Aku menengok ke kanan dan kiri seperti orang hilang, apa-apaan ini? Kenapa aku ada di pemakaman. Bukankah tadi aku membayangkan toko bunga Bu Syifa, tapi kenapa malah tersesat kemari. Apa portal itu sedang rusak.
Seketika aku langsung merinding ketakutan, jangan-jangan aku benar-benar sudah mati lalu sekarang hidup kembali. Tapi apa kedua peri itu juga hanya khayalanku. Mana mungkin hal seperti ini bisa terjadi."Sebenarnya apa yang terjadi padaku." gumanku frustasi sambil mengacak rambutku.
Tapi aku menyadari sesuatu seperti ada benda yang menyelip ditelinga kanan. Aku langsung mengambilnya dan mendapati bunga cantik yang diberikan oleh Gentara. Ya, bunga Lilala. Yang konon bisa mendatangkan kebahagiaan.
"Huh? Bunga ini ikut bersamaku? Jadi, ini bukan mimpi? Ini kenyataan?" Aku bertanya-tanya masih tidak percaya.
Jika bunga ini nyata, berarti Gentara dan peri Altara juga nyata. Semoga saja semua keanehan ini segera berakhir. Aku masih memandangi bunga ini warnanya cantik sekali, perpaduan warna biru dan ungu membuat bunga Lilala seperti langit malam yang dihiasi awan warna ungu pekat.
"Mbak, sedang apa disini?"
Aku terkejut sampai terhuyung ke belakang ada seseorang bapak tua yang menegurku. Tubuhnya kotor karena tanah, sepertinya dia tukang gali kubur disini.
"Em ... Saya tersesat, pak." Aku meremas ujung rok seragam karena bingung harus menjawab apa.
Bapak itu tertawa setelah mendengar jawabanku. Apa aku membuat kesalahan?
Jika dilihat sepertinya dia seumuran dengan Ayahku, tampak sekali dari raut wajahnya bahwa dia sangat kelelahan. Aku jadi merasa iba. Memang sejatinya semua pekerjaan itu melelahkan dan banyak orang-orang kurang beruntung yang sudah bekerja sangat keras tapi hasilnya tidak sepadan. Ya seperti inilah kehidupan.Aku masih memandanginya yang sedang tertawa tanpa sadar aku ikut tersenyum melihatnya.
"Kau ini lucu sekali bagaimana bisa tersesat di kuburan? Apa kau tidak ingat lewat jalan mana saat masuk ke sini? Aku kira kau tidak terlalu tua untuk melupakan itu." Ujarnya sambil sesekali menyeka keringat dari balik topi yang ia gunakan.
Aku tersenyum canggung. Tidak mungkin aku mengatakan padanya bahwa aku datang kemari menggunakan portal. Pasti dia tidak akan percaya.
"Mari, bapak tunjukkan jalannya."
"Oh? Apa itu tidak apa-apa?" tanyaku ragu.
"Tentu saja, kau sedang butuh pertolongan. Dengan senang hati bapak akan membantu." Ujarnya sambil tersenyum lalu berjalan terlebih dahulu, dan aku mengikutinya dari belakang.
Sekarang, aku menyadari sesuatu. Bahwa ketika aku bertemu dengan orang-orang yang ingin menyakitiku bukan berarti semua orang jahat. Nyatanya ada beberapa dari mereka yang masih punya rasa peduli kepada sesama.
Aku yakin bahwa disetiap pertemuan pasti ada alasannya.
Setelah berjalan cukup lama akhirnya aku dapat melihat gapura yang bertuliskan 'Pemakaman Teluk Asih' . Ternyata ini adalah pemakaman kota yang letaknya tidak jauh dari toko bunga Bu Syifa. Aku tertawa kecil berarti portal itu tidak salah hanya saja tempatnya yang sedikit berbeda.
Saat sudah sampai ditepi jalan raya aku bisa melihat tempat kerjaku dari seberang. Untung saja ada bapak ini yang menolongku, jika tadi aku nekad mencari jalan sendiri bisa-bisa aku malah tidak keluar dari pemakaman. Mengingat ini adalah pemakaman kota yang cukup luas dan jalannya berliku-liku."Terimakasih atas bantuannya, maaf merepotkan, pak."
"Tidak masalah. Ini juga salah satu pekerjaanku," balasnya.
"Sekali lagi terimakasih, sampai jumpa." Aku berpamitan sambil melambaikan tangan. Semoga dilain waktu aku bisa bertemu dengannya kembali.
Setelah menyeberang, aku berjalan beberapa meter hingga sampailah di depan toko. Akhirnya aku bisa bernafas dengan lega sekarang setelah melalui beberapa kejadian aneh. Tanpa pikir panjang aku langsung masuk ke dalam dan mendapati Bu Syifa sang pemilik toko sedang duduk di meja kasir.
"Selamat sore bunda ...." Sapaku tersenyum manis.
Jika kalian heran mengapa aku memanggilnya dengan kata bunda, itu adalah permintaan Bu Syifa sendiri. Dia tau semua permasalahan yang menimpaku. Sejak saat itu juga semua pegawai harus memanggilnya dengan sebutan bunda. Karena mengingat Bu Syifa sama sekali tidak memiliki keturunan.
"Kau telat dua detik, kemana saja?" tanyanya dengan raut wajah galak.
"Hanya dua detik, bunda," jawabku pura-pura cemberut.
Sedetik kemudian Bu Syifa tertawa. Dia memang suka sekali bercanda, meskipun dia tidak menunjukkan kasih sayang dengan cara yang dilakukan seorang Ibu pada umumnya, tapi aku tau kasih sayangnya bahkan melebihi seorang Ibu kandung.
"Sudah ... Sudah. Sekarang ganti bajumu dan makan. Setelah itu baru boleh mulai bekerja." Dia berdiri dari duduknya lalu mengusap kepalaku sebelum akhirnya berlalu pergi.
Aku berbalik menatap punggungnya yang tak lama mulai menghilang dari pandanganku. Andai saja Ibuku tidak berubah, mungkin aku akan sangat bahagia karena memiliki dua Ibu.
••••Setelah makan dan berganti baju. Aku mengeluarkan bunga yang Gentara berikan dari balik saku seragam. Aneh, kenapa bunga ini tidak layu atau berubah warna seperti bunga pada umumnya jika baru dipetik. Tiba-tiba aku mendapatkan ide. Aku keluar ruangan dan berjalan menuju gudang penyimpanan bunga. Lalu mencari pot bunga yang sudah tidak terpakai.Memasukkan segenggam tanah pada pot, lalu menancapkan bunga Lilala ke dalamnya. Aku juga menambahkan air dan pupuk agar bunga ini bisa hidup. Setelah selesai aku menaruhnya di jendela agar terkena sinar matahari.
Aku tersenyum geli, apa mungkin bunga itu bisa hidup tanpa akar? Mungkin saja, jika Tuhan sudah berkehendak apapun bisa terjadi. Sekalipun itu adalah sesuatu yang bagimu tidaklah mungkin bisa terjadi.
Semoga saja bunga itu bisa tumbuh dan bercabang banyak. Jadi, kebahagiaan akan selalu bersamaku.
"Ana?"
Aku menoleh saat ada seseorang yang memanggil. Ternyata itu salah satu pegawai disini, namanya Andre.
"Ada apa?"
"Sedang apa kau disini?" tanyanya
"Aku sedang menanam bunga. Lihat! Cantik sekali bukan?"
Andre langsung membulatkan matanya, nampak sekali jika dia juga terkagum dengan kecantikan bunga Lilala ini. Dia sampai membungkukkan badannya berkali-kali hanya untuk melihatnya dari jarak dekat.
Andre adalah salah satu pegawai di toko ini yang sangat dekat denganku umurnya sekarang sudah 24 tahun, dia masih menempuh pendidikan di Universitas Gunadarma. Universitas ini memang bukan yang paling terbaik di kotaku, tapi mereka memberikan kesempatan kepada siapapun yang berprestasi untuk ikut bergabung dan mewujudkan impiannya. Andre menjadi salah satu orang yang bisa masuk ke sana dengan jalur prestasi, dia adalah panutanku. Saat ini, dan seterusnya.Meskipun umurnya delapan tahun lebih tua dariku, dia sama sekali tidak ingin dipanggil dengan sebutan 'kakak' atau kata lainnya. Alasannya sendiri membuatku tersenyum heran, karena dia bilang umur 25 tahun itu masa dimana kita semua harus mencoba semua kepahitan dalam hidup agar ketika kita sudah bertambah dewasa kita tidak terkejut dengan masalah yang lebih besar, karena dari dulu kita sudah menghabiskan banyak waktu untuk menghadapi masalah.
Apa yang dia katakan memang ada benarnya.Jadi, jangan terburu-buru untuk menikah. Kejarlah dulu semua impianmu sampai akhirnya ada seseorang yang mendampingi hingga akhir hayat.
"Hey! Apa yang kau lakukan pada bunga secantik ini?" Aku terkejut mendengarnya berteriak. Apa salahku?
"Apa? Memangnya aku melakukan apa?" tanyaku bingung.
Bukannya menjawab dia malah berlalu mencari sesuatu, sedangkan aku masih menatapnya yang berjalan ke sana kemari . Dia kembali dengan sebuah toples bening berisi air.
Aku masih diam memperhatikannya. Apa yang dia lakukan?Andre meletakkan penyangga ke dalam toples lalu mencabut bunga Lilala itu dan memasukkannya ke dalam toples. Seketika aku membulatkan mata.
"Kau .... " belum sempat aku melanjutkan perkataanku, Andre sudah terlebih dulu memotongnya.
"Apa?"
"Kau pikir bunga yang sudah dipetik lalu ditanam di dalam tanah bisa tumbuh lagi? Huh?"
"Aku tidak tahu." Aku tertawa kikuk sambil menggaruk tengkuk. Dari awal aku tidak yakin akan tumbuh.
"Jika kau memetik bunga dan ingin bunganya berkembang lagi, pertama bunganya harus diletakkan diair kurang lebih sepuluh hari hingga tumbuh akar. Jika akar sudah tumbuh kau baru bisa menanamnya di tanah."
Aku mengangguk mendengarkan, ternyata menanam bunga juga banyak prosesnya. Kenapa aku baru tahu? Seketika aku merasa malu karena hal sepele seperti ini saja aku tidak mengetahuinya.
"Aneh. Kau bekerja di toko bunga tapi hal seperti ini saja tidak tahu," ketusnya.
Aku tertawa kecil, bisa membuat seorang Andre merasa kesal adalah suatu kebahagiaan tersendiri. Mengingat dia adalah seseorang yang sangat periang dan jarang marah. Meski aku tidak memiliki kakak laki-laki, tapi bertemu dengannya membuatku seperti merasakan kasih sayang seorang kakak kandung.
"Sebenarnya aku tahu, tapi tadi lupa," jawabku mencari alasan agar tidak terlalu terlihat bodoh. Sebenarnya aku memang tidak tahu.
Dia hanya berdecih menanggapi, lalu pandangannya kembali tertuju pada bunga Lilala yang ujung batangnya sudah terendam air.
"Eh, darimana kau mendapatkan bunga secantik ini? Seumur hidup aku baru melihatnya sekarang."
Aku terdiam sejenak. Tiba-tiba otakku seperti berhenti bekerja. Manusia seperti Andre mana mungkin percaya pada dunai peri. Pasti dia hanya akan tertawa terbahak-bahak jika aku mengatakan bahwa bunga Lilala itu diberikan oleh seorang peri.
"Em ... Itu" belum sempat aku menjawab. Lagi-lagi ada yang memotongnya.
"Ana!"
Aku dan Andre menoleh bersamaan dan mendapati Ningsih yang berdiri di belakang pintu. Dia pegawai yang bertugas untuk membersihkan gudang.
"Iya? Ada apa?" tanyaku.
"Ada seseorang lelaki yang mencarimu di depan cepatlah, dia menunggumu." Setelah mengatakan itu dia langsung pergi dengan raut wajah kesal. Ya aku tau, Ningsih pasti cemburu karena aku sedang bersama Andre. Padahal dari dulu semua orang tau jika kami sudah seperti adik kakak. Tapi sepertinya Ningsih mempunyai pandangan yang berbeda.
Ningsih menyukai Andre, tapi Andre tidak. Alasan Andre hanya karena setiap Ningsih bertemu denganku, dia tidak pernah tersenyum. Maka dari itu Andre tidak bisa membalas perasaannya.
Apakah itu alasan yang masuk akal? Kupikir tidak.Tapi, siapa lelaki yang mencariku.
"Aku akan menemuinya, tolong jaga anakku sebentar," Aku menepuk bahunya lalu berlalu untuk cuci tangan.
"Apa? Anak?" Pekiknya.
Aku terkekeh kecil, lalu berlalu pergi meninggalkannya. Saat sudah sampai di depan toko aku sama sekali tidak menemukan siapapun. Hanya ada beberapa pelanggan dan semuanya perempuan. Lalu, siapa lelaki yang mencariku?
Mataku masih menelusuri setiap tempat dipinggir jalan, tapi aku tidak menemukan seseorang lelaki itu. Apa Ningsih hanya iseng saja? Menghembuskan nafas panjang. Aku berniat masuk ke dalam toko. Tapi ada seseorang yang menepuk pundaku. Sontak aku langsung berbalik dan mendapati seseorang yang sedang tersenyum padaku.'Apa-apaan ini!' batinku berteriak.
D
Aku terkejut bukan main saat mendapati salah satu teman kelasku berada disini. Dia Miki, seseorang lelaki pendiam yang menjabat menjadi ketua kelas. Miki sangat jarang berbicara, tapi kenapa sekarang dia tersenyum seperti ini. Jujur aku baru pertama kali melihatnya."Oh, Miki. Kau mencariku?" Aku berusaha mengembalikan raut wajah yang semulanya terkejut.Bukannya menjawab, dia malah diam lalu senyumnya perlahan luntur. Sekarang wajahnya begitu dingin dan datar. Miki menatapku tanpa ekspresi tentu saja aku bingung dengan perubahan wajahnya yang tiba-tiba."Dasar bocah nakal," ketusnya.Aku membulatkan mata sebenarnya apa yang terjadi pada Miki. Tumben sekali mengajakku berbicara. Selama hampir tiga tahun dia bahkan hanya mengatakan beberapa kalimat saja kepadaku. Lagipula, darimana dia tau aku berada disini."Apa maksudmu?""Kenapa tidak izin jika tidak masuk sekolah? Jika ingin bolos maka setidaknya buatla
Mata ku mengerjap beberapa kali. Mencoba menghilangkan rasa pusing yang masih bersemayam di kepala. Aku bisa merasakan jika tubuhku sekarang berada di atas ranjang. Sekarang pandanganku mulai jelas dan saat aku melirik ke arah kanan aku dibuat terkejut oleh kehadiran seorang lelaki di kamar ku."Brengsek! Siapa kau!" Sontak aku berteriak dan melemparkan bantal ke arahnya.Aku berdiri lalu memukulinya dengan bertubi-tubi, sedangkan dia hanya meringis kesakitan sambil menangkis seranganku menggunakan kedua tangannya."H-hentikan! Ini aku!"Awalnya aku kesal dan tidak akan memberi ampun pada lelaki ini, tapi aku langsung berhenti saat menyadari bahwa pemilik suara itu seperti tidak asing bagiku.Aku mundur beberapa langkah guna melihat wajahnya. Bersamaan dengan itu lelaki yang kini berhadapan denganku ikut mengangkat wajahnya. Aku kembali terduduk diatas ranjang sambil menutup mulut, ini tidak mungkin."Ge-ge-ntar
Gentara terdiam cukup lama, matanya lurus menatap ke jalanan yang ramai tanpa berkedip."Aku tidak bisa berada di dekatmu setiap saat."Memandanginya dengan tatapan bingung, apa maksudnya?"Saat matahari sudah terbenam dan langit tergantikan oleh malam. Maka disaat itu juga sayap peri ku akan keluar," tambahnya."Segera aku harus menjauh dari keramaian manusia."Aku mengangguk mengerti, jadi Gentara tidak bisa keluar jika malam hari tiba? Sebenarnya aku sedikit kecewa karena tidak bisa bermain dengannya di malam hari."Oh ... Begitu, ya?""Lalu, apa makanan para peri? Apa sama dengan makanan manusia?" tanyaku.Selama Gentara di bumi, maka aku harus menjaga dan merawatnya dengan baik. Terutama tentang makanan."Em ... Para peri makan sesuatu yang sehat. Seperti buah, biji bunga, kacang-kacangan, daun binahong, burung citila, buah azele, dan masih banyak lagi."Aku ter
Entah sial apa yang sedang menghampiri kami saat ini. Di depan sana terdapat dua ekor anjing besar yang sedang menatap ku dan gentara. Lidah panjangnya menjulur mengeluarkan air liur, tatapan mata kedua anjing itu membuatku panas dingin.Sekilas aku melirik Gentara yang nampak ketakutan, tangannya juga sedikit gemetar. "Jangan panik! Kau baik-baik saja?" tanyaku khawatir."Anjing adalah musuh terbesar para peri. "Guk! "Lari. " Gentara langsung menarik tanganku dan kami berlari memutar arah.Aku yang belum siap hanya bisa mengikuti langkahnya yang panjang. Dan kedua anjing itu ternyata mengejar, itu membuatku semakin mempercepat larian. Tapi apalah daya kakiku ini pendek. Sekarang aku seperti seekor domba yang dipaksa berlari. Kami terus berlari tanpa tentu arah, menabrak apapun yang menghalangi jalan. Sesekali aku menoleh ke belakang dan mendapati kedua anjing i
Di waktu jam istirahat pertama aku memilih berdiam diri di dalam perpustakaan. Bukan untuk membaca buku, melainkan untuk menjauh dari kerumunan para murid. Tapi beberapa orang yang berada di sini juga tetap berbisik buruk tentang diriku mereka seakan tidak peduli bagaimana perasaanku yang mendengarkannya. Tanganku memegang satu buku, tapi tatapanku justru kosong menatap hamparan buku yang tertata rapi di rak.Kenapa kehidupan sekolahku sangat pahit seperti ini, aku pikir selama ini sudah menjadi murid yang baik. Aku juga tidak berbuat semena-mena pada murid lain. Namun, kenapa semua orang membenciku hanya karena ibuku seorang pelacur. Ya, pekerjaan itu memang tidak baik, tapi apa pantas mereka ikut menghakimi aku yang statusnya anak pelacur. Itu pekerjaan ibuku, bukan aku yang melakukannya. Tapi kenapa aku juga ikut dibenci. Kenapa? Ini menyakitkan. Aku juga manusia biasa yang akan terluka jika dibenci dan dikucilkan s
Alih-alih membantu kakek Ridin, justru malah aku dan Gentara yang dikejar oleh induk ayam. Kami berlarian ke sana kemari menghindari kejaran ayam yang marah. Sesekali aku tertawa terbahak -bahak karena melihat Gentara sangat ketakutan dan terus membuntuti ku. Katanya, dia tidak ingin bertemu dengan ayam lagi. Dan disinilah aku dan Gentara melepas penat, disebuah kedai ice cream sederhana bernuansa biru laut. Aku mengajak Gentara untuk mencicipi ice cream, dia pasti suka. "Ayo! Coba makan," bujukku pada Gentara yang sejak tadi hanya diam. Matanya menjelajahi setiap sudut ice cream. Seolah-olah makanan itu adalah hal asing baginya. "Wah! Kenapa makanan ini begitu dingin?" Gentara menyendok satu suapan, tapi dia meniupnya terlebih dahulu sebelum memakannya. Sontak aku tersenyum geli melihatnya, kenapa harus ditiup? "Kenapa kau meniupnya? Ice cream itu tidak panas," ujarku sambil tertawa. "Oh, tapi
Aku berjalan tanpa tentu arah masih dengan mengandeng tangan Gentara. Dia hanya diam tanpa berbicara sedikitpun, aku lega karena Gentara tidak bertanya yang aneh-aneh. Jika iya, aku tidak tahu harus bersikap bagaimana, karena perasaan ku sendiri sedang tidak baik. Namun, aku berhenti ketika merasakan adanya pergerakan di tanganku. Gentara seperti memberi kode agar aku berhenti. "Ana, sampai kapan kita akan berputar-putar di tempat yang sama?" Mendengar itu aku langsung menoleh ke belakang, sejenak terdiam mengamati sekitar. Oh, apa dari tadi aku dan Gentara hanya mengelilingi tempat yang sama? Pasalnya netra mataku menangkap bangunan yang berbentuk lingkaran, sedangkan ditengah-tengahnya terdapat banyak tanaman. Tanpa mengatakan apapun, aku langsung berjalan menuju bangku kayu yang tampak kotor. Aku tidak peduli dan langsung mendudukinya. Gentara yang peka juga langsung ikut duduk di samping ku. Aku mengehela nafas bera
Perlahan aku melangkahkan kaki mendekati Gentara, dia masih menunduk dengan tatapan kosong. Aku yang bingung langsung dikejutkan dengan sesuatu yang kini sedang Gentara cengkram. Apa aku tidak salah lihat? Salah satu sayap Gentara rontok. Entah apa sebabnya, tapi dari raut wajahnya Gentara nampak sedih dan kesakitan. Sekarang aku jadi panik apa ini tanda bahaya? "Gentara, apa yang terjadi padamu? Kenapa sayapnya rontok?" "Sa-sakit .... " lirihnya sambil memegangi bahu. Aku terdiam sejenak mencoba untuk mengikis jarak darinya. Sebenarnya apa yang terjadi, aku jadi tidak tega melihat Gentara kesakitan seperti ini. Pikiranku kembali pada saat pertama kali aku bertemu dengannya, waktu itu Gentara juga sedang kesakitan. Sekarang aku harus bagaimana, andai sa
Seberkas cahaya masuk ke netra mataku yang perlahan mulai terbuka, aku meringis kecil kala merasakan sakit dibagian kepala. Ada apa ini? Sepertinya sudah terjadi sesuatu padaku dan juga... Andre, dimana lelaki itu? Lekas aku langsung terjaga dengan degub jantung yang tak beraturan, aku menoleh ke sekitar dan menyadari bahwa kini aku sedang berada di sebuah kamar mewah. Itu terbukti dari barang-barang yang ada di sini, semua ini jelas merek terkenal dan harganya tidak main-main. Sejenak aku kembali memejamkan mata untuk mengingat kejadian beberapa waktu yang lalu, siang tadi aku dan Andre sedang mengantarkan pesanan bunga disebuah perusahaan. Tapi saat hendak pulang, seseorang membekap mulutku hingga aku tidak sadarkan diri. Oh Tuhan ... lalu bagaimana nasib Andre sekarang? Kenapa dia tidak ada di sini. Juga, apa yang harus aku lakukan di tempat ini. Sepertinya seseorang dengan sengaja membawaku kemari dan berniat buruk. Karena aku baru sadar j
Ketika hari menjelang siang, ada seseorang yang memesan banyak bunga untuk diantarkan sekarang juga. Orang tersebut hanya mencantumkan alamat tanpa pesan tersirat lain. Andre sedang bersiap menata sekitar sepuluh buket bunga dengan aneka warna ke atas ranjang, sedangkan aku masih merapihkan serpihan kelopak bunga yang berceceran di lantai toko. Aku berencana untuk ikut mengantarkan pesanan itu, karena tidak mungkin Andre bisa mengantarkan bunga itu sekaligus jika sendirian. Meskipun awalnya dia sempat menolak bantuanku, pada akhirnya Andre hanya bisa menghela napas karena aku yang keras kepala ini. "Sudah siap?" tanyanya. Tangan lelaki itu sudah membopong ranjang berisi bunga. "Sudah, kita antar sekarang saja." "Let's go .... " Aku menggelengkan kepala melihat dia yang berjalan sambil mengehentakkan kaki, persis seperti anak kecil yang bahagia karena hendak berlibur. Langkah ini mengikutinya keluar menuju pintu, sebelum berangkat aku
Tetesan air hujan terus membasahi wajahku yang sedang mendongak, menatap Zico dengan raut wajah yang penuh dengan tanda tanya. Kenapa dia bisa ada di sini? Terlebih lagi tangannya masih melekat dikedua pundakku dan perlahan mendekapnya dengan hangat. Dia menarik tubuhku agar berjalan menuju sebuah warung kopi yang terletak dipinggir jalan, aku bahkan tidak sadar jika hujan sudah turun dengan sangat deras. Kilatan putih juga saling menyambar membuat gemuruh yang menggetarkan jiwa. Zico masih diam tanpa mengeluarkan sepatah katapun, dan aku juga tidak berminat untuk bertanya terlebih dahulu. "Sepertinya kau sedang tidak baik-baik saja," ujarnya yang sama sekali tidak aku tanggapi. Entah ini kebetulan atau memang takdir, tapi kenapa harus Zico yang datang dan memberiku pertolongan. Dengan bibir terbuka aku mulai menggigil karena kedinginan, tapi mataku tetap saja menatap jalanan basah itu dengan tatapan kosong. "Ingin minum sesuatu?" Di
Kerutan didahiku tercetak semakin dalam, mencoba memahami maksud dari perkataan Gentara. Hal bodoh apa lagi ini? Seharusnya aku sudah tidur pulas sedari tadi jika saja dia tidak datang dan mengganggu pikiranku. "Apa maksudmu?" Aku memilih untuk duduk agar bisa mendengarkan dengan seksama. "Sebelum pesta itu dimulai, Laras memintaku agar berpura-pura menjadi kekasihnya. Katanya, dia malu jika masih lajang saat umurnya sudah delapan belas tahun," jelasnya dengan panjang lebar. Gentara juga memberitahukan hal-hal yang harus dilakukan jika sedang bersama Laras, seketika aku merasa geram mengetahui kenyataan ini. Laras! Dia benar-benar bukan manusia, aku yakin semua ini pasti terjadi karena sudah direncanakan olehnya. Laras sengaja mencari kesempatan untuk mendekati Gentara, padahal tujuan utamanya adalah untuk membuatku semakin menderita. Tidak! Aku tidak bisa selalu dalam bayang-bayang ketakutan, aku harus bisa melawan sikap semena-mena yang dila
Lagi-lagi aku dibuat terdiam olehnya, entah apa maksud Biru berkata demikian. Yang jelas itu bukan untukku, mana mungkin dia mencintaiku 'kan? Demi apapun sekarang aku langsung merasa kesal. Mimpi apa yang sedang ia alami sampai mengigau seperti ini."Biru, bangunlah!" Aku menaikan nada bicara. Benar saja, lelaki itu perlahan membuka matanya diiringi erangan kecil khas orang bangun tidur. Dia terlihat masih belum sadar sepenuhnya, sedangkan aku mulai memasukan barang-barang dan bersiap untuk berdiri. Hatiku sangat dongkol, aku ingin cepat menyelesaikan kegiatan ini. "Apa aku tertidur di pundakmu? Ah maaf." "Tidak masalah. Ayo turun." Ajakku sambil berdiri dari kursi bus. Namun, bukannya memberi jalan untuk aku berlalu Biru malah tetap duduk dengan posisi terus menatapku. Kedua alisku saling bertaut, "Kenapa? Kau tidak mau turun?" tanyaku heran. "Kau yang kenapa? Sepertinya sedang marah." Aku mengalihkan p
Semua orang terperangah tak percaya, termasuk diriku sendiri. Tapi sedetik kemudian para tamu langsung bertepuk tangan dan berteriak histeris kala Gentara menganggukkan kepalanya. Aku terdiam dengan napas yang mulai tercekat, jantungku berdebar seakan dihujani ribuan anak panah. Sakit, hati ku seperti digores belati tajam yang mengandung racun. Untuk bergerak dari tempat ini saja sungguh terasa sulit, Gentara ... kenapa dia tega membuat luka baru untuk kedua kalinya. Tuhan! Takdir macam apa ini? Kenapa orang yang aku benci malah menjadi kekasih dari orang yang sangat aku percaya. Laras, kenapa dia secepat itu jatuh cinta pada Gentara? Rencana apa yang akan dia lakukan. "Kalian sangat serasi, tampak seperti raja dan ratu di dunia nyata," celetuk dari salah seorang remaja putri bergaun selutut. "Benar, yang satu tampan yang satu cantik." "Hubungan kalian pasti sangat romantis.""Sepertinya kalian memang ditakdirkan untuk bersa
"Ayo! Makan." Seru Bu Syifa yang datang menghampiri ku dengan satu piring nasi goreng. Aku yang sedang mencatat belanjaan langsung menoleh, lalu tersenyum saat harum masakan itu menyeruak ke hidung. Ah, kebetulan sekali perut ini sudah berbunyi sedari tadi. "Terimakasih, Bunda. Ini pasti enak." Aku mengambil alih piring tersebut dan beralih untuk duduk. Satu suap nasi goreng berhasil aku kunyah dengan sempurna, aku memuji masakannya yang tak pernah gagal. Semua makanan yang ia buat memiliki ciri khas berbeda, dan aku pikir ini hanya bisa ditemukan dibeberapa tempat saja. "Pipimu terlihat memar," ujar Bu Syifa yang ikut duduk di depanku. Seketika aku berhenti mengunyah, tatapanku langsung berhenti pada butiran nasi yang hampir habis. Tadi Andre juga sempat menanyakan pipi memarku, tapi aku berhasil memberi masukan yang masuk akal. Jadi, untuk kedua kalinya aku harus berbohong. Karena kejujuran ku saat ini sedang tidak perlu
Suara gelak tawa langsung terdengar kala air kotor itu membasahi seluruh tubuhku. Aku menunduk dengan hati yang terasa sakit, lagi dan lagi mereka melakukan hal yang keterlaluan. Dan bodohnya aku tidak bisa melawan.Clara melemparkan ember itu ke arah kepalaku, dengan rasa sakit aku mencoba untuk berdiri dan meninggalkan tempat ini. Tapi, Laras terlebih dahulu menghempaskan tubuhku kembali ke lantai. Aku meringis kesakitan dan meringkuk di bawah sana, berharap ada seseorang yang bisa memberikan pertolongan. Pasrah, aku hanya bisa diam seperti mayat hidup air mataku turut menetes bercampur dengan debu. Laras menyibak rambutku yang menutupi wajah. "Jauhi Gentara, atau ... kau akan semakin menderita," ujarnya tersenyum simpul. Bibirku bergetar karena menggigil, rasa dingin ini semakin menyeruak hingga ke tulang. Permintaan Laras sungguh tidak masuk akal, aku tidak mungkin menjauhi Gentara. Dia adalah salah satu tanggung jawab yang harus aku j
Kami mendekat ke salah satu rumah yang berada dipaling ujung, di sana nampak ada cctv yang mengarah kemari. Kemungkinan besar, sang pemilik rumah itu memiliki rekaman video saat Andre dikeroyok.Namun, rumah ini seperti sudah tidak berpenghuni. Bahkan pintu rumahnya sudah dihinggapi banyak tanaman liar."Kau yakin, Ana? Jika di dalam sana ada orang?" Tanya Andre sambil sesekali mengintip lewat jendela luar.Awalnya aku tidak yakin, tapi setelah melihat cahaya di lantai atas pasti ada seseorang di sana. Rumah ini berlantai dua, dari luar terlihat sangat kumuh dan menyeramkan. Persis seperti rumah hantu."Lihat di sana." Aku menunjuk ruangan atas yang bercahaya, "Rumah ini pasti berpenghuni.""Ana, ini terlihat menyeramkan. Sebaiknya kita pulang saja." Aku hanya bisa menghela napas mendengar Gentara mulai merengek."Heh! Orang aneh