Share

Bab 5

Author: Nisa Fitri
last update Last Updated: 2024-11-18 06:45:11

Sementara itu, Selena mencoba memperbaiki situasi. "Saya serius, Tuan. Kalau sofanya mau tetap jadi kenangan, mungkin perlu dilap atau dilapis ulang. Saya bisa bantu bersihkan."

Kael memijit pelipisnya, lalu menatap Selena tajam. "Satu kata lagi tentang sofa itu, aku pastikan kamu tidur di lantai."

Selena tersenyum kikuk, mengangguk cepat, dan segera berlalu, meninggalkan para pelayan yang mencoba menahan tawa mereka agar tak kena semprot Kael lagi. "Sofa kenangan ya... menarik juga," bisik salah satu pelayan sambil cekikian.

Setelah suasana agak reda, Kael memutuskan untuk memberikan hukuman lain pada Selena. Dia masih kesal dengan komentar spontan Selena soal sofa kenangannya.

"Selena," panggil Kael, suaranya tegas.

Selena, yang baru saja hendak mengambil kain lap untuk membersihkan meja, menoleh dengan ekspresi waspada. "Ya, Tuan?"

"Kamu bilang tadi ingin membantu. Baiklah, ini kesempatanmu. Pergilah ke dapur dan masak makan malam untukku."

Mata Selena membelalak."M-masak, Tuan? Saya?"

Kael mengangguk dengan santai, sambil melipat tangannya di dada. "Ya. Kamu pikir hukuman hanya sekadar bicara? Hari ini kamu akan belajar bertanggung jawab atas ucapanmu."

Selena menelan ludah, tampak bingung sekaligus panik. "Tapi, Tuan, saya... saya tidak bisa memasak."

"Tidak ada tapi," Kael memotong, ekspresinya penuh otoritas. "Masuk ke dapur sekarang, dan siapkan sesuatu. Apa saja. Aku tidak peduli seburuk apa pun hasilnya."

Selena menghela napas berat, tahu bahwa protes tidak akan mengubah keputusan Kael. Dengan langkah gontai, dia menuju dapur. Para pelayan lain yang melihat hanya bisa saling pandang, berusaha keras menahan tawa mereka.

----------

Di dapur, Selena berkutat dengan berbagai bahan makanan. Dia menatap sekilas buku resep yang tergeletak di meja, tapi akhirnya memutuskan untuk memasak sesuatu yang sederhana: sup ayam.

"Oke, ini tidak terlalu sulit. Rebus air, masukkan ayam, tambahkan bumbu... gampang, kan?" gumamnya, berusaha menyemangati diri sendiri.

Namun, prosesnya tidak semulus yang dia bayangkan. Ayamnya terlalu lama direbus hingga hancur, sayurannya terlalu lembek, dan bumbu yang dia tambahkan... yah, bisa dibilang dia tidak punya takaran yang jelas. Garam, misalnya, dia menaburkannya dengan sembarangan sambil berkata,"Lebih baik asin daripada hambar, kan?"

Setelah perjuangan panjang, Selena akhirnya selesai memasak. Dengan penuh rasa bangga—dan sedikit khawatir—dia membawa semangkuk sup ayam ke ruang makan, di mana Kael sudah menunggunya dengan ekspresi datar.

"Ini, Tuan. Sup ayam spesial sudah siap," katanya sambil meletakkan mangkuk itu di depan Kael.

Kael memandang sup itu dengan skeptis, lalu mengambil sendok dan mencicipinya.

Hening.

Kael berhenti sejenak, lalu menatap Selena dengan wajah yang sulit dibaca. "Apa ini?" tanyanya pelan, suaranya mengandung ancaman.

Selena tersenyum kikuk. "Sup ayam, Tuan. Kenapa? Kurang garam ya? Saya bisa tambahkan lagi."

Kael memejamkan matanya sejenak, lalu berkata tegas,"Selena, ini bukan sup ayam. Ini adalah semangkuk air garam dengan sedikit ayam di dalamnya."

Selena tampak bingung."Tapi saya sudah tambahkan bumbu lain juga, Tuan. Mungkin... lidah Anda saja yang belum terbiasa dengan rasa eksperimen saya?"

Kael meletakkan sendoknya dengan tegas, lalu menatap Selena tajam. "Kamu makan ini. Sekarang."

"Eh? Tapi, Tuan, ini kan untuk Anda."

"Makan. Sekarang."Kael menunjuk mangkuk dengan ekspresi yang tidak bisa ditawar.

Dengan enggan, Selena mengambil sendok dan mencicipi supnya sendiri. Begitu sup itu menyentuh lidahnya, wajah Selena berubah drastis. Dia batuk-batuk, lalu berkata dengan nada menyesal, "Oke, ya, mungkin... sedikit terlalu asin."

Kael menautkan alisnya. "Sedikit? Selena, kamu bisa membuat ikan laut merasa betah tinggal di sini!"

Para pelayan yang mendengar dari dapur tidak bisa menahan tawa lagi. Suara mereka menggema hingga ruang makan, membuat Kael semakin frustrasi.

"Selena,"katanya akhirnya sambil berdiri.

"Mulai sekarang, jangan pernah lagi mencoba memasak di rumah ini. Itu perintah."

Selena mengangguk cepat, wajahnya masih merah karena malu. "Baik, Tuan. Saya janji. Tidak akan memasak lagi... kecuali terpaksa."

Kael mendesah panjang,berusaha meninggalkan ruang makan sambil menggelengkan kepala. Sementara itu, Selena menatap mangkuk supnya, lalu bergumam, "Ya ampun, aku memang bodoh."

Kael pun memanggil pelayan untuk memberinya soda untuk menghilangkan rasa asin di lidah hingga tenggorokannya.

"Rasa asin ini masih betah dimulutku,berapa banyak garam yang kamu tuangkan?" Tanya Kael kesal.

"Sa-satu Tuan..."

"Satu apa?"

"Satu rak."

"Apa?! Kamu gila ya?mana ada orang memasak dengan garam sebanyak itu,ternyata benar kamu memang mau mencelakai orang-orang disini."

Selena hanya diam ketakutan dengan amarah Tuan Kael.Namun salah seorang pelayan datang dan membela Selena.

Kael menelan salivanya, rasa asin masih menempel di lidah dan tenggorokannya meskipun sudah meneguk soda.

"Selena, kamu sebenarnya ini pegawai atau calon ahli racun?!" bentaknya frustrasi.

Selena menunduk dalam, "Saya benar-benar tidak tahu, Tuan. Saya pikir makin banyak garam makin enak..."

Kael menatapnya tajam."Apa kamu mau membunuh lidahku dan lidah semua orang di rumah ini?!"

Salah satu pelayan, Maya, mencoba menengahi situasi. "Tuan, mungkin lebih baik saya memasak ulang untuk Anda. Selena belum berpengalaman, jadi biar saya yang mengurus makan malam Anda."

Namun, Kael mengangkat tangannya dengan tegas. "Tidak usah! Selera makanku sudah lenyap entah ke mana karena rasa asin ini. Lidahku seperti sedang berkubang di dasar laut."

Selena berbisik pelan sambil gemetaran, "Tuan... saya benar-benar minta maaf. Kalau Anda mau, saya bisa mencoba lagi—"

"Mencoba lagi?! Dengan apa? Satu kilo garam?! Jangan-jangan kamu memang mau aku mengungsi ke rumah sakit gara-gara masakanmu,"potong Kael dengan nada yang membuat seluruh pelayan di ruangan itu terdiam.

Maya mencoba menenangkan suasana."Tuan, mungkin kita semua lelah hari ini. Bagaimana kalau saya siapkan makanan dari restoran saja?"

Kael mengangguk, lalu berbalik menuju kamarnya. Sebelum pergi, dia menoleh sebentar ke Selena. "Mulai sekarang, kalau aku ingin makan, jangan pernah dekat-dekat dapur. Biarkan orang lain saja yang mengurusnya. Kalau aku dengar kamu masak lagi, kamu akan bertanggung jawab untuk seluruh kerugian rumah ini."

Selena hanya bisa mengangguk dengan wajah penuh rasa bersalah. Setelah Kael pergi, Maya menepuk bahu Selena."Kamu memang luar biasa, Selena. Baru pertama masak langsung bikin trauma Tuan Kael seumur hidup!"

Pelayan lainnya yang mendengar itu langsung tertawa terbahak-bahak. Salah satu dari mereka berkata, "Sepertinya kita harus memasang plang di dapur: 'Dilarang Memasak oleh Selena Demi Keselamatan Bersama.' "

Selena menghela napas panjang."Ya ampun... mungkin aku memang ditakdirkan jadi pencuci piring saja,"gumamnya.

Selena yang masih di dapur melihat para pelayannya yang masih tertawa,namun ada beberapa pelayan yang iri melihat Selena terlihat luput dari tuduhan,bagaimanapun juga dia tetap di cap sebagai pembunuh, Selena berusaha tegar meninggalkan dapur tak peduli dengan omongan pelayan itu dan kembali melangkah ke ruang bawah tanah untuk istirahat.

Selena melangkah dengan perlahan ke ruang bawah tanah, meskipun tubuhnya lelah setelah seharian membersihkan rumah dan memasak makanan yang hampir membunuh Tuan Kael dengan garam berlebihan. Para pelayan masih terlihat tertawa di dapur, namun Selena tidak peduli. Dia sudah terbiasa dengan perlakuan mereka yang sering mengejeknya, bahkan meskipun tak ada satu pun yang tahu kebenaran. Setiap mata yang menatapnya, entah itu penuh simpati atau kebencian, selalu sama saja bagi Selena. Di mata mereka, dia adalah pembunuh. Seorang wanita yang tidak pernah bisa membersihkan dirinya dari noda itu.

Related chapters

  • Antara Iba dan Curiga   Bab 6

    Selena menghela napas, berjalan menuju tangga yang mengarah ke ruang bawah tanah. Ada sedikit rasa kecewa di dalam hatinya, namun dia tahu, ini adalah hidupnya sekarang—sebuah hidup yang terkekang oleh tuduhan yang tak adil. "Aku tidak peduli dengan apa yang mereka pikirkan," gumamnya dalam hati. "Aku akan buktikan kebenaran, bahkan jika aku harus bertahan dengan perlakuan ini."Begitu sampai di ruang bawah tanah yang dingin dan gelap, Selena langsung menuju tempat tidurnya. Hanya ada selembar selimut lusuh yang menjadi temannya di malam hari. Dia merebahkan diri, menatap langit-langit yang kosong. "Tuan Kael... jika kamu benar-benar mencintai Nyonya,kamu juga harus percaya padaku," pikir Selena, namun pikirannya segera terganggu dengan suara langkah kaki yang terdengar di lantai atas. "Apa mereka masih terus membicarakanku?" Selena bergumam dengan kesal, namun dia segera menenangkan diri. Tidak ada gunanya terlalu memikirkan mereka. "Yang penting sekarang, aku harus buktikan kebenar

    Last Updated : 2024-12-30
  • Antara Iba dan Curiga   Bab 7

    Selena pun berhenti dan menoleh ke arah Kael. "Sebelum kamu pergi,buatkan dulu kopi untukku! Tapi jangan salah lagi seperti masakan tadi." Selena hanya mengangguk kemudian pergi ke dapur. Selena berjalan perlahan menuju kamar Kael dengan segelas kopi ditangannya sambil bergumam "Di malam begini dia ingin minum kopi,apa tidak takut insomnia?ini kan waktunya tidur.Aku saja sudah mengantuk." Selena kembali menguap.Kael yang mendengar langkah kaki Selena langsung berdiri di depan pintu dan menegurnya dari jauh. "Kenapa lama sekali? Kamu malah berbicara sendiri.Cepat bawa kesini!" "Ah iya Tuan..maaf." Selena segera membawa kopi yang sudah ia buat dengan hati-hati. Kopi tersebut sudah tercium aromanya yang harum, meski di dalam hati Selena masih merasa cemas akan reaksi Kael terhadap segala hal yang ia lakukan. Ia berjalan cepat menuju ruang tempat Kael duduk, berharap kali ini tak ada yang salah. Sesampainya di depan Kael, ia menyodorkan cangkir kopi dengan kedua tangan. **"Ini kop

    Last Updated : 2025-01-01
  • Antara Iba dan Curiga   Bab 8

    Pintu ruangan terbuka perlahan, dan sosok Bianca muncul dengan langkah percaya diri. Gaun satin berwarna merah tua membalut tubuhnya, dengan belahan dada yang terlalu rendah untuk diabaikan. Aroma parfum mewahnya segera memenuhi udara, meninggalkan jejak yang tajam namun menggoda. Bibirnya yang merah menyala membentuk senyuman yang dipaksakan, namun tatapan matanya jelas—ia memiliki tujuan yang tersembunyi. Kael, yang sedang sibuk menata dokumen di meja kerjanya, hanya melirik sekilas sebelum kembali memfokuskan perhatiannya pada tumpukan kertas di hadapannya. Tidak ada ketertarikan, tidak ada kekaguman, hanya tatapan dingin yang seolah mampu menembus niat di balik setiap gerakan Bianca. "Kael…" panggil Bianca dengan suara yang lembut, hampir mendesah, seakan namanya adalah mantra yang hanya bisa ia ucapkan dengan bisikan. Tanpa mengangkat wajahnya, Kael menjawab datar, "Duduklah." Bianca tersenyum kecil, lalu melangkah anggun menuju kursi di seberang Kael. Dengan gerakan yang dis

    Last Updated : 2025-01-02
  • Antara Iba dan Curiga   Bab 9

    “Jangan bicara sembarangan! Kamu tidak tahu apa-apa tentangku. Kamu hanya pembantu!” desis Bianca tajam, matanya memancarkan amarah yang tertahan. Selena tidak gentar. Dengan rahang yang mengeras dan mata yang kini dipenuhi keberanian, ia berbisik tegas, “Aku tahu… aku tahu setiap detail yang kamu lakukan terhadap suamimu.” Bianca membeku sejenak, ekspresinya berubah. Ia melirik sekilas ke arah Kael yang sedang sibuk menelepon seseorang sambil menandatangani dokumen-dokumen di mejanya. Pria itu tampak terlalu tenggelam dalam tugasnya dan tak peduli dengan apa yang terjadi di antara kedua wanita itu. Melihat kesempatan itu, senyum licik tersungging di bibir Bianca. “Kamu menyebutku pembunuh? Mana buktinya? Bukankah kamu juga pembunuh dan sudah terbukti jelas membunuh Arlena?” Wajah Selena menegang, tetapi ia segera menepis rasa gentarnya. “Aku tidak melakukannya. Aku curiga kamulah dalang di balik tewasnya Nyonya Arlena.Dan sekarang kamu mencoba mendekati Tuan Kael membuatku se

    Last Updated : 2025-01-02
  • Antara Iba dan Curiga   Bab 10

    Selena masih berdiri di tengah taman, memandangi bunga yang tampak begitu hidup meski sinar matahari sore mulai meredup. Jemarinya perlahan menyentuh kelopak bunga itu, seakan berharap bisa merasakan kembali kehangatan sosok Arlena melalui setiap seratnya. Tanpa disadari, air mata mulai menggenang di sudut matanya, memburamkan pandangannya akan bunga yang begitu berarti baginya. Butiran air mata itu akhirnya jatuh, mengalir perlahan di pipinya yang pucat. "Nyonya… setiap benda di sekitarku selalu mengingatkanku padamu. Senyummu, suaramu, dan caramu membuat segalanya terasa begitu indah di rumah ini." bisik Selena dengan suara bergetar. Angin sore berhembus pelan, seolah mengusap lembut wajahnya, membawa serpihan kenangan yang kini hanya tinggal bayangan di dalam benaknya. Selena buru-buru menghapus air matanya dengan punggung tangan, berusaha menenangkan dirinya. "Tuan Kael masih membutuhkan bantuanmu, Selena. Kamu tidak boleh lemah…" gumamnya pada dirinya sendiri, mencoba membang

    Last Updated : 2025-01-02
  • Antara Iba dan Curiga   Bab 11

    Selena sampai di depan pintu ruang kerja Kael.Suara ketukan pelan terdengar di pintu tersebut.Tok... tok... tok..."Masuk," suara Kael terdengar datar, nyaris tanpa emosi.Dengan hati-hati, Selena membuka pintu dan melangkah masuk. Di balik meja kerjanya, Kael tampak sibuk berbicara dengan seseorang di telepon, wajahnya serius dan tatapannya tajam menusuk layar laptop di hadapannya."Tuan... kopi Anda," ucap Selena dengan suara pelan, berusaha tidak mengganggu percakapan penting itu.Tanpa menoleh, Kael hanya mengangguk dan memberi isyarat agar Selena meletakkan kopi di atas meja. Selena dengan sigap meletakkan cangkir porselen itu di atas tatakan, aroma kopi hangat seakan berusaha mencairkan ketegangan di ruangan itu."Permisi, Tuan..." bisik Selena sebelum melangkah mundur dan menutup pintu dengan hati-hati.Begitu berada di luar, Selena menarik napas panjang. Hatinya masih dipenuhi kecemasan yang belum reda sepenuhnya sejak kejadian di pagar tadi. Ditambah lagi, tatapan dingin Kae

    Last Updated : 2025-01-03
  • Antara Iba dan Curiga   Bab 12

    Pagi itu, udara di dalam rumah Kael terasa lebih berat dari biasanya. Selena, yang sedang sibuk mengepel lantai, merasakan ketegangan yang menggelayuti dirinya. Ia melewati kamar Kael, matanya melirik pintu yang tertutup rapat, bertanya-tanya apakah Kael masih tidur atau sudah bangun. Namun, tidak ada suara apapun yang terdengar dari dalam kamar. "Dia masih tidur, kah?" tanya Selena dalam hati, merasakan sedikit keheranan. Namun, tugasnya tetap harus diselesaikan. Tak lama kemudian, ketua pelayan mendekat dan memberinya perintah. "Selena, hari ini kamu bertugas mengepel semua lantai di setiap sudut!" ujar ketua pelayan dengan nada tegas. "Baiklah," jawab Selena, tetapi matanya tak bisa lepas dari kamar Kael yang masih hening. Ia merasa ada sesuatu yang ganjil, namun segera melanjutkan pekerjaannya. Tiba-tiba, suara mobil terparkir di halaman rumah Kael, membuat Selena berhenti sejenak. Ia melirik lewat jendela dan melihat sosok Bianca turun dari mobil. Rasa kesal mulai merayap di

    Last Updated : 2025-01-03
  • Antara Iba dan Curiga   Bab 13

    Restoran yang seharusnya menjadi tempat pembicaraan serius antara Kael dan Bianca terasa semakin pengap dengan atmosfer ketegangan yang kian memuncak. Dekorasi bunga nan romantis terasa begitu salah di tengah topik yang mereka bicarakan. Kael menatap Bianca dengan tatapan penuh tuntutan."Baiklah, kita lupakan dulu soal Selena," ujar Kael dengan nada tegas, matanya yang tajam menusuk Bianca. "Aku ingin tahu, apa kamu tahu sesuatu tentang Arlena sebelum dia tewas?"Bianca menarik napas dalam, seakan menyiapkan dirinya untuk berbicara. "Waktu itu aku bertemu dengannya di Mall. Arlena sedang menangis terisak-isak di kamar mandi. Selena... dia hanya berdiri di luar, diam, tidak melakukan apa pun untuk menenangkan Arlena. Aku ingin menghampirinya, ingin menenangkannya, tapi... aku takut Selena akan menghalangiku. Jadi, terpaksa aku biarkan."Kael merasakan sesuatu menghantam dadanya. "Arlena… menangis?" tanyanya dengan suara serak, seolah kalimat itu sulit keluar dari bibirnya.Bianca meng

    Last Updated : 2025-01-03

Latest chapter

  • Antara Iba dan Curiga   Bab 15

    Langit mulai berubah kelam ketika matahari sepenuhnya tenggelam di balik cakrawala. Lampu halaman depan rumah Kael mulai menyala, memberikan cahaya redup yang membingkai wajah tegang Selena. Dengan tubuh yang masih kotor dan tangan yang berlumuran tanah, ia berdiri di tengah halaman dengan pandangan penuh kewaspadaan."Aku tahu kamu pasti muncul lagi," gumam Selena, matanya tajam menatap ke arah gerbang yang mulai diselimuti bayangan malam.Beberapa menit kemudian, suara langkah kaki terdengar samar dari balik pagar besi yang menjulang tinggi. Selena memicingkan mata, melihat sosok pria berjas hitam yang bergerak perlahan di balik pagar, seolah sedang mengendap-endap. Wajahnya tertutup bayangan, dan gerak-geriknya tampak mencurigakan."Dasar pengecut! Aku tahu kamu akan kembali!" pikir Selena geram.Dengan cepat, ia merunduk dan mengangkat sebongkah batu besar di dekat kakinya. Napasnya memburu, tangannya bergetar oleh tenaga yang ia kumpulkan."Akhirnya dapat juga! Kamu membuatku kes

  • Antara Iba dan Curiga   Bab 14

    Langit mendung masih menggantung di luar jendela kaca gedung kantor megah milik Kael Evander. Sorot cahaya suram masuk melalui tirai yang sedikit terbuka, memantulkan kilauan redup di permukaan meja kayu mahoni yang luas di depannya. Kael melangkah cepat melewati lorong kantor yang dipenuhi pegawai yang sedang sibuk dengan aktivitas mereka. Tatapan tajamnya yang biasanya penuh wibawa kini terlihat kosong, sementara lingkaran hitam di bawah matanya semakin jelas terlihat. "Selamat siang, Tuan," ucap beberapa pegawai sambil membungkukkan badan dengan sopan. Kael hanya mengangguk kecil tanpa menoleh, langkahnya tegas namun terburu-buru, seakan ada beban berat yang mendorongnya untuk segera sampai di ruangannya. Begitu pintu ruangannya tertutup rapat, Kael mendapati beberapa orang sudah menunggunya. Salah satunya adalah pria paruh baya dengan setelan jas rapi dan kacamata tebal—Notaris keluarga Evander. Dokumen-dokumen bersegel resmi tersusun rapi di hadapannya. "Tuan Kael," ujar not

  • Antara Iba dan Curiga   Bab 13

    Restoran yang seharusnya menjadi tempat pembicaraan serius antara Kael dan Bianca terasa semakin pengap dengan atmosfer ketegangan yang kian memuncak. Dekorasi bunga nan romantis terasa begitu salah di tengah topik yang mereka bicarakan. Kael menatap Bianca dengan tatapan penuh tuntutan."Baiklah, kita lupakan dulu soal Selena," ujar Kael dengan nada tegas, matanya yang tajam menusuk Bianca. "Aku ingin tahu, apa kamu tahu sesuatu tentang Arlena sebelum dia tewas?"Bianca menarik napas dalam, seakan menyiapkan dirinya untuk berbicara. "Waktu itu aku bertemu dengannya di Mall. Arlena sedang menangis terisak-isak di kamar mandi. Selena... dia hanya berdiri di luar, diam, tidak melakukan apa pun untuk menenangkan Arlena. Aku ingin menghampirinya, ingin menenangkannya, tapi... aku takut Selena akan menghalangiku. Jadi, terpaksa aku biarkan."Kael merasakan sesuatu menghantam dadanya. "Arlena… menangis?" tanyanya dengan suara serak, seolah kalimat itu sulit keluar dari bibirnya.Bianca meng

  • Antara Iba dan Curiga   Bab 12

    Pagi itu, udara di dalam rumah Kael terasa lebih berat dari biasanya. Selena, yang sedang sibuk mengepel lantai, merasakan ketegangan yang menggelayuti dirinya. Ia melewati kamar Kael, matanya melirik pintu yang tertutup rapat, bertanya-tanya apakah Kael masih tidur atau sudah bangun. Namun, tidak ada suara apapun yang terdengar dari dalam kamar. "Dia masih tidur, kah?" tanya Selena dalam hati, merasakan sedikit keheranan. Namun, tugasnya tetap harus diselesaikan. Tak lama kemudian, ketua pelayan mendekat dan memberinya perintah. "Selena, hari ini kamu bertugas mengepel semua lantai di setiap sudut!" ujar ketua pelayan dengan nada tegas. "Baiklah," jawab Selena, tetapi matanya tak bisa lepas dari kamar Kael yang masih hening. Ia merasa ada sesuatu yang ganjil, namun segera melanjutkan pekerjaannya. Tiba-tiba, suara mobil terparkir di halaman rumah Kael, membuat Selena berhenti sejenak. Ia melirik lewat jendela dan melihat sosok Bianca turun dari mobil. Rasa kesal mulai merayap di

  • Antara Iba dan Curiga   Bab 11

    Selena sampai di depan pintu ruang kerja Kael.Suara ketukan pelan terdengar di pintu tersebut.Tok... tok... tok..."Masuk," suara Kael terdengar datar, nyaris tanpa emosi.Dengan hati-hati, Selena membuka pintu dan melangkah masuk. Di balik meja kerjanya, Kael tampak sibuk berbicara dengan seseorang di telepon, wajahnya serius dan tatapannya tajam menusuk layar laptop di hadapannya."Tuan... kopi Anda," ucap Selena dengan suara pelan, berusaha tidak mengganggu percakapan penting itu.Tanpa menoleh, Kael hanya mengangguk dan memberi isyarat agar Selena meletakkan kopi di atas meja. Selena dengan sigap meletakkan cangkir porselen itu di atas tatakan, aroma kopi hangat seakan berusaha mencairkan ketegangan di ruangan itu."Permisi, Tuan..." bisik Selena sebelum melangkah mundur dan menutup pintu dengan hati-hati.Begitu berada di luar, Selena menarik napas panjang. Hatinya masih dipenuhi kecemasan yang belum reda sepenuhnya sejak kejadian di pagar tadi. Ditambah lagi, tatapan dingin Kae

  • Antara Iba dan Curiga   Bab 10

    Selena masih berdiri di tengah taman, memandangi bunga yang tampak begitu hidup meski sinar matahari sore mulai meredup. Jemarinya perlahan menyentuh kelopak bunga itu, seakan berharap bisa merasakan kembali kehangatan sosok Arlena melalui setiap seratnya. Tanpa disadari, air mata mulai menggenang di sudut matanya, memburamkan pandangannya akan bunga yang begitu berarti baginya. Butiran air mata itu akhirnya jatuh, mengalir perlahan di pipinya yang pucat. "Nyonya… setiap benda di sekitarku selalu mengingatkanku padamu. Senyummu, suaramu, dan caramu membuat segalanya terasa begitu indah di rumah ini." bisik Selena dengan suara bergetar. Angin sore berhembus pelan, seolah mengusap lembut wajahnya, membawa serpihan kenangan yang kini hanya tinggal bayangan di dalam benaknya. Selena buru-buru menghapus air matanya dengan punggung tangan, berusaha menenangkan dirinya. "Tuan Kael masih membutuhkan bantuanmu, Selena. Kamu tidak boleh lemah…" gumamnya pada dirinya sendiri, mencoba membang

  • Antara Iba dan Curiga   Bab 9

    “Jangan bicara sembarangan! Kamu tidak tahu apa-apa tentangku. Kamu hanya pembantu!” desis Bianca tajam, matanya memancarkan amarah yang tertahan. Selena tidak gentar. Dengan rahang yang mengeras dan mata yang kini dipenuhi keberanian, ia berbisik tegas, “Aku tahu… aku tahu setiap detail yang kamu lakukan terhadap suamimu.” Bianca membeku sejenak, ekspresinya berubah. Ia melirik sekilas ke arah Kael yang sedang sibuk menelepon seseorang sambil menandatangani dokumen-dokumen di mejanya. Pria itu tampak terlalu tenggelam dalam tugasnya dan tak peduli dengan apa yang terjadi di antara kedua wanita itu. Melihat kesempatan itu, senyum licik tersungging di bibir Bianca. “Kamu menyebutku pembunuh? Mana buktinya? Bukankah kamu juga pembunuh dan sudah terbukti jelas membunuh Arlena?” Wajah Selena menegang, tetapi ia segera menepis rasa gentarnya. “Aku tidak melakukannya. Aku curiga kamulah dalang di balik tewasnya Nyonya Arlena.Dan sekarang kamu mencoba mendekati Tuan Kael membuatku se

  • Antara Iba dan Curiga   Bab 8

    Pintu ruangan terbuka perlahan, dan sosok Bianca muncul dengan langkah percaya diri. Gaun satin berwarna merah tua membalut tubuhnya, dengan belahan dada yang terlalu rendah untuk diabaikan. Aroma parfum mewahnya segera memenuhi udara, meninggalkan jejak yang tajam namun menggoda. Bibirnya yang merah menyala membentuk senyuman yang dipaksakan, namun tatapan matanya jelas—ia memiliki tujuan yang tersembunyi. Kael, yang sedang sibuk menata dokumen di meja kerjanya, hanya melirik sekilas sebelum kembali memfokuskan perhatiannya pada tumpukan kertas di hadapannya. Tidak ada ketertarikan, tidak ada kekaguman, hanya tatapan dingin yang seolah mampu menembus niat di balik setiap gerakan Bianca. "Kael…" panggil Bianca dengan suara yang lembut, hampir mendesah, seakan namanya adalah mantra yang hanya bisa ia ucapkan dengan bisikan. Tanpa mengangkat wajahnya, Kael menjawab datar, "Duduklah." Bianca tersenyum kecil, lalu melangkah anggun menuju kursi di seberang Kael. Dengan gerakan yang dis

  • Antara Iba dan Curiga   Bab 7

    Selena pun berhenti dan menoleh ke arah Kael. "Sebelum kamu pergi,buatkan dulu kopi untukku! Tapi jangan salah lagi seperti masakan tadi." Selena hanya mengangguk kemudian pergi ke dapur. Selena berjalan perlahan menuju kamar Kael dengan segelas kopi ditangannya sambil bergumam "Di malam begini dia ingin minum kopi,apa tidak takut insomnia?ini kan waktunya tidur.Aku saja sudah mengantuk." Selena kembali menguap.Kael yang mendengar langkah kaki Selena langsung berdiri di depan pintu dan menegurnya dari jauh. "Kenapa lama sekali? Kamu malah berbicara sendiri.Cepat bawa kesini!" "Ah iya Tuan..maaf." Selena segera membawa kopi yang sudah ia buat dengan hati-hati. Kopi tersebut sudah tercium aromanya yang harum, meski di dalam hati Selena masih merasa cemas akan reaksi Kael terhadap segala hal yang ia lakukan. Ia berjalan cepat menuju ruang tempat Kael duduk, berharap kali ini tak ada yang salah. Sesampainya di depan Kael, ia menyodorkan cangkir kopi dengan kedua tangan. **"Ini kop

DMCA.com Protection Status