Aku diberi nama Andromeda, agar kesan feminim hilang sejak dini. Orang gila yang memberikan nama Andromeda pada anak perempuan adalah papaku. Bukan karena dia tidak menginginkan anak perempuan, tapi karena rasa kecewa dan sakit hati pada perempuan.
Setelah aku lahir wanita itu pergi. Meningalkan aku yang bahkan tidak dilihatnya walaupun sedetik saja. Apalagi untuk menyusui dan mengatakan selamat tinggal.
Papa begitu kecewa dan mencoba menghapus jejak wanita itu dari dalam diriku. Papa mulai memberiku nama laki-laki. Membesarkan aku seperti laki-laki agar bayangan wanita itu hilang dari diriku.
Sayangnya kecantikannya menurun padaku. Papa takut jika sikapku akan semakin mirip dengan wanita itu. Sehingga aku semakin di didik keras layaknya laki-laki. Papa membelikan aku mainan dan pakaian laki-laki. Menghilangkan sipat lembut dan menumbuhkan sipat layaknya laki-laki.
Apalagi kami hidup dalam lingkungan penuh kekerasan dan bahaya. Papa adalah mafia yang hidup didunia hitam. Sifat wanitaku hilang secara perlahan. Aku mulai semakin mirip laki-laki. Apalagi aku dibesarkan dan dikelilingi oleh laki-laki.
Aku bahkan sampai usia tujuh tahun tidak tau apa itu perempuan. Aku hanya tau aku sama dengan papa dan paman-paman lainnya. Aku mencontoh dan mengagumi mereka. Meniru mereka sepenuhnya.
"Bangun jangan cengeng," kata papa saat aku jatuh dari sepeda. Papa benar-benar cuek jika aku terluka. Papa juga tidak pernah marah jika aku berkelahi. Bahkan papa sangat bangga jika aku menang.
Jika aku kalah papa mengajarkan untuk membalas. Jangan sampai ditindas, jangan sampai lemah, kamu harus kuat. Itulah didikan papa.
Aku juga diajarkan bela diri dan papa mengenalkan dunia hitam padaku sejak kecil. Aku tidak pernah merasa terbebani. Aku cenderung menikmati hidup dengan latihan fisik keras dan penuh kekerasan.
Aku tidak pernah mempermasalahkan didikan papa. Karena aku tau laki-laki itu tulus mencintai aku. Dia hanya tidak ingin terbayang-bayang rasa kecewa. Lagipula orang tua selalu punya cara tersendiri untuk mendidik anaknya.
"Kamu mau mati karena berantam trus," kata itu dingin menusuk indra pendengaranku.
Aku berbalik melihat wanita yang dulu membuangku dan papa. Menyeringai dan mendekat padanya. Aku memandangnya tajam, mengintimidasi wanita itu.
"Gue tumbuh dalam lingkungan mafia yang kelam dan gelap. Terus lo mau gue bermartabat layaknya bangsawan?" tanyaku menyentuh dagunya dengan ujung jari. Karena aku lebih tinggi darinya dagunya terangkat sedikit.
"Gue dibesarkan oleh orang-orang yang tangannya berlumuran darah untuk bertahan hidup. Mulutnya penuh kata kasar dan caci maki, lo berharap gue punya sopan santun?" tanyaku lebih dingin.
Rasanya mau muntah melihat wajah cantik ini, tapi penuh niat buruk. Papa buta karena mencintai wanita ini dengan tulus dan sepenuh hati. Lihat sampai akhir dia selalu membuat papa menderita.
"Lagipula gue lahir dari rahim wanita licik," kataku berkekeh.
"Kurang aja! Kalau bukan karena butuh pewaris aku tidak akan membawamu kemari."
"Kalau bukan karena rencana licikmu. Gue tidak akan ada disini," kataku santai.
Wanita itu menatapku tidak percaya. Menatapku dingin mencoba mengintimidasi. Hanya saja yang hidup di dunia yang kotor tidak merasa takut pada apapun lagi.
"Udah selesaikan bicaranya. Gue sibuk! Muak juga mencium aroma jalang!"
Dia mencoba menamparku, tentu saja tidak kubiarkan. Kutahan tangannya dengan mudah. Aku tersenyum miring, dan menghempas tangannya keras.
Aku pergi meninggalkan wanita yang melahirkanku, tapi tidak tau sampai sekarang jika aku adalah perempuan. Dia mengambilku dari papa untuk mengamankan posisinya di rumah ini. Dia hanya ingin menjadi penguasa dengan memanfaatkan aku.
Aku masuk kedalam kamarku. Duduk di jendela dan menatap langit malam. Tidak ada bintang sama sekali. Setelah memeriksa langit dan tidak menemukan hal yang menarik.
Aku meganti bajuku. Melihat miris dadaku yang kulilitkan kain kasa untuk menutupi bagian tubuh yang terus tumbuh. Aku bukan tidak suka akan bagian itu, hanya saja membuatku tidak leluasa untuk bertarung.
Aku juga terpaksa memakai pakaian lebih besar dari ukuranku. Tidak bisa bertelanjang dada, walaupun dari dulu papa memang tidak pernah mengizinkan aku tidak memakai baju. Walaupun bagian ini belum tumbuh.
"Jangan tumbuh lebih besar lagi," kataku pada bagian itu. Rasanya semakin hari dia semakin membesar saja, entah itu perasaanku saja.
Aku juga tidak mungkin bercerita pada teman-temanku disini. Bahkan saat tinggal bersama papa, hanya sedikit yang tau jika aku perempuan.
Nama dan sifatku yang seperti laki-laki. Benar-benar bisa mengelabui semua orang. Karena itu juga aku selalu pusing setiap hari menerima surat cinta dan hadiah. Banyak wanita yang mengejarku. Ingin menjadikan aku kekasih.
Aku memainkan peranku dengan baik. Menerima cinta dari mereka, bagiku mereka sangat mengemaskan. Cantik dan imut, melihat mereka membuatku senang.
Aku juga tidak tau apakah aku menyukai laki-laki atau perempuan. Aku belum merasakan hal yang seperti itu. Aku juga hanya tertarik pada pertarungan dan sedikit menggoda wanita untuk melihat wajah merona lucu mereka.
********
Di rumah ini tidak ada yang menarik. Terlalu sepi, mewah dan penuh bau wanita jalang. Aku lebih baik ke basecamp. Bertemu Bima dan anak-anak lainya.
Sekedar main game atau memukul kepala satu sama lain. Bercerita sampai pagi, sehingga tubuh penuh aroma rokok keesokan paginya.
"Baru nyampek lo?" kata Bima menyambutku yang baru sampai di pintu.
Aku langsung duduk ke sopa. Menaikan sebelah kaki dan mengeluarkan ponsel dan membuka aplikasi game.
"Gua kira lo gak datang hari ini. Telat banget kesininya."
"Emang gue gak niat kesini sih, tapi bosan juga dirumah. Akhirnya gua kesini," balasku tanpa menatap Bima.
"Lo sama Rafael sebenarnya ada masalah apa?"
Aku melihat anak-anak lain juga melihat kearahku. Penasaran tentang masalah yang terjadi diantara kami. Mereka belum tau awal permasalah kami dan bagaimana akhirnya.
"Udah kelar, gak usah dipikirin. Lo tau kan, gue cuman suka aja bertarung."
"Iya gua tau lo suka bertarung, tapi ini sampek masuk rumah sakit dan lo juga banyak kehilangan darah."
"Tau darimana lo?" Setahuku aku tidak pernah mengatakan hal ini. Bima juga baru tau saat aku mengatakannya kemarin.
"Rafael yang bilang, lagian gak biasanya Rafael menghajar teman sendiri sampek mau mati."
"Khilaf kali," kataku santai. Males juga membahas maslah yang sudah selesai. Tidak ada gunanya. Paling penting semuanya selesai dan tidak ada masalah lagi.
Kami sama-sama menoleh saat pintu basecamp terbuka. Rafael dan Akira masuk kedalam. Akira menyapaku dengan ramah, semangat Rafael menghindari tatapan mataku.
Itu anak kenapa? Bukanya masalah kami sudah selesai. Kenapa tingkahnya masih aja aneh. Biasanya dia akan duduk di sampingku dan merangkul ku.
Kali ini Rafael memilih duduk agak jauh dariku, tapi melirik-lirik kearahku. Saat aku menatap matanya dia langsung memalingkan wajahnya.
"Lo kenapa sih? Bukanya masalah diantara kita sudah selesai!" kataku risih melihat tingkah anehnya.
"Gu ... gue gak ada masalah lagi sama lo," katanya gagap dan menunduk.
"Sikap lo aneh. Pingin rasanya gue tonjok wajah lo, lagian bukan kali ini aja kita pernah brantem."
"Gue ...,"
"Si anj*ng! Otakku lo rusak kerena gue tonjok terlalu keras?"
"Gak tonjokan lo gak ada apa-apanya. Sama sekali gak berasa buat gue."
Anak-anak lain melihat kami dengan aneh. Khususnya pada Rafael, jadi bukan aku saja yang merasa dia aneh. Bima dan Akira bahkan sudah mengerutkan kening saat melihat tingkat Rafael.
Aku bangkit dan mengunci leher Rafael dengan kedua tanganku dan menahan kepalanya di bawah dadaku. Dia langsung membeku diam. Tidak melawan sama sekali.
Aku melepaskan kuncianku dari lehernya. Menyetarakan wajah kami dan menatapnya dengan heran. Apa otak anak ini rusak karena menerima pukulan dariku. Biasanya dia tidak segan-segan membalas, membanting dan mengunci balik leherku.
"Otak lo benar-benar rusak karena tonjokan gue?" Aku mendekatkan wajahku pada wajahnya.
"Eng ... Enggak, otak gue baik-baik aja. Lo apaan sih," katanya canggung.
Wajahnya malah merona merah, sepeti gadis-gadis yang kugoda. Buru-buru memalingkan wajahnya dan berdeham. Mencoba menghindariku dengan menggeser posisi duduknya.
Ada apa dengan anak ini. Terserang demam atau penyakit mematikan lainnya kah? Bagaiman cara mengobatinya? Ada yang tau? Sepertinya aku tidak boleh dekat-dekat. Sifat anehnya membuatku mual saja.
Apakah aku takut jika teman-temanku tahu aku seorang perempuan. Tentu saja tidak, toh aku bertarung sama kuatnya dengan mereka. Aku juga berperilaku hampir sama dengan mereka jadi apa yang aku takutkan.Masalah mereka bisa menerima atau tidak aku serahkan pada mereka. Aku juga tidak akan memaksa mereka. Satu yang pasti sifatku tidak kupaksakan. Aku secara alami bersipat seperti ini. Berperilaku seperti laki-laki adalah sipat alamiku."Wah ada pahlawan Nusa Bangsa nih," kata seseorang saat aku memasuki satu kawasan tempat biasanya kami bertemu untuk bertarung.Sebuah lapangan bangunan terbengkalai yang jauh dari keramaian. Tempat ini adalah tempat paling menyenangkan untuk melampiaskan amarah dan kekesalan. Di sini bisa bebas baku hantam."Wah ada pecundang Permata," kataku santai. Aku sama s
Di antara Bima, dan Rafael akulah yang paling pendek. Terlebih lagi wajahku yang katanya cantik untuk ukuran laki-laki. walaupun pada kenyataannya aku memang bukan laki-laki. Wajah kecil dan perawakan yang kurus. Sering kali membuat musuh kami tidak waspada. Aku sering diremehkan karena penampilan fisik ku.Sama seperti sekarang, saat kami memasuki gedung kosong. Bekas pembangunan yang belum selesai, tapi sudah ditinggalkan. Beberapa orang menatapku miris, mungkin merasa tidak pantas aku ikut dalam masalah ini."Jelek banget basecamp kalian," ejek bima sambil mengibaskan tangannya di depan hidung mancungnya.Aroma gedung ini memang sangat tidak menyenangkan. Beda sekali dengan basecamp kami, walaupun anggota kami merokok. Aroma basecamp masih bisa dikendalikan dengan penyegar ruangan."Eh anj*ng i
Hari ini aku sudah berniat bolos sekolah, tapi kalau langsung tidak datang ke sekolah pasti bolosnya tidak seru. Setidaknya sensasi untuk memanjat tembok itu tidak ada duanya. Walaupun biasanya bisa kupanjat dengan mudah.Keseruannya ada di teman-temanku, anak-anak manja itu kesulitan memanjat tembok yang tingginya tidak seberapa itu. mereka sering sekali mengeluh tentang tingginya tembok sekolah kami. Padahal hanya beberapa meter saja.Satu lagi, aku bersekolah di sekolah swasta yang tidak memakai seragam. Jadi tidak ada yang mengetahui kalau aku perempuan. Bahkan guru-guru saja menganggap aku laki-laki. Menganggapku anak nakal pembuat onar, yang berasal dari keluarga kaya. Wanita itu memang sangat kaya.Aku tidak tahu bagaimana papa mengurus identitasku. Sehingga tidak ada yang tau jika aku perempuan. Entah aku harus bersyukur atau khawatir
"Ganteng godain kita dong," kata beberapa anak perempuan yang melihat kami keluar dari rumah makan bang Asep. Aku langsung mengedipkan mataku pada mereka. Bima, Aldo dan Alwi melambaikan tanganya dengan riang pada wanita-wanita cantik itu. Alwi masih memasang tampang sok cool.Blam….Kami semua kaget, Rafael tiba-tiba membanting pintu mobilnya. Dia melihat wanita-wanita itu tajam lalu mengarahkan jari telunjuknya pada mereka."Sinting!" makiku lalu kami bergegas masuk kedalam mobil Rafael. Jangan sampai dia meninggal kami semua. Penyakitnya mulai tambah parah."Minta sebatang rokok dong. Stress gue lama-lama kalau dekat ni anak anj*ng," kataku sambil memukul kepala Rafael dan membalikan tubuh ke belakang.Bima mengambil sebungkus rokok dar
"Anjing…." makiku. Tanganku yang menahan dada Rafael tidak mampu menghentikan bibirnya yang sukses mendarat di atas bibirku. Badanku rasanya lemas, dia malah tersenyum puas.Aku cepat-cepat menjauhkan diri darinya dan menggusap bibirku dengan punggung tangan. Rasanya sangat menjijikan, ini jauh lebih berat daripada terkena pukulan telak.Bima menatap kami berdua dengan bengong. Tidak percaya dengan apa yang disaksikannya barusan. Rafel yang punya harga diri, melakukan hal yang sangat menjijikan."Hua… Rafa sama Andro baru saja ciuman. Bibir ketemu bibir," katanya heboh membuat Akira, Aldo, dan Alwi melihat kearaha kami."Anjing diam lo. Gue tonjok juga lo." Ancamku tidak dipedulikan. Dia terus ter
Aku buru-buru mengambil ponselku. Menerima telepon dari wanita jalang, yang berstatus sebagai ibu kandungku. Hadiah yang diberikan Ocean pasti berhubung dengan wanita jalang ini.Wanita jalang itu langsung memakiku dari seberang. Nafasnya memburu tanda dia sangat marah. Oh, Ocean hadiahmu selalu tidak pernah aku inginkan."Gue akan ke tempat lo. Jadi jangan berisik lagi. Gue muak, jalang," kataku langsung memutuskan sambungan telepon."Boy, gue harus balik duluan. Ada hal yang harus gue urus," kataku sambil berjalan. Bima ingin protes tapi melihat wajahku yang serius dia kembali diam.Tidak kusangka Rafael mengikuti aku keluar dan menepuk bahu sebelah kiriku. Aku menatapnya bosan dan memberi isyarat membiarkan aku pergi sendiri.
Aku melanggar janjiku kepada kakek untuk menghubungi satu orangpun dari kelompok papa. Terpaksa kulakukan agar Ocena mau menghentikan perbuatannya. Mengenalnya dari kecil membuatku paham sifat Ocean. Ocean pasti merasa wilayahnya terusik sekarang. Sehingga dia menginginkan, apa yang dianggap sebagai miliknya kembali. Dia tipe orang yang sangat posesif pada hal yang dianggap miliknya. Jika ada yang mengusik, Ocean tidak segan-segan melakukan hal apa saja. Aku sedikit tidak setuju dengan sifatnya yang seperti ini. Kami pernah berkonflik untuk hal ini. Saling berperang dingin, sampai akhirnya sama-sama mengerti dan menerima kekurangan satu sama lain. "Ayolah Ocean, angkat telepon gue," kataku gelisah. Mencoba menghubungi nomor ocean berkali-kali tapi tidak ada jawaban dari sana.
Aku benar-benar marah saat tau isi dari pesan itu. Cantika diancam dengan poto-poto telanjangnya. Cantika difoto dalam keadaan tidak sadarkan diri. Mungkin pengaruh dari obat tidur atau minuman beralkohol."Tolong aku kak Andro. Aku tidak tau lagi harus minta tolong pada siapa. Aku malu dan hancur kak," katanya masih dalam pelukanku. Dia menangis dan memelukku dengan erat.Seketika rasa iba menyerbu hatiku. Amarahku perlahan mereda, aku tidak lagi marah pada Cantika. Walaupun aku tidak membenarkan perbuatannya yang memfitnahku. Sehingga aku dan Rafael terlibat pertengkaran hebat."Kumohon kak, tolonglah aku," katanya lagi. Matanya sembab dan hidungnya memerah, tapi tidak bisa menutupi kecantikannya. Aku memang selalu lemah jika berurusan dengan wanita. Apalagi jika wanita itu sangat cantik.