Kriss kembali lagi ke tempat ini. Mengunjungi tempat di mana luka bersemayam dan membuat penyesalan yang tidak akan bisa ditebusnya. Tatapannya sangat sayu, seperti musim gugur berkepanjangan yang menantikan semi yang mustahil datang. Hatinya perih, entah kapan terakhir kalinya dia bahagia. Kriss lupa. Seingatnya, saat wanita ini meninggalkannya, saat itu pula senyumnya lenyap. Hatinya hampa, harinya kosong. Dia bagaikan mayat yang masih bernapas. Beruntung dia masih memiliki sekeping kenangan dari cintanya, Maya.
Kriss menatap Lucy dengan sendu. Sudah berkali-kali dia kemari, tapi tidak ada satupun respon dari wanita itu. Dia juga sudah menanyakan tentang keluarga Lucy pada suster yang merawatnya. Beruntung, sekarang dia sudah mengantongi alamat di mana putrinya yang lain tinggal.
“Lucy, Sayang,” panggilnya dengan suara lemah.
Lidahnya terasa nyaman memangil nama wanita itu. Memang sejak dulu, lidahnya hanya terbiasa memanggil nama Lucy. Lucy dan Sa
Setelah Juan kembali ke kantor, Mulan memutuskan membersihkan diri. Hari ini dia berencana mengujungi Joe. Kebetulan siang ini pria itu berada di kampusnya. Jadi, dia bisa beralasan keluar dan bertemu dengan ibunya nanti. Mulan akan membawa sang ibu setelah ini karena tidak mungkin meninggalkan wanita itu sendiri di kota ini. Mereka akan mengukir kehidupan baru di tempat yang lebih baik. Meninggalkan semua luka yang teramat dalam di sini.“Mulan?” panggil sebuah suara yang terdengar sangat berat.Mulan yang baru turun dari tangga menatap jengah pada sosok pria di depannya. “Ada apa?”“Kamu sudah menghubungi Maya?”“Hum?”“Kamu sudah berjanji akan akan mengakhiri permaian ini,” jelas Bruce dengan tatapan datarnya. Beberapa hari belakangan, Bruce memang sanga gencar sekali meneror Mulan dengan masalah yang sama.Mulan merotasikan matanya malas. “Aku tidak pernah berjanji tuh,&rd
Mulan tak berhenti menatap gundukan tanah basah di depannya. Air matanya tak mau berhenti menetes, seperti kesedihan yang tak berkesudahan di hatinya. Kedua tangannya masih terkepal dengan tanah di dalamnya. Dia tidak ingin mempercayai apa yang berada di depannya. Dia ingin kejadian beberapa jam yang lalu hanya sebuah bunga tidur, di mana akan selesai saat dirinya bangun. Namun, sudah dua jam sejak wanita yang dicintainya menutup mata, Mulan tetap saja terjaga. Seakan mengatakan bahwa semua ini nyata. Dia tidak lagi punya siapa-siapa yang dijadikannya sandaran.“Harusnya Mom jangan pergi sendiri. Ajak aku, Mom,” lirihnya dengan pandangan memburam. Air mata tak terbendung, lagi-lagi yang Mulan lakukan hanya terisak pelan.Sudah tidak ada siapapun di sini. Memangnya siapa yang Mulan harapkan? Mereka tidak memiliki keluarga lagi, selaian bajingan Robin yang entah ke mana. Namun, Mulan sudah tidak peduli. Lelaki itu memang tidak bisa diharapkan apa-apa.
Siang ini Mulan sudah menyiapkan semua barang-barang yang akan dibawanya. Keadaan rumah yang sepi memudahkannya membereskan barang tanpa mengundang kecurigaan yang lain. Setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, Mulan segera membawa kopernya keluar.Namun di depan kamar, dia malah bertemu dengan Bruce. Pengawal menyebalkan yang selalu membuatnya kesal. Pria itu memandang kopernya dan mengangguk, seakan puas dengan apa yang sudah dilihatnya. Pengawal yang sejak seminggu lalu selalu merecokinya dan membuat Mulan kesal.“Ini kan yang kamu mau? Tenang saja. Sebentar lagi Maya akan kembali,” kata Mulan dengan nada malas. Dia mendengus saat melihat wajah kelegaan pria itu. Segitu cintanya Bruce pada Maya.“Ya.”“Cih, jika kamu menyukai Maya, harusnya kamu menunjukkannya secara langsung. Bukannya diam dan hanya bisa menjadi pemeran figuran.”“Aku sedang berusaha.”“Berusaha?” ulang Mul
Maya akhirnya benar-benar pulang. Senyum tak pernah luntur dari bibir pucatnya sejak menginjakkan kakinya ke mansion ini lagi. Maya tak langsung masuk ke dalam. Dia hanya berdiri di depan pintu utama, menghirup dalam-dalam aroma yang sangat dirindukannya. Aroma rumah, aroma ketenangan. Dadanya penuh dengan perasaan yang tidak sanggup dijabarkannya. Tanpa sadar, setitik air jatuh dan membasahi pipinya. Dadanya sesak dengan rasa yang membuncah. Perasaan ini benar-benar sangat menyenangkan dan membuatnya semakin ingin menangis saja. Setelah berapa bulan mengenal dunia luar, terjun pada banyak pergaulan dan jenis kehidupan, Maya sadar bahwa tidak ada yang lebih baik dari hidupnya saat ini. Dia seakan disadarkan dengan keras bahwa hanya rumah tempat paling aman dan ternyaman. Bahwa sikapnya yang kurang puas sebelumnya adalah boomerang kehancurannya sendiri. Menjalani hidup yang berat di luar sana, bertemu dengan orang-orang bertopeng yang memasang wajah baik padahal busuk. Bahkan
Kecelakaan Kriss merasa ada yang aneh. Dia seperti tengah diikuti sejak tadi. Sudah berkali-kali dia melirik ke belakang dan keberadaan dua mobil merah di belakangnya sangat mencurigakan. Dia membelokkan mobilnya, memastikan apakah benar mobil itu mengikutinya lagi atau tidak. … ternyata benar! Sialan, dirinya benar-benar diikuti. Kriss tidak berhenti mengumpat dalam hati. Keadaan saat ini benar-benar tidak menguntungkannya. Dia tidak membawa pengawal satu pun, apalagi situasi sekitar yang sangat sepi. Pilihan terakhir hanyalah kabur dan menyelamatkan diri. Kriss segera menginjak gasnya hingga kecepatan naik drastis. Jantungnya berdebar dengan sangat kencang. Dua mobil merah di belakang pun melakukan hal yang sama. Mereka seakan tengah saling berbalapan di jalanan panjang yang sepi. Tidak ada yang mau menurunkan kecepatan, mereka saling kejar dan berusaha menyalip mobil yang Kriss tumpangi. Kriss tidak bisa lagi menguasai diri.
Rasanya baru sebentar Maya terlelap, suara gendoran pintu lengkap dengan teriakan mengganggu tidurnya. Maya mengerang denga mata yang masih terpejam. Namun, panggilan dari luar kamarnya belum juga mereda. Maya membuka matanya dengan paksa. Dia mendengkus kesal pada si pelaku yang membuat istirahatnya terganggu. “Non ... Non!” “Iya, sebentar!” teriak Maya. Dia segera menyingkap selimut, dan menghampiri pintu dengan langkah malas. Matanya masih sayu, sesekali tertutup dengan bibir yang menguap kecil. Setelah pintu terbuka, Maya melihat salah satu pelayan berdiri di depan pintu dengan wajah panik. Maya mengernyit heran melihatnya. Kedua alisnya sampai menyatu melihat sikap sang pelayan yang tidak biasa. “Ada apa?” “Maaf, Non. Ada telpon dari Tuan Muda Julian.” Pelayan tersebut mengulurkan telponnya. Maya menerimanya, menempelkan telpon tersebut dan mendengarkan rentetan kalimat yang terdengar buru-buru dan panik. Tubuhnya menegang,
“Mulan, semua sudah beres?” Mulan yang sejak tadi hanya melamun, tersentak kaget mendengar teguran itu. Kepalanya yang sejak tadi tertunduk, mendongak dan menemukan Alex yang entah sejak kapan berdiri di depannya. Pria itu selalu berpenampilan santai dengan kaos hitam dan dipadukan jaket kulit cokelatnya. Agaknya Alex juga sudah siap pergi. “Sudah,” jawab Mulan disertai dengan senyum tipis. Mulan menarik napas dalam dan menghembuskannya secara perlahan. Berulang kali sampai sesuatu di dadanya merasa lega. Alex yang sejak tadi memang mengamati sikap wanita itu, mendesah panjang. Dia mengambil posisi duduk di samping wanita itu, menatap lekat pada Mulan yang berwajah lesu. “Pikirkan lagi keputusan kamu.” “Tidak perlu. Ini memang yang harus aku lakukan sejak lama.” “Kamu yakin tidak akan menyesal? Bagaimana dengan lelaki itu?” Mulan tersenyum miris. Wajahnya yang sendu, makin tertekuk dengan bibir yang melengkung ke bawah. “Mungkin
Tiga jam berikutnya, sosok yang ditunggu datang juga. Penampilan pria itu sangat berantakan dengan wajah kusut. Jas yang hilang entah ke mana, dengan lengan kemaja yang tergulung sampai siku. Dua kancing teratas kemejanya terbuka, hampir memperlihatkan cetakan dadanya. Meski demikian, semua sepakat penampilan Juan saat ini semakin menambah kadar ketampanannya. Bahkan Maya sampai menahan napas, merasa terpsona pada pria yang selalu merajai hatinya. Maya lantas berdiri dan berlari ke arah sang kakak. Dipeluknya pria itu dengan erat. Tangisnya pecah saat itu juga. Antara lega dan rindu melihat kedatangan pria pujaannya. Juan membalas pelukan itu dengan erat, mencium rambut sang adik dengan ciuman panjang berkali-kali. Tatapannya yang lelah, berubah ramah. Menyembunyikan kemarahan yang sejak tadi dirasakannya setelah melakukan penyelidikan singkat. “Kak, aku takut terjadi sesuatu dengan Daddy,” ujar Maya di sela tangisannya. “Semua akan baik-baik sa
Maya menatap minumannya dengan tatapan kosong. Tangannya menari di sekitar pinggiran gelas yang masih penuh. Baru seteguk, dan dia sudah merasa tidak berselera.Lagi, Maya beralih menatap sekitar, melihat hilir mudik orang-orang dengan koper besarnya. Suara mendayu resepsionis yang memberitahukan penerbangan menjadi pengisi suasana malam ini. Dirinya hanya duduk dan menikmati semua yang tertangkap matanya.Ya, Maya sudah membulatkan tekadnya untuk mengikuti Bruce ke Inggris. Selain untuk memulai hidup baru, tidak salahnya juga dia bersama pria itu. Sudah terbukti, hanya Bruce yang bisa menjaganya dan memberi rasa aman. Pria itu seakan menjamin sesuatu yang Maya cari; tempat berpulang.Keluarganya pun tidak ada yang melarang. Mereka seakan memasrahkan dirinya pada Bruce. Bahkan ayahnya berharap dirinya mau membuka hati segera. Kriss selalu menegaskan bahwa apa yang Bruce lakukan sejak dulu adalah ketulusan, bukti kesungguhan pria itu padanya. Maya hanya menjawab dengan senyuman kaku.D
Sedangkan di kamarnya, Mulan juga tak kalah sedih. Meski awalnya dia berusaha kuat, berpura-pura tidak peduli. Nyatanya dia sangat terpukul dengan kepergian Maya. Ada semacam beban di hatinya yang tidak terangkat, dan malah membuatnya terluka dari dalam. Bahkan mereka belum berbaikan. Mereka masih terlibat banyak masalah dan belum diselesaikan. Keduanya memiliki ego yang sama-sama tinggi tanpa ada satupun yang berniat mengalah."Sayang, jangan terlalu bersedih. Ingat anak kita," bujuk Juan yang mulai cemas dengan keadaan Mulan. Apalagi perempuan itu sampai terisak keras, bahunya bahkan bergetar hebat. Juan mulai khawatir berlebihan. Dia bukannya tidak ingin memahami kesedihan Mulan, tapi dia tidak ingin kesedihan wanita itu malah berakibat fatal pada calon buah hati mereka. "Aku hanya merasa bersalah pada Maya. Bagaimanapun secara tidak langsung aku yang sudah membuat hidupnya hancur. Andai dulu kami tidak pernah bertemu, mungkin Maya masih hidup bahagia. Maya tidak akan mengalami k
Saat mendengar Kriss sudah pulang, Bruce segera menemui lelaki itu di ruang kerjanya. Setibanya di sana ternyata sudah ada Juan yang tengah berbincang dengan Kriss."Ada apa?" Kriss langsung bertanya dengan sebelah alis yang dinaikkan.Bruce menatap Juan sekilas sebelum memusatkan pandangannya pada Kriss. "Saya akan membawa Maya segera," katanya mantap.Kriss dan Juan yang mendengarnya menampilkan ekspresi berbeda. Mereka menatap Bruce yang tampaknya tak masalah dengan pandangan mereka."Kenapa cepat sekali?" tanya Kriss yang masih belum rela jika Maya pergi. Padahal baru beberapa waktu mereka berkumpul, dan sekarang sudah ada yang harus pergi lagi."Ini demi kesehatan Maya juga. Dia membutuhkan tempat dan suasana baru untuk kesehatannya. Di sini dia selalu merasa tertekan dan itu tidak baik untuk kesehatan bayinya.""Tunggu! Apa yang kamu bicarak
Dengan telaten, Bruce menguapi Maya. Bubur yang awalnya ditolak mentah kini sudah habis tanpa sisa. Lelaki itu tersenyum tipis, merasa bangga karena berhasil membujuk wanita itu. Setelah selesai, beberapa pelayan masuk dan mengambil piring kotor. Sementara Bruce membantu Maya minum."Sudah?" tanyanya dengan suara yang berusaha lembut. Meski Bruce merasa geli sendiri. Dia tidak terbiasa bersikap demikian, tapi demi Maya, dia akan belajar.Maya mengangguk pelan. Dia membetulkan posisi bersandarnya yang langsung dibantu oleh Bruce. Lelaki itu sangat sigap dan teliti pada hal kecil yang Maya butuhkan."Sudah nyaman, kan?""Iya."Setelah itu kepada hening. Maya hanya diam dengan tatapan lurus ke arah tembok. Suasana yang terlalu hening membuat keduanya mendengar deru napas masing-masing. Maya tidak berani menoleh saat merasakan tatapan intens dari sampingnya. D
Dengan sekali dobrak, Bruce berhasil masuk. Dia langsung berlari ke dalam dan mencari keberadaan Maya. Ranjang dalam keadaan kosong, langkah kakinya makin terburu. Kali ini dia masuk ke dalam kamar mandi. Tanpa permisi membukanya dan menemukan Maya yang tergeletak di sana. Bruce melotot kaget.“Maya!” serunya dan segera berjongkok di dekat wanita itu. Wajah wanita itu pucat dengan penampilan yang basah kuyub. Entah berapa lama wanita itu berada dalam keadaan tersebut.Maya masih setengah sadar. Dia menatap Bruce dengan sayu dan tak bertenaga. “Bruce?” panggilnya dengn suara lirih.“Maya, kamu bisa mendengar saya?”Maya mengangguk lemah. Bruce segera membopong wanita itu keluar dari sana. Dia membawa Maya ke ranjang dan meletakkannya dengan hati-hati. Setelah itu dia mencari baju hangat untuk wanita itu dan memakaikannya tanppa malu. Beruntung Maya tidak melakukan pemberontakan. Mungkin karena tenaganya sudah sangat lema
Maya mengurung diri. Sejak pertengkarannya dengan Juan, wanita itu menolak orang yang ingin menjenguknya. Bahkan dengan sengaja mengunci pintu dan menutup semua akses masuk ke kamarnya. Makannya bahkan tidak teratur, Maya seakan tidak memikirkan kandungannya. Semua orang khawatir, tidak terkecuali Mulan dan Juan. Keduanya cemas dan merasa bersalah. “Jadi, bagaimana ini?” Mulan bergerak gelisah. Dia terus menatap ke arah kamar yang masih tertutup rapat. Juan segera merengkuh Mulan dan memeluknya dengan erat. “Jangan berdiri terus. Tidak baik pada baby kita,” tegurnya dan menggiring Mulan agar kembali duduk di sofa panjang bersama yang lain. Julian dan Joe pun hanya bisa diam tanpa tahu harus melakukan apa. Mereka sudah bergantian membujuk Maya, meminta wanita itu membuka pintu dan menyelesaikan masalah baik-baik. Namun bukannya menurut, Maya malah berteriak dan marah pada mereka. Empat orang di ruang tengah itu duduk dengan pikiran masing-masi
“Ada apa?” tanya Juan tak mau basa-basi.Kini mereka berada di ruang pribadi Joe. Ruangan yang berada di paling ujung dan tersendiri. Tempat yang biasanya digunakan hanya untuk sekadar berdiam dan menenangkan pikiran. Tidak banyak yang menginjakkan kaki di sini, karena sejak awal pun, Joe sudah memberi larangan keras.“Setelah kamu tahu semuanya, apa yang akan kamu lakukan?” tanya Joe dengan tatapan lurus pada sang kakak. Dia mengamati bagaimana setiap eskpresi lelaki itu yang tampak bingung dan frutasi sendiri. Kurang lebihnya, dia tahu apa yang dirasakan lelaki di depannya ini.Juan menarik napas panjangnya sebelum menjawab. “Yang jelas aku harus bertanggung jawab pada Mulan. Karena bayi dalam kandungannya adalah milikku,” jawabnya tegas.“Lalu Maya?”Kali ini Juan membalas tatapan Joe dengan lebih rumit. Tentang Maya, jelas dia belum berpikir lebih.“Kamu tahu kan dia juga sedang menga
Kali ini Juan bangun lebih dulu. Dia merasakan sebuah beban di dadanya. Sata dia menoleh, seulas senyum terbit di pagi ini melihat siapa yang tengah memeluknya dengan erat, tak lupa kepala yang bersandar di dadanya.Jika kemarin dia sempat kecolongan, saat ini dia sengaja terbangun lebih dulu. Sekadar memastikan bahwa wanita itu tidak pergi seperti sebelumnya. Masih di sisinya, masih berada dalam pelukannya. Juan tidak akan membiarkannya lepas meski hanya sedetik pun. Mengingat dari pengalaman, wanita-wanita di sekitarnya terlalu cerdik membuat bualan yang membuatnya bingung sendiri.Saat ini Juan sudah tidak lagi bimbang. Dia sudah mendapatkan jawaban dari rasa penasarannya kemarin. Tentang perasaannya yang dipermainkan sedemikian rupa. Semalam adalah buktinya. Rasa wanita itu tidak pernah berubah. Masih sama, nikmat dan panas secara bersamaan.Juan merubah posisinya menjadi serong, agar makin leluasa menatap Mulan yang masih tertidur. Dia menyingkap anak rambu
Mulan yang ingin masuk ke dalam kamar, terpaksa menghentikan langkahnya. Dia menatap Juan yang tiba-tiba berdiri di samping pintu tanpa disadarinya. Entah sejak kapan pria itu di sana. Mungkin Mulan terlalu asyik melamun sampai tak menyadari hal tersebut. “Bisa bicara?” Mendengar pertanyaan pria itu, Mulan mengangguk. Kembali melanjutkan langkah dan membuka pintu kamar. “Di dalam saja,” katanya, sekaligus mempersilahkan Juan masuk. Juan mengikuti Mulan ke dalam. Duduk di single sofa panjang yang membawa mereka dalam kebisuan. Belum ada yang angkat bicara. Juan masih mengamati seluruh ruangan, menghapal setiap sisi kamar wanita itu dalam kepalanya. Sedangkan Mulan memilih diam dan menunggu apa yang akan pria itu katakan. Jujur saja dia masih sedikit canggung berdua dengan Juan. Sisi jalangnya selalu meronta, apalagi dengan hormon sialan ini. Rasanya Mulan ingin mengulang kejadian terakhir mereka. Saling menyentuh, saling memuaskan. Buru-buru Mulan meng