Kerutan didahiku tercetak semakin dalam, mencoba memahami maksud dari perkataan Gentara. Hal bodoh apa lagi ini? Seharusnya aku sudah tidur pulas sedari tadi jika saja dia tidak datang dan mengganggu pikiranku.
"Apa maksudmu?" Aku memilih untuk duduk agar bisa mendengarkan dengan seksama."Sebelum pesta itu dimulai, Laras memintaku agar berpura-pura menjadi kekasihnya. Katanya, dia malu jika masih lajang saat umurnya sudah delapan belas tahun," jelasnya dengan panjang lebar.Gentara juga memberitahukan hal-hal yang harus dilakukan jika sedang bersama Laras, seketika aku merasa geram mengetahui kenyataan ini. Laras! Dia benar-benar bukan manusia, aku yakin semua ini pasti terjadi karena sudah direncanakan olehnya.Laras sengaja mencari kesempatan untuk mendekati Gentara, padahal tujuan utamanya adalah untuk membuatku semakin menderita. Tidak! Aku tidak bisa selalu dalam bayang-bayang ketakutan, aku harus bisa melawan sikap semena-mena yang dilaTetesan air hujan terus membasahi wajahku yang sedang mendongak, menatap Zico dengan raut wajah yang penuh dengan tanda tanya. Kenapa dia bisa ada di sini? Terlebih lagi tangannya masih melekat dikedua pundakku dan perlahan mendekapnya dengan hangat. Dia menarik tubuhku agar berjalan menuju sebuah warung kopi yang terletak dipinggir jalan, aku bahkan tidak sadar jika hujan sudah turun dengan sangat deras. Kilatan putih juga saling menyambar membuat gemuruh yang menggetarkan jiwa. Zico masih diam tanpa mengeluarkan sepatah katapun, dan aku juga tidak berminat untuk bertanya terlebih dahulu. "Sepertinya kau sedang tidak baik-baik saja," ujarnya yang sama sekali tidak aku tanggapi. Entah ini kebetulan atau memang takdir, tapi kenapa harus Zico yang datang dan memberiku pertolongan. Dengan bibir terbuka aku mulai menggigil karena kedinginan, tapi mataku tetap saja menatap jalanan basah itu dengan tatapan kosong. "Ingin minum sesuatu?" Di
Ketika hari menjelang siang, ada seseorang yang memesan banyak bunga untuk diantarkan sekarang juga. Orang tersebut hanya mencantumkan alamat tanpa pesan tersirat lain. Andre sedang bersiap menata sekitar sepuluh buket bunga dengan aneka warna ke atas ranjang, sedangkan aku masih merapihkan serpihan kelopak bunga yang berceceran di lantai toko. Aku berencana untuk ikut mengantarkan pesanan itu, karena tidak mungkin Andre bisa mengantarkan bunga itu sekaligus jika sendirian. Meskipun awalnya dia sempat menolak bantuanku, pada akhirnya Andre hanya bisa menghela napas karena aku yang keras kepala ini. "Sudah siap?" tanyanya. Tangan lelaki itu sudah membopong ranjang berisi bunga. "Sudah, kita antar sekarang saja." "Let's go .... " Aku menggelengkan kepala melihat dia yang berjalan sambil mengehentakkan kaki, persis seperti anak kecil yang bahagia karena hendak berlibur. Langkah ini mengikutinya keluar menuju pintu, sebelum berangkat aku
Seberkas cahaya masuk ke netra mataku yang perlahan mulai terbuka, aku meringis kecil kala merasakan sakit dibagian kepala. Ada apa ini? Sepertinya sudah terjadi sesuatu padaku dan juga... Andre, dimana lelaki itu? Lekas aku langsung terjaga dengan degub jantung yang tak beraturan, aku menoleh ke sekitar dan menyadari bahwa kini aku sedang berada di sebuah kamar mewah. Itu terbukti dari barang-barang yang ada di sini, semua ini jelas merek terkenal dan harganya tidak main-main. Sejenak aku kembali memejamkan mata untuk mengingat kejadian beberapa waktu yang lalu, siang tadi aku dan Andre sedang mengantarkan pesanan bunga disebuah perusahaan. Tapi saat hendak pulang, seseorang membekap mulutku hingga aku tidak sadarkan diri. Oh Tuhan ... lalu bagaimana nasib Andre sekarang? Kenapa dia tidak ada di sini. Juga, apa yang harus aku lakukan di tempat ini. Sepertinya seseorang dengan sengaja membawaku kemari dan berniat buruk. Karena aku baru sadar j
Melewati jalanan yang sepi, aku mendorong sepeda dengan terseok-seok karena kondisi kaki ku yang sedang terluka. Saat sedang merapikan jejeran vas bunga, aku tidak sengaja menyenggolnya. Lalu vas bunga itu jatuh dan pecah. Karena kurang berhati-hati saat membersihkannya, serpihan kaca itu malah melukai kakiku sampai berdarah.Untung saja pemilik toko tidak marah, dia malah berbaik hati menawarkan diri untuk mengantarku pulang, tentu saja aku langsung menolak. Aku tidak ingin merepotkan dirinya. Sungguh aku sangat beruntung bertemu dengan pemilik toko Bunga itu, namanya Bu Syifa. Dia sangat baik dan mau memberikan pekerjaan untukku. Karena setatusku masih bersekolah, aku tidak bisa bekerja full satu hari. Jadi, dari pagi sampai siang aku akan menjalankan tugas sebagai seorang siswa, setelah pulang sekolah sampai tengah malam aku akan pergi ke toko Bunga dimana tempatku bekerja.Sekarang sudah hampir tengah malam, suasananya terasa sunyi dan gelap. Hanya ada suara
Aku yang tadinya sedang berjongkok kini terhuyung ke belakang lalu jatuh dengan posisi duduk. Dia masih menatapku, dia seorang laki-laki.Dia memiliki bola mata berwarna biru muda dan bulu matanya lentik, juga bibirnya yang kecil berwarna merah marun dan hidung yang mancung. Wajahnya benar-benar mirip dengan manusia."Tolong aku..." Rintihan keluar dari mulutnya.Aku langsung tersadar."Kau bisa bicara? Ah baiklah, aku akan menolongmu. Tapi, apa yang harus aku lakukan?" Karena bingung aku malah berbalik tanya kepadanya.Keberadaannya disini sangat berbahaya, bagaimana jika ada warga atau Ibu dan Ayah yang melihatnya bisa-bisa besok pagi aku diserbu wartawan karena akulah yang pertama kali menemukannya."Bagaimana ini! Kemana aku akan membawanya pergi!"Kenapa aku malah jadi panik, seharusnya aku bisa mencari jalan keluar. Saat sedang menggerutu aku teringat jika di samping rumah ada gudang yang sudah tidak terp
"Apa kau gila? Huh! Sayap besar seperti apa sampai kau berteriak melihatnya?" Dari suaranya saja sangat jelas jika Ibuku sangat marah.Lalu, bagaimana jika mereka tahu bahwa aku yang membawa mahluk itu ke gudang kemarin malam. Oh Tuhan! Matilah aku."S-saya juga tidak tahu Bu, tapi sayap itu benar-benar besar. Sepertinya itu bukan sayap hewan."Mataku membelalak. Ibuku berjalan menuju pintu gudang, lalu menyuruh Mbok Iyem untuk menyingkir dari depan pintu."Minggir! Biar aku yang melihatnya!" ucap Ibuku sambil berusaha membuka pintu.Brak!Pintu terbuka dengan lebar, menampakkan semua isi gudang. Ibuku dan Mbok Iyem masuk kedalam, disusul olehku dan Ayah. Aku langsung merasa lega karena ternyata mahluk itu sudah tidak disini. Tapi, kemana dia pergi?"Lihat! Mana? Dimana sayap itu?" tanya Ibuku karena gudang ini hanya berisi barang bekas.Mbok Iyem terlihat bingung, dia terus menelusuri gudang ini sampai ke dalam lemari.
Aku terbangun. Kepalaku terasa pusing akibat hantaman benda tumpul tadi, sekarang dalam keadaan setengah sadar aku mencoba mengamati sekeliling. Dimana ini? Kenapa gelap sekali, tempat ini sangat minim cahaya.Aku menggeliat menggerakkan tubuhku. Tapi, sekarang rasanya begitu sesak karena tangan dan kaki ku diikat oleh tali. Kenapa aku diikat, sebenarnya aku dibawa kemana.Menghembuskan nafas panjang, aku putus asa. Pikiranku kembali pada kejadian tadi, saat dimana Mea dengan tega menukarku demi uang. Tak terasa air mataku kembali menetes kala mengingatnya.Rasanya sakit.Saat aku sedang melamun, tiba-tiba pintu terbuka dengan kasar. Menampakkan tiga laki-laki yang berbadan tinggi dan besar, aku tidak bisa melihat wajah mereka karena ruangan ini terlalu gelap, tapi aku menduga kalau itu Zico dan teman-temannya. Satu diantara mereka beranjak menyalakan lampu, seketika ruangan ini jadi bercahaya.Mataku beredar menatap sekeliling dengan ragu, t
Aku langsung membalikkan badan saat mendengar suara itu. Ternyata mahluk itu ada disini, ah maksudku Gentara. Dia tampak baik-baik saja dan sayapnya pun sudah menyatu kembali. Wajahnya terlihat berseri dengan senyuman yang merekah. Kenapa para peri memiliki wajah yang mempesona seperti ini?"Apa kau baik-baik saja?" Gentara bertanya padaku saat kami sudah saling berhadapan."Aku baik-baik saja, terimakasih atas bantuannya," jawabku sambil tersenyum lebar.Gentara hanya tersenyum menanggapi."Oh, tadi pagi kau bersembunyi di mana? Hampir saja ketahuan oleh orang-orang rumah," ujarku.Gentara berjalan melewati ku lalu berdiri di samping peri Altara."Sebenarnya aku tidak bersembunyi, kakakku lah yang datang menolongku sebelum kalian datang ke gudang,""Huh? Kalian kakak beradik?"Keduanya mengangguk bersamaan.Pantas saja, wajah mereka seperti pinang dibelah dua. Bahkan
Seberkas cahaya masuk ke netra mataku yang perlahan mulai terbuka, aku meringis kecil kala merasakan sakit dibagian kepala. Ada apa ini? Sepertinya sudah terjadi sesuatu padaku dan juga... Andre, dimana lelaki itu? Lekas aku langsung terjaga dengan degub jantung yang tak beraturan, aku menoleh ke sekitar dan menyadari bahwa kini aku sedang berada di sebuah kamar mewah. Itu terbukti dari barang-barang yang ada di sini, semua ini jelas merek terkenal dan harganya tidak main-main. Sejenak aku kembali memejamkan mata untuk mengingat kejadian beberapa waktu yang lalu, siang tadi aku dan Andre sedang mengantarkan pesanan bunga disebuah perusahaan. Tapi saat hendak pulang, seseorang membekap mulutku hingga aku tidak sadarkan diri. Oh Tuhan ... lalu bagaimana nasib Andre sekarang? Kenapa dia tidak ada di sini. Juga, apa yang harus aku lakukan di tempat ini. Sepertinya seseorang dengan sengaja membawaku kemari dan berniat buruk. Karena aku baru sadar j
Ketika hari menjelang siang, ada seseorang yang memesan banyak bunga untuk diantarkan sekarang juga. Orang tersebut hanya mencantumkan alamat tanpa pesan tersirat lain. Andre sedang bersiap menata sekitar sepuluh buket bunga dengan aneka warna ke atas ranjang, sedangkan aku masih merapihkan serpihan kelopak bunga yang berceceran di lantai toko. Aku berencana untuk ikut mengantarkan pesanan itu, karena tidak mungkin Andre bisa mengantarkan bunga itu sekaligus jika sendirian. Meskipun awalnya dia sempat menolak bantuanku, pada akhirnya Andre hanya bisa menghela napas karena aku yang keras kepala ini. "Sudah siap?" tanyanya. Tangan lelaki itu sudah membopong ranjang berisi bunga. "Sudah, kita antar sekarang saja." "Let's go .... " Aku menggelengkan kepala melihat dia yang berjalan sambil mengehentakkan kaki, persis seperti anak kecil yang bahagia karena hendak berlibur. Langkah ini mengikutinya keluar menuju pintu, sebelum berangkat aku
Tetesan air hujan terus membasahi wajahku yang sedang mendongak, menatap Zico dengan raut wajah yang penuh dengan tanda tanya. Kenapa dia bisa ada di sini? Terlebih lagi tangannya masih melekat dikedua pundakku dan perlahan mendekapnya dengan hangat. Dia menarik tubuhku agar berjalan menuju sebuah warung kopi yang terletak dipinggir jalan, aku bahkan tidak sadar jika hujan sudah turun dengan sangat deras. Kilatan putih juga saling menyambar membuat gemuruh yang menggetarkan jiwa. Zico masih diam tanpa mengeluarkan sepatah katapun, dan aku juga tidak berminat untuk bertanya terlebih dahulu. "Sepertinya kau sedang tidak baik-baik saja," ujarnya yang sama sekali tidak aku tanggapi. Entah ini kebetulan atau memang takdir, tapi kenapa harus Zico yang datang dan memberiku pertolongan. Dengan bibir terbuka aku mulai menggigil karena kedinginan, tapi mataku tetap saja menatap jalanan basah itu dengan tatapan kosong. "Ingin minum sesuatu?" Di
Kerutan didahiku tercetak semakin dalam, mencoba memahami maksud dari perkataan Gentara. Hal bodoh apa lagi ini? Seharusnya aku sudah tidur pulas sedari tadi jika saja dia tidak datang dan mengganggu pikiranku. "Apa maksudmu?" Aku memilih untuk duduk agar bisa mendengarkan dengan seksama. "Sebelum pesta itu dimulai, Laras memintaku agar berpura-pura menjadi kekasihnya. Katanya, dia malu jika masih lajang saat umurnya sudah delapan belas tahun," jelasnya dengan panjang lebar. Gentara juga memberitahukan hal-hal yang harus dilakukan jika sedang bersama Laras, seketika aku merasa geram mengetahui kenyataan ini. Laras! Dia benar-benar bukan manusia, aku yakin semua ini pasti terjadi karena sudah direncanakan olehnya. Laras sengaja mencari kesempatan untuk mendekati Gentara, padahal tujuan utamanya adalah untuk membuatku semakin menderita. Tidak! Aku tidak bisa selalu dalam bayang-bayang ketakutan, aku harus bisa melawan sikap semena-mena yang dila
Lagi-lagi aku dibuat terdiam olehnya, entah apa maksud Biru berkata demikian. Yang jelas itu bukan untukku, mana mungkin dia mencintaiku 'kan? Demi apapun sekarang aku langsung merasa kesal. Mimpi apa yang sedang ia alami sampai mengigau seperti ini."Biru, bangunlah!" Aku menaikan nada bicara. Benar saja, lelaki itu perlahan membuka matanya diiringi erangan kecil khas orang bangun tidur. Dia terlihat masih belum sadar sepenuhnya, sedangkan aku mulai memasukan barang-barang dan bersiap untuk berdiri. Hatiku sangat dongkol, aku ingin cepat menyelesaikan kegiatan ini. "Apa aku tertidur di pundakmu? Ah maaf." "Tidak masalah. Ayo turun." Ajakku sambil berdiri dari kursi bus. Namun, bukannya memberi jalan untuk aku berlalu Biru malah tetap duduk dengan posisi terus menatapku. Kedua alisku saling bertaut, "Kenapa? Kau tidak mau turun?" tanyaku heran. "Kau yang kenapa? Sepertinya sedang marah." Aku mengalihkan p
Semua orang terperangah tak percaya, termasuk diriku sendiri. Tapi sedetik kemudian para tamu langsung bertepuk tangan dan berteriak histeris kala Gentara menganggukkan kepalanya. Aku terdiam dengan napas yang mulai tercekat, jantungku berdebar seakan dihujani ribuan anak panah. Sakit, hati ku seperti digores belati tajam yang mengandung racun. Untuk bergerak dari tempat ini saja sungguh terasa sulit, Gentara ... kenapa dia tega membuat luka baru untuk kedua kalinya. Tuhan! Takdir macam apa ini? Kenapa orang yang aku benci malah menjadi kekasih dari orang yang sangat aku percaya. Laras, kenapa dia secepat itu jatuh cinta pada Gentara? Rencana apa yang akan dia lakukan. "Kalian sangat serasi, tampak seperti raja dan ratu di dunia nyata," celetuk dari salah seorang remaja putri bergaun selutut. "Benar, yang satu tampan yang satu cantik." "Hubungan kalian pasti sangat romantis.""Sepertinya kalian memang ditakdirkan untuk bersa
"Ayo! Makan." Seru Bu Syifa yang datang menghampiri ku dengan satu piring nasi goreng. Aku yang sedang mencatat belanjaan langsung menoleh, lalu tersenyum saat harum masakan itu menyeruak ke hidung. Ah, kebetulan sekali perut ini sudah berbunyi sedari tadi. "Terimakasih, Bunda. Ini pasti enak." Aku mengambil alih piring tersebut dan beralih untuk duduk. Satu suap nasi goreng berhasil aku kunyah dengan sempurna, aku memuji masakannya yang tak pernah gagal. Semua makanan yang ia buat memiliki ciri khas berbeda, dan aku pikir ini hanya bisa ditemukan dibeberapa tempat saja. "Pipimu terlihat memar," ujar Bu Syifa yang ikut duduk di depanku. Seketika aku berhenti mengunyah, tatapanku langsung berhenti pada butiran nasi yang hampir habis. Tadi Andre juga sempat menanyakan pipi memarku, tapi aku berhasil memberi masukan yang masuk akal. Jadi, untuk kedua kalinya aku harus berbohong. Karena kejujuran ku saat ini sedang tidak perlu
Suara gelak tawa langsung terdengar kala air kotor itu membasahi seluruh tubuhku. Aku menunduk dengan hati yang terasa sakit, lagi dan lagi mereka melakukan hal yang keterlaluan. Dan bodohnya aku tidak bisa melawan.Clara melemparkan ember itu ke arah kepalaku, dengan rasa sakit aku mencoba untuk berdiri dan meninggalkan tempat ini. Tapi, Laras terlebih dahulu menghempaskan tubuhku kembali ke lantai. Aku meringis kesakitan dan meringkuk di bawah sana, berharap ada seseorang yang bisa memberikan pertolongan. Pasrah, aku hanya bisa diam seperti mayat hidup air mataku turut menetes bercampur dengan debu. Laras menyibak rambutku yang menutupi wajah. "Jauhi Gentara, atau ... kau akan semakin menderita," ujarnya tersenyum simpul. Bibirku bergetar karena menggigil, rasa dingin ini semakin menyeruak hingga ke tulang. Permintaan Laras sungguh tidak masuk akal, aku tidak mungkin menjauhi Gentara. Dia adalah salah satu tanggung jawab yang harus aku j
Kami mendekat ke salah satu rumah yang berada dipaling ujung, di sana nampak ada cctv yang mengarah kemari. Kemungkinan besar, sang pemilik rumah itu memiliki rekaman video saat Andre dikeroyok.Namun, rumah ini seperti sudah tidak berpenghuni. Bahkan pintu rumahnya sudah dihinggapi banyak tanaman liar."Kau yakin, Ana? Jika di dalam sana ada orang?" Tanya Andre sambil sesekali mengintip lewat jendela luar.Awalnya aku tidak yakin, tapi setelah melihat cahaya di lantai atas pasti ada seseorang di sana. Rumah ini berlantai dua, dari luar terlihat sangat kumuh dan menyeramkan. Persis seperti rumah hantu."Lihat di sana." Aku menunjuk ruangan atas yang bercahaya, "Rumah ini pasti berpenghuni.""Ana, ini terlihat menyeramkan. Sebaiknya kita pulang saja." Aku hanya bisa menghela napas mendengar Gentara mulai merengek."Heh! Orang aneh