Hujan deras mengguyur malam itu, menciptakan genangan air yang memantulkan kilatan petir. Di sebuah ruang tamu megah, tubuh seorang wanita tergeletak tak bernyawa di atas lantai marmer putih yang kini ternoda darah. Suara jerit tangis pelayan menggema, namun yang paling menghancurkan adalah tatapan Kael—tatapan seorang suami yang baru saja kehilangan cinta sejatinya.
Di sudut ruangan, Selena berdiri terpaku. Tangannya gemetar, matanya nanar memandang pisau berlumuran darah yang entah bagaimana bisa tergeletak di dekat kakinya. Dia tidak tahu apa yang terjadi, hanya ingatan samar-samar saat dirinya datang untuk menyampaikan laporan kerja kepada istri Tuan Kael beberapa jam lalu. "Ini pasti mimpi buruk,"gumamnya, napasnya terengah. Namun, jeritan pelayan tiba-tiba menghentikan lamunannya. "Itu dia pelakunya! Selena! Aku melihatnya masuk tadi, dan sekarang... Nyonya sudah mati!" Kata-kata itu menggema seperti lonceng kematian di telinga Selena. Pandangannya mengabur saat para pelayan dan penjaga mulai memandangnya dengan curiga. Kael, yang semula memeluk tubuh istrinya dengan tatapan kosong, kini perlahan menoleh. Amarah dan kesedihan bercampur di wajahnya, mengubah pria yang biasanya tenang menjadi sosok yang mengerikan. "Selena... Kamu..." Kael tak mampu menyelesaikan kalimatnya. Suaranya bergetar, penuh kekecewaan dan dendam. "Bukan aku! Aku tidak melakukannya, Tuan Kael! Aku bahkan tidak tahu apa yang terjadi!" teriak Selena, suaranya pecah. Namun, ucapan Selena seakan tak sampai ke telinga Kael. Amarahnya memuncak. Dia berdiri, tubuhnya gemetar, lalu menunjuk ke arah Selena dengan mata yang berkilat penuh kebencian. "Tangkap wanita itu!" suaranya menggema di seluruh ruangan."Seret dia ke ruang bawah tanah!" "Baik Tuan." Pengawal-pengawal Kael langsung bergerak. Selena, yang masih kebingungan dan terguncang, perlahan mundur, tangannya berusaha mencari pegangan. "Tuan, mohon dengarkan aku! Aku tidak pernah menyentuh Nyonya! Aku bahkan..." "Cukup, Selena! Jangan membela diri! Aku mempercayaimu, tapi kamu menghancurkannya!" Kael memotong ucapannya dengan kemarahan yang membuat seluruh ruangan terasa menyesakkan. Sebelum dia sempat melarikan diri, salah satu pengawal sudah menangkap lengannya dengan kasar. Selena meronta, air mata bercucuran, tetapi kekuatannya tak cukup untuk melawan. "Tuan Kael, tolong percaya padaku!" jeritnya di antara tangis."Aku tidak bersalah!" Namun, yang dia lihat hanyalah punggung Kael yang berbalik, enggan menatap wajah wanita yang dulu dia anggap sebagai pegawai terpercaya. Ruangan itu kini dipenuhi isak tangis dan suara hujan yang makin deras. Malam itu, kehidupan Selena berubah selamanya. Dari seorang asisten yang berdedikasi, dia kini menjadi buronan—tersangka pembunuhan istri Tuan Kael. Tanpa bukti, tanpa kesempatan untuk menjelaskan, dia tahu hanya ada dua pilihan: melarikan diri untuk membuktikan kebenaran, atau menyerah pada nasib yang akan menghancurkannya. Di luar rumah mewah itu, petir menyambar lagi, seolah ikut meratapi takdir tragis yang baru saja menimpa Selena.Selena diseret perlahan ke ruang bawah tanah,ruangan tersebut terlihat sangat mengerikan dengan udara dingin menusuk hingga ke tulang,sangat lembab dan tampak kosong seolah memberi kesan horor bahkan tidak layak ditempati oleh manusia.Selena meronta dan berusaha melepaskan cengkraman dari dua pengawal yang menyeretnya namun tetap sia-sia karena kalah tenaga. BUG! Dua pengawal itu mendorong Selena hingga jatuh ke lantai lalu menutup pintu dan menguncinya.Selena menatap tembok sekitar yang tampak suram,kamar yang berukuran kecil dan polos tidak ada fasilitas layak untuknya,hanya ada ember dan karpet tipis sebagai alas untuk tidur.Selena kembali menangis dan meratapi hidupnya,ini merupakan hari terburuk baginya. Selena terduduk di lantai dingin sebuah ruang bawah tanah yang gelap dan lembap.Tubuhnya penuh memar akibat perlakuan kasar para penjaga. Malam yang kelam terasa semakin menghimpit, seolah tak ada lagi celah bagi harapan. Sesekali, suara tetesan air yang jatuh dari langit-langit menambah suasana suram di tempat itu. ---------- Pintu besar berderit, memecah keheningan. Kael masuk dengan langkah berat, diikuti oleh dua pengawalnya. Wajahnya masih terlihat kelam, penuh kebencian yang tak terlukiskan. Di tangannya, selembar surat berisi laporan forensik yang menguatkan dugaannya bahwa istri tercintanya telah dibunuh. "Kamu tahu kenapa aku di sini, Selena?" tanyanya dingin. Selena mengangkat wajahnya yang basah oleh air mata. Matanya memohon, bibirnya bergetar, namun tak ada suara yang keluar. "Bicara!" Kael membentak, membuat tubuh Selena gemetar. "Tuan... Aku... Aku bersumpah, aku tidak melakukannya," isaknya. "Aku tidak tahu apa yang terjadi. Tolong percayalah padaku!" Kael tertawa sinis, tapi suaranya terdengar seperti jeritan hati yang terluka. "Percaya? Setelah aku melihat istriku tergeletak di lantai, dengan pisau yang hampir saja menyentuh tanganmu? Setelah semua saksi mengatakan kamu adalah orang terakhir yang menemuinya? Percaya padamu, Selena? Itu adalah lelucon terbesar abad ini." Air mata Selena mengalir makin deras. "Tuan, aku tidak punya alasan untuk menyakiti Nyonya. Aku menghormati beliau, aku..." "Cukup!"Kael memotongnya. Dia menghentakkan surat itu ke lantai dan mendekati Selena, membuat gadis itu merapatkan tubuhnya ke dinding. "Aku tidak peduli apa alasanmu. Yang aku tahu, dia sekarang mati. Dia wanita yang kucintai, dan aku tidak bisa membiarkan kematiannya berlalu tanpa hukuman." Selena merasakan jantungnya berdegup kencang. "Apa... apa yang akan Anda lakukan?"suaranya hampir tak terdengar. Kael menatapnya dengan mata penuh amarah, namun di balik itu ada kesedihan yang begitu dalam. "Aku tidak akan membunuhmu, Selena. Tidak. Itu terlalu mudah. Tapi aku akan memastikan hidupmu berubah menjadi neraka." Dia melambai kepada salah satu pengawalnya. "Mulai sekarang, kamu akan tinggal di tempat ini. Tidak ada kebebasan, tidak ada pengampunan. Setiap hari, kamu akan bekerja membersihkan istana ini, dari ruang tamu hingga dapur. Kamu akan makan sisa makanan, tidur di lantai dingin, dan tidak akan pernah melihat cahaya matahari lagi." "Tuan Kael, tolong... Aku tidak bersalah! Aku akan membuktikannya!" Selena berteriak putus asa, namun hanya gema suaranya yang menjawab. Kael menghela napas panjang, seolah mencoba menahan emosinya."Kamu tahu apa yang paling menyakitkan, Selena? Aku pernah mempercayaimu. Aku menganggapmu bagian dari keluarga ini. Tapi sekarang... Sekarang aku hanya melihat pengkhianat di hadapanku." Dia berbalik, berjalan menuju pintu. Sebelum pergi, dia menoleh sekali lagi. "Aku tidak peduli berapa lama waktu yang kamu butuhkan untuk mengakui kejahatanmu, Selena. Tapi sampai saat itu, ingat satu hal: aku akan selalu memandangmu sebagai pembunuh." Pintu besar itu tertutup dengan suara keras, meninggalkan Selena sendirian di kegelapan. Gadis itu memeluk lututnya, membiarkan air matanya mengalir. "Tuhan, apa dosa yang telah aku perbuat?" bisiknya dengan suara penuh kepedihan. Di tempat itu, Selena merasa seluruh dunianya runtuh—dihukum untuk dosa yang tak pernah dia lakukan, oleh pria yang dulu begitu dia hormati dan kagumi. Hanya kesunyian yang menemaninya, sementara malam semakin larut. Hati Selena penuh ketakutan dan kesedihan, namun jauh di lubuk hatinya, ada nyala kecil yang tetap bertahan. Nyala untuk membuktikan kebenaran dan memulihkan namanya.Selena memeluk lututnya erat, air mata terus mengalir tanpa henti. Rasa dingin dan lembap di ruang bawah tanah itu seperti menjadi perwujudan nasibnya yang suram. Dia tak henti-hentinya menangis, memikirkan bagaimana hidupnya berubah begitu drastis dalam sekejap. "Nyonya... kenapa ini terjadi pada saya? Kenapa mereka tidak percaya?" isaknya, suaranya terdengar lirih, nyaris tenggelam dalam gemuruh keheningan. Dia masih bisa mengingat dengan jelas malam itu—sosok wanita misterius yang melompat dari jendela kamar Nyonya Arlena. "Itu bukan saya... itu dia!" Selena berbisik, hampir berteriak, namun suaranya hanya bergema di dinding dingin penjaranya. Rasa takut terus menggerogotinya, tapi lebih besar dari rasa takut itu adalah kesedihannya. Selena merindukan Nyonya Arlena yang selama ini memperlakukannya seperti keluarga. Senyum lembut Nyonya, perhatian kecilnya, hingga cara dia memanggil Selena dengan suara hangatnya. Semuanya terasa seperti mimpi buruk. Namun kini, orang yan
"Dia benar-benar tidak masuk akal!"gumam Selena, menendang ember kecil di sudut ruangan. Ember itu meluncur dan menabrak tembok, membuat suara gaduh yang mengganggu keheningan. Selena jatuh terduduk di lantai dingin, air matanya mulai mengalir lagi. Ia menatap langit-langit ruangan yang penuh debu, mencoba mencari cara untuk membebaskan dirinya dari situasi ini. "Bagaimana aku bisa membuktikan apa pun kalau aku terkunci di sini? Orang itu jelas berada di luar. Apakah dia ingin aku berbicara dengan tembok?" Selena berbicara sendiri, nada sarkastis dalam suaranya semakin menonjol. Namun, di balik rasa putus asanya, Selena mulai menyusun rencana. "Kalau aku tidak bisa keluar, aku harus membuat mereka yang ada di luar masuk ke sini." Selena mengusap air matanya dan mulai berpikir keras. Dia tahu bahwa tidak ada jalan keluar kecuali dia menggunakan akalnya. "Aku harus memanfaatkan setiap orang yang datang ke tempat ini. Mungkin penjaga, mungkin siapa pun. Aku harus membuat mereka
"Hahaha..tentu saja,dia pernah bekerja padaku dan menggoda suamiku,dia berniat membunuhku namun salah sasaran yang terbunuh adalah suamiku,hatiku begitu pedih." Ucap wanita itu berakting menangis penuh drama. "Dan kematian istrimu bisa jadi rencananya untuk mendapatkanmu,apalagi kamu seorang pria kaya dan tampan pewaris segalanya." Kael semakin kesal mendengar cerita itu,dia langsung masuk ke mobilnya.Berniat akan menghancurkan Selena,Kael seolah terhipnotis oleh cerita bohong yang dibuat Bianca yang belum tentu ada bukti kebenarannya. Dia berbalik dan berjalan menuju mobilnya, meninggalkan Bianca berdiri di bawah payung merahnya. Saat Kael masuk ke mobil dan menutup pintu, dia sempat menatap kaca spion. Bianca masih berdiri di sana, menatap ke arahnya dengan senyum kecil yang penuh arti. Hujan semakin deras, menyamarkan sosok wanita itu. Tapi entah kenapa, ada sesuatu tentang Bianca yang terus mengganggu pikirannya, seolah dia membawa misteri yang belum terpecahkan. Kael m
Sementara itu, Selena mencoba memperbaiki situasi. "Saya serius, Tuan. Kalau sofanya mau tetap jadi kenangan, mungkin perlu dilap atau dilapis ulang. Saya bisa bantu bersihkan." Kael memijit pelipisnya, lalu menatap Selena tajam. "Satu kata lagi tentang sofa itu, aku pastikan kamu tidur di lantai." Selena tersenyum kikuk, mengangguk cepat, dan segera berlalu, meninggalkan para pelayan yang mencoba menahan tawa mereka agar tak kena semprot Kael lagi. "Sofa kenangan ya... menarik juga," bisik salah satu pelayan sambil cekikian. Setelah suasana agak reda, Kael memutuskan untuk memberikan hukuman lain pada Selena. Dia masih kesal dengan komentar spontan Selena soal sofa kenangannya. "Selena," panggil Kael, suaranya tegas. Selena, yang baru saja hendak mengambil kain lap untuk membersihkan meja, menoleh dengan ekspresi waspada. "Ya, Tuan?" "Kamu bilang tadi ingin membantu. Baiklah, ini kesempatanmu. Pergilah ke dapur dan masak makan malam untukku." Mata Selena membelalak."
Selena menghela napas, berjalan menuju tangga yang mengarah ke ruang bawah tanah. Ada sedikit rasa kecewa di dalam hatinya, namun dia tahu, ini adalah hidupnya sekarang—sebuah hidup yang terkekang oleh tuduhan yang tak adil. "Aku tidak peduli dengan apa yang mereka pikirkan," gumamnya dalam hati. "Aku akan buktikan kebenaran, bahkan jika aku harus bertahan dengan perlakuan ini."Begitu sampai di ruang bawah tanah yang dingin dan gelap, Selena langsung menuju tempat tidurnya. Hanya ada selembar selimut lusuh yang menjadi temannya di malam hari. Dia merebahkan diri, menatap langit-langit yang kosong. "Tuan Kael... jika kamu benar-benar mencintai Nyonya,kamu juga harus percaya padaku," pikir Selena, namun pikirannya segera terganggu dengan suara langkah kaki yang terdengar di lantai atas. "Apa mereka masih terus membicarakanku?" Selena bergumam dengan kesal, namun dia segera menenangkan diri. Tidak ada gunanya terlalu memikirkan mereka. "Yang penting sekarang, aku harus buktikan kebenar
Selena pun berhenti dan menoleh ke arah Kael. "Sebelum kamu pergi,buatkan dulu kopi untukku! Tapi jangan salah lagi seperti masakan tadi." Selena hanya mengangguk kemudian pergi ke dapur. Selena berjalan perlahan menuju kamar Kael dengan segelas kopi ditangannya sambil bergumam "Di malam begini dia ingin minum kopi,apa tidak takut insomnia?ini kan waktunya tidur.Aku saja sudah mengantuk." Selena kembali menguap.Kael yang mendengar langkah kaki Selena langsung berdiri di depan pintu dan menegurnya dari jauh. "Kenapa lama sekali? Kamu malah berbicara sendiri.Cepat bawa kesini!" "Ah iya Tuan..maaf." Selena segera membawa kopi yang sudah ia buat dengan hati-hati. Kopi tersebut sudah tercium aromanya yang harum, meski di dalam hati Selena masih merasa cemas akan reaksi Kael terhadap segala hal yang ia lakukan. Ia berjalan cepat menuju ruang tempat Kael duduk, berharap kali ini tak ada yang salah. Sesampainya di depan Kael, ia menyodorkan cangkir kopi dengan kedua tangan. **"Ini kop
Pintu ruangan terbuka perlahan, dan sosok Bianca muncul dengan langkah percaya diri. Gaun satin berwarna merah tua membalut tubuhnya, dengan belahan dada yang terlalu rendah untuk diabaikan. Aroma parfum mewahnya segera memenuhi udara, meninggalkan jejak yang tajam namun menggoda. Bibirnya yang merah menyala membentuk senyuman yang dipaksakan, namun tatapan matanya jelas—ia memiliki tujuan yang tersembunyi. Kael, yang sedang sibuk menata dokumen di meja kerjanya, hanya melirik sekilas sebelum kembali memfokuskan perhatiannya pada tumpukan kertas di hadapannya. Tidak ada ketertarikan, tidak ada kekaguman, hanya tatapan dingin yang seolah mampu menembus niat di balik setiap gerakan Bianca. "Kael…" panggil Bianca dengan suara yang lembut, hampir mendesah, seakan namanya adalah mantra yang hanya bisa ia ucapkan dengan bisikan. Tanpa mengangkat wajahnya, Kael menjawab datar, "Duduklah." Bianca tersenyum kecil, lalu melangkah anggun menuju kursi di seberang Kael. Dengan gerakan yang dis
“Jangan bicara sembarangan! Kamu tidak tahu apa-apa tentangku. Kamu hanya pembantu!” desis Bianca tajam, matanya memancarkan amarah yang tertahan. Selena tidak gentar. Dengan rahang yang mengeras dan mata yang kini dipenuhi keberanian, ia berbisik tegas, “Aku tahu… aku tahu setiap detail yang kamu lakukan terhadap suamimu.” Bianca membeku sejenak, ekspresinya berubah. Ia melirik sekilas ke arah Kael yang sedang sibuk menelepon seseorang sambil menandatangani dokumen-dokumen di mejanya. Pria itu tampak terlalu tenggelam dalam tugasnya dan tak peduli dengan apa yang terjadi di antara kedua wanita itu. Melihat kesempatan itu, senyum licik tersungging di bibir Bianca. “Kamu menyebutku pembunuh? Mana buktinya? Bukankah kamu juga pembunuh dan sudah terbukti jelas membunuh Arlena?” Wajah Selena menegang, tetapi ia segera menepis rasa gentarnya. “Aku tidak melakukannya. Aku curiga kamulah dalang di balik tewasnya Nyonya Arlena.Dan sekarang kamu mencoba mendekati Tuan Kael membuatku se
Langit mulai berubah kelam ketika matahari sepenuhnya tenggelam di balik cakrawala. Lampu halaman depan rumah Kael mulai menyala, memberikan cahaya redup yang membingkai wajah tegang Selena. Dengan tubuh yang masih kotor dan tangan yang berlumuran tanah, ia berdiri di tengah halaman dengan pandangan penuh kewaspadaan."Aku tahu kamu pasti muncul lagi," gumam Selena, matanya tajam menatap ke arah gerbang yang mulai diselimuti bayangan malam.Beberapa menit kemudian, suara langkah kaki terdengar samar dari balik pagar besi yang menjulang tinggi. Selena memicingkan mata, melihat sosok pria berjas hitam yang bergerak perlahan di balik pagar, seolah sedang mengendap-endap. Wajahnya tertutup bayangan, dan gerak-geriknya tampak mencurigakan."Dasar pengecut! Aku tahu kamu akan kembali!" pikir Selena geram.Dengan cepat, ia merunduk dan mengangkat sebongkah batu besar di dekat kakinya. Napasnya memburu, tangannya bergetar oleh tenaga yang ia kumpulkan."Akhirnya dapat juga! Kamu membuatku kes
Langit mendung masih menggantung di luar jendela kaca gedung kantor megah milik Kael Evander. Sorot cahaya suram masuk melalui tirai yang sedikit terbuka, memantulkan kilauan redup di permukaan meja kayu mahoni yang luas di depannya. Kael melangkah cepat melewati lorong kantor yang dipenuhi pegawai yang sedang sibuk dengan aktivitas mereka. Tatapan tajamnya yang biasanya penuh wibawa kini terlihat kosong, sementara lingkaran hitam di bawah matanya semakin jelas terlihat. "Selamat siang, Tuan," ucap beberapa pegawai sambil membungkukkan badan dengan sopan. Kael hanya mengangguk kecil tanpa menoleh, langkahnya tegas namun terburu-buru, seakan ada beban berat yang mendorongnya untuk segera sampai di ruangannya. Begitu pintu ruangannya tertutup rapat, Kael mendapati beberapa orang sudah menunggunya. Salah satunya adalah pria paruh baya dengan setelan jas rapi dan kacamata tebal—Notaris keluarga Evander. Dokumen-dokumen bersegel resmi tersusun rapi di hadapannya. "Tuan Kael," ujar not
Restoran yang seharusnya menjadi tempat pembicaraan serius antara Kael dan Bianca terasa semakin pengap dengan atmosfer ketegangan yang kian memuncak. Dekorasi bunga nan romantis terasa begitu salah di tengah topik yang mereka bicarakan. Kael menatap Bianca dengan tatapan penuh tuntutan."Baiklah, kita lupakan dulu soal Selena," ujar Kael dengan nada tegas, matanya yang tajam menusuk Bianca. "Aku ingin tahu, apa kamu tahu sesuatu tentang Arlena sebelum dia tewas?"Bianca menarik napas dalam, seakan menyiapkan dirinya untuk berbicara. "Waktu itu aku bertemu dengannya di Mall. Arlena sedang menangis terisak-isak di kamar mandi. Selena... dia hanya berdiri di luar, diam, tidak melakukan apa pun untuk menenangkan Arlena. Aku ingin menghampirinya, ingin menenangkannya, tapi... aku takut Selena akan menghalangiku. Jadi, terpaksa aku biarkan."Kael merasakan sesuatu menghantam dadanya. "Arlena… menangis?" tanyanya dengan suara serak, seolah kalimat itu sulit keluar dari bibirnya.Bianca meng
Pagi itu, udara di dalam rumah Kael terasa lebih berat dari biasanya. Selena, yang sedang sibuk mengepel lantai, merasakan ketegangan yang menggelayuti dirinya. Ia melewati kamar Kael, matanya melirik pintu yang tertutup rapat, bertanya-tanya apakah Kael masih tidur atau sudah bangun. Namun, tidak ada suara apapun yang terdengar dari dalam kamar. "Dia masih tidur, kah?" tanya Selena dalam hati, merasakan sedikit keheranan. Namun, tugasnya tetap harus diselesaikan. Tak lama kemudian, ketua pelayan mendekat dan memberinya perintah. "Selena, hari ini kamu bertugas mengepel semua lantai di setiap sudut!" ujar ketua pelayan dengan nada tegas. "Baiklah," jawab Selena, tetapi matanya tak bisa lepas dari kamar Kael yang masih hening. Ia merasa ada sesuatu yang ganjil, namun segera melanjutkan pekerjaannya. Tiba-tiba, suara mobil terparkir di halaman rumah Kael, membuat Selena berhenti sejenak. Ia melirik lewat jendela dan melihat sosok Bianca turun dari mobil. Rasa kesal mulai merayap di
Selena sampai di depan pintu ruang kerja Kael.Suara ketukan pelan terdengar di pintu tersebut.Tok... tok... tok..."Masuk," suara Kael terdengar datar, nyaris tanpa emosi.Dengan hati-hati, Selena membuka pintu dan melangkah masuk. Di balik meja kerjanya, Kael tampak sibuk berbicara dengan seseorang di telepon, wajahnya serius dan tatapannya tajam menusuk layar laptop di hadapannya."Tuan... kopi Anda," ucap Selena dengan suara pelan, berusaha tidak mengganggu percakapan penting itu.Tanpa menoleh, Kael hanya mengangguk dan memberi isyarat agar Selena meletakkan kopi di atas meja. Selena dengan sigap meletakkan cangkir porselen itu di atas tatakan, aroma kopi hangat seakan berusaha mencairkan ketegangan di ruangan itu."Permisi, Tuan..." bisik Selena sebelum melangkah mundur dan menutup pintu dengan hati-hati.Begitu berada di luar, Selena menarik napas panjang. Hatinya masih dipenuhi kecemasan yang belum reda sepenuhnya sejak kejadian di pagar tadi. Ditambah lagi, tatapan dingin Kae
Selena masih berdiri di tengah taman, memandangi bunga yang tampak begitu hidup meski sinar matahari sore mulai meredup. Jemarinya perlahan menyentuh kelopak bunga itu, seakan berharap bisa merasakan kembali kehangatan sosok Arlena melalui setiap seratnya. Tanpa disadari, air mata mulai menggenang di sudut matanya, memburamkan pandangannya akan bunga yang begitu berarti baginya. Butiran air mata itu akhirnya jatuh, mengalir perlahan di pipinya yang pucat. "Nyonya… setiap benda di sekitarku selalu mengingatkanku padamu. Senyummu, suaramu, dan caramu membuat segalanya terasa begitu indah di rumah ini." bisik Selena dengan suara bergetar. Angin sore berhembus pelan, seolah mengusap lembut wajahnya, membawa serpihan kenangan yang kini hanya tinggal bayangan di dalam benaknya. Selena buru-buru menghapus air matanya dengan punggung tangan, berusaha menenangkan dirinya. "Tuan Kael masih membutuhkan bantuanmu, Selena. Kamu tidak boleh lemah…" gumamnya pada dirinya sendiri, mencoba membang
“Jangan bicara sembarangan! Kamu tidak tahu apa-apa tentangku. Kamu hanya pembantu!” desis Bianca tajam, matanya memancarkan amarah yang tertahan. Selena tidak gentar. Dengan rahang yang mengeras dan mata yang kini dipenuhi keberanian, ia berbisik tegas, “Aku tahu… aku tahu setiap detail yang kamu lakukan terhadap suamimu.” Bianca membeku sejenak, ekspresinya berubah. Ia melirik sekilas ke arah Kael yang sedang sibuk menelepon seseorang sambil menandatangani dokumen-dokumen di mejanya. Pria itu tampak terlalu tenggelam dalam tugasnya dan tak peduli dengan apa yang terjadi di antara kedua wanita itu. Melihat kesempatan itu, senyum licik tersungging di bibir Bianca. “Kamu menyebutku pembunuh? Mana buktinya? Bukankah kamu juga pembunuh dan sudah terbukti jelas membunuh Arlena?” Wajah Selena menegang, tetapi ia segera menepis rasa gentarnya. “Aku tidak melakukannya. Aku curiga kamulah dalang di balik tewasnya Nyonya Arlena.Dan sekarang kamu mencoba mendekati Tuan Kael membuatku se
Pintu ruangan terbuka perlahan, dan sosok Bianca muncul dengan langkah percaya diri. Gaun satin berwarna merah tua membalut tubuhnya, dengan belahan dada yang terlalu rendah untuk diabaikan. Aroma parfum mewahnya segera memenuhi udara, meninggalkan jejak yang tajam namun menggoda. Bibirnya yang merah menyala membentuk senyuman yang dipaksakan, namun tatapan matanya jelas—ia memiliki tujuan yang tersembunyi. Kael, yang sedang sibuk menata dokumen di meja kerjanya, hanya melirik sekilas sebelum kembali memfokuskan perhatiannya pada tumpukan kertas di hadapannya. Tidak ada ketertarikan, tidak ada kekaguman, hanya tatapan dingin yang seolah mampu menembus niat di balik setiap gerakan Bianca. "Kael…" panggil Bianca dengan suara yang lembut, hampir mendesah, seakan namanya adalah mantra yang hanya bisa ia ucapkan dengan bisikan. Tanpa mengangkat wajahnya, Kael menjawab datar, "Duduklah." Bianca tersenyum kecil, lalu melangkah anggun menuju kursi di seberang Kael. Dengan gerakan yang dis
Selena pun berhenti dan menoleh ke arah Kael. "Sebelum kamu pergi,buatkan dulu kopi untukku! Tapi jangan salah lagi seperti masakan tadi." Selena hanya mengangguk kemudian pergi ke dapur. Selena berjalan perlahan menuju kamar Kael dengan segelas kopi ditangannya sambil bergumam "Di malam begini dia ingin minum kopi,apa tidak takut insomnia?ini kan waktunya tidur.Aku saja sudah mengantuk." Selena kembali menguap.Kael yang mendengar langkah kaki Selena langsung berdiri di depan pintu dan menegurnya dari jauh. "Kenapa lama sekali? Kamu malah berbicara sendiri.Cepat bawa kesini!" "Ah iya Tuan..maaf." Selena segera membawa kopi yang sudah ia buat dengan hati-hati. Kopi tersebut sudah tercium aromanya yang harum, meski di dalam hati Selena masih merasa cemas akan reaksi Kael terhadap segala hal yang ia lakukan. Ia berjalan cepat menuju ruang tempat Kael duduk, berharap kali ini tak ada yang salah. Sesampainya di depan Kael, ia menyodorkan cangkir kopi dengan kedua tangan. **"Ini kop