Nicho dan Stanley masih berada di dalam restoran."Saya pergi dulu!" Nicho beranjak pergi. Stanley tak menggubris. Namun, ia berniat untuk menyusul Nicho. Dengan begitu dia masih bisa bertemu dengan Ananta.Cepat-cepat ia keluar, mencari ojek atau pun taksi. Ada sebuah taksi yang berhenti tak jauh dari sana."Pak, kita ikutin mobil di depan sana,""Baik, pak!""Kenapa lama banget sih di dalam? Pacaran sama Ana?" Gracia menggerutu kesal saat Nicho masuk ke dalam mobil."Tidak seperti yang kamu pikirkan. Memangnya kalau aku pacaran sama dia, kamu nggak cemburu?" Nicho memasang sabuk pengaman. Lalu, menstarter mobilnya."Bukan gitu, tetapi dia itu sudah punya pacar,""Saya tahu. Tadi baru saja saya ketemu pacarnya,""Lalu, dia keluar sama pacarnya dan nggak kerja? Dan kamu izinin? Nggak bisa gitu dong. Itu namanya nggak tanggung jawab dengan pekerjaan,""Lalu kamu mau juga, kalau hari ini saya bebaskan dari pekerjaan?" Nicho melihat ke arahn
Hujan semakin ganas menghujam bumi. Bahkan awan tetap saja berkumpul dengan warna kelam. Mereka enggan untuk memberikan cahaya matahari untuk melintas. Dari 10 menit yang lalu, mobil Tanu tidak maju 1 sentimeter juga."Jakarta memang begini. Apalagi ini jam sibuk," Pak Tanu melihat gerak-gerik Ananta yang tidak tenang. Ananta melihat gawai, beralih melihat ke luar kaca mobil di samping, depan, maupun belakang. Kadang kakinya bergoyang kecil."Kamu-"Drrt.Seseorang menghubungi Tanu, membuyarkan kalimat pertama yang ingin ditanyakannya kepada Ananta. Ananta menoleh sesaat ke arah Tanu, tetapi kemudian kembali memperhatikan gawainya."Halo ... kamu gimana sih? ... jika dia nggak mau ubah akhir kisah dari skenarionya itu, perjanjian batal ... kontrak apa? Jelas-jelas dia yang nggak baca ... oke deh, kalau dia tetap kekeuh nggak mau ubah, kita cari penulis lain,"Sepanjang pembicaraan Tanu di telepon, Ananta mendengar dengan seksama. Kesimpulan yang didapat, sepertinya Tanu ini orang yang
Ananta terasa kaku saat ia di dalam dekapan Tanu. Di pikirannya saat ini hanya sedang mengatakan, jangan sentuh apapun dan jangan bergerak. Berulang kali ia mengatakan pada dirinya sendiri."Maaf, Pak Tanu. Saya masuk tanpa mengetuk pintu," Pria yang membuka pintu ruangan Tanu itu meminta maaf. Bahkan sekarang ia tak berani untuk menatap atasannya itu. Ia adalah asisten pribadi Tanu.Tanu cepat-cepat membantu Ananta untuk berdiri stabil. Dengan jarak sedekat ini, ia dapat mencium aroma rambut Ananta yang wangi. Walaupun, juga bercampur dengan bau air hujan."Maaf, Tanu. Aku tidak sengaja," mohon Ananta. Ia berjalan beberapa langkah ke belakang."Kamu! Cepat jelaskan ada masalah apa?" Tanu menurunkan lengannya yang sedari tadi memegang kemeja barunya. "Dan kamu, cepat pakai ini. Jangan cerewet. Ada toilet di sebelah sana," lanjutnya pada Ananta. Ia melempar kemeja itu ke arah Ananta yang hanya berjarak sekitar 30 sentimeter darinya.Tentu saja Ananta bisa men
"Yes, akhirnya aku jalan-jalan juga di Jakarta!" seru Gracia hampir berteriak. Beberapa mata pengunjung mall melirik ke arah Gracia."Kayak nggak pernah ke Jakarta aja," Nicho yang sadar langsung berlari kecil di samping Gracia. Jangan sampai ia akan berteriak lagi."Bukannya nggak pernah. Tapi kalau pun ke Jakarta, pasti nggak kemana-mana. Namanya juga menemani seorang Kepala Keluarga yang bekerja,""Nggak sempat ke mall juga?""Paling cuman makan doang. Mana ada sempat untuk kulineran, belanja, main-main,""Emang sekarang kita kulineran, belanja, atau main-main yang seperti kamu harapkan?""Memangnya bukan?""Saya ada tujuan kesini. Temani saya ketemu seseorang dulu,""Tuh kan. Beneran ini? Lagi? Nggak sama Papa, nggak sama Mama, sama kamu juga? Ngeselin deh,""Nanti kamu juga tahu. Ayo," Nicho berjalan mendahului Gracia. Gracia mengikutinya dengan gerakan super malas. Bahkan mengangkat kaki aja susah baginya."Tante?""Ternyata Nicho beneran bawa kamu kesini,""I-iya, Tante!""Ini,
"Hebat juga kamu ternyata," Tanu masuk ke ruang pertemuan saat Sang Penulis telah pergi."Memang semua pekerjaan jangan main hati, tetapi sesekali pendekatan dengan hati juga bagus,""Kamu pasti disukai sama orang kantor ya,""Boro-boro, pak. Dibenci iya,""Masa sih?""Sudah. Aku nggak mau bahas itu lagi. Sebaiknya sekarang aku pulang," Ananta bangkit berdiri. Sambil menurunkan kemeja yang naik saat ia duduk. Menampakkan paha atasnya."Kamu yakin mau pulang dengan pakaian seperti itu?""Yah. Tenang saja aku akan segera mengembalikannya saat pulang nanti," Ia mengambil gawainya dari meja. "Aku minta nomormu dulu,""Oh, jadi ini trik yang kamu pakai untuk mendapatkan nomor pria ganteng?""Pak, Bapak jangan terlalu percaya diri deh. Aku juga sudah punya pacar. Aku minta nomor Bapak supaya aku bisa kembalikan kemeja ini,"Udah punya pacar toh. Malas banget jadinya."Tidak perlu. Kemejanya kamu buang aja. Saya sibuk," Tanu keluar dari ruangan, berjalan cepat ke ruangannya."Lo bisa simpan
"Kenapa sih matamu? Lihat aku segitunya banget!" Ananta protes. Ia hampir akan terjatuh ke belakang saat Tanu tiba-tiba ada di belakangnya. Blam. Pintu mobil ojek daring ditutup dengan keras olehnya."Kau tidak terhipnotis karena ketampananku?"Ananta mengangkat salah satu alisnya. Balas menatapnya."Kau ikut aku. Aku yang akan antar kau pulang," Tanu menarik lengan kiri Ananta. Saat ia teringat sesuatu, ia berhenti. Lalu menurunkan kepalanya, berbicara dengan supir ojek daring. "Pak, nanti Bapak sampai ke tujuan aja. Pesanan ini tidak dibatalkan. Tetapi maaf saya mengambil alih, karena wanita ini berharga bagi saya. Saya harap Bapak mengerti,""Baik, pak!" Si supir menjawab cepat. Dengan cepat juga ia membanti setir ke arah kanan, keluar dari antrian. Lalu, keluar dari lapangan kantor."Pak, Bapak kenapa sih? Lalu kenapa tiba-tiba berbicara informal?" Lagi-lagi Ananta protes. Ia kesal sekali. Pulang ke hotel saja kenapa bisa seribet ini?"Memangnya hanya kau yang boleh bicara informa
Kepulan asap dari alat pemanggang terlihat membumbung ke udara. Sebagian asap itu membelai rambut Ananta. Orang-orang nampak ramai disini.Suara-suara orang bicara pun terdengar saling menimpa satu sama lain sehingga menimbulkan suara yang tumpang tindih. Agak memusingkan memang. Apalagi sekarang beberapa orang sudah mulai menyenggol lengannya.Mereka sedang berada di daerah pecinan. Daerah permukiman masyarakat etnis Tionghoa. Ornamen berwarna mayoritas merah dan kuning juga nampak dimana-mana. Sepanjang jalan dibuka pertokoan dan restoran."Hei, kenapa kau termenung disana? Kau mau dipanggang kayak sate itu juga?" Tanu menghentikan langkahnya saat mendapati Ananta telah berada lima langkah jauh di belakangnya.Ananta tak mendengar pertanyaan Tanu. Sekali lagi ia melihat ke sekitar dan ke arah atas. Beberapa lampion berwarna merah terang terpajang di atas. Lampion itu disambung dengan sebuah tali berwarna merah yang dihubungkan dari satu gedung ke gedung lainny
"Dia dimana?" Ananta langsung menembak dengan perkataannya saat Tanu masuk ke dalam restoran."Haiya, Tanu. Udah lama kau tak main kesini? Datang-datang malah udah ada cewek aja kau. Sukses sekali kau." Seorang ibu paruh baya datang mendekat saat Nicho hampir saja sudah akan duduk di kursi depan Ananta."Bukan gi-""Bentar. Bentar," Ibu itu berjalan cepat kembali ke dapur."Kamu terkenal sekali, pak!" Ananta menenggak air minum dengan sekali teguk. Memang gelasnya kecil sekali."Dulu sebelum aku sukses seperti sekarang, aku sering dikasih makan gratis sama pemilik restoran ini. Jadinya, sebagai balas budi, aku kerja disini. Asal kau tahu aja, semenjak aku kerja disini, restoran ini semakin terkenal. Yah, padahal dulunya hanya seperti restoran pilihan terakhir orang-orang jika restoran di depan telah penuh. Padahal makanannya enak sekali,""Hei, aku tidak perlu mendengar masa lalu Pak Tanu. Pertanyaan pertamaku saja belum dijawab,""Dia udah aku suruh
"Saya mencintai Ananta. Tetapi, saya juga ada etikanya Stanley. Saya tidak akan merebut pacar orang." Nicho melepaskan genggaman eratnya. Menatap Ananta lamat-lamat."Namun, saya bisa pastikan, saya yang akan jadi orang pertama yang akan merebutnya jika kamu menyiakan-nyiakannya,"Nicho berbicara dengan lantang.Dari jauh, Violla mengintip. Ia tak mungkin akan melewatkan kejadian seru ini. Walaupun kehadirannya memang tidak berarti jika dia ada disana.Tentu saja Nicho akan mengusirnya."Apakah aku memang sudah tidak bisa kembali dengan Nicho?"Drrt. Gawainya bergetar."Hallo, baby! Kamu jadi datang ke pestaku?" Seorang pria meneleponnya."Iya. Aku datang." Violla dengan cepat menjawab. "Aku akan mencoba untuk mencintai pria lain. Selamat tinggal Nicho!""Ana, kamu tidak marah sama atasanmu ini? Lancang sekali dia ngomong begitu." cerca Stanley. Ia mendengus. Kakinya menendang sebuah kursi plastik sampa
Malam ini angin tak berhembus sama sekali. Walaupun Nicho, Stanley, Ananta, dan Gracia berada di tempat terbuka.Ananta masih menahan marah atas tuduhan Stanley yang tidak jelas. Yah, memang dia juga merasa bersalah. Ia mulai ragu dengan dirinya sendiri. Apakah memang harus putus?Stanley tak terima jika ia yang harus terus mengalah. Apalagi ia butuh dukungan emosi karena masih merintis usahanya. Usaha kedai kopi impiannya. Ia ingin segera mendapatkan uang yang banyak supaya bisa menghalalkan Ananta. Tapi, kenapa semakin hari hubungannya dengan Ananta semakin memburuk?Gracia gemas dengan dirinya sendiri. Kenapa tak seorang pun yang mengerti keadaannya. Semua terasa menjauh dan selalu saja membela Ananta. Padahal bukannya dia korban atas kejahatan Ananta?Nicho tak habis pikir, kenapa masalah simpel yang muncul ini bisa seruwet ini. Dari Gracia dan Ananta yang salah paham. Stanley yang protektif dengan Ananta.Padahal semua itu terjadi hanya karena kurang komunikasi. That's it."Nicho
Kantor sudah sepi. Ananta melirik jam tangan yang dikenakannya. Pukul 20.31.Sepanjang jalan ia hanya menemui rumput hijau taman kantor dan lampu kantor di sisi taman."Sepertinya aku tunggu di pos satpam saja." gumamnya.Ia merapatkan jaket yang ia kenakan. Menuju pos satpam yang hanya memerlukan sekitar sepuluh langkah.Sesampainya ia disana, ia tak menemukan seorang pun."Televisi masih nyala. Lampu di pos juga masih nyala. Kemana Bapak satpamnya? Apa mungkin pratoli?"Ananta adalah tipe orang yang positif. Bahkan dalam hal ini saja ia tidak berpikir negatif mengenai keberadaan satpam ada dimana.Ia tak ambil pusing. Menarik salah satu kursi bakso disana dan duduk."Apa Pak Nicho masih lama?" gumamnya."Ananta!" panggil seseorang dari belakang."Stanley? Kenapa kamu selalu muncul tiba-tiba?" Ia menoleh ke belakang. "Dan kamu mengagetkanku,""Yah, tentu saja bisa. Karena pesanku dari tadi saja belum dibaca. Kalau kamu nggak di hotel, yah pasti di kantor," lanjutnya sambil mengambil
Nicho kembali ke meja kerjanya. Setelah minum segelas air gula, ia merasa kondisinya mulai pulih kembali.Dengan langkah yang masih terasa berat dan kepalanya masih terasa sakit, ia bergerak. Berjalan beberapa sentimeter dan duduk dengan mantap di kursi kerjanya.Matanya langsung menangkap benda kecil berwarna merah yang diletakkan di atas laptopnya. Sebuah flashdisk."Ini bukannya flashdisk yang kupinjamkan kepada Ana? Apakah pekerjaannya sudah selesai?"Nicho membuka laptopnya dan memeriksa data yang berada di dalam flashdisk.Ia membaca dengan seksama setiap kata. Setiap kalimat. Setiap paragraf. Matanya berbinar.Ia menegakkan badannya."Ini baru naskah yang ingin kubaca. Tidak salah jika Ananta bisa dijadikan calon kepala divisi penulis. Tetapi sepertinya aku harus mempertimbangkannya lagi. Hubungan dia dan Gracia telah usai. Hal ini pasti akan menjadi hambatan dalam kinerja kerja. Apalagi gosip tidak sedap yang ter
"Aku tanya dan kalian malah bengong disini. Nicho yang kalian maksud itu Nicholas Alexus bukan?" Violla bertanya memastikan. Kini ia menggebu-gebu. Ia harus segera tahu jawabannya.Kali ini siapa lagi yang bisa ambil hati selain Gracia. Tetapi itu nggak mungkin. Jika iya, apakah wanita itu lebih baik daripada Violla?"Kamu seharusnya jawab dulu pertanyaanku," Stanley nggak mau kalah. Jika ia harus menjawab, setidaknya lawan bicaranya dulu yang harus menjawab. Itu yang namanya baru adil."Aku rasa, pertanyaanmu tidak penting. Aku itu punya kaki dan punya uang. Aku bisa kemana aja yang aku mau. Bahkan kalian bisa disini saja, aku tidak perlu harus bertanya panjang lebar, kenapa kalian ada di Jakarta,""Kamu membuntutiku ya? Dan kenapa kamu bisa kenal sama Nicho?" Stanley bertanya lagi. Otaknya kini haus akan jawaban."Jangan menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan yang tidak penting," geramnya.Ia menggeser pandangannya ke arah Gra
"Ini soal apaan sih? Matematika kok malah buat kepala jadi mumet. Nah gini nih, catatan diajarin gimana. Tugasnya kayak gimana. Ini sih Nicho harus kesini. Nggak mau tahu. Masa dia bisa tidur nyenyak dan aku begadang kayak gini,"Eric beranjak duduk ke tempat tidurnya. Duduk disana dan menyentuh layar gawainya. Mencari kontak Nicho."Apaan?" Nicho menjawab dari seberang."Eh, orang kalau angkat telepon itu bilang hallo. Bukan apaan?""Itu untuk orang lain bukan untukmu. Karena kalau kau telepon malam-malam pasti ada maunya,""Tahu aja,""Iya, adanya tahu aja, tempe lagi habis,""Sekarang ke rumah aku!""Nggak,""Cepat banget jawabnya. Sat set tanpa mikir. Mikir dulu kek. Yakin? Nggak mau pikir dua kali?""Kenapa harus pikir 2 kali?""Gracia belum tidur loh!"Nicho tersontak. Yang tadi posisi tidur di atas ranjangnya. Ia bangkit duduk."Lalu, apa. Kenapa. Apa hubungann
Restoran makanan penutup sedang tidak ramai. Selain Gracia dan Stanley. Hanya ada 2 meja yang terisi.Mungkin sekarang kebanyakan orang mencari makanan berat setelah lelahnya bekerja seharian. Mencari rezeki untuk menikmati makanan enak setiap hari.Gracia menatap tajam ke arah Stanley. Tentu saja ia tak bisa menerima pria bucin di depannya ini menghina Nicho. Nicho yang adalah sahabatnya dari kecil dan sebenarnya juga cinta pertamanya.Cinta pertama yang ia sendiri kandaskan begitu saja.Masih ingat dengan kejadian bab 99?Inilah sambungannya.Setelah Eric meninggalkan Nicho dan Gracia di sekolah. Nicho tak langsung mengantar Gracia pulang. Ia mengajak Gracia untuk makan sore terlebih dahulu."Kamu ajak aku makan bakso? Aku nggak ada selera,""Hei, makan selagi kamu masih bisa makan. Kita hidupnya masih enak. Masih bisa makan apa yang kita mau,""Bukan itu maksudnya,""Atau kita makan es krim
"Ananta itu keterlaluan. Sok jodohin aku sama Nicho. Tanya-tanya ke aku, masa nggak cinta sama Nicho. Pret. Busuk itu semua," Gracia mengomel. Ia tak mau lebih lama disana. Sudah 10 menit yang lalu ia pergi dari kantor Nicho.Sekarang ia duduk di sebuah kedai kopi. Seperti biasa ia memilih kopi sebagai pendampingnya."Eh, ada Gracia disini. Aku boleh duduk disini?" Seorang pria mendekat."Stanley? Kok kamu bisa disini?" Gracia bertanya dengan bingung."Pertanyaanku dijawab dulu dong!""Nggak boleh. Duduk di kursi lain aja. Aku lagi pengen sendiri,""Tapi aku lagi mau ngobrol sama kamu. Gimana?""Kalau kamu nggak pergi. Aku yang pergi. Bye." Gracia turun dari kursi tinggi kedai. Mengambil gelas strerofoam yang masih berisikan dengan kopi panas."Hei!" panggil Stanley. Ia menyusul sampai ke luar kedai dan terus membuntuti Gracia.Gracia terus berjalan. Menyeberang di penyeberangan jalan, melewati taman ke
Ananta melihat ke kiri dan ke kanan. Sepi. Di ruangan kerja sebesar itu hanya dia seorang."Kalau aku turun ke bawah, mungkin tidak apa-apa kali ya? Tapi kalau Pak Nicho memang butuh bantuan cepat gimana? Aku cek dulu aja deh."Ia berjongkok. Ini pertama kalinya ia melihat wajah Nicho sedekat itu. Wajahnya kalem dan tenang. Alisnya tebal dengan bulu mata yang melengkung indah di kedua mata. Bibir semerah buah delima dengan kulit berwarna kulit langsat."Ternyata jika dipandang dekat dan saat tidak sedang berekpresi, muka Pak Nicho lebih bersinar. Apa yang membuatnya memiliki beban sebesar ini?""Pak Nicho!" Ia memanggil dan mengguncangkan tubuh Nicho dengan pelan. Namun, Nicho tak ada pergerakan sama sekali."Maaf pak. Saya izin sentuh kening Bapak ya! Astaga, panas sekali. Ini sih demam. Sebentar pak! Saya panggil satpam untuk bantu ya!" pekiknya.Saat Ananta sudah akan berdiri, Nicho menarik pergelangan tangannya. "Jangan tinggalkan aku! Jangan! Saya mohon, Gracia."Ananta kembali b