"Ganteng godain kita dong," kata beberapa anak perempuan yang melihat kami keluar dari rumah makan bang Asep. Aku langsung mengedipkan mataku pada mereka. Bima, Aldo dan Alwi melambaikan tanganya dengan riang pada wanita-wanita cantik itu. Alwi masih memasang tampang sok cool.
Blam….
Kami semua kaget, Rafael tiba-tiba membanting pintu mobilnya. Dia melihat wanita-wanita itu tajam lalu mengarahkan jari telunjuknya pada mereka.
"Sinting!" makiku lalu kami bergegas masuk kedalam mobil Rafael. Jangan sampai dia meninggal kami semua. Penyakitnya mulai tambah parah.
"Minta sebatang rokok dong. Stress gue lama-lama kalau dekat ni anak anj*ng," kataku sambil memukul kepala Rafael dan membalikan tubuh ke belakang.
Bima mengambil sebungkus rokok dari kantong celananya. Mengeluarkan satu batang dan memberikannya padaku. Aku mengambil pemantik dari tangan Akira yang menatapku heran.
Berada didekat Rafael membuat aku pusing. Sekarang dia memandangku dengan pandangan yang sangat menjijikan. Ingin rasanya ku tinju wajah tampannya.
Alis tebalnya yang terbentuk indah sedikit turun. Bibirnya juga tidak tersenyum. Tertutup rapat, biasanya selalu adu makian denganku.
Aku membuka jendela mobil Rafael lebar dan mengeluarkan kepalaku. Menikmati semilir angin dan menghembuskan asap rokokku. Menghisapnya beberapa kali hingga benda itu habis terbakar menyisakan abu berwarna abu-abu.
Suasana mobil menjadi sangat hening. Saat seperti ini selalu mengingatkan aku pada kelompok yang dipimpin papa. Aku tidak suka suasana tenang. Aku rindu mereka.
Seandainya wanita jalang itu tidak bisa membahayakan kelompok kami. Sudah pasti aku akan kabur dari sini. Hal itu tidak bisa kulakukan, karena jika aku melakukanya. Perang yang sudah dimulai antara kelompokku dan kelompok musuh akan dimulai lagi.
Aku harus berkorban agar tidak banyak jatuh korban jiwa. Kami sangat dirugikan saat perang terakhir banyak yang mati dan terbuka. Membuka perang lagi buka hal yang bagus. Apalagi pejabat di negara ini mulai mengusik kami.
Kekuatan kami benar-benar ditekan dan dilemahkan saat ini. Itulah alasannya aku ikut wanita jalang itu sebagai kandidat penerus keluarga.
Mereka tidak tahu jika aku perempuan dan siapa yang peduli jika mereka tahu. Salahkan saja wanita jalang itu yang melahirkan aku sebagai perempuan bukan laki-laki.
"Bokap gue besok pulang, kayaknya beberapa hari kedepan gue bakal jarang ke basecamp," kata Bima membuka pembicaraan.
"Lo mau gue bantu buat ngegebukin bokap lo gak?" Aku mematikan rokoknya dan membuang putungnya ke jalan. Aku tau membuang sampah sembarang dilarang, tapi peraturan ada untuk dilanggar menurutku.
"Anjing, gue yakin kalau gua bilang iya lo bakal gebukin bokap gue." Bima tertawa disusul oleh Akira, Aldo dan Alwi.
"Iyalah si bangsat sinting ini bakal lakuin hal gila itu. Lo inget gue digebukin orang gila ini pas pertama kali ketemu." Alwi menoyor kepalaku.
"Lo bilang butuh alasan buat menghindari pertemuan keluarga. Cara paling mudah kalau lo sakit," kataku membela diri.
"Iya cara lo berhasil, tapi pipi gue bengkak seminggu, anjing."
"Masih untung gak gue patahin tulang lo."
"Si Anjing otaknya cuman dipakai buat mikir mukulin orang."
"Tenaga aja. Kedepannya gue bakal mikir bunuh orang, Akira," kataku lalu berbalik dan menatapnya dingin.
Bima dengan cepat mengunci leherku. Aku berontak secara spontan. Menggerakkan tubuhku dengan kuat dan menjambak rambut Bima kuat.
"Bantu gue bego. Kalau gak habisin sekarang nanti si bangsat ini bunuh kita."
Bima meminta bantuan Akira, tapi Akira diam saja. Laki-laki itu malah tertawa terbahak melihat kami saling menjambak satu sama lain.
"Kalau kalian gak berhenti. Gue bakal tabrakin ni mobil ke truk depan," kata Rafael mulai menginjak gas lebih cepat.
Aku dan Bima langsung berhenti. Ngeri juga kalau dia benar-benar melakukan ancamannya.
"Si Anjing kurang jatah, sensi banget," kata Bima memaki.
"Kurang kasih sayang." Alwi menyaut dari belakang.
"Besok-besok gak usah pakek mobil Rafael lagi. Pakek punya gue aja."
"Gila lo Andro. Motor lo mau diboncengi enam orang. Gue tau itu Ducati, tapi gak muat bego."
"Otak lo dimana sih Bim. Ya jelaslah motor gak muat, tapi mobil gue pasti muat."
"Lo gak suka bawa mobil masalahnya," Akira memutar bola matanya bosan. Beberapa kali mereka memintaku untuk membawa mobil memang kutolak. Karena aku memang lebih suka motorku.
"Pikirin nanti mending kira turun aja. Udah nyampek," kataku saat mobil Rafael berhenti didepan basecamp kami.
Kami semua turun dari mobil Rafael. Masuk ke dalam basecamp yang terdapat beberapa komputer dan PC khusus gaming.
Ada karpet besar yang segala di tengah yang menghadap layar tv. Sofa empuk yang terdapat di sebelah kanan dari pintu. Sementara komputer berada di sisi sebelah kiri dari pintu.
Komputer ditata tidak langsung berada di dekat pintu. Di dekat pintu sebelah kiri ada dispenser air untuk minum dan meja yang dipenuhi cemilan dan asbak rokok. Beberapa pengharum ruangan juga menempel di dinding atas. Untuk meminimalisir aroma rokok yang kuat. Serta dilengkapi mesin penyegar ruangan.
Basecamp ini memang dibangun menggunakan uang Rafael. Dibuat senyaman mungkin, bahkan ada beberapa kamar kecil, kamar mandi dan dapur kecil. Sangat nyaman untuk sekedar main game atau menginap. Setiap hari juga ada orang yang membersihkannya. Sehingga selalu bersih dan wangi. Selera orang kaya memang berbeda.
Aku merebahkan diriku di karpet disusul oleh Rafael. Sementara Bima ke dapur Alwi dan Aldo menyalakan komputer. Alwi fokus dengan handphonenya.
Bima kemudian kembali dari dapur dan membawa satu botol air mineral. Dia kemudian duduk disebelah Rafael.
"Ayo kita main game," katanya semangat. "Kita memutar botol siapapun yang kena bisa meminta apapun diantara kita."
"Apapun," kata Rafael.
"Iya apapun. Kalian gak takut kan," ejek Bima.
"Siapa yang takut anjing. Ayo main," kataku mengambil botol itu."Gua yang putar?"
"Serah," kata Bima.
"Boleh juga." Kali ini Rafael yang bersuara. Aku memutar botol itu dan berhenti di Bima. Dia tersenyum licik pada kami berdua. Aku yakin yang diminta hal yang tidak wajar.
"Rafa, Andro! Gue minta kalian ciuman," kata Bima semangat. Aku menatapnya horor.
"Anjing," makiku. Aku melihat Rafael yang tenang dan tersenyum.
"Ok," jawabnya santai. Si Anjing malah setuju.
"Lo mau apa?" Tanyaku ngeri. Dia tersenyum dan semakin mendekat padaku.
"Anjing…,"
"Anjing…." makiku. Tanganku yang menahan dada Rafael tidak mampu menghentikan bibirnya yang sukses mendarat di atas bibirku. Badanku rasanya lemas, dia malah tersenyum puas.Aku cepat-cepat menjauhkan diri darinya dan menggusap bibirku dengan punggung tangan. Rasanya sangat menjijikan, ini jauh lebih berat daripada terkena pukulan telak.Bima menatap kami berdua dengan bengong. Tidak percaya dengan apa yang disaksikannya barusan. Rafel yang punya harga diri, melakukan hal yang sangat menjijikan."Hua… Rafa sama Andro baru saja ciuman. Bibir ketemu bibir," katanya heboh membuat Akira, Aldo, dan Alwi melihat kearaha kami."Anjing diam lo. Gue tonjok juga lo." Ancamku tidak dipedulikan. Dia terus ter
Aku buru-buru mengambil ponselku. Menerima telepon dari wanita jalang, yang berstatus sebagai ibu kandungku. Hadiah yang diberikan Ocean pasti berhubung dengan wanita jalang ini.Wanita jalang itu langsung memakiku dari seberang. Nafasnya memburu tanda dia sangat marah. Oh, Ocean hadiahmu selalu tidak pernah aku inginkan."Gue akan ke tempat lo. Jadi jangan berisik lagi. Gue muak, jalang," kataku langsung memutuskan sambungan telepon."Boy, gue harus balik duluan. Ada hal yang harus gue urus," kataku sambil berjalan. Bima ingin protes tapi melihat wajahku yang serius dia kembali diam.Tidak kusangka Rafael mengikuti aku keluar dan menepuk bahu sebelah kiriku. Aku menatapnya bosan dan memberi isyarat membiarkan aku pergi sendiri.
Aku melanggar janjiku kepada kakek untuk menghubungi satu orangpun dari kelompok papa. Terpaksa kulakukan agar Ocena mau menghentikan perbuatannya. Mengenalnya dari kecil membuatku paham sifat Ocean. Ocean pasti merasa wilayahnya terusik sekarang. Sehingga dia menginginkan, apa yang dianggap sebagai miliknya kembali. Dia tipe orang yang sangat posesif pada hal yang dianggap miliknya. Jika ada yang mengusik, Ocean tidak segan-segan melakukan hal apa saja. Aku sedikit tidak setuju dengan sifatnya yang seperti ini. Kami pernah berkonflik untuk hal ini. Saling berperang dingin, sampai akhirnya sama-sama mengerti dan menerima kekurangan satu sama lain. "Ayolah Ocean, angkat telepon gue," kataku gelisah. Mencoba menghubungi nomor ocean berkali-kali tapi tidak ada jawaban dari sana.
Aku benar-benar marah saat tau isi dari pesan itu. Cantika diancam dengan poto-poto telanjangnya. Cantika difoto dalam keadaan tidak sadarkan diri. Mungkin pengaruh dari obat tidur atau minuman beralkohol."Tolong aku kak Andro. Aku tidak tau lagi harus minta tolong pada siapa. Aku malu dan hancur kak," katanya masih dalam pelukanku. Dia menangis dan memelukku dengan erat.Seketika rasa iba menyerbu hatiku. Amarahku perlahan mereda, aku tidak lagi marah pada Cantika. Walaupun aku tidak membenarkan perbuatannya yang memfitnahku. Sehingga aku dan Rafael terlibat pertengkaran hebat."Kumohon kak, tolonglah aku," katanya lagi. Matanya sembab dan hidungnya memerah, tapi tidak bisa menutupi kecantikannya. Aku memang selalu lemah jika berurusan dengan wanita. Apalagi jika wanita itu sangat cantik.
Sebelum aku memutuskan untuk kembali ke basecamp. Aku terlebih dahulu menghubungi Ocean. Dalam urusan teknologi dialah ahlinya. Tidak ada yang bisa mengalahkan dirinya, walaupun otaknya benar-benar tidak waras.Menyerahkan urusan ini padanya adalah jalan terbaik. Selain masalah tidak tersebar luas kemana-mana. Dia juga bisa menyelesaikan masalah ini dengan cepat."Gue mohon bantuan lo," kataku padanya melalui sambungan telepon. Walaupun dia keras kepala dan licik. Ocean tidak pernah bisa melihat aku kesusahan. Kami yang tumbuh besar bersama. Membuat hubungan kami bukan lagi sahabat tapi saudara.Dua saudara yang sama-sama tidak punya akhlak. Pembuat onar dan menyebalkan. Hanya saja aku memang lebih sering menggunakan otot. Berbeda dengan Ocean yang lebih suka menggunakan otaknya yang cerdas.
"Kalian lagi... kalian lagi..." kata guru BK saat melihat kami lagi yang telat. Aku hanya tersenyum, begitu pula dengan Bima, Aldo dan Alwi.Catatan telat pasti sudah penuh dengan nama kami. Walaupun begitu, kami masih berniat menambah panjangnya catatan pelanggaran kami.Anak-anak osis juga pasti sudah hapal pada kami. Setiap kami datang, pasti diikuti dengan berbagai pelanggaran. Mereka pasti sudah bosan melihat kami."Hei cantik, nanti ikut kakak ke kantin. Nanti kakak traktir makanan dan minuman yang kamu mau," bisikku pada salah satu adik kelasku. Dia langsung bersemu malu. Tidak takut padaku, padahal aku adalah pembuat onar ulung."Iya kak," katanya malu-malu.Aku mengedipkan mataku padanya
Ocean menghubungi aku lagi. Dia sudah menemukan pelaku yang mengirim pesan ancaman pada Cantika. Lihat dia langsung bisa menemukan orang itu dalam waktu tiga hari saja. Benar-benar luar biasa. Aku memang tidak salah meminta bantuan padanya."Berikan aku tanda terima kasih," katanya dari seberang sana. Aku sekarang bisa membayangkan Ocean sedang berada di depan komputernya. Tangannya sibuk mengetik di atas keyboard dengan lincah.Berbicara denganku juga pasti tidak mengganggu konsentrasi mengetik. Dulu aku sering sekali mengganggunya. Aku sering sekali mengajaknya berbicara. Berharap konsentrasi buyar dan ikut denganku untuk mencari masalah."Gue kirimin uang deh. Beli komputer baru, gue gak tau tipe komputer mana yang paling lo butuhkan," kataku santai. Aku tau apa yang sebenarnya Ocean inginkan ta
"Bangs*t beraninya lo nyuruh dia buat aborsi," katan Rafael penuh amarah. Lalu satu tonjokan mendarat di pipiku. Aku mundur beberapa langkah. Menahan rasa sakit yang menjalar di area pipiku. Sebelum dia memukulku lagi. Aku sudah terlebih dulu menendang perutnya dengan keras. Dia membungkuk dan meringis kesakitan. Aku menatapnya dingin, mengusap pipiku yang ditonjok dengan keras. Saat dia ingin balik menendangku. Aku dengan sigap menghindar. Gerakannya sudah terbaca olehku, jadi aku segera menghindar ke samping kanan. Dia terlihat sangat marah dan mulai menyerang lagi. Aku menepis tangannya, lalu dengan cepat mencengkram lehernya. Membuat dia terdiam dan membeku. Kalau dia bergerak sembarang lagi, kupastikan aku bisa mematahkan lehernya dengan mudah. "Otakku lo miring? Sejak kapan gue ter