Ibu Gracia melambaikan tangan kepada Nicho sebagai salam perpisahan sebelum ia dan suaminya masuk ke dalam mobil.Nicho berbalik badan saat mobil mereka sudah keluar dari parkiran mobil.Ia masih berdiri di dekat pintu masuk hotel. Masih ada beberapa tamu yang bergegas turun. Terlalu ramai. Nicho memutuskan untuk duduk di lobi hotel beberapa menit, sampai suasana tidak terlalu ramai."Pak Nicho, bapak belum pulang?" Ananta menghampiri Nicho saat ia melihat Nicho duduk di lobi hotel.Nicho mendongakkan kepalanya. "Iya, belum. Sebentar lagi."Ananta tersenyum sesaat. Lalu, ia berjalan lurus ke depan. Duduk di sofa lain. Ia memilih untuk duduk membelakangi Pak Nicho. Sungguh janggung jika mata mereka bertemu nanti."Bosan sekali menunggu disini? Lalu, kenapa dia belum pulang? Apa pacarnya telat menjemput lagi?" Nicho melihat sekeliling. Sudah tidak terlalu ramai. Namun, malah sekarang terkesan sepi.Ia melihat jam rolex yang melingkar di tangannya. Pukul 23:00."Ini sudah malam dan ini s
Jarak antara hotel dan rumah Ananta tidak terlalu jauh. Kira-kira hanya seratus meter.Sepuluh menit kemudian mobilnya Nicho telah sampai di rumah Ananta."Terima kasih telah mengantar saya pak dan saya mau minta maaf atas perbuatan saya kepada Gracia,""Kenapa minta maaf? Kamu sudah tahu letak kesalahanmu?""Maaf pak. Belum,""Lantas, kenapa kamu minta maaf? Gini ya Ananta. Kita boleh mengucapkan maaf, tetapi jangan terlalu sering karena jika keseringan, orang lain bisa meremehkanmu. Gampang lah sama dia, dia toh bilang maaf yang artinya dia memang salah. Nah, itu menjadi titik lemah kita. Kalau kita memang belum tahu salah dimana atau pun memang kita nggak salah, jangan selalu bilang maaf. Boleh sekali dan tulus. Jangan pernah mengobral kata maaf. Nanti bisa menjadi sesuatu yang tidak dihargai.""Baik, pak. Saya mengerti. Terima kasih nasihatnya. Saya turun dulu ya, pak!""Iya."Nicho memutarkan mobilnya di depan rumah Ananta. Rumah Ananta berada di tengah-tengah gang. Jalanan gang
Alarm yang memekakkan telinga terdengar menggema di dalam kamar Gracia. Dengan keahliannya, dengan mudahnya ia mematikan alarm tanpa melihat keberadaannya."Capek sekali hari ini. Baru bisa tidur jam 3 subuh. Lalu, kadang kebangun. Sekarang udah jam 6. Seandainya aku dikasih waktu untuk bangun lebih siang!"Ia ngedumel pagi-pagi. Namun, tumpukan kerjaan kembali terngiang-ngiang mengitari otaknya."Kerja supaya ada kesibukan, malah sekarang sibuk benaran. Apa mimpi punya penerbitan sendiri harus aku korbankan?""Gracia! Kamu mau jadi apa? Anak gadis harus rajin bangun pagi-pagi!" Seperti biasa Ibu Gracia berteriak dari lantai bawah."Iih, merusak mood aku ma!" Gracia balas berteriak.Ia turun dari tempat tidur. Menarik handuk mandinya.***"Ma, pagi-pagi sarapan apa nih?" Ananta sudah selesai mandi. Tinggal mengusap krim wajahnya, lalu ia akan sangat siap untuk menyantap sarapan pagi."Simpel. Sup kentang dan ikan asin,""Asik. Ikan asin."
Ananta masuk kembali ke ruangan tanpa bicara dengan siapa pun. Seperti yang ia lakukan selama ini."Hei, Ana lagi masuk itu.""Dengar-dengar dia sama Gracia lagi ada konflik. Akhirnya, mata teman kita terbuka juga. Emang ya, orang itu sok baik banget sih. Iya nggak?""Jangan gitu dong. Kasihan kalau dia dengar.""Bagus dong itu. Kalau dia dengar, berarti dia bisa introspeksi diri. Iya nggak sih teman-teman?""Ini kantor bukan tempat gosip." Nicho berbicara dengan lantang.Beberapa karyawan yang berada di sekitar sana memasang mata."Maaf, pak!" Dua orang karyawan wanita itu menjawab berbarengan.Ananta sudah terlalu biasa mendengar pernyataan seperti itu. Awalnya sakit, tapi lama-kelamaan ia jadi kebal.Ia berjalan terus, tanpa melihat ke belakang lagi. Walaupun ia terbiasa mendengar pernyataan itu, tetap saja ia benci. Bahkan Pak Nicho yang membela dirinya pun tidak terdengar olehnya."Kalian berdua ikut saya ke kantor!"Nicho berjalan melewati mereka, berjalan cepat ke kantornya. Du
"Pak Nicho, silakan masuk, pak," Bu Lina mengundang masuk.Ananta reflek mundur ke belakang. Memberi ruang Pak Nicho untuk masuk ke dalam ruangan Bu Lina. Walaupun sebenarnya ruangan Bu Lina tak kecil-kecil amat."Bu, saya permisi dulu ya!" Ananta memutuskan untuk pamit. Ia tidak mau menganggu Pak Nicho dan Bu Lina."Tunggu. Sekalian kamu disini, ada yang perlu saya tanyakan kepada Bu Lina tapi kamu harus mendengarnya juga," Nicho menatap Ananta sesaat lalu kemudian menatap ke arah Bu Lina."Bu Lina, ada yang perlu saya tanyakan. Namun hal ini tidak secara langsung berhubungan dengan pekerjaan, tetapi tetap harus diluruskan. Apakah boleh?""Bo-boleh Pak Nicho. Apapun itu, selagi saya bisa jawab, akan saya jawab," Bu Lina membalas dengan senyuman. Gerakan tangannya berubah, yang awalnya terbuka, kini dikatupkan di depannya, di atas meja.Nicho menarik kursi yang ada di depannya. Mempersilakan Ananta untuk duduk. Lantas kemudian dia juga menarik kursi lainnya."Bu Lina, ibu ini sudah sen
Ini kali kedua Ananta masuk ke dalam ruangan Nicho yang serba putih emas. Kini ketegangan meliputi dirinya. Berulang kali ia menarik napas dan melepaskannya kembali."Coba kamu buat artikel dengan tema pekerjaan penulis. Buat sebebas mungkin. Lalu, kamu masukkan ke meja editor. Satu minggu kemudian, kamu baca hasil tulisanmu kembali dan merevisinya,""Apa ada projek majalah baru pak?""Kerjakan saja apa yang saya katakan. Saat kamu revisi bawa hasil revisianmu. Bilang saja ke editor bahwa ini tugas khusus dari saya. Sampai sekarang kamu mengerti?""Mengerti, pak!""Okelah kalau begitu. Seminggu kemudian kamu balik kesini,""Baik, pak. Saya permisi dulu!"Klik.Pintu tertutup.Saat Ananta keluar dari ruangan Nicho. Saat itu juga matanya bertemu dengan mata Gracia yang memang masih memperhatikan ruangan Nicho."Hai!" Ananta melambaikan tangannya.Gracia membalasnya dengan membuang muka dan tak berkata satu kata pun."Hai, Ananta!" Aini yang melihat kejadian ini di depan matanya segera m
"Hei, kalau mau di tempat lain. Mahal. Mesti bayar orang. Kalau ada yang gratis dan ada yang cantik disini. Kenapa nggak?""Iih. Kamu kan orang kaya. Tinggal beli baru dan nggak usah begini," Gracia melempar celana Nicho yang digenggamnya dari tadi."Eh, kok malah main lempar-lempar sih? Celana ini mahal tahu,""Bodoh! Kan situ banyak uang!""Astaga, ayo cepetan. Kamu sudah memulainya, kamu juga yang harus menyelesaikannya,""Iya-iya. Sini. Mana celananya,""Kan gini bagus,""Au..Arrgh," Gracia memekik cukup keras."Kenapa?""Ketusuk ini,""Udah sini-sini. Pelan-pelan dong!"***"Akhirnya ini selesai juga. Aku sekarang ke meja editor aja kali ya. Mana tahu aku bisa ngobrol lebih dalam dengan Gracia,"Ananta melepaskan earphone-nya. Membawa flashdisk yang sudah diisi oleh dokumen artikel."Eh, kok Gracia nggak ada?"Kantor Gracia benar-benar sepi. Lampu memang terang, tapi nggak ada seorang pun disini."Mungkin di meja sekretaris!"Ananta berjalan menuju ke ruangan Nicho."Arrgh! Pelan
Malam ini nampak cerah. Bintang di langit juga enggan menyembunyikan dirinya. Mungkin awan sedang malas untuk membantu mereka bersembunyi.Kedai Koopi ramai seperti biasa. Hilir mudik konsumen terpantau ramai lancar. Cielah...kenapa malah seperti laporan lalu lintas."Benar juga ya. Aku sepertinya harus merasa beruntung berteman denganmu karena aku punya teman yang kaya,""Kok malah sepertinya?""Iya, sepertinya beruntung tapi karena ada kandungan sifat cerewet dan bawelnya. Apalagi suka curhat sana-sini. Itu yang menjadi kekurangannya,""Semua orang berhak punya kekurangan kali,""Iya. Ampun bos.""Lalu, kenapa kamu selalu saja sendiri disini. Aku nggak pernah lihat pacarmu ada disini?""Memangnya kalau pacar aku kesini, harus absen sama kamu gitu?"Stanley meneruskan memeriksa laporan keuangan kedainya. Tidak ada yang buruk. Hanya pendapatan yang berkurang dari bulan sebelumnya.Ia mendesah sekali, agak kuat."Kenapa? Terbukti omongan aku benar? Dia nggak pernah kesini?""Pernah kok
"Saya mencintai Ananta. Tetapi, saya juga ada etikanya Stanley. Saya tidak akan merebut pacar orang." Nicho melepaskan genggaman eratnya. Menatap Ananta lamat-lamat."Namun, saya bisa pastikan, saya yang akan jadi orang pertama yang akan merebutnya jika kamu menyiakan-nyiakannya,"Nicho berbicara dengan lantang.Dari jauh, Violla mengintip. Ia tak mungkin akan melewatkan kejadian seru ini. Walaupun kehadirannya memang tidak berarti jika dia ada disana.Tentu saja Nicho akan mengusirnya."Apakah aku memang sudah tidak bisa kembali dengan Nicho?"Drrt. Gawainya bergetar."Hallo, baby! Kamu jadi datang ke pestaku?" Seorang pria meneleponnya."Iya. Aku datang." Violla dengan cepat menjawab. "Aku akan mencoba untuk mencintai pria lain. Selamat tinggal Nicho!""Ana, kamu tidak marah sama atasanmu ini? Lancang sekali dia ngomong begitu." cerca Stanley. Ia mendengus. Kakinya menendang sebuah kursi plastik sampa
Malam ini angin tak berhembus sama sekali. Walaupun Nicho, Stanley, Ananta, dan Gracia berada di tempat terbuka.Ananta masih menahan marah atas tuduhan Stanley yang tidak jelas. Yah, memang dia juga merasa bersalah. Ia mulai ragu dengan dirinya sendiri. Apakah memang harus putus?Stanley tak terima jika ia yang harus terus mengalah. Apalagi ia butuh dukungan emosi karena masih merintis usahanya. Usaha kedai kopi impiannya. Ia ingin segera mendapatkan uang yang banyak supaya bisa menghalalkan Ananta. Tapi, kenapa semakin hari hubungannya dengan Ananta semakin memburuk?Gracia gemas dengan dirinya sendiri. Kenapa tak seorang pun yang mengerti keadaannya. Semua terasa menjauh dan selalu saja membela Ananta. Padahal bukannya dia korban atas kejahatan Ananta?Nicho tak habis pikir, kenapa masalah simpel yang muncul ini bisa seruwet ini. Dari Gracia dan Ananta yang salah paham. Stanley yang protektif dengan Ananta.Padahal semua itu terjadi hanya karena kurang komunikasi. That's it."Nicho
Kantor sudah sepi. Ananta melirik jam tangan yang dikenakannya. Pukul 20.31.Sepanjang jalan ia hanya menemui rumput hijau taman kantor dan lampu kantor di sisi taman."Sepertinya aku tunggu di pos satpam saja." gumamnya.Ia merapatkan jaket yang ia kenakan. Menuju pos satpam yang hanya memerlukan sekitar sepuluh langkah.Sesampainya ia disana, ia tak menemukan seorang pun."Televisi masih nyala. Lampu di pos juga masih nyala. Kemana Bapak satpamnya? Apa mungkin pratoli?"Ananta adalah tipe orang yang positif. Bahkan dalam hal ini saja ia tidak berpikir negatif mengenai keberadaan satpam ada dimana.Ia tak ambil pusing. Menarik salah satu kursi bakso disana dan duduk."Apa Pak Nicho masih lama?" gumamnya."Ananta!" panggil seseorang dari belakang."Stanley? Kenapa kamu selalu muncul tiba-tiba?" Ia menoleh ke belakang. "Dan kamu mengagetkanku,""Yah, tentu saja bisa. Karena pesanku dari tadi saja belum dibaca. Kalau kamu nggak di hotel, yah pasti di kantor," lanjutnya sambil mengambil
Nicho kembali ke meja kerjanya. Setelah minum segelas air gula, ia merasa kondisinya mulai pulih kembali.Dengan langkah yang masih terasa berat dan kepalanya masih terasa sakit, ia bergerak. Berjalan beberapa sentimeter dan duduk dengan mantap di kursi kerjanya.Matanya langsung menangkap benda kecil berwarna merah yang diletakkan di atas laptopnya. Sebuah flashdisk."Ini bukannya flashdisk yang kupinjamkan kepada Ana? Apakah pekerjaannya sudah selesai?"Nicho membuka laptopnya dan memeriksa data yang berada di dalam flashdisk.Ia membaca dengan seksama setiap kata. Setiap kalimat. Setiap paragraf. Matanya berbinar.Ia menegakkan badannya."Ini baru naskah yang ingin kubaca. Tidak salah jika Ananta bisa dijadikan calon kepala divisi penulis. Tetapi sepertinya aku harus mempertimbangkannya lagi. Hubungan dia dan Gracia telah usai. Hal ini pasti akan menjadi hambatan dalam kinerja kerja. Apalagi gosip tidak sedap yang ter
"Aku tanya dan kalian malah bengong disini. Nicho yang kalian maksud itu Nicholas Alexus bukan?" Violla bertanya memastikan. Kini ia menggebu-gebu. Ia harus segera tahu jawabannya.Kali ini siapa lagi yang bisa ambil hati selain Gracia. Tetapi itu nggak mungkin. Jika iya, apakah wanita itu lebih baik daripada Violla?"Kamu seharusnya jawab dulu pertanyaanku," Stanley nggak mau kalah. Jika ia harus menjawab, setidaknya lawan bicaranya dulu yang harus menjawab. Itu yang namanya baru adil."Aku rasa, pertanyaanmu tidak penting. Aku itu punya kaki dan punya uang. Aku bisa kemana aja yang aku mau. Bahkan kalian bisa disini saja, aku tidak perlu harus bertanya panjang lebar, kenapa kalian ada di Jakarta,""Kamu membuntutiku ya? Dan kenapa kamu bisa kenal sama Nicho?" Stanley bertanya lagi. Otaknya kini haus akan jawaban."Jangan menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan yang tidak penting," geramnya.Ia menggeser pandangannya ke arah Gra
"Ini soal apaan sih? Matematika kok malah buat kepala jadi mumet. Nah gini nih, catatan diajarin gimana. Tugasnya kayak gimana. Ini sih Nicho harus kesini. Nggak mau tahu. Masa dia bisa tidur nyenyak dan aku begadang kayak gini,"Eric beranjak duduk ke tempat tidurnya. Duduk disana dan menyentuh layar gawainya. Mencari kontak Nicho."Apaan?" Nicho menjawab dari seberang."Eh, orang kalau angkat telepon itu bilang hallo. Bukan apaan?""Itu untuk orang lain bukan untukmu. Karena kalau kau telepon malam-malam pasti ada maunya,""Tahu aja,""Iya, adanya tahu aja, tempe lagi habis,""Sekarang ke rumah aku!""Nggak,""Cepat banget jawabnya. Sat set tanpa mikir. Mikir dulu kek. Yakin? Nggak mau pikir dua kali?""Kenapa harus pikir 2 kali?""Gracia belum tidur loh!"Nicho tersontak. Yang tadi posisi tidur di atas ranjangnya. Ia bangkit duduk."Lalu, apa. Kenapa. Apa hubungann
Restoran makanan penutup sedang tidak ramai. Selain Gracia dan Stanley. Hanya ada 2 meja yang terisi.Mungkin sekarang kebanyakan orang mencari makanan berat setelah lelahnya bekerja seharian. Mencari rezeki untuk menikmati makanan enak setiap hari.Gracia menatap tajam ke arah Stanley. Tentu saja ia tak bisa menerima pria bucin di depannya ini menghina Nicho. Nicho yang adalah sahabatnya dari kecil dan sebenarnya juga cinta pertamanya.Cinta pertama yang ia sendiri kandaskan begitu saja.Masih ingat dengan kejadian bab 99?Inilah sambungannya.Setelah Eric meninggalkan Nicho dan Gracia di sekolah. Nicho tak langsung mengantar Gracia pulang. Ia mengajak Gracia untuk makan sore terlebih dahulu."Kamu ajak aku makan bakso? Aku nggak ada selera,""Hei, makan selagi kamu masih bisa makan. Kita hidupnya masih enak. Masih bisa makan apa yang kita mau,""Bukan itu maksudnya,""Atau kita makan es krim
"Ananta itu keterlaluan. Sok jodohin aku sama Nicho. Tanya-tanya ke aku, masa nggak cinta sama Nicho. Pret. Busuk itu semua," Gracia mengomel. Ia tak mau lebih lama disana. Sudah 10 menit yang lalu ia pergi dari kantor Nicho.Sekarang ia duduk di sebuah kedai kopi. Seperti biasa ia memilih kopi sebagai pendampingnya."Eh, ada Gracia disini. Aku boleh duduk disini?" Seorang pria mendekat."Stanley? Kok kamu bisa disini?" Gracia bertanya dengan bingung."Pertanyaanku dijawab dulu dong!""Nggak boleh. Duduk di kursi lain aja. Aku lagi pengen sendiri,""Tapi aku lagi mau ngobrol sama kamu. Gimana?""Kalau kamu nggak pergi. Aku yang pergi. Bye." Gracia turun dari kursi tinggi kedai. Mengambil gelas strerofoam yang masih berisikan dengan kopi panas."Hei!" panggil Stanley. Ia menyusul sampai ke luar kedai dan terus membuntuti Gracia.Gracia terus berjalan. Menyeberang di penyeberangan jalan, melewati taman ke
Ananta melihat ke kiri dan ke kanan. Sepi. Di ruangan kerja sebesar itu hanya dia seorang."Kalau aku turun ke bawah, mungkin tidak apa-apa kali ya? Tapi kalau Pak Nicho memang butuh bantuan cepat gimana? Aku cek dulu aja deh."Ia berjongkok. Ini pertama kalinya ia melihat wajah Nicho sedekat itu. Wajahnya kalem dan tenang. Alisnya tebal dengan bulu mata yang melengkung indah di kedua mata. Bibir semerah buah delima dengan kulit berwarna kulit langsat."Ternyata jika dipandang dekat dan saat tidak sedang berekpresi, muka Pak Nicho lebih bersinar. Apa yang membuatnya memiliki beban sebesar ini?""Pak Nicho!" Ia memanggil dan mengguncangkan tubuh Nicho dengan pelan. Namun, Nicho tak ada pergerakan sama sekali."Maaf pak. Saya izin sentuh kening Bapak ya! Astaga, panas sekali. Ini sih demam. Sebentar pak! Saya panggil satpam untuk bantu ya!" pekiknya.Saat Ananta sudah akan berdiri, Nicho menarik pergelangan tangannya. "Jangan tinggalkan aku! Jangan! Saya mohon, Gracia."Ananta kembali b