Aku langsung membalikkan badan saat mendengar suara itu. Ternyata mahluk itu ada disini, ah maksudku Gentara. Dia tampak baik-baik saja dan sayapnya pun sudah menyatu kembali. Wajahnya terlihat berseri dengan senyuman yang merekah. Kenapa para peri memiliki wajah yang mempesona seperti ini?
"Apa kau baik-baik saja?" Gentara bertanya padaku saat kami sudah saling berhadapan.
"Aku baik-baik saja, terimakasih atas bantuannya," jawabku sambil tersenyum lebar.
Gentara hanya tersenyum menanggapi.
"Oh, tadi pagi kau bersembunyi di mana? Hampir saja ketahuan oleh orang-orang rumah," ujarku.
Gentara berjalan melewati ku lalu berdiri di samping peri Altara.
"Sebenarnya aku tidak bersembunyi, kakakku lah yang datang menolongku sebelum kalian datang ke gudang,"
"Huh? Kalian kakak beradik?"
Keduanya mengangguk bersamaan.
Pantas saja, wajah mereka seperti pinang dibelah dua. Bahkan wajah Gentara juga cantik walaupun dia seorang laki-laki. Aku yang asli perempuan jadi iri melihatnya. Tapi, seperti apapun bentuk fisik yang kita miliki, kita harus mensyukurinya.
"Ana, apa kau ingin pulang sekarang?"
Aku yang sedang melamun langsung tersadar mendengar pertanyaan dari peri Altara, aku tidak sadar jika sekarang aku sedang dialam peri. Andai saja aku bisa tinggal disini selamanya bersama Ayahku mungkin aku tidak perlu merasakan sakitnya luka yang diberikan oleh orang sekitar.
Tapi bagaimanapun aku tidak seharusnya berada disini.
"Ah iya, jam berapa sekarang? Seharusnya aku berada di sekolah."
"Jam? Apa itu?" tanya Gentara dengan raut wajah bingung.
Tunggu. Apa dialam peri tidak ada jam? Menyadari itu aku langsung menghela nafas panjang, tentu saja di dunia peri tidak ada benda semacam itu. Aku seperti terjebak di dunia fantasi.
"Em ... Maksudku? Waktu. Sekarang masih pagi atau sudah siang." Jawabku sambil menggaruk kepala. Ini terdengar sangat aneh.
Mereka mengangguk, tapi apa mereka paham dengan yang aku katakan tadi.
"Karena ini dialam peri sekarang sudah menjelang petang, tapi aku tidak tahu waktu di bumi sekarang apa." Jawab peri Altara sambil sesekali melihat ke langit.
Jika dialam peri sekarang hampir menjelang petang, lalu dibumi bagaimana? Apa ada perbedaan waktu.
"Kalau begitu kembalikan saja aku ke sekolah."
Meski aku tidak yakin, tapi sepertinya dibumi waktunya sekarang masih siang. Mengingat kejadian saat aku masuk portal adalah pagi hari.
"Jangan! Tempat itu berbahaya untukmu," cegah Gentara.
Benar juga. Tidak mungkin aku kembali ke sekolah bahkan aku masih takut jika harus bertemu Zico. Tapi, kemana aku harus pergi.
Tidak mungkin aku pulang ke rumah, Ayah pasti akan curiga kenapa pulang lebih cepat dari biasanya. Lalu aku teringat bahwa aku ada pekerjaan di toko bunga pasti Bu Syifa senang jika aku datang lebih awal."Kembalikan aku ke tempat toko bunga, aku akan ke sana," jawabku dengan antusias.
Setelah mengatakan itu, aku merasa aneh. Kenapa mereka hanya diam saja?
"Ada apa?" tanyaku bingung.
Mereka hanya saling pandang, lalu peri Altara berjalan menghampiriku.
"Ana ... Aku tau kau masih sedih atas kejadian yang menimpamu saat ini, jika kau belum siap pulang ke bumi kau diperbolehkan untuk tetap disini paling tidak sampai kau merasa tenang," tuturnya dengan lembut.
Perkataannya seperti menghancurkan topeng yang aku pakai sejak tadi, aku memang tersenyum tapi tanpa bisa dipungkiri aku juga ingin menangis sejadi-jadinya. Sekarang aku menangis terisak mengingat kejadian dimana Mea dan Zico merencanakan hal keji.
Peri Altara mengusap bahuku yang bergetar karena menangis. Dengan terbata-bata aku berusaha berbicara.
"A-aku tidak punya teman."
••••
Sekarang aku sedang duduk berdua dengan Gentara, kami duduk beralaskan rumput hijau yang lembut dan harum. Sepertinya semua yang ada dialam peri memang kenyataan. Tapi jika sebenarnya ini hanyalah mimpi, aku tetap bahagia karena dipertemukan dengan orang-orang baik. Maksudku, peri-peri baik.
Sebenarnya aku malu karena tadi aku menangis tersedu-sedu seperti anak kecil. Belum lagi ingus yang keluar dari hidung membuatku merasa canggung. Sekarang kami masih berdiam diri dalam keheningan. Tapi lama-lama aku tidak tahan jika tidak berbicara.
"Maaf, tadi aku tidak bisa mengontrol diri. Jadi aku menangis seperti bocah," ujarku sambil tertawa kecil.
"Tidak masalah. Kau menangis karena hatimu memang sedang terluka, aku juga sering menangis." Jawab Gentara sambil memainkan rumput didepannya. Sesekali sayapnya yang bergerak juga mengenai tubuhku.
"Oh, apa peri juga bisa menangis?"
"Tentu saja. Kami para peri juga bisa merasakan sedih, bahagia, cemburu, dan lainnya. Itu semua terjadi karena kami juga punya perasaan, bukan?" ujarnya sambil tersenyum.
"Kau benar, bahkan semua mahluk hidup di dunia ini juga bisa merasakan hal seperti itu," tambahku.
Aku beralih menatap sayapnya lalu sesekali menyentuh sayap itu. Sayap ini sungguh bersih dan lembut, bahkan lebih lembut dari sutera.
"Wah! Ini sangat lembut. Cantik sekali."
"Sama sepertimu," sahutnya.
Pergerakan ku terhenti, apa aku tidak salah dengar? Tapi aku masih belum mengerti dengan perkataannya.
"Maksudmu?"
"Kau manusia yang cantik dan berhati lembut."
Mendengar itu aku terkekeh kecil. Meskipun Gentara bukan manusia, tapi aku tetap tersipu saat mendengarnya. Lagipula darimana dia tahu jika aku berhati lembut? Bahkan kami saja baru bertemu satu hari. Sudah lama aku tidak merasakan indahnya mengobrol dengan seseorang seperti ini, biasanya aku hanya berbicara dengan Ayahku. Hampir dua tahun aku merasa kesepian karena semua orang seperti menghilang dari bumi. Ternyata aku salah, orang-orang masih berada di tempat yang sama hanya saja mereka melupakan semua kenangan yang pernah diukir bersamaku. Berarti, bukan mereka yang menghilang. Tapi akulah yang menghilang karena dilupakan oleh mereka.
Aku merindukan masa-masa dimana Ibu masih menyayangiku dengan tulus. Ada Mea yang selalu membuatku tertawa setiap hari dengan candaannya, dan yang terpenting adalah Ayah yang dulu sehat juga selalu mengajakku jalan-jalan keliling taman diakhir pekan.
Namun takdir langsung merenggutnya dalam sekejap, meninggalkan kenangan yang hanya bisa ditangisi tanpa bisa diulangi.
Sekarang aku kembali menangis tanpa suara.
"Apa kau teringat sesuatu? Kenapa kau menangis lagi?" tanya Gentara yang ternyata sejak tadi memperhatikanku.
"Tidak apa. Aku hanya merindukan masa-masa dimana hidupku masih baik-baik saja. Jauh berbeda dengan hidupku yang sekarang," jawabku.
"Aneh, mengapa orang baik sepertimu tidak mempunyai teman?" tanya Gentara secara tiba-tiba.
Mendengar itu aku mengalihkan pandangan ke langit yang mulai kehilangan cahayanya. Sebenarnya ada beberapa alasan mengapa aku tidak punya teman, tapi aku tidak ingin mengatakan itu pada Gentara. Aku tidak ingin pertemuan yang singkat ini meninggalkan bekas yang kurang menyenangkan.
"Mungkin, takdir ingin aku bahagia dengan caraku sendiri. Bukan dari orang lain," aku tidak tau pasti, tapi bagiku kebahagiaan yang utama itu diciptakan oleh diri sendiri. Maka dari itu aku berhenti mengharapkan kebahagiaan dari orang lain. Meski faktanya kebahagiaan juga datang dari orang-orang yang kita sayangi.
Sekarang matahari sepenuhnya sudah tenggelam dan suasana langsung tergantikan oleh malam yang dihiasi bintang-bintang. Bulan juga langsung muncul dengan sinar terangnya. Aku hanya bisa membelalakkan kedua mata, menatap ke atas langit dengan penuh kagum.
"Wah ... Kenapa perubahannya begitu cepat? Bintang dan bulan juga langsung muncul padahal matahari baru saja tenggelam." Aku langsung berdiri dan berlari kecil ke arah taman bunga yang sama sekali tidak ada ujungnya mengabaikan Gentara yang sejak tadi menertawakan kelakuanku.
Ini sungguh tempat yang indah, aku seperti sedang berada di surga. Bahkan aku tidak bisa berhenti mengucapkan kata cantik untuk mendeskripsikan betapa indahnya tempat ini. Tiba-tiba segerombolan kupu-kupu yang bercahaya mengitari tubuhku, seakan mereka mengajakku untuk bermain bersama.
Aku tertawa sambil mengitari bunga yang bermekaran, lalu menatap Gentara yang masih berdiri sambil tersenyum.
"Gentara! Cepat kemari, kupu-kupu ini mengajak kita bermain," seruku dengan antusias.
Gentara berjalan ke arahku sambil menggelengkan kepalanya.
"Kau benar-benar seperti anak kecil," ujarnya sambil diikuti kekehan kecil.
Aku ikut tertawa mendengarnya di bumi tidak ada tempat seindah ini. Jadi aku sangat antusias saat mata ku mendapati pemandangan yang menyejukkan hati.
"Di alam peri setiap malam pasti ada Bintang dan Bulan. Mereka tidak pernah absen untuk menerangi gelapnya malam." Ujar Gentara yang memetik bunga berwarna biru keunguan, lalu menyelipkannya di salah satu telingaku.
Aku hanya diam memperhatikan wajahnya dari dekat, tidak lupa dengan jantungku yang seperti akan loncat dari tempatnya.
"Bunga ini bernama bunga Lilala, konon siapapun yang memiliki atau menanam bunga ini dia akan mendapatkan kebahagiaan."
"Aku ingin kau bahagia, simpanlah bunga itu," tambahnya.
Aku terdiam sejenak, lalu menatapnya dengan senyum lebar. Hari ini aku seperti merasakan kasih sayang dan perhatian dari orang-orang sekitarku dulu. Gentara kembali membuatku merasa bahwa aku hidup juga untuk bahagia.
"Terimakasih, karena sudah peduli padaku," jawabku dengan tatapan sendu semoga saja aku tidak menangis lagi.
Lalu dari atas langit terlihat ada peri Altara yang hendak turun sayapnya bergerak maju mundur sebelum akhirnya mendarat ke bawah. Meskipun bukan pertama kali aku melihatnya, tapi aku masih saja terkagum dengan kecantikannya yang melebihi kata cantik. Dia mendekat ke arahku dan Gentara tentu saja dengan senyum yang tidak pernah luntur.
"Kau sudah baik-baik saja? Aku turut bahagia," ujarnya.
"Ini semua berkat kalian, sekali lagi terimakasih." Jawabku sedikit membungkukkan badan.
Tiba-tiba aku teringat jika waktu dialam peri sudah malam, berarti mungkin saja di bumi sudah sore. Aku sampai lupa jika ini bukanlah tempat tinggalku.
"Em ... Bisakah aku pulang sekarang?" tanyaku ragu.
Peri Altara mengangguk.
"Tentu saja, sekarang mundurlah beberapa langkah dari tempat kau berdiri. Aku akan membuat portal."
Aku mundur beberapa langkah sampai peri Altara berkata cukup. Lalu dia menggerakkan tangannya yang langsung mengeluarkan cahaya biru kemerlip, lalu menghempaskan cahaya itu ke arah samping hingga munculah portal besar yang diselimuti angin.
"Sekarang, bayangkan tempat yang ingin kau tuju. Lalu masuklah ke dalam portal itu," ucap peri Altara yang tangannya masih mengendalikan portal.
Aku mengangguk lalu memejamkan mata aku membayangkan toko bunga Bu Syifa, karena itulah tempat yang akan ku tuju.
Setelah itu aku membuka mata dan mengambil ancang-ancang untuk memasuki portal, tapi terhenti oleh suara seseorang.
"Selamat tinggal, Ana." Ujar Gentara melambaikan tangannya.
Aku menoleh ke arah mereka, lalu ikut melambaikan tangan sebelum akhirnya aku berlari memasuki portal. Cahaya memenuhi penglihatan ku, aku seperti jatuh dari ketinggian yang tiada ujung. Sampai aku merasakan kedua kaki ku menapak pada tanah. Aku langsung membuka mata dan menyesuaikan dengan cahaya matahari yang menyilaukan. Awalnya aku bernafas lega karena sudah kembali bumi, tapi tidak setelah aku menyadari bahwa portal itu membawaku ke tempat yang salah.
"Apa! Pemakaman?" pekikku histeris karena sekarang berada diantara jejeran batu nisan.
Aku menengok ke kanan dan kiri seperti orang hilang, apa-apaan ini? Kenapa aku ada di pemakaman. Bukankah tadi aku membayangkan toko bunga Bu Syifa, tapi kenapa malah tersesat kemari. Apa portal itu sedang rusak.Seketika aku langsung merinding ketakutan, jangan-jangan aku benar-benar sudah mati lalu sekarang hidup kembali. Tapi apa kedua peri itu juga hanya khayalanku. Mana mungkin hal seperti ini bisa terjadi."Sebenarnya apa yang terjadi padaku." gumanku frustasi sambil mengacak rambutku.Tapi aku menyadari sesuatu seperti ada benda yang menyelip ditelinga kanan. Aku langsung mengambilnya dan mendapati bunga cantik yang diberikan oleh Gentara. Ya, bunga Lilala. Yang konon bisa mendatangkan kebahagiaan."Huh? Bunga ini ikut bersamaku? Jadi, ini bukan mimpi? Ini kenyataan?" Aku bertanya-tanya masih tidak percaya.Jika bunga ini nyata, berarti Gentara dan peri Altara juga nyata. Semoga saja semua keanehan ini segera berakhir.
Aku terkejut bukan main saat mendapati salah satu teman kelasku berada disini. Dia Miki, seseorang lelaki pendiam yang menjabat menjadi ketua kelas. Miki sangat jarang berbicara, tapi kenapa sekarang dia tersenyum seperti ini. Jujur aku baru pertama kali melihatnya."Oh, Miki. Kau mencariku?" Aku berusaha mengembalikan raut wajah yang semulanya terkejut.Bukannya menjawab, dia malah diam lalu senyumnya perlahan luntur. Sekarang wajahnya begitu dingin dan datar. Miki menatapku tanpa ekspresi tentu saja aku bingung dengan perubahan wajahnya yang tiba-tiba."Dasar bocah nakal," ketusnya.Aku membulatkan mata sebenarnya apa yang terjadi pada Miki. Tumben sekali mengajakku berbicara. Selama hampir tiga tahun dia bahkan hanya mengatakan beberapa kalimat saja kepadaku. Lagipula, darimana dia tau aku berada disini."Apa maksudmu?""Kenapa tidak izin jika tidak masuk sekolah? Jika ingin bolos maka setidaknya buatla
Mata ku mengerjap beberapa kali. Mencoba menghilangkan rasa pusing yang masih bersemayam di kepala. Aku bisa merasakan jika tubuhku sekarang berada di atas ranjang. Sekarang pandanganku mulai jelas dan saat aku melirik ke arah kanan aku dibuat terkejut oleh kehadiran seorang lelaki di kamar ku."Brengsek! Siapa kau!" Sontak aku berteriak dan melemparkan bantal ke arahnya.Aku berdiri lalu memukulinya dengan bertubi-tubi, sedangkan dia hanya meringis kesakitan sambil menangkis seranganku menggunakan kedua tangannya."H-hentikan! Ini aku!"Awalnya aku kesal dan tidak akan memberi ampun pada lelaki ini, tapi aku langsung berhenti saat menyadari bahwa pemilik suara itu seperti tidak asing bagiku.Aku mundur beberapa langkah guna melihat wajahnya. Bersamaan dengan itu lelaki yang kini berhadapan denganku ikut mengangkat wajahnya. Aku kembali terduduk diatas ranjang sambil menutup mulut, ini tidak mungkin."Ge-ge-ntar
Gentara terdiam cukup lama, matanya lurus menatap ke jalanan yang ramai tanpa berkedip."Aku tidak bisa berada di dekatmu setiap saat."Memandanginya dengan tatapan bingung, apa maksudnya?"Saat matahari sudah terbenam dan langit tergantikan oleh malam. Maka disaat itu juga sayap peri ku akan keluar," tambahnya."Segera aku harus menjauh dari keramaian manusia."Aku mengangguk mengerti, jadi Gentara tidak bisa keluar jika malam hari tiba? Sebenarnya aku sedikit kecewa karena tidak bisa bermain dengannya di malam hari."Oh ... Begitu, ya?""Lalu, apa makanan para peri? Apa sama dengan makanan manusia?" tanyaku.Selama Gentara di bumi, maka aku harus menjaga dan merawatnya dengan baik. Terutama tentang makanan."Em ... Para peri makan sesuatu yang sehat. Seperti buah, biji bunga, kacang-kacangan, daun binahong, burung citila, buah azele, dan masih banyak lagi."Aku ter
Entah sial apa yang sedang menghampiri kami saat ini. Di depan sana terdapat dua ekor anjing besar yang sedang menatap ku dan gentara. Lidah panjangnya menjulur mengeluarkan air liur, tatapan mata kedua anjing itu membuatku panas dingin.Sekilas aku melirik Gentara yang nampak ketakutan, tangannya juga sedikit gemetar. "Jangan panik! Kau baik-baik saja?" tanyaku khawatir."Anjing adalah musuh terbesar para peri. "Guk! "Lari. " Gentara langsung menarik tanganku dan kami berlari memutar arah.Aku yang belum siap hanya bisa mengikuti langkahnya yang panjang. Dan kedua anjing itu ternyata mengejar, itu membuatku semakin mempercepat larian. Tapi apalah daya kakiku ini pendek. Sekarang aku seperti seekor domba yang dipaksa berlari. Kami terus berlari tanpa tentu arah, menabrak apapun yang menghalangi jalan. Sesekali aku menoleh ke belakang dan mendapati kedua anjing i
Di waktu jam istirahat pertama aku memilih berdiam diri di dalam perpustakaan. Bukan untuk membaca buku, melainkan untuk menjauh dari kerumunan para murid. Tapi beberapa orang yang berada di sini juga tetap berbisik buruk tentang diriku mereka seakan tidak peduli bagaimana perasaanku yang mendengarkannya. Tanganku memegang satu buku, tapi tatapanku justru kosong menatap hamparan buku yang tertata rapi di rak.Kenapa kehidupan sekolahku sangat pahit seperti ini, aku pikir selama ini sudah menjadi murid yang baik. Aku juga tidak berbuat semena-mena pada murid lain. Namun, kenapa semua orang membenciku hanya karena ibuku seorang pelacur. Ya, pekerjaan itu memang tidak baik, tapi apa pantas mereka ikut menghakimi aku yang statusnya anak pelacur. Itu pekerjaan ibuku, bukan aku yang melakukannya. Tapi kenapa aku juga ikut dibenci. Kenapa? Ini menyakitkan. Aku juga manusia biasa yang akan terluka jika dibenci dan dikucilkan s
Alih-alih membantu kakek Ridin, justru malah aku dan Gentara yang dikejar oleh induk ayam. Kami berlarian ke sana kemari menghindari kejaran ayam yang marah. Sesekali aku tertawa terbahak -bahak karena melihat Gentara sangat ketakutan dan terus membuntuti ku. Katanya, dia tidak ingin bertemu dengan ayam lagi. Dan disinilah aku dan Gentara melepas penat, disebuah kedai ice cream sederhana bernuansa biru laut. Aku mengajak Gentara untuk mencicipi ice cream, dia pasti suka. "Ayo! Coba makan," bujukku pada Gentara yang sejak tadi hanya diam. Matanya menjelajahi setiap sudut ice cream. Seolah-olah makanan itu adalah hal asing baginya. "Wah! Kenapa makanan ini begitu dingin?" Gentara menyendok satu suapan, tapi dia meniupnya terlebih dahulu sebelum memakannya. Sontak aku tersenyum geli melihatnya, kenapa harus ditiup? "Kenapa kau meniupnya? Ice cream itu tidak panas," ujarku sambil tertawa. "Oh, tapi
Aku berjalan tanpa tentu arah masih dengan mengandeng tangan Gentara. Dia hanya diam tanpa berbicara sedikitpun, aku lega karena Gentara tidak bertanya yang aneh-aneh. Jika iya, aku tidak tahu harus bersikap bagaimana, karena perasaan ku sendiri sedang tidak baik. Namun, aku berhenti ketika merasakan adanya pergerakan di tanganku. Gentara seperti memberi kode agar aku berhenti. "Ana, sampai kapan kita akan berputar-putar di tempat yang sama?" Mendengar itu aku langsung menoleh ke belakang, sejenak terdiam mengamati sekitar. Oh, apa dari tadi aku dan Gentara hanya mengelilingi tempat yang sama? Pasalnya netra mataku menangkap bangunan yang berbentuk lingkaran, sedangkan ditengah-tengahnya terdapat banyak tanaman. Tanpa mengatakan apapun, aku langsung berjalan menuju bangku kayu yang tampak kotor. Aku tidak peduli dan langsung mendudukinya. Gentara yang peka juga langsung ikut duduk di samping ku. Aku mengehela nafas bera
Seberkas cahaya masuk ke netra mataku yang perlahan mulai terbuka, aku meringis kecil kala merasakan sakit dibagian kepala. Ada apa ini? Sepertinya sudah terjadi sesuatu padaku dan juga... Andre, dimana lelaki itu? Lekas aku langsung terjaga dengan degub jantung yang tak beraturan, aku menoleh ke sekitar dan menyadari bahwa kini aku sedang berada di sebuah kamar mewah. Itu terbukti dari barang-barang yang ada di sini, semua ini jelas merek terkenal dan harganya tidak main-main. Sejenak aku kembali memejamkan mata untuk mengingat kejadian beberapa waktu yang lalu, siang tadi aku dan Andre sedang mengantarkan pesanan bunga disebuah perusahaan. Tapi saat hendak pulang, seseorang membekap mulutku hingga aku tidak sadarkan diri. Oh Tuhan ... lalu bagaimana nasib Andre sekarang? Kenapa dia tidak ada di sini. Juga, apa yang harus aku lakukan di tempat ini. Sepertinya seseorang dengan sengaja membawaku kemari dan berniat buruk. Karena aku baru sadar j
Ketika hari menjelang siang, ada seseorang yang memesan banyak bunga untuk diantarkan sekarang juga. Orang tersebut hanya mencantumkan alamat tanpa pesan tersirat lain. Andre sedang bersiap menata sekitar sepuluh buket bunga dengan aneka warna ke atas ranjang, sedangkan aku masih merapihkan serpihan kelopak bunga yang berceceran di lantai toko. Aku berencana untuk ikut mengantarkan pesanan itu, karena tidak mungkin Andre bisa mengantarkan bunga itu sekaligus jika sendirian. Meskipun awalnya dia sempat menolak bantuanku, pada akhirnya Andre hanya bisa menghela napas karena aku yang keras kepala ini. "Sudah siap?" tanyanya. Tangan lelaki itu sudah membopong ranjang berisi bunga. "Sudah, kita antar sekarang saja." "Let's go .... " Aku menggelengkan kepala melihat dia yang berjalan sambil mengehentakkan kaki, persis seperti anak kecil yang bahagia karena hendak berlibur. Langkah ini mengikutinya keluar menuju pintu, sebelum berangkat aku
Tetesan air hujan terus membasahi wajahku yang sedang mendongak, menatap Zico dengan raut wajah yang penuh dengan tanda tanya. Kenapa dia bisa ada di sini? Terlebih lagi tangannya masih melekat dikedua pundakku dan perlahan mendekapnya dengan hangat. Dia menarik tubuhku agar berjalan menuju sebuah warung kopi yang terletak dipinggir jalan, aku bahkan tidak sadar jika hujan sudah turun dengan sangat deras. Kilatan putih juga saling menyambar membuat gemuruh yang menggetarkan jiwa. Zico masih diam tanpa mengeluarkan sepatah katapun, dan aku juga tidak berminat untuk bertanya terlebih dahulu. "Sepertinya kau sedang tidak baik-baik saja," ujarnya yang sama sekali tidak aku tanggapi. Entah ini kebetulan atau memang takdir, tapi kenapa harus Zico yang datang dan memberiku pertolongan. Dengan bibir terbuka aku mulai menggigil karena kedinginan, tapi mataku tetap saja menatap jalanan basah itu dengan tatapan kosong. "Ingin minum sesuatu?" Di
Kerutan didahiku tercetak semakin dalam, mencoba memahami maksud dari perkataan Gentara. Hal bodoh apa lagi ini? Seharusnya aku sudah tidur pulas sedari tadi jika saja dia tidak datang dan mengganggu pikiranku. "Apa maksudmu?" Aku memilih untuk duduk agar bisa mendengarkan dengan seksama. "Sebelum pesta itu dimulai, Laras memintaku agar berpura-pura menjadi kekasihnya. Katanya, dia malu jika masih lajang saat umurnya sudah delapan belas tahun," jelasnya dengan panjang lebar. Gentara juga memberitahukan hal-hal yang harus dilakukan jika sedang bersama Laras, seketika aku merasa geram mengetahui kenyataan ini. Laras! Dia benar-benar bukan manusia, aku yakin semua ini pasti terjadi karena sudah direncanakan olehnya. Laras sengaja mencari kesempatan untuk mendekati Gentara, padahal tujuan utamanya adalah untuk membuatku semakin menderita. Tidak! Aku tidak bisa selalu dalam bayang-bayang ketakutan, aku harus bisa melawan sikap semena-mena yang dila
Lagi-lagi aku dibuat terdiam olehnya, entah apa maksud Biru berkata demikian. Yang jelas itu bukan untukku, mana mungkin dia mencintaiku 'kan? Demi apapun sekarang aku langsung merasa kesal. Mimpi apa yang sedang ia alami sampai mengigau seperti ini."Biru, bangunlah!" Aku menaikan nada bicara. Benar saja, lelaki itu perlahan membuka matanya diiringi erangan kecil khas orang bangun tidur. Dia terlihat masih belum sadar sepenuhnya, sedangkan aku mulai memasukan barang-barang dan bersiap untuk berdiri. Hatiku sangat dongkol, aku ingin cepat menyelesaikan kegiatan ini. "Apa aku tertidur di pundakmu? Ah maaf." "Tidak masalah. Ayo turun." Ajakku sambil berdiri dari kursi bus. Namun, bukannya memberi jalan untuk aku berlalu Biru malah tetap duduk dengan posisi terus menatapku. Kedua alisku saling bertaut, "Kenapa? Kau tidak mau turun?" tanyaku heran. "Kau yang kenapa? Sepertinya sedang marah." Aku mengalihkan p
Semua orang terperangah tak percaya, termasuk diriku sendiri. Tapi sedetik kemudian para tamu langsung bertepuk tangan dan berteriak histeris kala Gentara menganggukkan kepalanya. Aku terdiam dengan napas yang mulai tercekat, jantungku berdebar seakan dihujani ribuan anak panah. Sakit, hati ku seperti digores belati tajam yang mengandung racun. Untuk bergerak dari tempat ini saja sungguh terasa sulit, Gentara ... kenapa dia tega membuat luka baru untuk kedua kalinya. Tuhan! Takdir macam apa ini? Kenapa orang yang aku benci malah menjadi kekasih dari orang yang sangat aku percaya. Laras, kenapa dia secepat itu jatuh cinta pada Gentara? Rencana apa yang akan dia lakukan. "Kalian sangat serasi, tampak seperti raja dan ratu di dunia nyata," celetuk dari salah seorang remaja putri bergaun selutut. "Benar, yang satu tampan yang satu cantik." "Hubungan kalian pasti sangat romantis.""Sepertinya kalian memang ditakdirkan untuk bersa
"Ayo! Makan." Seru Bu Syifa yang datang menghampiri ku dengan satu piring nasi goreng. Aku yang sedang mencatat belanjaan langsung menoleh, lalu tersenyum saat harum masakan itu menyeruak ke hidung. Ah, kebetulan sekali perut ini sudah berbunyi sedari tadi. "Terimakasih, Bunda. Ini pasti enak." Aku mengambil alih piring tersebut dan beralih untuk duduk. Satu suap nasi goreng berhasil aku kunyah dengan sempurna, aku memuji masakannya yang tak pernah gagal. Semua makanan yang ia buat memiliki ciri khas berbeda, dan aku pikir ini hanya bisa ditemukan dibeberapa tempat saja. "Pipimu terlihat memar," ujar Bu Syifa yang ikut duduk di depanku. Seketika aku berhenti mengunyah, tatapanku langsung berhenti pada butiran nasi yang hampir habis. Tadi Andre juga sempat menanyakan pipi memarku, tapi aku berhasil memberi masukan yang masuk akal. Jadi, untuk kedua kalinya aku harus berbohong. Karena kejujuran ku saat ini sedang tidak perlu
Suara gelak tawa langsung terdengar kala air kotor itu membasahi seluruh tubuhku. Aku menunduk dengan hati yang terasa sakit, lagi dan lagi mereka melakukan hal yang keterlaluan. Dan bodohnya aku tidak bisa melawan.Clara melemparkan ember itu ke arah kepalaku, dengan rasa sakit aku mencoba untuk berdiri dan meninggalkan tempat ini. Tapi, Laras terlebih dahulu menghempaskan tubuhku kembali ke lantai. Aku meringis kesakitan dan meringkuk di bawah sana, berharap ada seseorang yang bisa memberikan pertolongan. Pasrah, aku hanya bisa diam seperti mayat hidup air mataku turut menetes bercampur dengan debu. Laras menyibak rambutku yang menutupi wajah. "Jauhi Gentara, atau ... kau akan semakin menderita," ujarnya tersenyum simpul. Bibirku bergetar karena menggigil, rasa dingin ini semakin menyeruak hingga ke tulang. Permintaan Laras sungguh tidak masuk akal, aku tidak mungkin menjauhi Gentara. Dia adalah salah satu tanggung jawab yang harus aku j
Kami mendekat ke salah satu rumah yang berada dipaling ujung, di sana nampak ada cctv yang mengarah kemari. Kemungkinan besar, sang pemilik rumah itu memiliki rekaman video saat Andre dikeroyok.Namun, rumah ini seperti sudah tidak berpenghuni. Bahkan pintu rumahnya sudah dihinggapi banyak tanaman liar."Kau yakin, Ana? Jika di dalam sana ada orang?" Tanya Andre sambil sesekali mengintip lewat jendela luar.Awalnya aku tidak yakin, tapi setelah melihat cahaya di lantai atas pasti ada seseorang di sana. Rumah ini berlantai dua, dari luar terlihat sangat kumuh dan menyeramkan. Persis seperti rumah hantu."Lihat di sana." Aku menunjuk ruangan atas yang bercahaya, "Rumah ini pasti berpenghuni.""Ana, ini terlihat menyeramkan. Sebaiknya kita pulang saja." Aku hanya bisa menghela napas mendengar Gentara mulai merengek."Heh! Orang aneh