Selena memeluk lututnya erat, air mata terus mengalir tanpa henti. Rasa dingin dan lembap di ruang bawah tanah itu seperti menjadi perwujudan nasibnya yang suram. Dia tak henti-hentinya menangis, memikirkan bagaimana hidupnya berubah begitu drastis dalam sekejap.
"Nyonya... kenapa ini terjadi pada saya? Kenapa mereka tidak percaya?" isaknya, suaranya terdengar lirih, nyaris tenggelam dalam gemuruh keheningan. Dia masih bisa mengingat dengan jelas malam itu—sosok wanita misterius yang melompat dari jendela kamar Nyonya Arlena. "Itu bukan saya... itu dia!" Selena berbisik, hampir berteriak, namun suaranya hanya bergema di dinding dingin penjaranya. Rasa takut terus menggerogotinya, tapi lebih besar dari rasa takut itu adalah kesedihannya. Selena merindukan Nyonya Arlena yang selama ini memperlakukannya seperti keluarga. Senyum lembut Nyonya, perhatian kecilnya, hingga cara dia memanggil Selena dengan suara hangatnya. Semuanya terasa seperti mimpi buruk. Namun kini, orang yang dia hormati itu telah tiada, dan dirinya yang dituduh sebagai pembunuh. Luka itu jauh lebih menyakitkan dibandingkan hukuman yang dia terima. "Aku harus mencari cara," gumam Selena di antara isaknya. "Aku harus menjelaskan ini pada Tuan Kael, meskipun percuma. Dia keras kepala, dia tidak akan mendengar... tapi aku tidak bisa tinggal diam." Kepalanya menunduk lemas. Dia tahu Kael tidak akan mempercayainya. Mata pria itu begitu penuh dengan kebencian setiap kali menatapnya, seolah dia adalah perwujudan dari dosa itu sendiri. "Tapi siapa dia? Wanita itu... kenapa dia melompat? Apa dia punya masalah dengan Nyonya?" pikir Selena. Bayangan sosok yang melompat itu terus menghantui pikirannya. Dia tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas malam itu, hanya pakaian gelap yang melayang sebelum menghilang ke dalam kegelapan. Selena mengusap wajahnya, mencoba mengumpulkan keberanian. "Aku harus bertahan. Jika aku menyerah sekarang, tidak akan ada yang tahu kebenarannya." Namun, begitu pandangannya tertuju pada pintu besi besar di depannya, semangat itu kembali meredup. Hidup di ruang bawah tanah ini adalah hukuman yang tak terbayangkan. Tak ada kebebasan, tak ada udara segar, hanya dinding batu dan kegelapan. "Berapa lama aku bisa bertahan di sini?" bisiknya, air matanya kembali mengalir. "Tuhan, tolong beri aku kekuatan..." Di tengah keputusasaannya, sebuah tekad perlahan muncul. Jika dia tidak bisa mengubah pikiran Kael, maka dia harus mencari bukti. Dia harus menemukan cara untuk mengungkapkan kebenaran, meskipun itu berarti mempertaruhkan segalanya. Namun, di mana dia harus memulai? Satu-satunya yang dia tahu hanyalah sosok wanita itu, dan itu pun hanya bayangan samar di tengah kegelapan. Selena memejamkan mata, berdoa agar keadilan suatu saat berpihak kepadanya. Tapi untuk saat ini, dia hanya bisa menangis dalam kesendirian, merenungi hidupnya yang kini tak lebih dari bayangan suram. Namun Selena tetap berusaha mencoba,dia pun menggedor pintu berharap para penjaga bisa mendengarnya. Dar! Dar! Dar! "Hei! Tolong buka pintunya! Berikan aku kesempatan sekali lagi untuk bicara pada Tuan Kael." Namun tak ada jawaban dari luar.Selena pun kembali berteriak dengan nada sangat keras. "HEII!! KALIAN TULI? BIARKAN AKU BICARA!!" ucap Selena penuh emosi. Tak lama kemudian pintu terbuka,sesosok wajah tampan dengan tatapan membunuh hadir di depannya.Selena mun sangat kaget dia perlahan mundur dan tak berani berbicara. "Apa kamu sudah bosan hidup?" Selena hanya menggeleng ketakutan,rupanya Tuan Kael masih berada di luar.Selena pun ditimpa rasa ketakutan yang begitu dalam. Kael berdiri di ambang pintu dengan tubuh tegap, tatapannya menusuk seperti belati yang siap menancap kapan saja. Wajahnya tegas, namun aura marah yang memancar darinya membuat Selena tercekat. "Ada apa?!"suara Kael rendah, tapi tegas, seperti petir yang bergemuruh di udara. Selena menggeleng cepat, tubuhnya gemetar. Dia mundur selangkah, mencoba menjauh dari pria yang kini berdiri di hadapannya seperti seorang hakim yang siap menjatuhkan vonis. Tapi dinding dingin di belakangnya menghentikan langkahnya. "Kalau begitu, kenapa berteriak seperti orang gila?" lanjut Kael, matanya menatap tajam ke arah Selena. "T-Tuan Kael... saya hanya ingin bicara," suara Selena nyaris berbisik, namun terdengar jelas di antara keheningan ruang bawah tanah itu. Kael mendekat, jaraknya hanya beberapa inci dari wajah Selena. "Bicara? Untuk apa? Supaya kamu bisa membuat alasan lain? Supaya kamu bisa meyakinkan aku bahwa kamu tidak bersalah? Setelah apa yang kamu lakukan pada Arlena?" "Saya tidak melakukannya! Saya tidak membunuh Nyonya Arlena!" Selena akhirnya bersuara, keberanian kecil dalam dirinya muncul meskipun tubuhnya gemetar hebat. Kael tertawa sinis. "Kamu pikir aku akan percaya? Kamu ada di sana, Selena. Tidak ada orang lain. Aku menemukanmu di kamar itu, berdiri di dekat tubuhnya yang tidak bernyawa!" Air mata Selena mengalir deras. "Tuan Kael, saya tahu itu terlihat seperti saya pelakunya, tapi saya melihat seseorang! Seseorang melompat dari jendela! Ada orang lain di sana! Saya bukan pembunuhnya!" Kael mendengus, melipat tangannya di dada. "Orang lain? Lalu kenapa kamu tidak mengejarnya? Kenapa kamu tidak berteriak saat itu juga?" Selena terdiam. Saat itu, dia memang terlalu kaget dan panik untuk melakukan apa pun. Namun sekarang, dia tahu bahwa diamnya malam itu membuat semuanya tampak seperti kesalahannya. "Saya... saya terlalu takut," jawab Selena dengan suara lemah. Kael mendekatkan wajahnya ke arah Selena, suaranya berubah dingin. "Takut? Kamu pikir aku peduli dengan rasa takutmu? Arlena mati, Selena. Dia istriku. Satu-satunya yang aku cintai. Dan kamu... kamu menghancurkannya." Selena menggigit bibir, mencoba menahan tangis. "Tuan Kael, tolong beri saya waktu. Saya akan membuktikan bahwa saya tidak bersalah. Saya akan mencari tahu siapa orang itu!" Kael memandang Selena lama, matanya seperti mencoba menembus kebohongan yang mungkin ada di balik kata-katanya. Namun, setelah beberapa saat, dia melangkah mundur. "Waktu? Kamu ingin waktu? Baiklah, Selena. Aku akan memberimu waktu,"kata Kael dingin. "Tapi jika kamu gagal membuktikan apa pun, aku sendiri yang akan memastikan hidupmu berakhir di sini." "Tunggu! Anda bilang akan memberiku waktu untuk mencari bukti,jadi tolong keluarkan aku dari tempat jelek ini." Tuan Kael berbalik dan tersenyum sinis, "Enak saja.Aku tidak bilang kalau kamu boleh pergi dari tempat ini,kamu boleh mencari bukti tapi tempatmu tetap disini." "Tapi Tuan.." "Sudah cukup! Aku malas berdebat denganmu." "Tapi Tuan bagaimana caranya? aku kan harus mencari bukti dan orang itu berada diluar sedangkan aku hanya berdiri disini." Tuan Kael terdiam. "Besok lagi kita bicara." Selena terperangah mendengar jawaban dingin Kael. Ia menatap pria itu dengan mata memohon, tapi hanya mendapat balasan berupa tatapan datar. "Tuan Kael! Tolong dengarkan saya. Bagaimana saya bisa membuktikan kebenaran jika saya tidak bisa keluar dari tempat ini?" Selena mencoba sekali lagi, suaranya serak karena kelelahan dan frustasi. Kael berhenti di ambang pintu, punggungnya masih menghadap Selena. Dia terdiam sejenak, lalu menghembuskan napas panjang sebelum menjawab tanpa menoleh. "Itu masalahmu, bukan masalahku. Buktikan kebenaranmu dengan cara yang kamu bisa dari sini." "Tapi—" Kael mengangkat tangan, menghentikan protes Selena. "Sudah! Aku malas dengar ocehanmu lagi. Besok kita bicara. Sekarang aku lelah." Pintu besi ditutup dengan bunyi dentingan keras yang bergema di ruangan itu. Selena berdiri membeku, napasnya terengah-engah karena emosi yang tak tertahankan. Ia mengepalkan tangan, rasa frustrasi dan marah bercampur menjadi satu."Dia benar-benar tidak masuk akal!"gumam Selena, menendang ember kecil di sudut ruangan. Ember itu meluncur dan menabrak tembok, membuat suara gaduh yang mengganggu keheningan. Selena jatuh terduduk di lantai dingin, air matanya mulai mengalir lagi. Ia menatap langit-langit ruangan yang penuh debu, mencoba mencari cara untuk membebaskan dirinya dari situasi ini. "Bagaimana aku bisa membuktikan apa pun kalau aku terkunci di sini? Orang itu jelas berada di luar. Apakah dia ingin aku berbicara dengan tembok?" Selena berbicara sendiri, nada sarkastis dalam suaranya semakin menonjol. Namun, di balik rasa putus asanya, Selena mulai menyusun rencana. "Kalau aku tidak bisa keluar, aku harus membuat mereka yang ada di luar masuk ke sini." Selena mengusap air matanya dan mulai berpikir keras. Dia tahu bahwa tidak ada jalan keluar kecuali dia menggunakan akalnya. "Aku harus memanfaatkan setiap orang yang datang ke tempat ini. Mungkin penjaga, mungkin siapa pun. Aku harus membuat mereka
"Hahaha..tentu saja,dia pernah bekerja padaku dan menggoda suamiku,dia berniat membunuhku namun salah sasaran yang terbunuh adalah suamiku,hatiku begitu pedih." Ucap wanita itu berakting menangis penuh drama. "Dan kematian istrimu bisa jadi rencananya untuk mendapatkanmu,apalagi kamu seorang pria kaya dan tampan pewaris segalanya." Kael semakin kesal mendengar cerita itu,dia langsung masuk ke mobilnya.Berniat akan menghancurkan Selena,Kael seolah terhipnotis oleh cerita bohong yang dibuat Bianca yang belum tentu ada bukti kebenarannya. Dia berbalik dan berjalan menuju mobilnya, meninggalkan Bianca berdiri di bawah payung merahnya. Saat Kael masuk ke mobil dan menutup pintu, dia sempat menatap kaca spion. Bianca masih berdiri di sana, menatap ke arahnya dengan senyum kecil yang penuh arti. Hujan semakin deras, menyamarkan sosok wanita itu. Tapi entah kenapa, ada sesuatu tentang Bianca yang terus mengganggu pikirannya, seolah dia membawa misteri yang belum terpecahkan. Kael m
Sementara itu, Selena mencoba memperbaiki situasi. "Saya serius, Tuan. Kalau sofanya mau tetap jadi kenangan, mungkin perlu dilap atau dilapis ulang. Saya bisa bantu bersihkan." Kael memijit pelipisnya, lalu menatap Selena tajam. "Satu kata lagi tentang sofa itu, aku pastikan kamu tidur di lantai." Selena tersenyum kikuk, mengangguk cepat, dan segera berlalu, meninggalkan para pelayan yang mencoba menahan tawa mereka agar tak kena semprot Kael lagi. "Sofa kenangan ya... menarik juga," bisik salah satu pelayan sambil cekikian. Setelah suasana agak reda, Kael memutuskan untuk memberikan hukuman lain pada Selena. Dia masih kesal dengan komentar spontan Selena soal sofa kenangannya. "Selena," panggil Kael, suaranya tegas. Selena, yang baru saja hendak mengambil kain lap untuk membersihkan meja, menoleh dengan ekspresi waspada. "Ya, Tuan?" "Kamu bilang tadi ingin membantu. Baiklah, ini kesempatanmu. Pergilah ke dapur dan masak makan malam untukku." Mata Selena membelalak."
Selena menghela napas, berjalan menuju tangga yang mengarah ke ruang bawah tanah. Ada sedikit rasa kecewa di dalam hatinya, namun dia tahu, ini adalah hidupnya sekarang—sebuah hidup yang terkekang oleh tuduhan yang tak adil. "Aku tidak peduli dengan apa yang mereka pikirkan," gumamnya dalam hati. "Aku akan buktikan kebenaran, bahkan jika aku harus bertahan dengan perlakuan ini."Begitu sampai di ruang bawah tanah yang dingin dan gelap, Selena langsung menuju tempat tidurnya. Hanya ada selembar selimut lusuh yang menjadi temannya di malam hari. Dia merebahkan diri, menatap langit-langit yang kosong. "Tuan Kael... jika kamu benar-benar mencintai Nyonya,kamu juga harus percaya padaku," pikir Selena, namun pikirannya segera terganggu dengan suara langkah kaki yang terdengar di lantai atas. "Apa mereka masih terus membicarakanku?" Selena bergumam dengan kesal, namun dia segera menenangkan diri. Tidak ada gunanya terlalu memikirkan mereka. "Yang penting sekarang, aku harus buktikan kebenar
Selena pun berhenti dan menoleh ke arah Kael. "Sebelum kamu pergi,buatkan dulu kopi untukku! Tapi jangan salah lagi seperti masakan tadi." Selena hanya mengangguk kemudian pergi ke dapur. Selena berjalan perlahan menuju kamar Kael dengan segelas kopi ditangannya sambil bergumam "Di malam begini dia ingin minum kopi,apa tidak takut insomnia?ini kan waktunya tidur.Aku saja sudah mengantuk." Selena kembali menguap.Kael yang mendengar langkah kaki Selena langsung berdiri di depan pintu dan menegurnya dari jauh. "Kenapa lama sekali? Kamu malah berbicara sendiri.Cepat bawa kesini!" "Ah iya Tuan..maaf." Selena segera membawa kopi yang sudah ia buat dengan hati-hati. Kopi tersebut sudah tercium aromanya yang harum, meski di dalam hati Selena masih merasa cemas akan reaksi Kael terhadap segala hal yang ia lakukan. Ia berjalan cepat menuju ruang tempat Kael duduk, berharap kali ini tak ada yang salah. Sesampainya di depan Kael, ia menyodorkan cangkir kopi dengan kedua tangan. **"Ini kop
Pintu ruangan terbuka perlahan, dan sosok Bianca muncul dengan langkah percaya diri. Gaun satin berwarna merah tua membalut tubuhnya, dengan belahan dada yang terlalu rendah untuk diabaikan. Aroma parfum mewahnya segera memenuhi udara, meninggalkan jejak yang tajam namun menggoda. Bibirnya yang merah menyala membentuk senyuman yang dipaksakan, namun tatapan matanya jelas—ia memiliki tujuan yang tersembunyi. Kael, yang sedang sibuk menata dokumen di meja kerjanya, hanya melirik sekilas sebelum kembali memfokuskan perhatiannya pada tumpukan kertas di hadapannya. Tidak ada ketertarikan, tidak ada kekaguman, hanya tatapan dingin yang seolah mampu menembus niat di balik setiap gerakan Bianca. "Kael…" panggil Bianca dengan suara yang lembut, hampir mendesah, seakan namanya adalah mantra yang hanya bisa ia ucapkan dengan bisikan. Tanpa mengangkat wajahnya, Kael menjawab datar, "Duduklah." Bianca tersenyum kecil, lalu melangkah anggun menuju kursi di seberang Kael. Dengan gerakan yang dis
“Jangan bicara sembarangan! Kamu tidak tahu apa-apa tentangku. Kamu hanya pembantu!” desis Bianca tajam, matanya memancarkan amarah yang tertahan. Selena tidak gentar. Dengan rahang yang mengeras dan mata yang kini dipenuhi keberanian, ia berbisik tegas, “Aku tahu… aku tahu setiap detail yang kamu lakukan terhadap suamimu.” Bianca membeku sejenak, ekspresinya berubah. Ia melirik sekilas ke arah Kael yang sedang sibuk menelepon seseorang sambil menandatangani dokumen-dokumen di mejanya. Pria itu tampak terlalu tenggelam dalam tugasnya dan tak peduli dengan apa yang terjadi di antara kedua wanita itu. Melihat kesempatan itu, senyum licik tersungging di bibir Bianca. “Kamu menyebutku pembunuh? Mana buktinya? Bukankah kamu juga pembunuh dan sudah terbukti jelas membunuh Arlena?” Wajah Selena menegang, tetapi ia segera menepis rasa gentarnya. “Aku tidak melakukannya. Aku curiga kamulah dalang di balik tewasnya Nyonya Arlena.Dan sekarang kamu mencoba mendekati Tuan Kael membuatku se
Selena masih berdiri di tengah taman, memandangi bunga yang tampak begitu hidup meski sinar matahari sore mulai meredup. Jemarinya perlahan menyentuh kelopak bunga itu, seakan berharap bisa merasakan kembali kehangatan sosok Arlena melalui setiap seratnya. Tanpa disadari, air mata mulai menggenang di sudut matanya, memburamkan pandangannya akan bunga yang begitu berarti baginya. Butiran air mata itu akhirnya jatuh, mengalir perlahan di pipinya yang pucat. "Nyonya… setiap benda di sekitarku selalu mengingatkanku padamu. Senyummu, suaramu, dan caramu membuat segalanya terasa begitu indah di rumah ini." bisik Selena dengan suara bergetar. Angin sore berhembus pelan, seolah mengusap lembut wajahnya, membawa serpihan kenangan yang kini hanya tinggal bayangan di dalam benaknya. Selena buru-buru menghapus air matanya dengan punggung tangan, berusaha menenangkan dirinya. "Tuan Kael masih membutuhkan bantuanmu, Selena. Kamu tidak boleh lemah…" gumamnya pada dirinya sendiri, mencoba membang
Langit mulai berubah kelam ketika matahari sepenuhnya tenggelam di balik cakrawala. Lampu halaman depan rumah Kael mulai menyala, memberikan cahaya redup yang membingkai wajah tegang Selena. Dengan tubuh yang masih kotor dan tangan yang berlumuran tanah, ia berdiri di tengah halaman dengan pandangan penuh kewaspadaan."Aku tahu kamu pasti muncul lagi," gumam Selena, matanya tajam menatap ke arah gerbang yang mulai diselimuti bayangan malam.Beberapa menit kemudian, suara langkah kaki terdengar samar dari balik pagar besi yang menjulang tinggi. Selena memicingkan mata, melihat sosok pria berjas hitam yang bergerak perlahan di balik pagar, seolah sedang mengendap-endap. Wajahnya tertutup bayangan, dan gerak-geriknya tampak mencurigakan."Dasar pengecut! Aku tahu kamu akan kembali!" pikir Selena geram.Dengan cepat, ia merunduk dan mengangkat sebongkah batu besar di dekat kakinya. Napasnya memburu, tangannya bergetar oleh tenaga yang ia kumpulkan."Akhirnya dapat juga! Kamu membuatku kes
Langit mendung masih menggantung di luar jendela kaca gedung kantor megah milik Kael Evander. Sorot cahaya suram masuk melalui tirai yang sedikit terbuka, memantulkan kilauan redup di permukaan meja kayu mahoni yang luas di depannya. Kael melangkah cepat melewati lorong kantor yang dipenuhi pegawai yang sedang sibuk dengan aktivitas mereka. Tatapan tajamnya yang biasanya penuh wibawa kini terlihat kosong, sementara lingkaran hitam di bawah matanya semakin jelas terlihat. "Selamat siang, Tuan," ucap beberapa pegawai sambil membungkukkan badan dengan sopan. Kael hanya mengangguk kecil tanpa menoleh, langkahnya tegas namun terburu-buru, seakan ada beban berat yang mendorongnya untuk segera sampai di ruangannya. Begitu pintu ruangannya tertutup rapat, Kael mendapati beberapa orang sudah menunggunya. Salah satunya adalah pria paruh baya dengan setelan jas rapi dan kacamata tebal—Notaris keluarga Evander. Dokumen-dokumen bersegel resmi tersusun rapi di hadapannya. "Tuan Kael," ujar not
Restoran yang seharusnya menjadi tempat pembicaraan serius antara Kael dan Bianca terasa semakin pengap dengan atmosfer ketegangan yang kian memuncak. Dekorasi bunga nan romantis terasa begitu salah di tengah topik yang mereka bicarakan. Kael menatap Bianca dengan tatapan penuh tuntutan."Baiklah, kita lupakan dulu soal Selena," ujar Kael dengan nada tegas, matanya yang tajam menusuk Bianca. "Aku ingin tahu, apa kamu tahu sesuatu tentang Arlena sebelum dia tewas?"Bianca menarik napas dalam, seakan menyiapkan dirinya untuk berbicara. "Waktu itu aku bertemu dengannya di Mall. Arlena sedang menangis terisak-isak di kamar mandi. Selena... dia hanya berdiri di luar, diam, tidak melakukan apa pun untuk menenangkan Arlena. Aku ingin menghampirinya, ingin menenangkannya, tapi... aku takut Selena akan menghalangiku. Jadi, terpaksa aku biarkan."Kael merasakan sesuatu menghantam dadanya. "Arlena… menangis?" tanyanya dengan suara serak, seolah kalimat itu sulit keluar dari bibirnya.Bianca meng
Pagi itu, udara di dalam rumah Kael terasa lebih berat dari biasanya. Selena, yang sedang sibuk mengepel lantai, merasakan ketegangan yang menggelayuti dirinya. Ia melewati kamar Kael, matanya melirik pintu yang tertutup rapat, bertanya-tanya apakah Kael masih tidur atau sudah bangun. Namun, tidak ada suara apapun yang terdengar dari dalam kamar. "Dia masih tidur, kah?" tanya Selena dalam hati, merasakan sedikit keheranan. Namun, tugasnya tetap harus diselesaikan. Tak lama kemudian, ketua pelayan mendekat dan memberinya perintah. "Selena, hari ini kamu bertugas mengepel semua lantai di setiap sudut!" ujar ketua pelayan dengan nada tegas. "Baiklah," jawab Selena, tetapi matanya tak bisa lepas dari kamar Kael yang masih hening. Ia merasa ada sesuatu yang ganjil, namun segera melanjutkan pekerjaannya. Tiba-tiba, suara mobil terparkir di halaman rumah Kael, membuat Selena berhenti sejenak. Ia melirik lewat jendela dan melihat sosok Bianca turun dari mobil. Rasa kesal mulai merayap di
Selena sampai di depan pintu ruang kerja Kael.Suara ketukan pelan terdengar di pintu tersebut.Tok... tok... tok..."Masuk," suara Kael terdengar datar, nyaris tanpa emosi.Dengan hati-hati, Selena membuka pintu dan melangkah masuk. Di balik meja kerjanya, Kael tampak sibuk berbicara dengan seseorang di telepon, wajahnya serius dan tatapannya tajam menusuk layar laptop di hadapannya."Tuan... kopi Anda," ucap Selena dengan suara pelan, berusaha tidak mengganggu percakapan penting itu.Tanpa menoleh, Kael hanya mengangguk dan memberi isyarat agar Selena meletakkan kopi di atas meja. Selena dengan sigap meletakkan cangkir porselen itu di atas tatakan, aroma kopi hangat seakan berusaha mencairkan ketegangan di ruangan itu."Permisi, Tuan..." bisik Selena sebelum melangkah mundur dan menutup pintu dengan hati-hati.Begitu berada di luar, Selena menarik napas panjang. Hatinya masih dipenuhi kecemasan yang belum reda sepenuhnya sejak kejadian di pagar tadi. Ditambah lagi, tatapan dingin Kae
Selena masih berdiri di tengah taman, memandangi bunga yang tampak begitu hidup meski sinar matahari sore mulai meredup. Jemarinya perlahan menyentuh kelopak bunga itu, seakan berharap bisa merasakan kembali kehangatan sosok Arlena melalui setiap seratnya. Tanpa disadari, air mata mulai menggenang di sudut matanya, memburamkan pandangannya akan bunga yang begitu berarti baginya. Butiran air mata itu akhirnya jatuh, mengalir perlahan di pipinya yang pucat. "Nyonya… setiap benda di sekitarku selalu mengingatkanku padamu. Senyummu, suaramu, dan caramu membuat segalanya terasa begitu indah di rumah ini." bisik Selena dengan suara bergetar. Angin sore berhembus pelan, seolah mengusap lembut wajahnya, membawa serpihan kenangan yang kini hanya tinggal bayangan di dalam benaknya. Selena buru-buru menghapus air matanya dengan punggung tangan, berusaha menenangkan dirinya. "Tuan Kael masih membutuhkan bantuanmu, Selena. Kamu tidak boleh lemah…" gumamnya pada dirinya sendiri, mencoba membang
“Jangan bicara sembarangan! Kamu tidak tahu apa-apa tentangku. Kamu hanya pembantu!” desis Bianca tajam, matanya memancarkan amarah yang tertahan. Selena tidak gentar. Dengan rahang yang mengeras dan mata yang kini dipenuhi keberanian, ia berbisik tegas, “Aku tahu… aku tahu setiap detail yang kamu lakukan terhadap suamimu.” Bianca membeku sejenak, ekspresinya berubah. Ia melirik sekilas ke arah Kael yang sedang sibuk menelepon seseorang sambil menandatangani dokumen-dokumen di mejanya. Pria itu tampak terlalu tenggelam dalam tugasnya dan tak peduli dengan apa yang terjadi di antara kedua wanita itu. Melihat kesempatan itu, senyum licik tersungging di bibir Bianca. “Kamu menyebutku pembunuh? Mana buktinya? Bukankah kamu juga pembunuh dan sudah terbukti jelas membunuh Arlena?” Wajah Selena menegang, tetapi ia segera menepis rasa gentarnya. “Aku tidak melakukannya. Aku curiga kamulah dalang di balik tewasnya Nyonya Arlena.Dan sekarang kamu mencoba mendekati Tuan Kael membuatku se
Pintu ruangan terbuka perlahan, dan sosok Bianca muncul dengan langkah percaya diri. Gaun satin berwarna merah tua membalut tubuhnya, dengan belahan dada yang terlalu rendah untuk diabaikan. Aroma parfum mewahnya segera memenuhi udara, meninggalkan jejak yang tajam namun menggoda. Bibirnya yang merah menyala membentuk senyuman yang dipaksakan, namun tatapan matanya jelas—ia memiliki tujuan yang tersembunyi. Kael, yang sedang sibuk menata dokumen di meja kerjanya, hanya melirik sekilas sebelum kembali memfokuskan perhatiannya pada tumpukan kertas di hadapannya. Tidak ada ketertarikan, tidak ada kekaguman, hanya tatapan dingin yang seolah mampu menembus niat di balik setiap gerakan Bianca. "Kael…" panggil Bianca dengan suara yang lembut, hampir mendesah, seakan namanya adalah mantra yang hanya bisa ia ucapkan dengan bisikan. Tanpa mengangkat wajahnya, Kael menjawab datar, "Duduklah." Bianca tersenyum kecil, lalu melangkah anggun menuju kursi di seberang Kael. Dengan gerakan yang dis
Selena pun berhenti dan menoleh ke arah Kael. "Sebelum kamu pergi,buatkan dulu kopi untukku! Tapi jangan salah lagi seperti masakan tadi." Selena hanya mengangguk kemudian pergi ke dapur. Selena berjalan perlahan menuju kamar Kael dengan segelas kopi ditangannya sambil bergumam "Di malam begini dia ingin minum kopi,apa tidak takut insomnia?ini kan waktunya tidur.Aku saja sudah mengantuk." Selena kembali menguap.Kael yang mendengar langkah kaki Selena langsung berdiri di depan pintu dan menegurnya dari jauh. "Kenapa lama sekali? Kamu malah berbicara sendiri.Cepat bawa kesini!" "Ah iya Tuan..maaf." Selena segera membawa kopi yang sudah ia buat dengan hati-hati. Kopi tersebut sudah tercium aromanya yang harum, meski di dalam hati Selena masih merasa cemas akan reaksi Kael terhadap segala hal yang ia lakukan. Ia berjalan cepat menuju ruang tempat Kael duduk, berharap kali ini tak ada yang salah. Sesampainya di depan Kael, ia menyodorkan cangkir kopi dengan kedua tangan. **"Ini kop