Aku yang tadinya sedang berjongkok kini terhuyung ke belakang lalu jatuh dengan posisi duduk. Dia masih menatapku, dia seorang laki-laki.
Dia memiliki bola mata berwarna biru muda dan bulu matanya lentik, juga bibirnya yang kecil berwarna merah marun dan hidung yang mancung. Wajahnya benar-benar mirip dengan manusia.
"Tolong aku..." Rintihan keluar dari mulutnya.
Aku langsung tersadar.
"Kau bisa bicara? Ah baiklah, aku akan menolongmu. Tapi, apa yang harus aku lakukan?" Karena bingung aku malah berbalik tanya kepadanya.
Keberadaannya disini sangat berbahaya, bagaimana jika ada warga atau Ibu dan Ayah yang melihatnya bisa-bisa besok pagi aku diserbu wartawan karena akulah yang pertama kali menemukannya.
"Bagaimana ini! Kemana aku akan membawanya pergi!"
Kenapa aku malah jadi panik, seharusnya aku bisa mencari jalan keluar. Saat sedang menggerutu aku teringat jika di samping rumah ada gudang yang sudah tidak terpakai. Aku tersenyum dan langsung mengajaknya untuk segera pergi ke sana.
"Di samping rumahku ada gudang, aku akan membawamu ke sana. Karena diluar sangat berbahaya bagimu." Dia tetap tidak merespon membuatku bingung.
Tanpa persetujuan darinya aku langsung bergerak dan berniat untuk memapahnya. Tapi, dengan kasar dia malah menepis tanganku.
"Jangan sentuh aku," desisnya tajam.
Aku menganga tak percaya, kenapa dia malah marah. Padahal aku hanya ingin menolongnya.
"Hey! Kenapa kau marah? Aku hanya ingin membantumu."
Entah mengapa aku malah jadi kesal, kalau tidak mau dibantu seharusnya jangan jatuh di depan rumahku. Padahal dia yang tadi meminta pertolongan tapi kenapa malah dia yang kasar.
"Sekarang bagaimana? Apa kau bisa berjalan sendiri ke gudang?" tanyaku.
Dia kembali menatapku dengan mata yang berkaca-kaca. Aku sedikit tercengang, kenapa dia menatapku seperti itu.
"Baiklah. Izinkan aku untuk menyentuhmu, aku tidak punya maksud tertentu. Aku hanya ingin membantu, karena terlalu berbahaya jika kau tetap di sini."
Sekarang jika dia menolak lagi, aku tidak tahu harus berbuat apa. Tapi, tanpa aku duga dia malah mengulurkan tangannya. Dengan segera aku langsung menerimanya dan membantunya untuk berdiri. Dengan susah payah akhirnya sekarang aku sudah memapahnya. Tapi, kenapa dia begitu tinggi? Bahkan tinggiku saja hanya mencapai bahunya.
Tanpa disadari, tanganku menyentuh tubuhnya. Dan aku malah merasa gugup sekarang, mahluk ini memiliki aroma wangi bunga yang yang membuatku merasa nyaman. Aku heran, apa dia memakai parfum?
Perlahan aku mulai melangkahkan kaki sedikit demi sedikit, sedangkan dia kesulitan berjalan karena jubah putihnya sangat panjang hingga menutupi kaki. Rasa nyeri menjalar dari kaki sampai ujung kepalaku. Oh tidak! Pasti sekarang luka di kaki ku semakin bertambah parah. Ini sakit sekali. Tapi aku harus menahannya agar mahluk ini bisa sampai di gudang.
"Pelan-pelan saja," intruksiku yang masih menopang tubuhnya. Jujur, dia sangat berat.
Setelah membutuhkan waktu yang cukup lama, akhirnya kami sampai di gudang. Aku langsung mendudukan dirinya dibelakang lemari usang agar tidak ada yang curiga. Aku juga ikut duduk, aku meringis pelan saat darah keluar dari balik plester yang menutupi lukaku.
Dia masih saja memegangi pundaknya, apa itu efek dari luka yang ada di sayapnya? Aku juga tidak tahu. Aku memandangi sayapnya dari dekat, seketika aku terkagum-kagum karena ini memang sayap asli. Seperti sayap burung, bedanya sayap ini berpuluh-puluh kali lipat lebih besar.
"Bagaimana caraku agar bisa menyembuhkan sayapmu? Aku tidak punya obat untuk burung besar seperti mu."
Dia ini bukan manusia, jadi aku menyebutnya burung besar. Oh tunggu! Apa jangan-jangan dia malaikat pencabut nyawa?
"Kau burung besar 'kan? Bukan malaikat pencabut nyawa?"
Entah mengapa aku baru sadar jika dia mirip seperti malaikat di cerita dongeng. Tapi, apa di zaman seperti ini ada kejadian aneh malaikat jatuh dari langit. Ya! Ada. Buktinya aku baru saja mengalaminya.
"Aku bukan burung besar ataupun malaikat! Aku peri!" jawabnya dengan nada kesal bercampur dengan rintihan kecil karena kesakitan.
Tiba-tiba perutku terasa seperti diserbu ribuan kupu-kupu. Apa tadi dia kesal? Tapi wajahnya terlihat begitu menggemaskan.
"Kau seorang peri? Aneh, peri itu hanya ada di cerita dongeng. Tapi... Kau memiliki sayap, dan itu asli. Percaya atau tidak, aku memang harus percaya," ujarku.
Aku tidak tahu harus bersikap bagaimana, ini aneh, tapi nyata. Ah sudahlah! Aku hanya berharap agar dia bisa kembali ke tempat asalnya.
"Lalu, dimana kau tinggal? Biar aku yang mengantarmu pulang."
Aku mendekatkan diri kepadanya, lalu duduk bersila dengan tatapan yang serius.
"Aku tinggal di atas langit. Sedangkan kau manusia, lalu bagaimana caramu agar bisa membawaku terbang?"
Pertanyaannya membuatku berpikir sejenak, tidak lama setelah itu aku tersenyum mendapat jawaban.
"Kau tahu? Di dunia ini ada yang namanya pesawat. Pesawat bisa membawamu terbang ke atas langit," jawabku dengan antusias.
"Benarkah?"
"Benar. Tapi ...." Aku menggantung ucapanku.
"Tidak mungkin kau naik pesawat dan bertemu manusia dengan sayap sebesar ini. Yang ada nanti kau malah dibawa ke kebun binatang," lanjutku.
Dia memasang wajah bingung.
"Kebun binatang?"
Dia seperti bingung dengan perkataanku, mungkin di dunia peri tidak ada yang namanya kebun binatang. Jikalau ada mungkin namanya saja yang berbeda.
"Kebun binatang itu tempat berkumpulnya para hewan seperti Gajah, Harimau, Singa, Monyet, dan masih banyak lagi. Manusia melakukan itu agar hewan hewan yang hampir punah masih bisa dilihat oleh generasi selanjutnya, dan untuk melindungi hewan serta satwa liar dari ancaman para pemburu."
Dia mengangguk angguk mendengarkan apa yang aku katakan. Sungguh, dia sangat lucu.
"Tapi... Aku bukan hewan,"
"Tapi kau memiliki sayap yang besar, orang-orang pasti akan menggangapmu mahluk aneh," jawabku membenarkan.
Hening sebentar, aku bingung harus melakukan apa.
"Kau sudah tidak merasakan sakit?" tanyaku.
Mendengar pertanyaanku, dia menoleh ke arah sayapnya yang terluka. Lalu, dia beralih menatapku.
"Sebenarnya ini tidak sakit," jawabnya.
Mendengar jawabannya aku malah dibuat heran, lalu kenapa dia menangis tadi.
"Itu tidak sakit? Lalu kenapa kau menangis tadi." Tanyaku sambil menggaruk kepala.
Namun, dia hanya terdiam seperti sedang memikirkan sesuatu.
"Aku hanya takut saat kau mendekat, karena dari dulu bangsa peri dilarang berinteraksi langsung dengan manusia. Manusia itu berbahaya."
Aku mengangguk mengerti. Benar juga, jika ada orang lain yang melihat mahluk aneh sepertinya pasti akan langsung ditangkap. Mungkin itu yang membuat bangsa peri berpikir jika manusia itu berbahaya.
"Kenapa kau tidak kabur saat melihatku?" Tanyaku penasaran.
"Karena sayapku robek, aku jadi tidak bisa terbang," jelasnya.
Ah aku mengerti sekarang. Aku langsung menarik pita merah yang sebelumnya digunakan untuk mengikat rambutku. Sedangkan mahluk itu hanya diam memperhatikanku. Entah ide dari mana tapi aku berpikir untuk mengikat sayapnya dengan pita merah ini. Siapa tau nanti dia bisa terbang.
"Selesai." Aku tersenyum saat berhasil menyatukan sayapnya yang semula robek.
"Apa yang kau lakukan?"
"Aku mengikat sayapmu. Dengan cara ini mungkin kau bisa terbang kembali," jawabku.
"Benarkah?"
"Bisakah kau mundur? Jarak kita terlalu dekat. Aku ingin mencoba menggerakkan sayapku," pintanya padaku.
Mendengar itu aku mundur ke belakang dengan perlahan sambil menyembunyikan wajahku yang tiba-tiba panas. Hey! Jangan berpikir yang tidak-tidak. Dia menggerakkan sayapnya dengan perlahan, membuatku kembali menganga karena terlalu indah. Sampai detik ini pun aku masih tidak percaya bisa bertemu dengan seorang peri.
Namun, saat kakinya sudah tidak menapaki lantai dia kembali terjatuh lalu tersungkur. Aku yang terkejut langsung menghampirinya.
"Hey! Kau tidak apa-apa 'kan? Apa yang terjadi?"
Aku malah panik dibuatnya, aku pikir tadi dia akan terbang karena tangan ini sudah siap untuk melambai sebagai salam perpisahan.
"Aku tidak tahu. Tapi aku seperti tidak mempunyai tenaga untuk terbang kembali." Dia mengusap kedua sayapnya dengan raut wajah sedih.
Aku juga bingung harus bagaimana, yang jelas aku akan melakukan apapun agar dia bisa kembali ke tempat asalnya. Karena jika dia tetap disini justru itu akan membahayakan keselamatannya.
"Kalau begitu, kau tetaplah disini sampai besok pagi. Sekarang, istirahatlah."
Ya. Karena aku juga sudah lelah, besok aku juga harus sekolah.
"Apa kau lapar? Atau ingin minum?" tanyaku memastikan.
Dia hanya menggeleng. Ah! Mungkin saja makanan peri dan manusia itu berbeda jadi dia tidak mau.
"Baiklah, aku akan membiarkanmu disini sampai besok pagi. Berjanjilah padaku kau tidak akan beranjak sedikitpun dari tempat ini?"
Aku harus memberi tahunya terlebih dahulu, karena akan sangat berbahaya jika orang rumah melihatnya, apalagi Ibu. Sekarang dia mengangguk sebagai jawaban. Aku anggap jika dia mengerti dan paham dengan apa yang aku katakan.
"Sekarang istirahatlah, aku akan kembali ke sini besok."
••••
Pagi harinya aku terburu-buru menyiapkan masakan untuk Ibu, karena biasanya dia akan sarapan. Meskipun ada pembantu tapi tetap saja aku yang harus menyiapkan makanan, dan lain-lainnya. Aku juga sudah membuatkan bubur untuk Ayah, sekarang dia sedang duduk di meja makan sambil memperhatikanku.
"Ana? Kenapa kau terlihat terburu-buru? Bukankah ini masih terlalu pagi untuk berangkat ke sekolah?" tanya Ayahku.
Memang sekarang masih sekitar jam setengah enam pagi. Tapi aku terburu-buru karena khawatir dengan keberadaan mahluk itu digudang, apa dia baik-baik saja.
"Tidak Ayah, aku hanya tidak mau membuatmu menunggu,"
"Pelan-pelan saja memasaknya. Ayah belum lapar, jangan sampai alat-alat dapur melukai putriku."
Aku tertawa mendengarnya, sekarang perasaanku lebih tenang karena Ayahku mencairkan suasana. Kadang aku berpikir kenapa Ibu bisa berpaling dari lelaki baik sepertinya, aku saja sebagai putrinya sangat mencintai kepribadiannya yang begitu lemah lembut dan penyayang. Tadi aku juga sudah memberitahu Ayah penyebab kaki ku terluka, agar dia tidak terlalu khawatir. Kesehatannya sangat penting bagiku.
Disaat aku sedang menyiapkan makanan di meja makan, terdengar suara seseorang sedang menuruni tangga. Ibuku datang dengan pakaian rumahan juga tanpa make-up. Aku mengalihkan pandanganku untuk menatap Ibuku, jujur aku menyukai dia yang seperti ini daripada dengan penampilannya ketika menjelang malam.
"Berhenti menatapku! Cepat siapkan makanannya," ketusnya.
Terdengar helaan nafas dari seberang, Ayah pasti sangat menghawatirkanku.
Apa kalian tau aturan makan di rumah ini? Aku dan ayah tidak boleh makan sebelum Ibuku menyelesaikan makanannya. Bisa dikatakan, kami berdua makan makanan yang tersisa di meja. Jika itu berlaku untukku aku tidak masalah, tapi ini juga untuk Ayah padahal dia sedang sakit. Saat aku sedang merapikan dapur, tiba-tiba ada suara teriakan dari luar.
"Aaaaaa!"
Itu suara mbok Iyem, pembantu yang umurnya sudah tidak muda tapi dia sangat rajin. Kami bertiga hanya saling pandang dengan raut wajah bingung. Sedangkan perasaanku sudah mulai tidak enak.
"Apa yang terjadi pada pembantu tua itu?" Tanya Ibuku kesal.
Tanpa pikir panjang aku langsung keluar rumah dengan tertatih, apa yang akan terjadi setelah ini.
Aku berhenti ketika mendapati Mbok Iyem sedang ketakutan sambil memegangi pintu gudang. Disusul Ayah dan Ibuku yang sekarang sudah berada di dekatku.
"Kenapa kau teriak huh? Saya sedang menikmati sarapan jadi terganggu karena mu!" Bentak Ibuku yang merasa kesal.
Aku berusaha untuk tetap tenang, mengahalau segala pikiran burukku tentang mahluk itu.
"Maafkan saya Bu, "
"Tapi, didalam gudang saya melihat ...." jawab Mbok Iyem menggantung ucapannya.
Aku menelan ludah dengan susah payah. Jangan-jangan yang Mbok Iyem lihat itu...
"Apa yang kau lihat sampai berteriak?"
"Saya lihat... Ada sayap besar Bu."
"Apa kau gila? Huh! Sayap besar seperti apa sampai kau berteriak melihatnya?" Dari suaranya saja sangat jelas jika Ibuku sangat marah.Lalu, bagaimana jika mereka tahu bahwa aku yang membawa mahluk itu ke gudang kemarin malam. Oh Tuhan! Matilah aku."S-saya juga tidak tahu Bu, tapi sayap itu benar-benar besar. Sepertinya itu bukan sayap hewan."Mataku membelalak. Ibuku berjalan menuju pintu gudang, lalu menyuruh Mbok Iyem untuk menyingkir dari depan pintu."Minggir! Biar aku yang melihatnya!" ucap Ibuku sambil berusaha membuka pintu.Brak!Pintu terbuka dengan lebar, menampakkan semua isi gudang. Ibuku dan Mbok Iyem masuk kedalam, disusul olehku dan Ayah. Aku langsung merasa lega karena ternyata mahluk itu sudah tidak disini. Tapi, kemana dia pergi?"Lihat! Mana? Dimana sayap itu?" tanya Ibuku karena gudang ini hanya berisi barang bekas.Mbok Iyem terlihat bingung, dia terus menelusuri gudang ini sampai ke dalam lemari.
Aku terbangun. Kepalaku terasa pusing akibat hantaman benda tumpul tadi, sekarang dalam keadaan setengah sadar aku mencoba mengamati sekeliling. Dimana ini? Kenapa gelap sekali, tempat ini sangat minim cahaya.Aku menggeliat menggerakkan tubuhku. Tapi, sekarang rasanya begitu sesak karena tangan dan kaki ku diikat oleh tali. Kenapa aku diikat, sebenarnya aku dibawa kemana.Menghembuskan nafas panjang, aku putus asa. Pikiranku kembali pada kejadian tadi, saat dimana Mea dengan tega menukarku demi uang. Tak terasa air mataku kembali menetes kala mengingatnya.Rasanya sakit.Saat aku sedang melamun, tiba-tiba pintu terbuka dengan kasar. Menampakkan tiga laki-laki yang berbadan tinggi dan besar, aku tidak bisa melihat wajah mereka karena ruangan ini terlalu gelap, tapi aku menduga kalau itu Zico dan teman-temannya. Satu diantara mereka beranjak menyalakan lampu, seketika ruangan ini jadi bercahaya.Mataku beredar menatap sekeliling dengan ragu, t
Aku langsung membalikkan badan saat mendengar suara itu. Ternyata mahluk itu ada disini, ah maksudku Gentara. Dia tampak baik-baik saja dan sayapnya pun sudah menyatu kembali. Wajahnya terlihat berseri dengan senyuman yang merekah. Kenapa para peri memiliki wajah yang mempesona seperti ini?"Apa kau baik-baik saja?" Gentara bertanya padaku saat kami sudah saling berhadapan."Aku baik-baik saja, terimakasih atas bantuannya," jawabku sambil tersenyum lebar.Gentara hanya tersenyum menanggapi."Oh, tadi pagi kau bersembunyi di mana? Hampir saja ketahuan oleh orang-orang rumah," ujarku.Gentara berjalan melewati ku lalu berdiri di samping peri Altara."Sebenarnya aku tidak bersembunyi, kakakku lah yang datang menolongku sebelum kalian datang ke gudang,""Huh? Kalian kakak beradik?"Keduanya mengangguk bersamaan.Pantas saja, wajah mereka seperti pinang dibelah dua. Bahkan
Aku menengok ke kanan dan kiri seperti orang hilang, apa-apaan ini? Kenapa aku ada di pemakaman. Bukankah tadi aku membayangkan toko bunga Bu Syifa, tapi kenapa malah tersesat kemari. Apa portal itu sedang rusak.Seketika aku langsung merinding ketakutan, jangan-jangan aku benar-benar sudah mati lalu sekarang hidup kembali. Tapi apa kedua peri itu juga hanya khayalanku. Mana mungkin hal seperti ini bisa terjadi."Sebenarnya apa yang terjadi padaku." gumanku frustasi sambil mengacak rambutku.Tapi aku menyadari sesuatu seperti ada benda yang menyelip ditelinga kanan. Aku langsung mengambilnya dan mendapati bunga cantik yang diberikan oleh Gentara. Ya, bunga Lilala. Yang konon bisa mendatangkan kebahagiaan."Huh? Bunga ini ikut bersamaku? Jadi, ini bukan mimpi? Ini kenyataan?" Aku bertanya-tanya masih tidak percaya.Jika bunga ini nyata, berarti Gentara dan peri Altara juga nyata. Semoga saja semua keanehan ini segera berakhir.
Aku terkejut bukan main saat mendapati salah satu teman kelasku berada disini. Dia Miki, seseorang lelaki pendiam yang menjabat menjadi ketua kelas. Miki sangat jarang berbicara, tapi kenapa sekarang dia tersenyum seperti ini. Jujur aku baru pertama kali melihatnya."Oh, Miki. Kau mencariku?" Aku berusaha mengembalikan raut wajah yang semulanya terkejut.Bukannya menjawab, dia malah diam lalu senyumnya perlahan luntur. Sekarang wajahnya begitu dingin dan datar. Miki menatapku tanpa ekspresi tentu saja aku bingung dengan perubahan wajahnya yang tiba-tiba."Dasar bocah nakal," ketusnya.Aku membulatkan mata sebenarnya apa yang terjadi pada Miki. Tumben sekali mengajakku berbicara. Selama hampir tiga tahun dia bahkan hanya mengatakan beberapa kalimat saja kepadaku. Lagipula, darimana dia tau aku berada disini."Apa maksudmu?""Kenapa tidak izin jika tidak masuk sekolah? Jika ingin bolos maka setidaknya buatla
Mata ku mengerjap beberapa kali. Mencoba menghilangkan rasa pusing yang masih bersemayam di kepala. Aku bisa merasakan jika tubuhku sekarang berada di atas ranjang. Sekarang pandanganku mulai jelas dan saat aku melirik ke arah kanan aku dibuat terkejut oleh kehadiran seorang lelaki di kamar ku."Brengsek! Siapa kau!" Sontak aku berteriak dan melemparkan bantal ke arahnya.Aku berdiri lalu memukulinya dengan bertubi-tubi, sedangkan dia hanya meringis kesakitan sambil menangkis seranganku menggunakan kedua tangannya."H-hentikan! Ini aku!"Awalnya aku kesal dan tidak akan memberi ampun pada lelaki ini, tapi aku langsung berhenti saat menyadari bahwa pemilik suara itu seperti tidak asing bagiku.Aku mundur beberapa langkah guna melihat wajahnya. Bersamaan dengan itu lelaki yang kini berhadapan denganku ikut mengangkat wajahnya. Aku kembali terduduk diatas ranjang sambil menutup mulut, ini tidak mungkin."Ge-ge-ntar
Gentara terdiam cukup lama, matanya lurus menatap ke jalanan yang ramai tanpa berkedip."Aku tidak bisa berada di dekatmu setiap saat."Memandanginya dengan tatapan bingung, apa maksudnya?"Saat matahari sudah terbenam dan langit tergantikan oleh malam. Maka disaat itu juga sayap peri ku akan keluar," tambahnya."Segera aku harus menjauh dari keramaian manusia."Aku mengangguk mengerti, jadi Gentara tidak bisa keluar jika malam hari tiba? Sebenarnya aku sedikit kecewa karena tidak bisa bermain dengannya di malam hari."Oh ... Begitu, ya?""Lalu, apa makanan para peri? Apa sama dengan makanan manusia?" tanyaku.Selama Gentara di bumi, maka aku harus menjaga dan merawatnya dengan baik. Terutama tentang makanan."Em ... Para peri makan sesuatu yang sehat. Seperti buah, biji bunga, kacang-kacangan, daun binahong, burung citila, buah azele, dan masih banyak lagi."Aku ter
Entah sial apa yang sedang menghampiri kami saat ini. Di depan sana terdapat dua ekor anjing besar yang sedang menatap ku dan gentara. Lidah panjangnya menjulur mengeluarkan air liur, tatapan mata kedua anjing itu membuatku panas dingin.Sekilas aku melirik Gentara yang nampak ketakutan, tangannya juga sedikit gemetar. "Jangan panik! Kau baik-baik saja?" tanyaku khawatir."Anjing adalah musuh terbesar para peri. "Guk! "Lari. " Gentara langsung menarik tanganku dan kami berlari memutar arah.Aku yang belum siap hanya bisa mengikuti langkahnya yang panjang. Dan kedua anjing itu ternyata mengejar, itu membuatku semakin mempercepat larian. Tapi apalah daya kakiku ini pendek. Sekarang aku seperti seekor domba yang dipaksa berlari. Kami terus berlari tanpa tentu arah, menabrak apapun yang menghalangi jalan. Sesekali aku menoleh ke belakang dan mendapati kedua anjing i
Seberkas cahaya masuk ke netra mataku yang perlahan mulai terbuka, aku meringis kecil kala merasakan sakit dibagian kepala. Ada apa ini? Sepertinya sudah terjadi sesuatu padaku dan juga... Andre, dimana lelaki itu? Lekas aku langsung terjaga dengan degub jantung yang tak beraturan, aku menoleh ke sekitar dan menyadari bahwa kini aku sedang berada di sebuah kamar mewah. Itu terbukti dari barang-barang yang ada di sini, semua ini jelas merek terkenal dan harganya tidak main-main. Sejenak aku kembali memejamkan mata untuk mengingat kejadian beberapa waktu yang lalu, siang tadi aku dan Andre sedang mengantarkan pesanan bunga disebuah perusahaan. Tapi saat hendak pulang, seseorang membekap mulutku hingga aku tidak sadarkan diri. Oh Tuhan ... lalu bagaimana nasib Andre sekarang? Kenapa dia tidak ada di sini. Juga, apa yang harus aku lakukan di tempat ini. Sepertinya seseorang dengan sengaja membawaku kemari dan berniat buruk. Karena aku baru sadar j
Ketika hari menjelang siang, ada seseorang yang memesan banyak bunga untuk diantarkan sekarang juga. Orang tersebut hanya mencantumkan alamat tanpa pesan tersirat lain. Andre sedang bersiap menata sekitar sepuluh buket bunga dengan aneka warna ke atas ranjang, sedangkan aku masih merapihkan serpihan kelopak bunga yang berceceran di lantai toko. Aku berencana untuk ikut mengantarkan pesanan itu, karena tidak mungkin Andre bisa mengantarkan bunga itu sekaligus jika sendirian. Meskipun awalnya dia sempat menolak bantuanku, pada akhirnya Andre hanya bisa menghela napas karena aku yang keras kepala ini. "Sudah siap?" tanyanya. Tangan lelaki itu sudah membopong ranjang berisi bunga. "Sudah, kita antar sekarang saja." "Let's go .... " Aku menggelengkan kepala melihat dia yang berjalan sambil mengehentakkan kaki, persis seperti anak kecil yang bahagia karena hendak berlibur. Langkah ini mengikutinya keluar menuju pintu, sebelum berangkat aku
Tetesan air hujan terus membasahi wajahku yang sedang mendongak, menatap Zico dengan raut wajah yang penuh dengan tanda tanya. Kenapa dia bisa ada di sini? Terlebih lagi tangannya masih melekat dikedua pundakku dan perlahan mendekapnya dengan hangat. Dia menarik tubuhku agar berjalan menuju sebuah warung kopi yang terletak dipinggir jalan, aku bahkan tidak sadar jika hujan sudah turun dengan sangat deras. Kilatan putih juga saling menyambar membuat gemuruh yang menggetarkan jiwa. Zico masih diam tanpa mengeluarkan sepatah katapun, dan aku juga tidak berminat untuk bertanya terlebih dahulu. "Sepertinya kau sedang tidak baik-baik saja," ujarnya yang sama sekali tidak aku tanggapi. Entah ini kebetulan atau memang takdir, tapi kenapa harus Zico yang datang dan memberiku pertolongan. Dengan bibir terbuka aku mulai menggigil karena kedinginan, tapi mataku tetap saja menatap jalanan basah itu dengan tatapan kosong. "Ingin minum sesuatu?" Di
Kerutan didahiku tercetak semakin dalam, mencoba memahami maksud dari perkataan Gentara. Hal bodoh apa lagi ini? Seharusnya aku sudah tidur pulas sedari tadi jika saja dia tidak datang dan mengganggu pikiranku. "Apa maksudmu?" Aku memilih untuk duduk agar bisa mendengarkan dengan seksama. "Sebelum pesta itu dimulai, Laras memintaku agar berpura-pura menjadi kekasihnya. Katanya, dia malu jika masih lajang saat umurnya sudah delapan belas tahun," jelasnya dengan panjang lebar. Gentara juga memberitahukan hal-hal yang harus dilakukan jika sedang bersama Laras, seketika aku merasa geram mengetahui kenyataan ini. Laras! Dia benar-benar bukan manusia, aku yakin semua ini pasti terjadi karena sudah direncanakan olehnya. Laras sengaja mencari kesempatan untuk mendekati Gentara, padahal tujuan utamanya adalah untuk membuatku semakin menderita. Tidak! Aku tidak bisa selalu dalam bayang-bayang ketakutan, aku harus bisa melawan sikap semena-mena yang dila
Lagi-lagi aku dibuat terdiam olehnya, entah apa maksud Biru berkata demikian. Yang jelas itu bukan untukku, mana mungkin dia mencintaiku 'kan? Demi apapun sekarang aku langsung merasa kesal. Mimpi apa yang sedang ia alami sampai mengigau seperti ini."Biru, bangunlah!" Aku menaikan nada bicara. Benar saja, lelaki itu perlahan membuka matanya diiringi erangan kecil khas orang bangun tidur. Dia terlihat masih belum sadar sepenuhnya, sedangkan aku mulai memasukan barang-barang dan bersiap untuk berdiri. Hatiku sangat dongkol, aku ingin cepat menyelesaikan kegiatan ini. "Apa aku tertidur di pundakmu? Ah maaf." "Tidak masalah. Ayo turun." Ajakku sambil berdiri dari kursi bus. Namun, bukannya memberi jalan untuk aku berlalu Biru malah tetap duduk dengan posisi terus menatapku. Kedua alisku saling bertaut, "Kenapa? Kau tidak mau turun?" tanyaku heran. "Kau yang kenapa? Sepertinya sedang marah." Aku mengalihkan p
Semua orang terperangah tak percaya, termasuk diriku sendiri. Tapi sedetik kemudian para tamu langsung bertepuk tangan dan berteriak histeris kala Gentara menganggukkan kepalanya. Aku terdiam dengan napas yang mulai tercekat, jantungku berdebar seakan dihujani ribuan anak panah. Sakit, hati ku seperti digores belati tajam yang mengandung racun. Untuk bergerak dari tempat ini saja sungguh terasa sulit, Gentara ... kenapa dia tega membuat luka baru untuk kedua kalinya. Tuhan! Takdir macam apa ini? Kenapa orang yang aku benci malah menjadi kekasih dari orang yang sangat aku percaya. Laras, kenapa dia secepat itu jatuh cinta pada Gentara? Rencana apa yang akan dia lakukan. "Kalian sangat serasi, tampak seperti raja dan ratu di dunia nyata," celetuk dari salah seorang remaja putri bergaun selutut. "Benar, yang satu tampan yang satu cantik." "Hubungan kalian pasti sangat romantis.""Sepertinya kalian memang ditakdirkan untuk bersa
"Ayo! Makan." Seru Bu Syifa yang datang menghampiri ku dengan satu piring nasi goreng. Aku yang sedang mencatat belanjaan langsung menoleh, lalu tersenyum saat harum masakan itu menyeruak ke hidung. Ah, kebetulan sekali perut ini sudah berbunyi sedari tadi. "Terimakasih, Bunda. Ini pasti enak." Aku mengambil alih piring tersebut dan beralih untuk duduk. Satu suap nasi goreng berhasil aku kunyah dengan sempurna, aku memuji masakannya yang tak pernah gagal. Semua makanan yang ia buat memiliki ciri khas berbeda, dan aku pikir ini hanya bisa ditemukan dibeberapa tempat saja. "Pipimu terlihat memar," ujar Bu Syifa yang ikut duduk di depanku. Seketika aku berhenti mengunyah, tatapanku langsung berhenti pada butiran nasi yang hampir habis. Tadi Andre juga sempat menanyakan pipi memarku, tapi aku berhasil memberi masukan yang masuk akal. Jadi, untuk kedua kalinya aku harus berbohong. Karena kejujuran ku saat ini sedang tidak perlu
Suara gelak tawa langsung terdengar kala air kotor itu membasahi seluruh tubuhku. Aku menunduk dengan hati yang terasa sakit, lagi dan lagi mereka melakukan hal yang keterlaluan. Dan bodohnya aku tidak bisa melawan.Clara melemparkan ember itu ke arah kepalaku, dengan rasa sakit aku mencoba untuk berdiri dan meninggalkan tempat ini. Tapi, Laras terlebih dahulu menghempaskan tubuhku kembali ke lantai. Aku meringis kesakitan dan meringkuk di bawah sana, berharap ada seseorang yang bisa memberikan pertolongan. Pasrah, aku hanya bisa diam seperti mayat hidup air mataku turut menetes bercampur dengan debu. Laras menyibak rambutku yang menutupi wajah. "Jauhi Gentara, atau ... kau akan semakin menderita," ujarnya tersenyum simpul. Bibirku bergetar karena menggigil, rasa dingin ini semakin menyeruak hingga ke tulang. Permintaan Laras sungguh tidak masuk akal, aku tidak mungkin menjauhi Gentara. Dia adalah salah satu tanggung jawab yang harus aku j
Kami mendekat ke salah satu rumah yang berada dipaling ujung, di sana nampak ada cctv yang mengarah kemari. Kemungkinan besar, sang pemilik rumah itu memiliki rekaman video saat Andre dikeroyok.Namun, rumah ini seperti sudah tidak berpenghuni. Bahkan pintu rumahnya sudah dihinggapi banyak tanaman liar."Kau yakin, Ana? Jika di dalam sana ada orang?" Tanya Andre sambil sesekali mengintip lewat jendela luar.Awalnya aku tidak yakin, tapi setelah melihat cahaya di lantai atas pasti ada seseorang di sana. Rumah ini berlantai dua, dari luar terlihat sangat kumuh dan menyeramkan. Persis seperti rumah hantu."Lihat di sana." Aku menunjuk ruangan atas yang bercahaya, "Rumah ini pasti berpenghuni.""Ana, ini terlihat menyeramkan. Sebaiknya kita pulang saja." Aku hanya bisa menghela napas mendengar Gentara mulai merengek."Heh! Orang aneh