Alarm yang memekakkan telinga terdengar menggema di dalam kamar Gracia. Dengan keahliannya, dengan mudahnya ia mematikan alarm tanpa melihat keberadaannya."Capek sekali hari ini. Baru bisa tidur jam 3 subuh. Lalu, kadang kebangun. Sekarang udah jam 6. Seandainya aku dikasih waktu untuk bangun lebih siang!"Ia ngedumel pagi-pagi. Namun, tumpukan kerjaan kembali terngiang-ngiang mengitari otaknya."Kerja supaya ada kesibukan, malah sekarang sibuk benaran. Apa mimpi punya penerbitan sendiri harus aku korbankan?""Gracia! Kamu mau jadi apa? Anak gadis harus rajin bangun pagi-pagi!" Seperti biasa Ibu Gracia berteriak dari lantai bawah."Iih, merusak mood aku ma!" Gracia balas berteriak.Ia turun dari tempat tidur. Menarik handuk mandinya.***"Ma, pagi-pagi sarapan apa nih?" Ananta sudah selesai mandi. Tinggal mengusap krim wajahnya, lalu ia akan sangat siap untuk menyantap sarapan pagi."Simpel. Sup kentang dan ikan asin,""Asik. Ikan asin."
Ananta masuk kembali ke ruangan tanpa bicara dengan siapa pun. Seperti yang ia lakukan selama ini."Hei, Ana lagi masuk itu.""Dengar-dengar dia sama Gracia lagi ada konflik. Akhirnya, mata teman kita terbuka juga. Emang ya, orang itu sok baik banget sih. Iya nggak?""Jangan gitu dong. Kasihan kalau dia dengar.""Bagus dong itu. Kalau dia dengar, berarti dia bisa introspeksi diri. Iya nggak sih teman-teman?""Ini kantor bukan tempat gosip." Nicho berbicara dengan lantang.Beberapa karyawan yang berada di sekitar sana memasang mata."Maaf, pak!" Dua orang karyawan wanita itu menjawab berbarengan.Ananta sudah terlalu biasa mendengar pernyataan seperti itu. Awalnya sakit, tapi lama-kelamaan ia jadi kebal.Ia berjalan terus, tanpa melihat ke belakang lagi. Walaupun ia terbiasa mendengar pernyataan itu, tetap saja ia benci. Bahkan Pak Nicho yang membela dirinya pun tidak terdengar olehnya."Kalian berdua ikut saya ke kantor!"Nicho berjalan melewati mereka, berjalan cepat ke kantornya. Du
"Pak Nicho, silakan masuk, pak," Bu Lina mengundang masuk.Ananta reflek mundur ke belakang. Memberi ruang Pak Nicho untuk masuk ke dalam ruangan Bu Lina. Walaupun sebenarnya ruangan Bu Lina tak kecil-kecil amat."Bu, saya permisi dulu ya!" Ananta memutuskan untuk pamit. Ia tidak mau menganggu Pak Nicho dan Bu Lina."Tunggu. Sekalian kamu disini, ada yang perlu saya tanyakan kepada Bu Lina tapi kamu harus mendengarnya juga," Nicho menatap Ananta sesaat lalu kemudian menatap ke arah Bu Lina."Bu Lina, ada yang perlu saya tanyakan. Namun hal ini tidak secara langsung berhubungan dengan pekerjaan, tetapi tetap harus diluruskan. Apakah boleh?""Bo-boleh Pak Nicho. Apapun itu, selagi saya bisa jawab, akan saya jawab," Bu Lina membalas dengan senyuman. Gerakan tangannya berubah, yang awalnya terbuka, kini dikatupkan di depannya, di atas meja.Nicho menarik kursi yang ada di depannya. Mempersilakan Ananta untuk duduk. Lantas kemudian dia juga menarik kursi lainnya."Bu Lina, ibu ini sudah sen
Ini kali kedua Ananta masuk ke dalam ruangan Nicho yang serba putih emas. Kini ketegangan meliputi dirinya. Berulang kali ia menarik napas dan melepaskannya kembali."Coba kamu buat artikel dengan tema pekerjaan penulis. Buat sebebas mungkin. Lalu, kamu masukkan ke meja editor. Satu minggu kemudian, kamu baca hasil tulisanmu kembali dan merevisinya,""Apa ada projek majalah baru pak?""Kerjakan saja apa yang saya katakan. Saat kamu revisi bawa hasil revisianmu. Bilang saja ke editor bahwa ini tugas khusus dari saya. Sampai sekarang kamu mengerti?""Mengerti, pak!""Okelah kalau begitu. Seminggu kemudian kamu balik kesini,""Baik, pak. Saya permisi dulu!"Klik.Pintu tertutup.Saat Ananta keluar dari ruangan Nicho. Saat itu juga matanya bertemu dengan mata Gracia yang memang masih memperhatikan ruangan Nicho."Hai!" Ananta melambaikan tangannya.Gracia membalasnya dengan membuang muka dan tak berkata satu kata pun."Hai, Ananta!" Aini yang melihat kejadian ini di depan matanya segera m
"Hei, kalau mau di tempat lain. Mahal. Mesti bayar orang. Kalau ada yang gratis dan ada yang cantik disini. Kenapa nggak?""Iih. Kamu kan orang kaya. Tinggal beli baru dan nggak usah begini," Gracia melempar celana Nicho yang digenggamnya dari tadi."Eh, kok malah main lempar-lempar sih? Celana ini mahal tahu,""Bodoh! Kan situ banyak uang!""Astaga, ayo cepetan. Kamu sudah memulainya, kamu juga yang harus menyelesaikannya,""Iya-iya. Sini. Mana celananya,""Kan gini bagus,""Au..Arrgh," Gracia memekik cukup keras."Kenapa?""Ketusuk ini,""Udah sini-sini. Pelan-pelan dong!"***"Akhirnya ini selesai juga. Aku sekarang ke meja editor aja kali ya. Mana tahu aku bisa ngobrol lebih dalam dengan Gracia,"Ananta melepaskan earphone-nya. Membawa flashdisk yang sudah diisi oleh dokumen artikel."Eh, kok Gracia nggak ada?"Kantor Gracia benar-benar sepi. Lampu memang terang, tapi nggak ada seorang pun disini."Mungkin di meja sekretaris!"Ananta berjalan menuju ke ruangan Nicho."Arrgh! Pelan
Malam ini nampak cerah. Bintang di langit juga enggan menyembunyikan dirinya. Mungkin awan sedang malas untuk membantu mereka bersembunyi.Kedai Koopi ramai seperti biasa. Hilir mudik konsumen terpantau ramai lancar. Cielah...kenapa malah seperti laporan lalu lintas."Benar juga ya. Aku sepertinya harus merasa beruntung berteman denganmu karena aku punya teman yang kaya,""Kok malah sepertinya?""Iya, sepertinya beruntung tapi karena ada kandungan sifat cerewet dan bawelnya. Apalagi suka curhat sana-sini. Itu yang menjadi kekurangannya,""Semua orang berhak punya kekurangan kali,""Iya. Ampun bos.""Lalu, kenapa kamu selalu saja sendiri disini. Aku nggak pernah lihat pacarmu ada disini?""Memangnya kalau pacar aku kesini, harus absen sama kamu gitu?"Stanley meneruskan memeriksa laporan keuangan kedainya. Tidak ada yang buruk. Hanya pendapatan yang berkurang dari bulan sebelumnya.Ia mendesah sekali, agak kuat."Kenapa? Terbukti omongan aku benar? Dia nggak pernah kesini?""Pernah kok
Suasana senyap di ruang dapur. Papa Ananta masih berdiri di pintu dapur. Ananta nggak berani mengirim pesan ke Stanley lagi.Dirinya pun tak bicara. Hanya terdengar sendok dan piring yang saling beradu."Loh, Papa kebangun ya?" Mama malah ikutan Papa ke dapur."Iya nih. Anakmu ini. Cemberut terus mukanya,""Habis pulang capek kali, Pa! Sekarang aja udah jam berapa? Udah jam 9 malam dan dia baru makan loh,""Makan sih makan, tapi sambil main HP,""Yah, nggak apa-apa toh, Pak. Namanya juga anak muda. Udah kembali tidur sana. Katanya mau ke toilet malah ke dapur,"Papa memilih untuk mengalah. Papa pergi ke toilet."Ana, habis ini jangan lupa masukkan lauk ke lemari. Lalu piring bekas makan, dicuci dan lap meja ya. Mama sudah capek banget. Jadi, mau lanjut tidur lagi,""Iya, ma. Siap. Ini juga sudah mau selesai. Nanti Ana bersihin semuanya biar nggak ada semut atau cicak yang ambil kesempatan,""Bisa aja kamu." Ibu Ananta berbalik lalu berjalan lurus ke kamarnya."Hmmm...Papa datang-datan
"Selamat pagi pak! Saya Ananta." Ia mengucap salam dan tersenyum.Duduk di sofa seberang pria besar itu."Saya tidak suka basa-basi. Saya langsung aja. Saya dari Majalah Saya Tahu! Saya dengar kalau penerbitan ini akan membuat toko buku eksklusif. Jadi, kami ingin menawarkan majalah kami untuk disediakan tempat khusus di toko Anda nanti,""Sebelumnya mohon maaf pak. Apa bapak ada membawa majalah bapak yang sudah terbit. Mungkin satu dua edisi cukup untuk menjadi bahan referensi kami,""Saya akan mengirimkannya via surel. Tolong tuliskan alamat surel Anda dan akan saya kirimkan,""Baik, pak." Ananta mengambil kartu nama dari saku bajunya. "Ini kontak saya dan alamat surel saya pak. Bapak bisa langsung kirimkan kesana,"Pria itu menyambut kartu nama Ananta."Ananta Rosalina. Penulis junior?" Ia membaca kartu nama Ananta dengan lantang."Iya pak. Itu nama dan jabatan saya.""Saya kira kamu adalah penulis senior. Siapa penulis senior disini? Saya