Melewati jalanan yang sepi, aku mendorong sepeda dengan terseok-seok karena kondisi kaki ku yang sedang terluka. Saat sedang merapikan jejeran vas bunga, aku tidak sengaja menyenggolnya. Lalu vas bunga itu jatuh dan pecah. Karena kurang berhati-hati saat membersihkannya, serpihan kaca itu malah melukai kakiku sampai berdarah.
Untung saja pemilik toko tidak marah, dia malah berbaik hati menawarkan diri untuk mengantarku pulang, tentu saja aku langsung menolak. Aku tidak ingin merepotkan dirinya. Sungguh aku sangat beruntung bertemu dengan pemilik toko Bunga itu, namanya Bu Syifa. Dia sangat baik dan mau memberikan pekerjaan untukku. Karena setatusku masih bersekolah, aku tidak bisa bekerja full satu hari. Jadi, dari pagi sampai siang aku akan menjalankan tugas sebagai seorang siswa, setelah pulang sekolah sampai tengah malam aku akan pergi ke toko Bunga dimana tempatku bekerja.
Sekarang sudah hampir tengah malam, suasananya terasa sunyi dan gelap. Hanya ada suara hewan hewan kecil yang saling bersahutan. Andai saja kaki ku tidak terluka, pasti sekarang aku sudah sampai di rumah.
Seketika langkahku terhenti saat ada segerombolan orang berbaju hitam berjalan ke arahku. Tubuhku membeku, siapa mereka?
Namun, aku harus tetap berpikir positif. Bisa saja mereka hanya sekadar lewat. Mencoba untuk menghilangkan prasangka buruk, aku kembali melanjutkan perjalanan. Kepalaku menunduk, tapi mataku terus mengitari sekitar berjaga-jaga untuk meminta bantuan jika terjadi sesuatu. Sialnya tidak ada orang lain disini.
Mereka sudah semakin dekat, lalu salah satu dari mereka menahan sepedaku. Sekarang, aku sudah tidak bisa berpikir positif.
"Dari mana? Baru pulang bekerja, ya?" tanya seseorang yang bertubuh besar.
Aku menghela nafas pelan, mencoba untuk tetep tenang.
"Jika tidak mau terjadi sesuatu, serahkan semua uangmu."
Aku mengangkat kepala, lalu menatapnya sekilas.
"Jika ingin uang, maka bekerja," jawabku.
Orang-orang seperti mereka hanya bisa mengancam untuk mendapatkan sesuatu. Apa mereka tidak punya cara lain untuk memenuhi kebutuhan hidup? Kenapa harus menjadi begal jalanan seperti ini. Aku juga harus bekerja keras agar bisa dapat uang, dan mereka dengan gampangnya memintaku untuk memberikan seluruh uang yang aku miliki? Huh! Itu gila.
"Anak kecil, kau tidak perlu mengajari kami. Apa kau tidak lihat? Sekarang kami sedang bekerja," ucap yang lainnya.
"Kalian sedang tidak bekerja. Tapi kalian sedang melakukan aksi kriminal kepadaku."
Mereka saling menatap satu sama lain, seperti sedang merencanakan sesuatu. Tanpa aba-aba secara bersamaan mereka menarik tas selempang yang aku gunakan.
Leherku tercekik karena mereka menarik tasku pada arah yang berlawanan. Alhasil aku sulit bernafas.
Sepedaku terjatuh.
"Ah! Lepaskan. Leherku sakit," pintaku.
Namun, mereka sama sekali tidak menghiraukan. Malah semakin menguatkan tarikannya.
"Tolong! Tolong! Ada begal!"
"Diam!"
"Tolong! Tolong aku!"
Haruskah aku menyerah. Tapi, aku juga sangat membutuhkan uang ini untuk membayar bulanan sekolah. Tanpa diduga, dari arah depan muncul tiga orang remaja yang langsung menyerang para begal itu. Membuat mereka tersungkur, dan jeratan dileher ku mengendur. Aku langsung bernafas lega, karena sebelumnya dadaku terasa sesak.
"Kalian lagi! Tidak bisakah kalian melakukan pekerjaan yang lebih baik? Huh!" teriak salah satu dari mereka.
Aku bersimpuh di tanah, aku tidak tahu siapa ketiga remaja itu. Mereka berdiri membelakangi cahaya.
"Pergilah! Sebelum aku menelepon pihak berwajib."
Dengan terburu-buru para begal itu berlarian menyelamatkan diri, mereka tidak jadi mengambil tasku. Mereka menghampiriku dan membantu mendirikan sepeda yang semulanya terjatuh. Lelaki yang berbaju putih juga ikut memapahku untuk berdiri.
"Hey! Apa kau baik-baik saja?" tanya salah satu dari mereka.
Aku mengangkat wajah, berniat untuk mengucapkan terimakasih kepada mereka. Sayangnya, senyumku perlahan langsung memudar saat tahu siapa ketiga remaja itu. Tidak berbeda denganku, mereka juga sama terkejutnya. Mereka bertiga adalah para siswa dari kelas unggulan, mereka sangat populer di sekolah. Maka dari itu aku mengenalnya. Adnan, Biru, dan Tara.
"Tunggu dulu, bukankah kau Anara? Anak dari seorang pelacur itu?" Tanya Adnan yang langsung mendapat pukulan kecil dari Biru.
Aku langsung memalingkan wajah mendengar pertanyaannya. Mereka mengenalku karena berita yang tersebar jika Ibuku adalah pelacur? Entah mengapa ini menyakitkan.
"Dia Ana? Huh! Seharusnya kita tidak perlu menolongnya tadi," sahut Tara yang terlihat menyesal telah menolongku.
"Kau benar. Jika aku tadi tau dia adalah Ana. Aku tidak sudi untuk menolongnya," jawab Adnan kembali.
Nafasku tercekat, kenapa aku dibenci hanya karena pekerjaan Ibuku. Apakah anak seorang pelacur tidak pantas mendapatkan pertolongan? Apa kesalahanku. Jujur, aku juga tidak ingin takdir seperti ini.
"Jangan berbicara omong kosong! Apa kalian berdua tidak berpikir jika perkataan kalian tadi menyakiti perasaannya?" Ujar Biru.
Biru. Lelaki yang aku kagumi dari dulu, dia seseorang yang baik hati, tutur katanya lembut. Aku bahkan berpikir jika dia adalah salah satu murid yang sama sekali tidak membenciku. Tapi, aku hanya bisa memendam perasaan ini, anak pelacur sepertiku tidak pantas bersama dirinya yang seperti serbuk berlian. Lihatlah, bahkan dia membelaku di depan teman-temannya.
"Tapi, bukankah apa yang kami katakan tadi suatu kebenaran? Lalu apa yang salah?"
"Dia memang anak pelacur."
Biru terlihat menghela nafas panjang, lalu dia beralih bertanya padaku.
"Ana, apa kau baik-baik saja? Apa kau bisa pulang sendiri?" tanyanya.
Aku mengangguk menanggapi.
"Aku bisa pulang sendiri. Terimakasih atas bantuan kalian, maaf merepotkan."
"Tidak apa-apa, kebetulan tadi kami lewat jalan ini. Sekarang, pulanglah." Biru menatapku sambil tersenyum.
Hatiku langsung menghangat dan gugup secara bersamaan melihatnya.
"Ayo Biru! Kita pulang saja," seru Tara yang sudah berjalan terlebih dahulu bersama Adnan.
"Hati-hati dijalan, Ana." Biru melambaikan tangan kepadaku, lalu berlari menyusul kedua temannya yang mulai menjauh.
Aku bergeming di tempat, baru kali ini aku bisa berinteraksi dengannya. Entah mengapa, bahagia menghampiri hatiku sekarang. Itu semua karena dia, Biru.
Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh akhirnya aku bisa melihat pintu gerbang yang menjulang tinggi. Akhirnya, aku sudah sampai dengan selamat. Meskipun kini kaki ku terasa sangat nyeri karena melakukan perjalanan jauh.
Saat hendak membuka pintu gerbang, tiba tiba satpam penjaga rumah sudah membukanya terlebih dahulu dengan tergesa-gesa karena akan ada mobil yang keluar. Bersamaan dengan itu, seorang wanita cantik dengan pakaian yang begitu ketat berjalan dengan tatapan marah ke arahku.
"Kemana saja kamu? Anak tidak tahu diri, jika sudah selesai bekerja seharusnya langsung pulang ke rumah! Bukan malah pergi ke tempat lain!" bentak wanita itu. Dia adalah Ibu kandungku.
Aku hanya terdiam sambil menundukkan kepala aku sama sekali tidak berani menatap mata marah Ibuku.
"Maaf, Bu. Kaki ku sedang terluka, itu membuatku kesulitan berjalan. Jadi, aku terlambat untuk pulang."
"Kau pikir aku peduli? Sekarang cepat masuk! Dan bersihkan seluruh rumah jangan sampai ada yang terlewat." perintah Ibuku dengan lantang, lalu berbalik menuju mobil.
Sebelum Ibuku benar-benar pergi, aku terlebih dahulu menghentikannya.
"Ibu mau kemana? Sekarang sudah hampir tengah malam bukankah Ibu kemarin baru saja sembuh dari demam?" tanyaku dengan tatapan sendu.
Walaupun Ibuku tidak peduli tapi tetap saja aku sangat menghawatirkan kondisinya saat ini.
"Diamlah! Tidak usah sok perhatian padaku, aku sama sekali tidak menghiraukannya." jawabnya seraya menepis tanganku dengan kasar.
Ibuku segera berjalan menuju mobilnya dan tidak lupa membunyikan klakson, dengan tertatih aku menepi agar mobil putih itu bisa keluar dari area gerbang. Aku menghela nafas panjang entah sampai kapan Ibuku akan bersikap kasar seperti ini. Padahal, dulu dia sangat menyayangiku.
Namun, semua itu berubah setelah Ayahku kehilangan pekerjaannya.
Apa ini kesalahanku? Aku juga tidak tahu.
Tanpa mau berlama-lama aku langsung masuk ke dalam rumah memikirkan Ibuku justru hanya membuat batinku semakin terasa sakit.
Rumahku memang besar dan mewah. Tapi, ini adalah hasil dari pekerjaan Ibuku menjadi seorang perempuan bayaran. Padahal statusnya masih seorang istri, alasan Ibuku melakukan ini karena tidak sanggup hidup sengsara bersama Ayahku yang mempunyai penyakit kanker darah dari tiga tahun yang lalu. Akhir-akhir ini kondisi Ayah juga kurang baik aku jadi menghawatirkan keadaannya. Setelah mencuci tangan aku langsung naik ke kamar atas, menuju kamar Ayahku. Tapi, kenapa dari luar terasa sangat sepi.
"Ayah?" Panggilku dari luar.
Membuka pintu dengan perlahan dan mendapati Ayahku yang sedang tertidur pulas, aku lupa jika sekarang sudah sangat larut malam pasti Ayah juga lelah menungguku.
Aku mendekat ke arahnya lalu duduk ditepi ranjang sambil memandangi wajahnya yang terlihat damai. Terkadang aku sedih memikirkan bagaimana perasaan Ayahku saat mengetahui istrinya memiliki pekerjaan yang jelas-jelas sangat terlarang, aku yakin hatinya pasti sangat terluka. Tapi, dia sama sekali tidak pernah menunjukkan perasaan sedih di hadapanku.
"Ayah, aku sudah pulang."
"Aku juga sudah makan."
"Syukurlah Ayah sudah tidur, lain waktu tolong jangan menungguku pulang, ya? Ayah harus langsung istirahat agar kondisinya cepat membaik."
Aku tertawa pelan tentu saja dia tidak akan mendengarnya, tapi setidaknya aku sudah lega melihat keadaannya sekarang. Aku beranjak menuju arah balkon dengan tertatih, lukanya belum diperban hanya diberi obat tetes dan dilapisi plester.
Setelah sampai aku tersenyum mengamati ribuan bintang yang terang di langit sana, ditambah semilir angin yang menerbangkan anak rambutku membuat semua lelahku sedikit berkurang. Saat aku sedang memandang langit, tiba-tiba saja ada yang aneh. Awalnya aku mengira itu bintang jatuh tapi mengapa cahaya itu seperti mendekat ke arahku.
"Apa itu? Kenapa benda putih itu memiliki sayap?" Aku semakin dibuat heran karena cahaya itu mengeluarkan sayap besar.
Aku berjinjit agar bisa lebih jelas melihat benda itu dan seketika kedua mataku membola karena itu bukan bintang ataupun benda jatuh, tapi itu manusia.
Mahluk itu semakin terlihat besar dan mungkin akan segera mendarat. Tidak! Bagaimana ini. Badanku panas dingin, apa mungkin itu alien yang jatuh dari luar angkasa atau justru hantu.
Bruk!
Mahluk itu jatuh di taman depan rumah dengan posisi tengkurap, sedangkan aku masih mematung dengan mulut yang terbuka.
Tubuh mahluk itu mengeluarkan cahaya juga kedua sayap itu sangat besar. Ah apa itu! Apa malaikat jatuh dari langit. Aku masih terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Tidak! Aku pasti sedang berhalusinasi.
Karena penasaran aku langsung keluar kamar dengan mengendap-endap lalu menuruni anak tangga dengan terburu-buru. Membuka pintu utama, lalu keluar sambil meringis kesakitan. Itu karena tadi aku berjalan dengan cepat tanpa mempedulikan luka dikaki ku.
Ternyata aku tidak sedang berhalusinasi, mahluk itu benar-benar ada di sana.Tetapi, kenapa setelah terjatuh dia malah tidak langsung pergi? Ada yang tidak beres.
"Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana jika mahluk itu berniat jahat." Aku belum beranjak sedikitpun aku bingung harus bagaimana sekarang.
Mencoba untuk tenang, aku kembali mengintip guna memastikan apa makhluk itu sudah pergi. Tapi dia masih berada di sana dan jika aku perhatikan lebih intens mahluk itu terlihat sedang kesakitan.
Sepertinya dia terluka.
Ah lama-lama aku tidak tega melihatnya kesakitan seperti ini. Sebagai manusia yang memiliki hati aku harus membantunya, tapi aku tidak pernah diajarkan untuk membantu manusia bersayap. Baiklah, aku akan menganggapnya seekor burung besar yang kesakitan. Setelah lama bertengkar dengan pikiranku aku memutuskan untuk membantunya. Melepas sepatu yang aku kenakan, supaya tidak menimbulkan suara yang membuatnya terusik.
Perlahan aku langkahkan kakiku mendekatinya, mencoba tidak mengeluarkan suara agar mahluk itu tidak terkejut. Tetapi, sialnya aku malah menginjak ranting kayu.
"Aduh!" pekikku saat ranting kayu itu menusuk luka di kaki.
Aku terkejut.
Dia juga terkejut.
Tubuhku seketika membeku saat mahluk itu mengangkat kepalanya, tapi karena posisiku dengannya terlalu jauh aku jadi tidak bisa melihat wajahnya. Dia juga terlihat seperti ingin terbang kembali tapi tidak bisa karena sayapnya robek.
Lalu aku dengar seperti ada suara tangisan . Apa mahluk itu menangis? Seketika rasa takutku hilang, aku merasa bersalah karena telah membuatnya takut.
Aku kembali melangkah dengan sedikit pincang dan tanpa sadar jarakku dengannya sudah sangat dekat. Aku masih tidak percaya bisa melihat manusia bersayap terlebih lagi dia sedang menangis sekarang.
"Hey! Tenanglah! Aku tidak akan melukaimu justru aku ingin membantu," ujarku masih dengan posisi berdiri.
Mahluk itu masih menundukkan wajahnya, tak lupa dengan suara tangisannya yang memilukan. Kenapa dia menangis?
Aku memperhatikan dirinya dari atas sampai bawah, mataku berbinar saat sayap itu kembali mengeluarkan cahaya yang remang-remang. Aku dibuat bingung sekaligus takjub saat ini aku sampai tidak bisa berkata-kata untuk mendeskripsikan betapa indahnya mahluk bersayap yang ada dihadapnku. Pandanganku berhenti pada salah satu sayapnya yang robek. Oh! Apa itu yang menyebabkannya jatuh dari langit.
Aku memberanikan diri untuk berjongkok agar bisa dengan lebih mudah berbicara dengannya.
"Kau siapa? Kenapa kau memiliki sayap?"
"Apa kau seekor burung? Tapi mengapa tubuhmu mirip dengan manusia?"
"Kumohon jangan menangis, apa yang terjadi pada sayapmu? Kenapa kau bisa jatuh ke bumi?"
Tangisannya perlahan mulai mereda dan itu membuatku merasa lega, tapi tidak setelah dia mengangkat kepalanya dan menatapku.
"Oh, Tuhan!" Batinku berteriak.
Aku yang tadinya sedang berjongkok kini terhuyung ke belakang lalu jatuh dengan posisi duduk. Dia masih menatapku, dia seorang laki-laki.Dia memiliki bola mata berwarna biru muda dan bulu matanya lentik, juga bibirnya yang kecil berwarna merah marun dan hidung yang mancung. Wajahnya benar-benar mirip dengan manusia."Tolong aku..." Rintihan keluar dari mulutnya.Aku langsung tersadar."Kau bisa bicara? Ah baiklah, aku akan menolongmu. Tapi, apa yang harus aku lakukan?" Karena bingung aku malah berbalik tanya kepadanya.Keberadaannya disini sangat berbahaya, bagaimana jika ada warga atau Ibu dan Ayah yang melihatnya bisa-bisa besok pagi aku diserbu wartawan karena akulah yang pertama kali menemukannya."Bagaimana ini! Kemana aku akan membawanya pergi!"Kenapa aku malah jadi panik, seharusnya aku bisa mencari jalan keluar. Saat sedang menggerutu aku teringat jika di samping rumah ada gudang yang sudah tidak terp
"Apa kau gila? Huh! Sayap besar seperti apa sampai kau berteriak melihatnya?" Dari suaranya saja sangat jelas jika Ibuku sangat marah.Lalu, bagaimana jika mereka tahu bahwa aku yang membawa mahluk itu ke gudang kemarin malam. Oh Tuhan! Matilah aku."S-saya juga tidak tahu Bu, tapi sayap itu benar-benar besar. Sepertinya itu bukan sayap hewan."Mataku membelalak. Ibuku berjalan menuju pintu gudang, lalu menyuruh Mbok Iyem untuk menyingkir dari depan pintu."Minggir! Biar aku yang melihatnya!" ucap Ibuku sambil berusaha membuka pintu.Brak!Pintu terbuka dengan lebar, menampakkan semua isi gudang. Ibuku dan Mbok Iyem masuk kedalam, disusul olehku dan Ayah. Aku langsung merasa lega karena ternyata mahluk itu sudah tidak disini. Tapi, kemana dia pergi?"Lihat! Mana? Dimana sayap itu?" tanya Ibuku karena gudang ini hanya berisi barang bekas.Mbok Iyem terlihat bingung, dia terus menelusuri gudang ini sampai ke dalam lemari.
Aku terbangun. Kepalaku terasa pusing akibat hantaman benda tumpul tadi, sekarang dalam keadaan setengah sadar aku mencoba mengamati sekeliling. Dimana ini? Kenapa gelap sekali, tempat ini sangat minim cahaya.Aku menggeliat menggerakkan tubuhku. Tapi, sekarang rasanya begitu sesak karena tangan dan kaki ku diikat oleh tali. Kenapa aku diikat, sebenarnya aku dibawa kemana.Menghembuskan nafas panjang, aku putus asa. Pikiranku kembali pada kejadian tadi, saat dimana Mea dengan tega menukarku demi uang. Tak terasa air mataku kembali menetes kala mengingatnya.Rasanya sakit.Saat aku sedang melamun, tiba-tiba pintu terbuka dengan kasar. Menampakkan tiga laki-laki yang berbadan tinggi dan besar, aku tidak bisa melihat wajah mereka karena ruangan ini terlalu gelap, tapi aku menduga kalau itu Zico dan teman-temannya. Satu diantara mereka beranjak menyalakan lampu, seketika ruangan ini jadi bercahaya.Mataku beredar menatap sekeliling dengan ragu, t
Aku langsung membalikkan badan saat mendengar suara itu. Ternyata mahluk itu ada disini, ah maksudku Gentara. Dia tampak baik-baik saja dan sayapnya pun sudah menyatu kembali. Wajahnya terlihat berseri dengan senyuman yang merekah. Kenapa para peri memiliki wajah yang mempesona seperti ini?"Apa kau baik-baik saja?" Gentara bertanya padaku saat kami sudah saling berhadapan."Aku baik-baik saja, terimakasih atas bantuannya," jawabku sambil tersenyum lebar.Gentara hanya tersenyum menanggapi."Oh, tadi pagi kau bersembunyi di mana? Hampir saja ketahuan oleh orang-orang rumah," ujarku.Gentara berjalan melewati ku lalu berdiri di samping peri Altara."Sebenarnya aku tidak bersembunyi, kakakku lah yang datang menolongku sebelum kalian datang ke gudang,""Huh? Kalian kakak beradik?"Keduanya mengangguk bersamaan.Pantas saja, wajah mereka seperti pinang dibelah dua. Bahkan
Aku menengok ke kanan dan kiri seperti orang hilang, apa-apaan ini? Kenapa aku ada di pemakaman. Bukankah tadi aku membayangkan toko bunga Bu Syifa, tapi kenapa malah tersesat kemari. Apa portal itu sedang rusak.Seketika aku langsung merinding ketakutan, jangan-jangan aku benar-benar sudah mati lalu sekarang hidup kembali. Tapi apa kedua peri itu juga hanya khayalanku. Mana mungkin hal seperti ini bisa terjadi."Sebenarnya apa yang terjadi padaku." gumanku frustasi sambil mengacak rambutku.Tapi aku menyadari sesuatu seperti ada benda yang menyelip ditelinga kanan. Aku langsung mengambilnya dan mendapati bunga cantik yang diberikan oleh Gentara. Ya, bunga Lilala. Yang konon bisa mendatangkan kebahagiaan."Huh? Bunga ini ikut bersamaku? Jadi, ini bukan mimpi? Ini kenyataan?" Aku bertanya-tanya masih tidak percaya.Jika bunga ini nyata, berarti Gentara dan peri Altara juga nyata. Semoga saja semua keanehan ini segera berakhir.
Aku terkejut bukan main saat mendapati salah satu teman kelasku berada disini. Dia Miki, seseorang lelaki pendiam yang menjabat menjadi ketua kelas. Miki sangat jarang berbicara, tapi kenapa sekarang dia tersenyum seperti ini. Jujur aku baru pertama kali melihatnya."Oh, Miki. Kau mencariku?" Aku berusaha mengembalikan raut wajah yang semulanya terkejut.Bukannya menjawab, dia malah diam lalu senyumnya perlahan luntur. Sekarang wajahnya begitu dingin dan datar. Miki menatapku tanpa ekspresi tentu saja aku bingung dengan perubahan wajahnya yang tiba-tiba."Dasar bocah nakal," ketusnya.Aku membulatkan mata sebenarnya apa yang terjadi pada Miki. Tumben sekali mengajakku berbicara. Selama hampir tiga tahun dia bahkan hanya mengatakan beberapa kalimat saja kepadaku. Lagipula, darimana dia tau aku berada disini."Apa maksudmu?""Kenapa tidak izin jika tidak masuk sekolah? Jika ingin bolos maka setidaknya buatla
Mata ku mengerjap beberapa kali. Mencoba menghilangkan rasa pusing yang masih bersemayam di kepala. Aku bisa merasakan jika tubuhku sekarang berada di atas ranjang. Sekarang pandanganku mulai jelas dan saat aku melirik ke arah kanan aku dibuat terkejut oleh kehadiran seorang lelaki di kamar ku."Brengsek! Siapa kau!" Sontak aku berteriak dan melemparkan bantal ke arahnya.Aku berdiri lalu memukulinya dengan bertubi-tubi, sedangkan dia hanya meringis kesakitan sambil menangkis seranganku menggunakan kedua tangannya."H-hentikan! Ini aku!"Awalnya aku kesal dan tidak akan memberi ampun pada lelaki ini, tapi aku langsung berhenti saat menyadari bahwa pemilik suara itu seperti tidak asing bagiku.Aku mundur beberapa langkah guna melihat wajahnya. Bersamaan dengan itu lelaki yang kini berhadapan denganku ikut mengangkat wajahnya. Aku kembali terduduk diatas ranjang sambil menutup mulut, ini tidak mungkin."Ge-ge-ntar
Gentara terdiam cukup lama, matanya lurus menatap ke jalanan yang ramai tanpa berkedip."Aku tidak bisa berada di dekatmu setiap saat."Memandanginya dengan tatapan bingung, apa maksudnya?"Saat matahari sudah terbenam dan langit tergantikan oleh malam. Maka disaat itu juga sayap peri ku akan keluar," tambahnya."Segera aku harus menjauh dari keramaian manusia."Aku mengangguk mengerti, jadi Gentara tidak bisa keluar jika malam hari tiba? Sebenarnya aku sedikit kecewa karena tidak bisa bermain dengannya di malam hari."Oh ... Begitu, ya?""Lalu, apa makanan para peri? Apa sama dengan makanan manusia?" tanyaku.Selama Gentara di bumi, maka aku harus menjaga dan merawatnya dengan baik. Terutama tentang makanan."Em ... Para peri makan sesuatu yang sehat. Seperti buah, biji bunga, kacang-kacangan, daun binahong, burung citila, buah azele, dan masih banyak lagi."Aku ter
Seberkas cahaya masuk ke netra mataku yang perlahan mulai terbuka, aku meringis kecil kala merasakan sakit dibagian kepala. Ada apa ini? Sepertinya sudah terjadi sesuatu padaku dan juga... Andre, dimana lelaki itu? Lekas aku langsung terjaga dengan degub jantung yang tak beraturan, aku menoleh ke sekitar dan menyadari bahwa kini aku sedang berada di sebuah kamar mewah. Itu terbukti dari barang-barang yang ada di sini, semua ini jelas merek terkenal dan harganya tidak main-main. Sejenak aku kembali memejamkan mata untuk mengingat kejadian beberapa waktu yang lalu, siang tadi aku dan Andre sedang mengantarkan pesanan bunga disebuah perusahaan. Tapi saat hendak pulang, seseorang membekap mulutku hingga aku tidak sadarkan diri. Oh Tuhan ... lalu bagaimana nasib Andre sekarang? Kenapa dia tidak ada di sini. Juga, apa yang harus aku lakukan di tempat ini. Sepertinya seseorang dengan sengaja membawaku kemari dan berniat buruk. Karena aku baru sadar j
Ketika hari menjelang siang, ada seseorang yang memesan banyak bunga untuk diantarkan sekarang juga. Orang tersebut hanya mencantumkan alamat tanpa pesan tersirat lain. Andre sedang bersiap menata sekitar sepuluh buket bunga dengan aneka warna ke atas ranjang, sedangkan aku masih merapihkan serpihan kelopak bunga yang berceceran di lantai toko. Aku berencana untuk ikut mengantarkan pesanan itu, karena tidak mungkin Andre bisa mengantarkan bunga itu sekaligus jika sendirian. Meskipun awalnya dia sempat menolak bantuanku, pada akhirnya Andre hanya bisa menghela napas karena aku yang keras kepala ini. "Sudah siap?" tanyanya. Tangan lelaki itu sudah membopong ranjang berisi bunga. "Sudah, kita antar sekarang saja." "Let's go .... " Aku menggelengkan kepala melihat dia yang berjalan sambil mengehentakkan kaki, persis seperti anak kecil yang bahagia karena hendak berlibur. Langkah ini mengikutinya keluar menuju pintu, sebelum berangkat aku
Tetesan air hujan terus membasahi wajahku yang sedang mendongak, menatap Zico dengan raut wajah yang penuh dengan tanda tanya. Kenapa dia bisa ada di sini? Terlebih lagi tangannya masih melekat dikedua pundakku dan perlahan mendekapnya dengan hangat. Dia menarik tubuhku agar berjalan menuju sebuah warung kopi yang terletak dipinggir jalan, aku bahkan tidak sadar jika hujan sudah turun dengan sangat deras. Kilatan putih juga saling menyambar membuat gemuruh yang menggetarkan jiwa. Zico masih diam tanpa mengeluarkan sepatah katapun, dan aku juga tidak berminat untuk bertanya terlebih dahulu. "Sepertinya kau sedang tidak baik-baik saja," ujarnya yang sama sekali tidak aku tanggapi. Entah ini kebetulan atau memang takdir, tapi kenapa harus Zico yang datang dan memberiku pertolongan. Dengan bibir terbuka aku mulai menggigil karena kedinginan, tapi mataku tetap saja menatap jalanan basah itu dengan tatapan kosong. "Ingin minum sesuatu?" Di
Kerutan didahiku tercetak semakin dalam, mencoba memahami maksud dari perkataan Gentara. Hal bodoh apa lagi ini? Seharusnya aku sudah tidur pulas sedari tadi jika saja dia tidak datang dan mengganggu pikiranku. "Apa maksudmu?" Aku memilih untuk duduk agar bisa mendengarkan dengan seksama. "Sebelum pesta itu dimulai, Laras memintaku agar berpura-pura menjadi kekasihnya. Katanya, dia malu jika masih lajang saat umurnya sudah delapan belas tahun," jelasnya dengan panjang lebar. Gentara juga memberitahukan hal-hal yang harus dilakukan jika sedang bersama Laras, seketika aku merasa geram mengetahui kenyataan ini. Laras! Dia benar-benar bukan manusia, aku yakin semua ini pasti terjadi karena sudah direncanakan olehnya. Laras sengaja mencari kesempatan untuk mendekati Gentara, padahal tujuan utamanya adalah untuk membuatku semakin menderita. Tidak! Aku tidak bisa selalu dalam bayang-bayang ketakutan, aku harus bisa melawan sikap semena-mena yang dila
Lagi-lagi aku dibuat terdiam olehnya, entah apa maksud Biru berkata demikian. Yang jelas itu bukan untukku, mana mungkin dia mencintaiku 'kan? Demi apapun sekarang aku langsung merasa kesal. Mimpi apa yang sedang ia alami sampai mengigau seperti ini."Biru, bangunlah!" Aku menaikan nada bicara. Benar saja, lelaki itu perlahan membuka matanya diiringi erangan kecil khas orang bangun tidur. Dia terlihat masih belum sadar sepenuhnya, sedangkan aku mulai memasukan barang-barang dan bersiap untuk berdiri. Hatiku sangat dongkol, aku ingin cepat menyelesaikan kegiatan ini. "Apa aku tertidur di pundakmu? Ah maaf." "Tidak masalah. Ayo turun." Ajakku sambil berdiri dari kursi bus. Namun, bukannya memberi jalan untuk aku berlalu Biru malah tetap duduk dengan posisi terus menatapku. Kedua alisku saling bertaut, "Kenapa? Kau tidak mau turun?" tanyaku heran. "Kau yang kenapa? Sepertinya sedang marah." Aku mengalihkan p
Semua orang terperangah tak percaya, termasuk diriku sendiri. Tapi sedetik kemudian para tamu langsung bertepuk tangan dan berteriak histeris kala Gentara menganggukkan kepalanya. Aku terdiam dengan napas yang mulai tercekat, jantungku berdebar seakan dihujani ribuan anak panah. Sakit, hati ku seperti digores belati tajam yang mengandung racun. Untuk bergerak dari tempat ini saja sungguh terasa sulit, Gentara ... kenapa dia tega membuat luka baru untuk kedua kalinya. Tuhan! Takdir macam apa ini? Kenapa orang yang aku benci malah menjadi kekasih dari orang yang sangat aku percaya. Laras, kenapa dia secepat itu jatuh cinta pada Gentara? Rencana apa yang akan dia lakukan. "Kalian sangat serasi, tampak seperti raja dan ratu di dunia nyata," celetuk dari salah seorang remaja putri bergaun selutut. "Benar, yang satu tampan yang satu cantik." "Hubungan kalian pasti sangat romantis.""Sepertinya kalian memang ditakdirkan untuk bersa
"Ayo! Makan." Seru Bu Syifa yang datang menghampiri ku dengan satu piring nasi goreng. Aku yang sedang mencatat belanjaan langsung menoleh, lalu tersenyum saat harum masakan itu menyeruak ke hidung. Ah, kebetulan sekali perut ini sudah berbunyi sedari tadi. "Terimakasih, Bunda. Ini pasti enak." Aku mengambil alih piring tersebut dan beralih untuk duduk. Satu suap nasi goreng berhasil aku kunyah dengan sempurna, aku memuji masakannya yang tak pernah gagal. Semua makanan yang ia buat memiliki ciri khas berbeda, dan aku pikir ini hanya bisa ditemukan dibeberapa tempat saja. "Pipimu terlihat memar," ujar Bu Syifa yang ikut duduk di depanku. Seketika aku berhenti mengunyah, tatapanku langsung berhenti pada butiran nasi yang hampir habis. Tadi Andre juga sempat menanyakan pipi memarku, tapi aku berhasil memberi masukan yang masuk akal. Jadi, untuk kedua kalinya aku harus berbohong. Karena kejujuran ku saat ini sedang tidak perlu
Suara gelak tawa langsung terdengar kala air kotor itu membasahi seluruh tubuhku. Aku menunduk dengan hati yang terasa sakit, lagi dan lagi mereka melakukan hal yang keterlaluan. Dan bodohnya aku tidak bisa melawan.Clara melemparkan ember itu ke arah kepalaku, dengan rasa sakit aku mencoba untuk berdiri dan meninggalkan tempat ini. Tapi, Laras terlebih dahulu menghempaskan tubuhku kembali ke lantai. Aku meringis kesakitan dan meringkuk di bawah sana, berharap ada seseorang yang bisa memberikan pertolongan. Pasrah, aku hanya bisa diam seperti mayat hidup air mataku turut menetes bercampur dengan debu. Laras menyibak rambutku yang menutupi wajah. "Jauhi Gentara, atau ... kau akan semakin menderita," ujarnya tersenyum simpul. Bibirku bergetar karena menggigil, rasa dingin ini semakin menyeruak hingga ke tulang. Permintaan Laras sungguh tidak masuk akal, aku tidak mungkin menjauhi Gentara. Dia adalah salah satu tanggung jawab yang harus aku j
Kami mendekat ke salah satu rumah yang berada dipaling ujung, di sana nampak ada cctv yang mengarah kemari. Kemungkinan besar, sang pemilik rumah itu memiliki rekaman video saat Andre dikeroyok.Namun, rumah ini seperti sudah tidak berpenghuni. Bahkan pintu rumahnya sudah dihinggapi banyak tanaman liar."Kau yakin, Ana? Jika di dalam sana ada orang?" Tanya Andre sambil sesekali mengintip lewat jendela luar.Awalnya aku tidak yakin, tapi setelah melihat cahaya di lantai atas pasti ada seseorang di sana. Rumah ini berlantai dua, dari luar terlihat sangat kumuh dan menyeramkan. Persis seperti rumah hantu."Lihat di sana." Aku menunjuk ruangan atas yang bercahaya, "Rumah ini pasti berpenghuni.""Ana, ini terlihat menyeramkan. Sebaiknya kita pulang saja." Aku hanya bisa menghela napas mendengar Gentara mulai merengek."Heh! Orang aneh