"Bangs*t beraninya lo nyuruh dia buat aborsi," katan Rafael penuh amarah. Lalu satu tonjokan mendarat di pipiku. Aku mundur beberapa langkah. Menahan rasa sakit yang menjalar di area pipiku.
Sebelum dia memukulku lagi. Aku sudah terlebih dulu menendang perutnya dengan keras. Dia membungkuk dan meringis kesakitan. Aku menatapnya dingin, mengusap pipiku yang ditonjok dengan keras.
Saat dia ingin balik menendangku. Aku dengan sigap menghindar. Gerakannya sudah terbaca olehku, jadi aku segera menghindar ke samping kanan. Dia terlihat sangat marah dan mulai menyerang lagi.
Aku menepis tangannya, lalu dengan cepat mencengkram lehernya. Membuat dia terdiam dan membeku. Kalau dia bergerak sembarang lagi, kupastikan aku bisa mematahkan lehernya dengan mudah.
"Otakku lo miring? Sejak kapan gue tertarik ke adik lo?" tanyaku pelan tapi dingin dan mengintimidasi.
"Lo gak usah ngeles lagi. Dia sendiri yang bilang kalau itu anak lo. Dasar laki-laki gak bertanggung jawab. Bangs*t, pengec*t, sial*n." makinya penuh amarah.
Aku hanya bisa tertawa. Belakangan ini aku memang dekat dengan adik sepupunya. Mungkin hal ini yang membuatnya berpikir jika akulah ayah anak dari adiknya.
Dia sungguh tidak tahu. Walaupun aku tidur dengan adiknya, wanita itu tidak akan pernah bisa punya anak. Apalagi aku tidak pernah tidur, atau memiliki hubungan lebih dari teman dengan adiknya.
"Denger gue, itu bukan anak gue," kataku melepaskan cengkramanku dari lehernya. Lalu mundur, mataku masih mengawasi gerak-geriknya. Aku sudah siap jika dia menyerang lagi.
"Lo gak usah ngeles pengecut. Ternyata lo emang lebih sampah dari pada sampah," katanya marah.
Dasar keras kepala, ingin sekali aku memukulnya lagi. Astaga padahal sudah jelas jika aku tidak mungkin bisa melakukannya. Aku menatap ke arah selangkanganku. Berdecak miris, bagaimana caranya mengatakannya.
"Apapun yang lo bilang anak itu bukan punya gue. Gue bukan orang yang tebar benih sembarangan, harusnya lo jauh lebih tau karakter gua."
"BANGS*T lo gak usah ngeles. Jelas-jelas adik gue bilang kalau lo pelakunya. Lo juga pasti ngancam dia biar gak buka mulut kan?" Dia menghembuskan nafasnya pelan. Menatapku dengan tajam lalu memasang kuda-kuda.
"Ayo bertarung. Kalau bukan lo yang mati, gue yang bakal mati. Jangan berhenti sebelum salah satu dari kita mati."
"Yakin lo bisa menang dari gue. Otak lo gak waras. Gue bisa aja bunuh lo dengan mudah," kataku meremehkan.
Aku juga memasang kuda-kuda. Kapan lagi bisa bertarung dengannya secara serius, selama ini dia selalu menghindar dari pertarungan denganku. Kali ini dia akan mengeluarkan kekuatan penuh tanpa ragu.
Aku tidak yakin bisa menang, tapi apa salahnya mencoba. Kami sama-sama waspada, tidak buru-buru menyerang. Mata kami melirik dengan tajam ke seluruh tubuh. Mencoba memprediksi arah serangan musuh.
Rafael menyerang duluan, dia mengincar rahang sebelah kiriku. Aku dengan cepat menangkis, walaupun tanganku harus menerima pukulan keras. Rasanya nyeri tapi karena semangat bertarung kami sama-sama membara, rasa sakit tidak kupedulikan.
Serangan demi serangan sudah kami kerahkan. Belum ada yang tumbang, walaupun kami sama-sama terluka. Berdarah dan memar parah. Bahkan beberapa luka di pipi dan tubuh kami.
Aku juga sudah sangat kelelahan, tenyata staminanya jauh diatasku. Tapi luka yang dideritanya juga tidak ringan. Pukulanku beberapa kali mengenai titik vitalnya.
Rafael, memukul rahangku. Aku membalas dengan pukulan yang sama, tapi setelah itu dia menendang dadaku. Aku langsung meringis kesakitan, pandangan mulai menggelap.
"Sialan! Sakit sekali."
Dia lalu menendang perutku, membuatku terjatuh. Rafael, dengan cepat naik ke tubuhku meraih kerahku. Sementara aku sudah tidak bisa fokus. Rasanya mau mati saat dadaku terkena tendangan Rafael.
" Bangs*t, lo harus tanggung jawab," katanya mengancam.
Aku mencoba mempertahankan kesadaraku. Rafael menarik kerah bajuku, membuat kepalaku terangkat. Tidak lagi menyentuh lantai. Aku hanya bisa pasrah saat itu, rasa sakit di dadaku sungguh tidak tertahankan.
"Bukan gue, sampek matipun gue gak akan mengaku," kataku lalu menyeringai.
Rafael, meninju wajah ku keras tapi tangan satunya masih mencengangkan kerahku. Sehingga kancing bajunya bertebaran dari tempatnya.
"Sekarang lo tau kenapa kan," kataku pelan lalu menyeringai. Dia terlihat tidak percaya dengan apa yang dia lihat.
Perlahan menyentuh kepalaku, aku bisa melihat matanya yang cemas sebelum kehilangan kesadaran. Tubuhku rasanya remuk, sungguh menyebalkan kenapa aku kalah darinya.
Samar-samar aku juga mendengar ada yang meneriakan namaku dengan panik. Suara itu semakin lama semakin jauh sehingga aku tidak bisa mendengarnya lagi.
********
Aku terbangun di rumah sakit. Ternyata Rafael ternyata tidak membunuhku. Luka yang diberikan Rafael sungguh parah. Aku harus menginap di rumah sakit selama dua minggu.
"Andromeda, kemana aja lo?" tanya Bima saat aku datang ke tongkrongan.
Aku merangkul bahunya, "Hampir mati gue. Baru aja berantem," kataku santai.
Beberapa laki-laki yang sibuk memainkan game. Menoleh ke arahku dan melihat dengan tajam ke arahku. Seperti memastikan, dan mereka melihat beberapa bekas luka yang sudah mengering.
"Berantem sama siapa lo? Sampek bisa mau mati?" tanya Bima padaku.
"Rafael," kataku singkat.
Mereka langsung terkejut. Sebelumnya hubunganku sangat baik dengan Rafael. Aku seperti dia partner serasi saat tawuran walaupun beda sekolah. Kami seperti membentuk aliansi.
Sekarang kami terlibat konflik. Bisa-bisa terjadi perselisihan diantara dua kelompok kami. Hal itu tentu sangat merugikan. Bukan karena kami takut kelompok lain bisa mengalahkan kami. Ketakutannya adalah kami saling menghancurkan. Kelompok kami sama-sama kelompok kuat.
"Gue pikir masalahnya udah kelar," kataku tidak yakin.
Setelah tau Rafael tidak mungkin lagi menuduh aku yang menghamili sepupunya. Kurasa dia cukup pintar untuk berpikir.
"Not me," kataku santai. Mengabaikan tatapan bingun dari anak-anaknya.
Mereka lalu melanjutkan bermain game dengan makian tentunya. Mulut kotor dan tidak beretika adalah bagian dari kami.
Setelah itu aku keluar untuk membeli minuman di minimarket terdekat. Merapikan rambutku yang dipotong pendek. Beberapa wanita melirik terang-terangan. Aku Pun melempar senyum manis padanya.
"Ganteng banget, mirip oppa-oppa Korea," katanya bisa kudengar. Aku hanya santai mengambil minuman dingin lalu langsung meminumnya.
"Wah gantengnya," kata mereka kagum, lalu sekilas mataku menangkap cahaya dari kamera hp.
Aku menghampiri mereka dan mengambil ponsel itu dari salah satu anak. Dia menyerah ponselnya dengan pasrah lalu pipinya merona merah. Aku langsung menghapus foto itu.
"Gak boleh mengambil foto orang tanpa izin, ya cantik," kataku menyentuh hidungnya lembut lalu menyerahkan ponselnya.
"Maaf kak," katanya masih dengan wajah merona.
"Ayo foto bareng," kataku mengambil ponselku dan membuka kamera. Mereka dengan cepat berdiri di sampingku dan aku di tengah. Langsung memasang wajah semanis mungkin.
Setelah itu aku meminta id mereka dan mengirimkan foto itu pada masing-masing mereka.
"Mbak mau bayar," kataku menyerahkan dua botol minuman satu sudah ku minum dan satunya masih utuh.
Setelah membayar aku meninggalkan meninggalkan satu. Aku tersenyum saat melihat Mbak kasirnya bigung.
"Buat Mbak. Semangat Mbak cantik yang tangguh," kataku sambil mengedipkan sebelah mata. Dia merona, sungguh menggemaskan.
Aku berjalan menuju tempat tongkrongan lagi. Aku sadar jika ada yang mengikuti aku, jadi aku berbalik dan yang berdiri di depanku adalah Rafael.
"Gue cuman mau ...,"
"Not me," kataku memotong. Dia menatapku pasrah. Menggelengkan kepalanya, tatapannya lurus padaku. Apakah dia mau menyerang lagi? Ternyata Rafael lebih bego dari yang kupikirkan.
"Not me," ulangku lebih tegas.
"Iya gue tau. Gue ...." Dia tidak melanjutkan ucapannya. Aku menatapnya lalu menyeringai. Bodoh amat tentang apa yang dipikirkannya. Lagi pula semuanya sudah selesai saat dia mengatakan kalau dia tau bukan aku yang menghamili adiknya. Tapi kenapa tatapan matanya padaku terasa berbeda? Ah sudahlah penting semuanya sudah selesai.
Aku diberi nama Andromeda, agar kesan feminim hilang sejak dini. Orang gila yang memberikan nama Andromeda pada anak perempuan adalah papaku. Bukan karena dia tidak menginginkan anak perempuan, tapi karena rasa kecewa dan sakit hati pada perempuan.Setelah aku lahir wanita itu pergi. Meningalkan aku yang bahkan tidak dilihatnya walaupun sedetik saja. Apalagi untuk menyusui dan mengatakan selamat tinggal.Papa begitu kecewa dan mencoba menghapus jejak wanita itu dari dalam diriku. Papa mulai memberiku nama laki-laki. Membesarkan aku seperti laki-laki agar bayangan wanita itu hilang dari diriku.Sayangnya kecantikannya menurun padaku. Papa takut jika sikapku akan semakin mirip dengan wanita itu. Sehingga aku semakin di didik keras layaknya laki-laki. Papa membelikan aku mainan dan pakaian laki-laki. Menghilangkan sipat lembut dan menumbuhkan sipat layaknya laki-laki.Apalagi kami hidup dalam lingkungan penuh kekerasan dan bahaya. Pap
Apakah aku takut jika teman-temanku tahu aku seorang perempuan. Tentu saja tidak, toh aku bertarung sama kuatnya dengan mereka. Aku juga berperilaku hampir sama dengan mereka jadi apa yang aku takutkan.Masalah mereka bisa menerima atau tidak aku serahkan pada mereka. Aku juga tidak akan memaksa mereka. Satu yang pasti sifatku tidak kupaksakan. Aku secara alami bersipat seperti ini. Berperilaku seperti laki-laki adalah sipat alamiku."Wah ada pahlawan Nusa Bangsa nih," kata seseorang saat aku memasuki satu kawasan tempat biasanya kami bertemu untuk bertarung.Sebuah lapangan bangunan terbengkalai yang jauh dari keramaian. Tempat ini adalah tempat paling menyenangkan untuk melampiaskan amarah dan kekesalan. Di sini bisa bebas baku hantam."Wah ada pecundang Permata," kataku santai. Aku sama s
Di antara Bima, dan Rafael akulah yang paling pendek. Terlebih lagi wajahku yang katanya cantik untuk ukuran laki-laki. walaupun pada kenyataannya aku memang bukan laki-laki. Wajah kecil dan perawakan yang kurus. Sering kali membuat musuh kami tidak waspada. Aku sering diremehkan karena penampilan fisik ku.Sama seperti sekarang, saat kami memasuki gedung kosong. Bekas pembangunan yang belum selesai, tapi sudah ditinggalkan. Beberapa orang menatapku miris, mungkin merasa tidak pantas aku ikut dalam masalah ini."Jelek banget basecamp kalian," ejek bima sambil mengibaskan tangannya di depan hidung mancungnya.Aroma gedung ini memang sangat tidak menyenangkan. Beda sekali dengan basecamp kami, walaupun anggota kami merokok. Aroma basecamp masih bisa dikendalikan dengan penyegar ruangan."Eh anj*ng i
Hari ini aku sudah berniat bolos sekolah, tapi kalau langsung tidak datang ke sekolah pasti bolosnya tidak seru. Setidaknya sensasi untuk memanjat tembok itu tidak ada duanya. Walaupun biasanya bisa kupanjat dengan mudah.Keseruannya ada di teman-temanku, anak-anak manja itu kesulitan memanjat tembok yang tingginya tidak seberapa itu. mereka sering sekali mengeluh tentang tingginya tembok sekolah kami. Padahal hanya beberapa meter saja.Satu lagi, aku bersekolah di sekolah swasta yang tidak memakai seragam. Jadi tidak ada yang mengetahui kalau aku perempuan. Bahkan guru-guru saja menganggap aku laki-laki. Menganggapku anak nakal pembuat onar, yang berasal dari keluarga kaya. Wanita itu memang sangat kaya.Aku tidak tahu bagaimana papa mengurus identitasku. Sehingga tidak ada yang tau jika aku perempuan. Entah aku harus bersyukur atau khawatir
"Ganteng godain kita dong," kata beberapa anak perempuan yang melihat kami keluar dari rumah makan bang Asep. Aku langsung mengedipkan mataku pada mereka. Bima, Aldo dan Alwi melambaikan tanganya dengan riang pada wanita-wanita cantik itu. Alwi masih memasang tampang sok cool.Blam….Kami semua kaget, Rafael tiba-tiba membanting pintu mobilnya. Dia melihat wanita-wanita itu tajam lalu mengarahkan jari telunjuknya pada mereka."Sinting!" makiku lalu kami bergegas masuk kedalam mobil Rafael. Jangan sampai dia meninggal kami semua. Penyakitnya mulai tambah parah."Minta sebatang rokok dong. Stress gue lama-lama kalau dekat ni anak anj*ng," kataku sambil memukul kepala Rafael dan membalikan tubuh ke belakang.Bima mengambil sebungkus rokok dar
"Anjing…." makiku. Tanganku yang menahan dada Rafael tidak mampu menghentikan bibirnya yang sukses mendarat di atas bibirku. Badanku rasanya lemas, dia malah tersenyum puas.Aku cepat-cepat menjauhkan diri darinya dan menggusap bibirku dengan punggung tangan. Rasanya sangat menjijikan, ini jauh lebih berat daripada terkena pukulan telak.Bima menatap kami berdua dengan bengong. Tidak percaya dengan apa yang disaksikannya barusan. Rafel yang punya harga diri, melakukan hal yang sangat menjijikan."Hua… Rafa sama Andro baru saja ciuman. Bibir ketemu bibir," katanya heboh membuat Akira, Aldo, dan Alwi melihat kearaha kami."Anjing diam lo. Gue tonjok juga lo." Ancamku tidak dipedulikan. Dia terus ter
Aku buru-buru mengambil ponselku. Menerima telepon dari wanita jalang, yang berstatus sebagai ibu kandungku. Hadiah yang diberikan Ocean pasti berhubung dengan wanita jalang ini.Wanita jalang itu langsung memakiku dari seberang. Nafasnya memburu tanda dia sangat marah. Oh, Ocean hadiahmu selalu tidak pernah aku inginkan."Gue akan ke tempat lo. Jadi jangan berisik lagi. Gue muak, jalang," kataku langsung memutuskan sambungan telepon."Boy, gue harus balik duluan. Ada hal yang harus gue urus," kataku sambil berjalan. Bima ingin protes tapi melihat wajahku yang serius dia kembali diam.Tidak kusangka Rafael mengikuti aku keluar dan menepuk bahu sebelah kiriku. Aku menatapnya bosan dan memberi isyarat membiarkan aku pergi sendiri.
Aku melanggar janjiku kepada kakek untuk menghubungi satu orangpun dari kelompok papa. Terpaksa kulakukan agar Ocena mau menghentikan perbuatannya. Mengenalnya dari kecil membuatku paham sifat Ocean. Ocean pasti merasa wilayahnya terusik sekarang. Sehingga dia menginginkan, apa yang dianggap sebagai miliknya kembali. Dia tipe orang yang sangat posesif pada hal yang dianggap miliknya. Jika ada yang mengusik, Ocean tidak segan-segan melakukan hal apa saja. Aku sedikit tidak setuju dengan sifatnya yang seperti ini. Kami pernah berkonflik untuk hal ini. Saling berperang dingin, sampai akhirnya sama-sama mengerti dan menerima kekurangan satu sama lain. "Ayolah Ocean, angkat telepon gue," kataku gelisah. Mencoba menghubungi nomor ocean berkali-kali tapi tidak ada jawaban dari sana.