Kali ini Juan bangun lebih dulu. Dia merasakan sebuah beban di dadanya. Sata dia menoleh, seulas senyum terbit di pagi ini melihat siapa yang tengah memeluknya dengan erat, tak lupa kepala yang bersandar di dadanya.
Jika kemarin dia sempat kecolongan, saat ini dia sengaja terbangun lebih dulu. Sekadar memastikan bahwa wanita itu tidak pergi seperti sebelumnya. Masih di sisinya, masih berada dalam pelukannya. Juan tidak akan membiarkannya lepas meski hanya sedetik pun. Mengingat dari pengalaman, wanita-wanita di sekitarnya terlalu cerdik membuat bualan yang membuatnya bingung sendiri.
Saat ini Juan sudah tidak lagi bimbang. Dia sudah mendapatkan jawaban dari rasa penasarannya kemarin. Tentang perasaannya yang dipermainkan sedemikian rupa. Semalam adalah buktinya. Rasa wanita itu tidak pernah berubah. Masih sama, nikmat dan panas secara bersamaan.
Juan merubah posisinya menjadi serong, agar makin leluasa menatap Mulan yang masih tertidur. Dia menyingkap anak rambu
“Ada apa?” tanya Juan tak mau basa-basi.Kini mereka berada di ruang pribadi Joe. Ruangan yang berada di paling ujung dan tersendiri. Tempat yang biasanya digunakan hanya untuk sekadar berdiam dan menenangkan pikiran. Tidak banyak yang menginjakkan kaki di sini, karena sejak awal pun, Joe sudah memberi larangan keras.“Setelah kamu tahu semuanya, apa yang akan kamu lakukan?” tanya Joe dengan tatapan lurus pada sang kakak. Dia mengamati bagaimana setiap eskpresi lelaki itu yang tampak bingung dan frutasi sendiri. Kurang lebihnya, dia tahu apa yang dirasakan lelaki di depannya ini.Juan menarik napas panjangnya sebelum menjawab. “Yang jelas aku harus bertanggung jawab pada Mulan. Karena bayi dalam kandungannya adalah milikku,” jawabnya tegas.“Lalu Maya?”Kali ini Juan membalas tatapan Joe dengan lebih rumit. Tentang Maya, jelas dia belum berpikir lebih.“Kamu tahu kan dia juga sedang menga
Maya mengurung diri. Sejak pertengkarannya dengan Juan, wanita itu menolak orang yang ingin menjenguknya. Bahkan dengan sengaja mengunci pintu dan menutup semua akses masuk ke kamarnya. Makannya bahkan tidak teratur, Maya seakan tidak memikirkan kandungannya. Semua orang khawatir, tidak terkecuali Mulan dan Juan. Keduanya cemas dan merasa bersalah. “Jadi, bagaimana ini?” Mulan bergerak gelisah. Dia terus menatap ke arah kamar yang masih tertutup rapat. Juan segera merengkuh Mulan dan memeluknya dengan erat. “Jangan berdiri terus. Tidak baik pada baby kita,” tegurnya dan menggiring Mulan agar kembali duduk di sofa panjang bersama yang lain. Julian dan Joe pun hanya bisa diam tanpa tahu harus melakukan apa. Mereka sudah bergantian membujuk Maya, meminta wanita itu membuka pintu dan menyelesaikan masalah baik-baik. Namun bukannya menurut, Maya malah berteriak dan marah pada mereka. Empat orang di ruang tengah itu duduk dengan pikiran masing-masi
Dengan sekali dobrak, Bruce berhasil masuk. Dia langsung berlari ke dalam dan mencari keberadaan Maya. Ranjang dalam keadaan kosong, langkah kakinya makin terburu. Kali ini dia masuk ke dalam kamar mandi. Tanpa permisi membukanya dan menemukan Maya yang tergeletak di sana. Bruce melotot kaget.“Maya!” serunya dan segera berjongkok di dekat wanita itu. Wajah wanita itu pucat dengan penampilan yang basah kuyub. Entah berapa lama wanita itu berada dalam keadaan tersebut.Maya masih setengah sadar. Dia menatap Bruce dengan sayu dan tak bertenaga. “Bruce?” panggilnya dengn suara lirih.“Maya, kamu bisa mendengar saya?”Maya mengangguk lemah. Bruce segera membopong wanita itu keluar dari sana. Dia membawa Maya ke ranjang dan meletakkannya dengan hati-hati. Setelah itu dia mencari baju hangat untuk wanita itu dan memakaikannya tanppa malu. Beruntung Maya tidak melakukan pemberontakan. Mungkin karena tenaganya sudah sangat lema
Dengan telaten, Bruce menguapi Maya. Bubur yang awalnya ditolak mentah kini sudah habis tanpa sisa. Lelaki itu tersenyum tipis, merasa bangga karena berhasil membujuk wanita itu. Setelah selesai, beberapa pelayan masuk dan mengambil piring kotor. Sementara Bruce membantu Maya minum."Sudah?" tanyanya dengan suara yang berusaha lembut. Meski Bruce merasa geli sendiri. Dia tidak terbiasa bersikap demikian, tapi demi Maya, dia akan belajar.Maya mengangguk pelan. Dia membetulkan posisi bersandarnya yang langsung dibantu oleh Bruce. Lelaki itu sangat sigap dan teliti pada hal kecil yang Maya butuhkan."Sudah nyaman, kan?""Iya."Setelah itu kepada hening. Maya hanya diam dengan tatapan lurus ke arah tembok. Suasana yang terlalu hening membuat keduanya mendengar deru napas masing-masing. Maya tidak berani menoleh saat merasakan tatapan intens dari sampingnya. D
Saat mendengar Kriss sudah pulang, Bruce segera menemui lelaki itu di ruang kerjanya. Setibanya di sana ternyata sudah ada Juan yang tengah berbincang dengan Kriss."Ada apa?" Kriss langsung bertanya dengan sebelah alis yang dinaikkan.Bruce menatap Juan sekilas sebelum memusatkan pandangannya pada Kriss. "Saya akan membawa Maya segera," katanya mantap.Kriss dan Juan yang mendengarnya menampilkan ekspresi berbeda. Mereka menatap Bruce yang tampaknya tak masalah dengan pandangan mereka."Kenapa cepat sekali?" tanya Kriss yang masih belum rela jika Maya pergi. Padahal baru beberapa waktu mereka berkumpul, dan sekarang sudah ada yang harus pergi lagi."Ini demi kesehatan Maya juga. Dia membutuhkan tempat dan suasana baru untuk kesehatannya. Di sini dia selalu merasa tertekan dan itu tidak baik untuk kesehatan bayinya.""Tunggu! Apa yang kamu bicarak
Sedangkan di kamarnya, Mulan juga tak kalah sedih. Meski awalnya dia berusaha kuat, berpura-pura tidak peduli. Nyatanya dia sangat terpukul dengan kepergian Maya. Ada semacam beban di hatinya yang tidak terangkat, dan malah membuatnya terluka dari dalam. Bahkan mereka belum berbaikan. Mereka masih terlibat banyak masalah dan belum diselesaikan. Keduanya memiliki ego yang sama-sama tinggi tanpa ada satupun yang berniat mengalah."Sayang, jangan terlalu bersedih. Ingat anak kita," bujuk Juan yang mulai cemas dengan keadaan Mulan. Apalagi perempuan itu sampai terisak keras, bahunya bahkan bergetar hebat. Juan mulai khawatir berlebihan. Dia bukannya tidak ingin memahami kesedihan Mulan, tapi dia tidak ingin kesedihan wanita itu malah berakibat fatal pada calon buah hati mereka. "Aku hanya merasa bersalah pada Maya. Bagaimanapun secara tidak langsung aku yang sudah membuat hidupnya hancur. Andai dulu kami tidak pernah bertemu, mungkin Maya masih hidup bahagia. Maya tidak akan mengalami k
Maya menatap minumannya dengan tatapan kosong. Tangannya menari di sekitar pinggiran gelas yang masih penuh. Baru seteguk, dan dia sudah merasa tidak berselera.Lagi, Maya beralih menatap sekitar, melihat hilir mudik orang-orang dengan koper besarnya. Suara mendayu resepsionis yang memberitahukan penerbangan menjadi pengisi suasana malam ini. Dirinya hanya duduk dan menikmati semua yang tertangkap matanya.Ya, Maya sudah membulatkan tekadnya untuk mengikuti Bruce ke Inggris. Selain untuk memulai hidup baru, tidak salahnya juga dia bersama pria itu. Sudah terbukti, hanya Bruce yang bisa menjaganya dan memberi rasa aman. Pria itu seakan menjamin sesuatu yang Maya cari; tempat berpulang.Keluarganya pun tidak ada yang melarang. Mereka seakan memasrahkan dirinya pada Bruce. Bahkan ayahnya berharap dirinya mau membuka hati segera. Kriss selalu menegaskan bahwa apa yang Bruce lakukan sejak dulu adalah ketulusan, bukti kesungguhan pria itu padanya. Maya hanya menjawab dengan senyuman kaku.D
Mulan memaki dalam hati. Sejak dua jam yang lalu, tak hentinya dia mendumel dengan suara kecil. Kakinya terasa lecet dan perih. Tidak perlu dilihat pun, sudah pasti kulitnya memerah karena terkelupas. “Ini gara-gara high heels sialan!” umpatnya, memandang penuh dendam pada benda yang membungkus kakinya dan sangat menyiksa. “Sayang, kamu mengumpat?” tanya Joe, anak ketiga dari keluarga Walter yang ternama, seorang pemuda yang sementara harus Mulan sapa dengan panggilan “Kakak”. Mulan menggaruk pipi kanannya pelan, memasang senyum bodoh untuk menutupi kegugupannya. “Nggak kok. Kakak salah dengar saja.” Alis Joe bertaut, menatap gadis di hadapannya—orang yang dia kira adalah adiknya—dengan aneh. “Serius?” “Iya.” Kepalanya mengangguk kuat. Joe tersenyum dengan wajah lega. Cepat sekali percaya pada jawaban yang didengarnya. Dia mengusap pelan rambut Mulan, hal yang sering dilakukannya pada sang adik. “Baiklah. Mungkin Kakak memang
Maya menatap minumannya dengan tatapan kosong. Tangannya menari di sekitar pinggiran gelas yang masih penuh. Baru seteguk, dan dia sudah merasa tidak berselera.Lagi, Maya beralih menatap sekitar, melihat hilir mudik orang-orang dengan koper besarnya. Suara mendayu resepsionis yang memberitahukan penerbangan menjadi pengisi suasana malam ini. Dirinya hanya duduk dan menikmati semua yang tertangkap matanya.Ya, Maya sudah membulatkan tekadnya untuk mengikuti Bruce ke Inggris. Selain untuk memulai hidup baru, tidak salahnya juga dia bersama pria itu. Sudah terbukti, hanya Bruce yang bisa menjaganya dan memberi rasa aman. Pria itu seakan menjamin sesuatu yang Maya cari; tempat berpulang.Keluarganya pun tidak ada yang melarang. Mereka seakan memasrahkan dirinya pada Bruce. Bahkan ayahnya berharap dirinya mau membuka hati segera. Kriss selalu menegaskan bahwa apa yang Bruce lakukan sejak dulu adalah ketulusan, bukti kesungguhan pria itu padanya. Maya hanya menjawab dengan senyuman kaku.D
Sedangkan di kamarnya, Mulan juga tak kalah sedih. Meski awalnya dia berusaha kuat, berpura-pura tidak peduli. Nyatanya dia sangat terpukul dengan kepergian Maya. Ada semacam beban di hatinya yang tidak terangkat, dan malah membuatnya terluka dari dalam. Bahkan mereka belum berbaikan. Mereka masih terlibat banyak masalah dan belum diselesaikan. Keduanya memiliki ego yang sama-sama tinggi tanpa ada satupun yang berniat mengalah."Sayang, jangan terlalu bersedih. Ingat anak kita," bujuk Juan yang mulai cemas dengan keadaan Mulan. Apalagi perempuan itu sampai terisak keras, bahunya bahkan bergetar hebat. Juan mulai khawatir berlebihan. Dia bukannya tidak ingin memahami kesedihan Mulan, tapi dia tidak ingin kesedihan wanita itu malah berakibat fatal pada calon buah hati mereka. "Aku hanya merasa bersalah pada Maya. Bagaimanapun secara tidak langsung aku yang sudah membuat hidupnya hancur. Andai dulu kami tidak pernah bertemu, mungkin Maya masih hidup bahagia. Maya tidak akan mengalami k
Saat mendengar Kriss sudah pulang, Bruce segera menemui lelaki itu di ruang kerjanya. Setibanya di sana ternyata sudah ada Juan yang tengah berbincang dengan Kriss."Ada apa?" Kriss langsung bertanya dengan sebelah alis yang dinaikkan.Bruce menatap Juan sekilas sebelum memusatkan pandangannya pada Kriss. "Saya akan membawa Maya segera," katanya mantap.Kriss dan Juan yang mendengarnya menampilkan ekspresi berbeda. Mereka menatap Bruce yang tampaknya tak masalah dengan pandangan mereka."Kenapa cepat sekali?" tanya Kriss yang masih belum rela jika Maya pergi. Padahal baru beberapa waktu mereka berkumpul, dan sekarang sudah ada yang harus pergi lagi."Ini demi kesehatan Maya juga. Dia membutuhkan tempat dan suasana baru untuk kesehatannya. Di sini dia selalu merasa tertekan dan itu tidak baik untuk kesehatan bayinya.""Tunggu! Apa yang kamu bicarak
Dengan telaten, Bruce menguapi Maya. Bubur yang awalnya ditolak mentah kini sudah habis tanpa sisa. Lelaki itu tersenyum tipis, merasa bangga karena berhasil membujuk wanita itu. Setelah selesai, beberapa pelayan masuk dan mengambil piring kotor. Sementara Bruce membantu Maya minum."Sudah?" tanyanya dengan suara yang berusaha lembut. Meski Bruce merasa geli sendiri. Dia tidak terbiasa bersikap demikian, tapi demi Maya, dia akan belajar.Maya mengangguk pelan. Dia membetulkan posisi bersandarnya yang langsung dibantu oleh Bruce. Lelaki itu sangat sigap dan teliti pada hal kecil yang Maya butuhkan."Sudah nyaman, kan?""Iya."Setelah itu kepada hening. Maya hanya diam dengan tatapan lurus ke arah tembok. Suasana yang terlalu hening membuat keduanya mendengar deru napas masing-masing. Maya tidak berani menoleh saat merasakan tatapan intens dari sampingnya. D
Dengan sekali dobrak, Bruce berhasil masuk. Dia langsung berlari ke dalam dan mencari keberadaan Maya. Ranjang dalam keadaan kosong, langkah kakinya makin terburu. Kali ini dia masuk ke dalam kamar mandi. Tanpa permisi membukanya dan menemukan Maya yang tergeletak di sana. Bruce melotot kaget.“Maya!” serunya dan segera berjongkok di dekat wanita itu. Wajah wanita itu pucat dengan penampilan yang basah kuyub. Entah berapa lama wanita itu berada dalam keadaan tersebut.Maya masih setengah sadar. Dia menatap Bruce dengan sayu dan tak bertenaga. “Bruce?” panggilnya dengn suara lirih.“Maya, kamu bisa mendengar saya?”Maya mengangguk lemah. Bruce segera membopong wanita itu keluar dari sana. Dia membawa Maya ke ranjang dan meletakkannya dengan hati-hati. Setelah itu dia mencari baju hangat untuk wanita itu dan memakaikannya tanppa malu. Beruntung Maya tidak melakukan pemberontakan. Mungkin karena tenaganya sudah sangat lema
Maya mengurung diri. Sejak pertengkarannya dengan Juan, wanita itu menolak orang yang ingin menjenguknya. Bahkan dengan sengaja mengunci pintu dan menutup semua akses masuk ke kamarnya. Makannya bahkan tidak teratur, Maya seakan tidak memikirkan kandungannya. Semua orang khawatir, tidak terkecuali Mulan dan Juan. Keduanya cemas dan merasa bersalah. “Jadi, bagaimana ini?” Mulan bergerak gelisah. Dia terus menatap ke arah kamar yang masih tertutup rapat. Juan segera merengkuh Mulan dan memeluknya dengan erat. “Jangan berdiri terus. Tidak baik pada baby kita,” tegurnya dan menggiring Mulan agar kembali duduk di sofa panjang bersama yang lain. Julian dan Joe pun hanya bisa diam tanpa tahu harus melakukan apa. Mereka sudah bergantian membujuk Maya, meminta wanita itu membuka pintu dan menyelesaikan masalah baik-baik. Namun bukannya menurut, Maya malah berteriak dan marah pada mereka. Empat orang di ruang tengah itu duduk dengan pikiran masing-masi
“Ada apa?” tanya Juan tak mau basa-basi.Kini mereka berada di ruang pribadi Joe. Ruangan yang berada di paling ujung dan tersendiri. Tempat yang biasanya digunakan hanya untuk sekadar berdiam dan menenangkan pikiran. Tidak banyak yang menginjakkan kaki di sini, karena sejak awal pun, Joe sudah memberi larangan keras.“Setelah kamu tahu semuanya, apa yang akan kamu lakukan?” tanya Joe dengan tatapan lurus pada sang kakak. Dia mengamati bagaimana setiap eskpresi lelaki itu yang tampak bingung dan frutasi sendiri. Kurang lebihnya, dia tahu apa yang dirasakan lelaki di depannya ini.Juan menarik napas panjangnya sebelum menjawab. “Yang jelas aku harus bertanggung jawab pada Mulan. Karena bayi dalam kandungannya adalah milikku,” jawabnya tegas.“Lalu Maya?”Kali ini Juan membalas tatapan Joe dengan lebih rumit. Tentang Maya, jelas dia belum berpikir lebih.“Kamu tahu kan dia juga sedang menga
Kali ini Juan bangun lebih dulu. Dia merasakan sebuah beban di dadanya. Sata dia menoleh, seulas senyum terbit di pagi ini melihat siapa yang tengah memeluknya dengan erat, tak lupa kepala yang bersandar di dadanya.Jika kemarin dia sempat kecolongan, saat ini dia sengaja terbangun lebih dulu. Sekadar memastikan bahwa wanita itu tidak pergi seperti sebelumnya. Masih di sisinya, masih berada dalam pelukannya. Juan tidak akan membiarkannya lepas meski hanya sedetik pun. Mengingat dari pengalaman, wanita-wanita di sekitarnya terlalu cerdik membuat bualan yang membuatnya bingung sendiri.Saat ini Juan sudah tidak lagi bimbang. Dia sudah mendapatkan jawaban dari rasa penasarannya kemarin. Tentang perasaannya yang dipermainkan sedemikian rupa. Semalam adalah buktinya. Rasa wanita itu tidak pernah berubah. Masih sama, nikmat dan panas secara bersamaan.Juan merubah posisinya menjadi serong, agar makin leluasa menatap Mulan yang masih tertidur. Dia menyingkap anak rambu
Mulan yang ingin masuk ke dalam kamar, terpaksa menghentikan langkahnya. Dia menatap Juan yang tiba-tiba berdiri di samping pintu tanpa disadarinya. Entah sejak kapan pria itu di sana. Mungkin Mulan terlalu asyik melamun sampai tak menyadari hal tersebut. “Bisa bicara?” Mendengar pertanyaan pria itu, Mulan mengangguk. Kembali melanjutkan langkah dan membuka pintu kamar. “Di dalam saja,” katanya, sekaligus mempersilahkan Juan masuk. Juan mengikuti Mulan ke dalam. Duduk di single sofa panjang yang membawa mereka dalam kebisuan. Belum ada yang angkat bicara. Juan masih mengamati seluruh ruangan, menghapal setiap sisi kamar wanita itu dalam kepalanya. Sedangkan Mulan memilih diam dan menunggu apa yang akan pria itu katakan. Jujur saja dia masih sedikit canggung berdua dengan Juan. Sisi jalangnya selalu meronta, apalagi dengan hormon sialan ini. Rasanya Mulan ingin mengulang kejadian terakhir mereka. Saling menyentuh, saling memuaskan. Buru-buru Mulan meng