga itu, seakan berharap bisa merasakan kembali kehangatan sosok Arlena melalui setiap seratnya. Tanpa disadari, air mata mulai menggenang di sudut matanya, memburamkan pandangannya akan bunga yang begitu berarti baginya. Butiran air mata itu akhirnya jatuh, mengalir perlahan di pipinya yang pucat. "Nyonya… setiap benda di sekitarku selalu mengingatkanku padamu. Senyummu, suaramu, dan caramu membuat segalanya terasa begitu indah di rumah ini." bisik Selena dengan suara bergetar. Angin sore berhembus pelan, seolah mengusap lembut wajahnya, membawa serpihan kenangan yang kini hanya tinggal bayangan di dalam benaknya. Selena buru-buru menghapus air matanya dengan punggung tangan, berusaha menenangkan dirinya. "Tuan Kael masih membutuhkan bantuanmu, Selena. Kamu tidak boleh lemah…" gumamnya pada dirinya sendiri, mencoba membang
Selena sampai di depan pintu ruang kerja Kael.Suara ketukan pelan terdengar di pintu tersebut.Tok... tok... tok..."Masuk," suara Kael terdengar datar, nyaris tanpa emosi.Dengan hati-hati, Selena membuka pintu dan melangkah masuk. Di balik meja kerjanya, Kael tampak sibuk berbicara dengan seseorang di telepon, wajahnya serius dan tatapannya tajam menusuk layar laptop di hadapannya."Tuan... kopi Anda," ucap Selena dengan suara pelan, berusaha tidak mengganggu percakapan penting itu.Tanpa menoleh, Kael hanya mengangguk dan memberi isyarat agar Selena meletakkan kopi di atas meja. Selena dengan sigap meletakkan cangkir porselen itu di atas tatakan, aroma kopi hangat seakan berusaha mencairkan ketegangan di ruangan itu."Permisi, Tuan..." bisik Selena sebelum melangkah mundur dan menutup pintu dengan hati-hati.Begitu berada di luar, Selena menarik napas panjang. Hatinya masih dipenuhi kecemasan yang belum reda sepenuhnya sejak kejadian di pagar tadi. Ditambah lagi, tatapan dingin Kae
Pagi itu, udara di dalam rumah Kael terasa lebih berat dari biasanya. Selena, yang sedang sibuk mengepel lantai, merasakan ketegangan yang menggelayuti dirinya. Ia melewati kamar Kael, matanya melirik pintu yang tertutup rapat, bertanya-tanya apakah Kael masih tidur atau sudah bangun. Namun, tidak ada suara apapun yang terdengar dari dalam kamar. "Dia masih tidur, kah?" tanya Selena dalam hati, merasakan sedikit keheranan. Namun, tugasnya tetap harus diselesaikan. Tak lama kemudian, ketua pelayan mendekat dan memberinya perintah. "Selena, hari ini kamu bertugas mengepel semua lantai di setiap sudut!" ujar ketua pelayan dengan nada tegas. "Baiklah," jawab Selena, tetapi matanya tak bisa lepas dari kamar Kael yang masih hening. Ia merasa ada sesuatu yang ganjil, namun segera melanjutkan pekerjaannya. Tiba-tiba, suara mobil terparkir di halaman rumah Kael, membuat Selena berhenti sejenak. Ia melirik lewat jendela dan melihat sosok Bianca turun dari mobil. Rasa kesal mulai merayap di
Restoran yang seharusnya menjadi tempat pembicaraan serius antara Kael dan Bianca terasa semakin pengap dengan atmosfer ketegangan yang kian memuncak. Dekorasi bunga nan romantis terasa begitu salah di tengah topik yang mereka bicarakan. Kael menatap Bianca dengan tatapan penuh tuntutan."Baiklah, kita lupakan dulu soal Selena," ujar Kael dengan nada tegas, matanya yang tajam menusuk Bianca. "Aku ingin tahu, apa kamu tahu sesuatu tentang Arlena sebelum dia tewas?"Bianca menarik napas dalam, seakan menyiapkan dirinya untuk berbicara. "Waktu itu aku bertemu dengannya di Mall. Arlena sedang menangis terisak-isak di kamar mandi. Selena... dia hanya berdiri di luar, diam, tidak melakukan apa pun untuk menenangkan Arlena. Aku ingin menghampirinya, ingin menenangkannya, tapi... aku takut Selena akan menghalangiku. Jadi, terpaksa aku biarkan."Kael merasakan sesuatu menghantam dadanya. "Arlena… menangis?" tanyanya dengan suara serak, seolah kalimat itu sulit keluar dari bibirnya.Bianca meng
Langit mendung masih menggantung di luar jendela kaca gedung kantor megah milik Kael Evander. Sorot cahaya suram masuk melalui tirai yang sedikit terbuka, memantulkan kilauan redup di permukaan meja kayu mahoni yang luas di depannya. Kael melangkah cepat melewati lorong kantor yang dipenuhi pegawai yang sedang sibuk dengan aktivitas mereka. Tatapan tajamnya yang biasanya penuh wibawa kini terlihat kosong, sementara lingkaran hitam di bawah matanya semakin jelas terlihat. "Selamat siang, Tuan," ucap beberapa pegawai sambil membungkukkan badan dengan sopan. Kael hanya mengangguk kecil tanpa menoleh, langkahnya tegas namun terburu-buru, seakan ada beban berat yang mendorongnya untuk segera sampai di ruangannya. Begitu pintu ruangannya tertutup rapat, Kael mendapati beberapa orang sudah menunggunya. Salah satunya adalah pria paruh baya dengan setelan jas rapi dan kacamata tebal—Notaris keluarga Evander. Dokumen-dokumen bersegel resmi tersusun rapi di hadapannya. "Tuan Kael," ujar not
Langit mulai berubah kelam ketika matahari sepenuhnya tenggelam di balik cakrawala. Lampu halaman depan rumah Kael mulai menyala, memberikan cahaya redup yang membingkai wajah tegang Selena. Dengan tubuh yang masih kotor dan tangan yang berlumuran tanah, ia berdiri di tengah halaman dengan pandangan penuh kewaspadaan."Aku tahu kamu pasti muncul lagi," gumam Selena, matanya tajam menatap ke arah gerbang yang mulai diselimuti bayangan malam.Beberapa menit kemudian, suara langkah kaki terdengar samar dari balik pagar besi yang menjulang tinggi. Selena memicingkan mata, melihat sosok pria berjas hitam yang bergerak perlahan di balik pagar, seolah sedang mengendap-endap. Wajahnya tertutup bayangan, dan gerak-geriknya tampak mencurigakan."Dasar pengecut! Aku tahu kamu akan kembali!" pikir Selena geram.Dengan cepat, ia merunduk dan mengangkat sebongkah batu besar di dekat kakinya. Napasnya memburu, tangannya bergetar oleh tenaga yang ia kumpulkan."Akhirnya dapat juga! Kamu membuatku kes
Langit mendung masih menggantung di luar jendela kaca gedung kantor megah milik Kael Evander. Sorot cahaya suram masuk melalui tirai yang sedikit terbuka, memantulkan kilauan redup di permukaan meja kayu mahoni yang luas di depannya. Kael melangkah cepat melewati lorong kantor yang dipenuhi pegawai yang sedang sibuk dengan aktivitas mereka. Tatapan tajamnya yang biasanya penuh wibawa kini terlihat kosong, sementara lingkaran hitam di bawah matanya semakin jelas terlihat. "Selamat siang, Tuan," ucap beberapa pegawai sambil membungkukkan badan dengan sopan. Kael hanya mengangguk kecil tanpa menoleh, langkahnya tegas namun terburu-buru, seakan ada beban berat yang mendorongnya untuk segera sampai di ruangannya. Begitu pintu ruangannya tertutup rapat, Kael mendapati beberapa orang sudah menunggunya. Salah satunya adalah pria paruh baya dengan setelan jas rapi dan kacamata tebal—Notaris keluarga Evander. Dokumen-dokumen bersegel resmi tersusun rapi di hadapannya. "Tuan Kael," ujar not
Restoran yang seharusnya menjadi tempat pembicaraan serius antara Kael dan Bianca terasa semakin pengap dengan atmosfer ketegangan yang kian memuncak. Dekorasi bunga nan romantis terasa begitu salah di tengah topik yang mereka bicarakan. Kael menatap Bianca dengan tatapan penuh tuntutan."Baiklah, kita lupakan dulu soal Selena," ujar Kael dengan nada tegas, matanya yang tajam menusuk Bianca. "Aku ingin tahu, apa kamu tahu sesuatu tentang Arlena sebelum dia tewas?"Bianca menarik napas dalam, seakan menyiapkan dirinya untuk berbicara. "Waktu itu aku bertemu dengannya di Mall. Arlena sedang menangis terisak-isak di kamar mandi. Selena... dia hanya berdiri di luar, diam, tidak melakukan apa pun untuk menenangkan Arlena. Aku ingin menghampirinya, ingin menenangkannya, tapi... aku takut Selena akan menghalangiku. Jadi, terpaksa aku biarkan."Kael merasakan sesuatu menghantam dadanya. "Arlena… menangis?" tanyanya dengan suara serak, seolah kalimat itu sulit keluar dari bibirnya.Bianca meng
Pagi itu, udara di dalam rumah Kael terasa lebih berat dari biasanya. Selena, yang sedang sibuk mengepel lantai, merasakan ketegangan yang menggelayuti dirinya. Ia melewati kamar Kael, matanya melirik pintu yang tertutup rapat, bertanya-tanya apakah Kael masih tidur atau sudah bangun. Namun, tidak ada suara apapun yang terdengar dari dalam kamar. "Dia masih tidur, kah?" tanya Selena dalam hati, merasakan sedikit keheranan. Namun, tugasnya tetap harus diselesaikan. Tak lama kemudian, ketua pelayan mendekat dan memberinya perintah. "Selena, hari ini kamu bertugas mengepel semua lantai di setiap sudut!" ujar ketua pelayan dengan nada tegas. "Baiklah," jawab Selena, tetapi matanya tak bisa lepas dari kamar Kael yang masih hening. Ia merasa ada sesuatu yang ganjil, namun segera melanjutkan pekerjaannya. Tiba-tiba, suara mobil terparkir di halaman rumah Kael, membuat Selena berhenti sejenak. Ia melirik lewat jendela dan melihat sosok Bianca turun dari mobil. Rasa kesal mulai merayap di
Selena sampai di depan pintu ruang kerja Kael.Suara ketukan pelan terdengar di pintu tersebut.Tok... tok... tok..."Masuk," suara Kael terdengar datar, nyaris tanpa emosi.Dengan hati-hati, Selena membuka pintu dan melangkah masuk. Di balik meja kerjanya, Kael tampak sibuk berbicara dengan seseorang di telepon, wajahnya serius dan tatapannya tajam menusuk layar laptop di hadapannya."Tuan... kopi Anda," ucap Selena dengan suara pelan, berusaha tidak mengganggu percakapan penting itu.Tanpa menoleh, Kael hanya mengangguk dan memberi isyarat agar Selena meletakkan kopi di atas meja. Selena dengan sigap meletakkan cangkir porselen itu di atas tatakan, aroma kopi hangat seakan berusaha mencairkan ketegangan di ruangan itu."Permisi, Tuan..." bisik Selena sebelum melangkah mundur dan menutup pintu dengan hati-hati.Begitu berada di luar, Selena menarik napas panjang. Hatinya masih dipenuhi kecemasan yang belum reda sepenuhnya sejak kejadian di pagar tadi. Ditambah lagi, tatapan dingin Kae
Selena masih berdiri di tengah taman, memandangi bunga yang tampak begitu hidup meski sinar matahari sore mulai meredup. Jemarinya perlahan menyentuh kelopak bunga itu, seakan berharap bisa merasakan kembali kehangatan sosok Arlena melalui setiap seratnya. Tanpa disadari, air mata mulai menggenang di sudut matanya, memburamkan pandangannya akan bunga yang begitu berarti baginya. Butiran air mata itu akhirnya jatuh, mengalir perlahan di pipinya yang pucat. "Nyonya… setiap benda di sekitarku selalu mengingatkanku padamu. Senyummu, suaramu, dan caramu membuat segalanya terasa begitu indah di rumah ini." bisik Selena dengan suara bergetar. Angin sore berhembus pelan, seolah mengusap lembut wajahnya, membawa serpihan kenangan yang kini hanya tinggal bayangan di dalam benaknya. Selena buru-buru menghapus air matanya dengan punggung tangan, berusaha menenangkan dirinya. "Tuan Kael masih membutuhkan bantuanmu, Selena. Kamu tidak boleh lemah…" gumamnya pada dirinya sendiri, mencoba membang
“Jangan bicara sembarangan! Kamu tidak tahu apa-apa tentangku. Kamu hanya pembantu!” desis Bianca tajam, matanya memancarkan amarah yang tertahan. Selena tidak gentar. Dengan rahang yang mengeras dan mata yang kini dipenuhi keberanian, ia berbisik tegas, “Aku tahu… aku tahu setiap detail yang kamu lakukan terhadap suamimu.” Bianca membeku sejenak, ekspresinya berubah. Ia melirik sekilas ke arah Kael yang sedang sibuk menelepon seseorang sambil menandatangani dokumen-dokumen di mejanya. Pria itu tampak terlalu tenggelam dalam tugasnya dan tak peduli dengan apa yang terjadi di antara kedua wanita itu. Melihat kesempatan itu, senyum licik tersungging di bibir Bianca. “Kamu menyebutku pembunuh? Mana buktinya? Bukankah kamu juga pembunuh dan sudah terbukti jelas membunuh Arlena?” Wajah Selena menegang, tetapi ia segera menepis rasa gentarnya. “Aku tidak melakukannya. Aku curiga kamulah dalang di balik tewasnya Nyonya Arlena.Dan sekarang kamu mencoba mendekati Tuan Kael membuatku se
Pintu ruangan terbuka perlahan, dan sosok Bianca muncul dengan langkah percaya diri. Gaun satin berwarna merah tua membalut tubuhnya, dengan belahan dada yang terlalu rendah untuk diabaikan. Aroma parfum mewahnya segera memenuhi udara, meninggalkan jejak yang tajam namun menggoda. Bibirnya yang merah menyala membentuk senyuman yang dipaksakan, namun tatapan matanya jelas—ia memiliki tujuan yang tersembunyi. Kael, yang sedang sibuk menata dokumen di meja kerjanya, hanya melirik sekilas sebelum kembali memfokuskan perhatiannya pada tumpukan kertas di hadapannya. Tidak ada ketertarikan, tidak ada kekaguman, hanya tatapan dingin yang seolah mampu menembus niat di balik setiap gerakan Bianca. "Kael…" panggil Bianca dengan suara yang lembut, hampir mendesah, seakan namanya adalah mantra yang hanya bisa ia ucapkan dengan bisikan. Tanpa mengangkat wajahnya, Kael menjawab datar, "Duduklah." Bianca tersenyum kecil, lalu melangkah anggun menuju kursi di seberang Kael. Dengan gerakan yang dis
Selena pun berhenti dan menoleh ke arah Kael. "Sebelum kamu pergi,buatkan dulu kopi untukku! Tapi jangan salah lagi seperti masakan tadi." Selena hanya mengangguk kemudian pergi ke dapur. Selena berjalan perlahan menuju kamar Kael dengan segelas kopi ditangannya sambil bergumam "Di malam begini dia ingin minum kopi,apa tidak takut insomnia?ini kan waktunya tidur.Aku saja sudah mengantuk." Selena kembali menguap.Kael yang mendengar langkah kaki Selena langsung berdiri di depan pintu dan menegurnya dari jauh. "Kenapa lama sekali? Kamu malah berbicara sendiri.Cepat bawa kesini!" "Ah iya Tuan..maaf." Selena segera membawa kopi yang sudah ia buat dengan hati-hati. Kopi tersebut sudah tercium aromanya yang harum, meski di dalam hati Selena masih merasa cemas akan reaksi Kael terhadap segala hal yang ia lakukan. Ia berjalan cepat menuju ruang tempat Kael duduk, berharap kali ini tak ada yang salah. Sesampainya di depan Kael, ia menyodorkan cangkir kopi dengan kedua tangan. **"Ini kop