Share

6. Ciuman?

"Ganteng godain kita dong," kata beberapa anak perempuan yang melihat kami keluar dari rumah makan bang Asep. Aku langsung mengedipkan mataku pada mereka. Bima, Aldo dan Alwi melambaikan tanganya dengan riang pada wanita-wanita cantik itu. Alwi masih memasang tampang sok cool. 

Blam…. 

Kami semua kaget, Rafael tiba-tiba membanting pintu mobilnya. Dia melihat wanita-wanita itu tajam lalu mengarahkan jari telunjuknya pada mereka. 

"Sinting!" makiku lalu kami bergegas masuk kedalam mobil Rafael. Jangan sampai dia meninggal kami semua. Penyakitnya mulai tambah parah.

"Minta sebatang rokok dong. Stress gue lama-lama kalau dekat ni anak anj*ng," kataku sambil memukul kepala Rafael dan membalikan tubuh ke belakang.

Bima mengambil sebungkus rokok dari kantong celananya. Mengeluarkan satu batang dan memberikannya padaku. Aku mengambil pemantik dari tangan Akira yang menatapku heran. 

Berada didekat Rafael membuat aku pusing. Sekarang dia memandangku dengan pandangan yang sangat menjijikan. Ingin rasanya ku tinju wajah tampannya. 

Alis tebalnya yang terbentuk indah sedikit turun. Bibirnya juga tidak tersenyum. Tertutup rapat, biasanya selalu adu makian denganku.

Aku membuka jendela mobil Rafael lebar dan mengeluarkan kepalaku. Menikmati semilir angin dan menghembuskan asap rokokku. Menghisapnya beberapa kali hingga benda itu habis terbakar menyisakan abu berwarna abu-abu. 

Suasana mobil menjadi sangat hening. Saat seperti ini selalu mengingatkan aku pada kelompok yang dipimpin papa. Aku tidak suka suasana tenang. Aku rindu mereka. 

Seandainya wanita jalang itu tidak bisa membahayakan kelompok kami. Sudah pasti aku akan kabur dari sini. Hal itu tidak bisa kulakukan, karena jika aku melakukanya. Perang yang sudah dimulai antara kelompokku dan kelompok musuh akan dimulai lagi. 

Aku harus berkorban agar tidak banyak jatuh korban jiwa. Kami sangat dirugikan saat perang terakhir banyak yang mati dan terbuka. Membuka perang lagi buka hal yang bagus. Apalagi pejabat di negara ini mulai mengusik kami. 

Kekuatan kami benar-benar ditekan dan dilemahkan saat ini. Itulah alasannya aku ikut wanita jalang itu sebagai kandidat penerus keluarga.

Mereka tidak tahu jika aku perempuan dan siapa yang peduli jika mereka tahu. Salahkan saja wanita jalang itu yang melahirkan aku sebagai perempuan bukan laki-laki. 

"Bokap gue besok pulang, kayaknya beberapa hari kedepan gue bakal jarang ke basecamp," kata Bima membuka pembicaraan. 

"Lo mau gue bantu buat ngegebukin bokap lo gak?" Aku mematikan rokoknya dan membuang putungnya ke jalan. Aku tau membuang sampah sembarang dilarang, tapi peraturan ada untuk dilanggar menurutku.

"Anjing, gue yakin kalau gua bilang iya lo bakal gebukin bokap gue." Bima tertawa disusul oleh Akira, Aldo dan Alwi. 

"Iyalah si bangsat sinting ini bakal lakuin hal gila itu. Lo inget gue digebukin orang gila ini pas pertama kali ketemu." Alwi menoyor kepalaku.

"Lo bilang butuh alasan buat menghindari pertemuan keluarga. Cara paling mudah kalau lo sakit," kataku membela diri. 

"Iya cara lo berhasil, tapi pipi gue bengkak seminggu, anjing."

"Masih untung gak gue patahin tulang lo."

"Si Anjing otaknya cuman dipakai buat mikir mukulin orang."

"Tenaga aja. Kedepannya gue bakal mikir bunuh orang, Akira," kataku lalu berbalik dan menatapnya dingin. 

Bima dengan cepat mengunci leherku. Aku berontak secara spontan. Menggerakkan tubuhku dengan kuat dan menjambak rambut Bima kuat. 

"Bantu gue bego. Kalau gak habisin sekarang nanti si bangsat ini bunuh kita." 

Bima meminta bantuan Akira, tapi Akira diam saja. Laki-laki itu malah tertawa terbahak melihat kami saling menjambak satu sama lain. 

"Kalau kalian gak berhenti. Gue bakal tabrakin ni mobil ke truk depan," kata Rafael mulai menginjak gas lebih cepat. 

Aku dan Bima langsung berhenti. Ngeri juga kalau dia benar-benar melakukan ancamannya. 

"Si Anjing kurang jatah, sensi banget," kata Bima memaki. 

"Kurang kasih sayang." Alwi menyaut dari belakang. 

"Besok-besok gak usah pakek mobil Rafael lagi. Pakek punya gue aja."

"Gila lo Andro. Motor lo mau diboncengi enam orang. Gue tau itu Ducati, tapi gak muat bego." 

"Otak lo dimana sih Bim. Ya jelaslah motor  gak muat, tapi mobil gue pasti muat."

"Lo gak suka bawa mobil masalahnya," Akira memutar bola matanya bosan. Beberapa kali mereka memintaku untuk membawa mobil memang kutolak. Karena aku memang lebih suka motorku. 

"Pikirin nanti mending kira turun aja. Udah nyampek," kataku saat mobil Rafael berhenti didepan basecamp kami. 

Kami semua turun dari mobil Rafael. Masuk ke dalam basecamp yang terdapat beberapa komputer dan PC khusus gaming.

Ada karpet besar yang segala di tengah yang menghadap layar tv. Sofa empuk yang terdapat di sebelah kanan dari pintu. Sementara komputer berada di sisi sebelah kiri dari pintu. 

Komputer ditata tidak langsung berada di dekat pintu. Di dekat pintu sebelah kiri ada dispenser air untuk minum dan meja yang dipenuhi cemilan dan asbak rokok. Beberapa pengharum ruangan juga menempel di dinding atas. Untuk meminimalisir aroma rokok yang kuat. Serta dilengkapi mesin penyegar ruangan. 

Basecamp ini memang dibangun menggunakan uang Rafael. Dibuat senyaman mungkin, bahkan ada beberapa kamar kecil, kamar mandi dan dapur kecil. Sangat nyaman untuk sekedar main game atau menginap. Setiap hari juga ada orang yang membersihkannya. Sehingga selalu bersih dan wangi. Selera orang kaya memang berbeda.

Aku merebahkan diriku di karpet disusul oleh Rafael. Sementara Bima ke dapur Alwi dan Aldo menyalakan komputer. Alwi fokus dengan handphonenya. 

Bima kemudian kembali dari dapur dan membawa satu botol air mineral. Dia kemudian duduk disebelah Rafael.

"Ayo kita main game," katanya semangat. "Kita memutar botol siapapun yang kena bisa meminta apapun diantara kita."

"Apapun," kata Rafael. 

"Iya apapun. Kalian gak takut kan," ejek Bima. 

"Siapa yang takut anjing. Ayo main," kataku mengambil botol itu."Gua yang putar?"

"Serah," kata Bima. 

"Boleh juga." Kali ini Rafael yang bersuara. Aku memutar botol itu dan berhenti di Bima. Dia tersenyum licik pada kami berdua. Aku yakin yang diminta hal yang tidak wajar. 

"Rafa, Andro! Gue minta kalian ciuman," kata Bima semangat. Aku menatapnya horor. 

"Anjing," makiku. Aku melihat Rafael yang tenang dan tersenyum. 

"Ok," jawabnya santai. Si Anjing malah setuju. 

"Lo mau apa?" Tanyaku ngeri. Dia tersenyum dan semakin mendekat padaku. 

"Anjing…,"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status