Sebelum aku memutuskan untuk kembali ke basecamp. Aku terlebih dahulu menghubungi Ocean. Dalam urusan teknologi dialah ahlinya. Tidak ada yang bisa mengalahkan dirinya, walaupun otaknya benar-benar tidak waras.
Menyerahkan urusan ini padanya adalah jalan terbaik. Selain masalah tidak tersebar luas kemana-mana. Dia juga bisa menyelesaikan masalah ini dengan cepat.
"Gue mohon bantuan lo," kataku padanya melalui sambungan telepon. Walaupun dia keras kepala dan licik. Ocean tidak pernah bisa melihat aku kesusahan. Kami yang tumbuh besar bersama. Membuat hubungan kami bukan lagi sahabat tapi saudara.
Dua saudara yang sama-sama tidak punya akhlak. Pembuat onar dan menyebalkan. Hanya saja aku memang lebih sering menggunakan otot. Berbeda dengan Ocean yang lebih suka menggunakan otaknya yang cerdas.
<"Kalian lagi... kalian lagi..." kata guru BK saat melihat kami lagi yang telat. Aku hanya tersenyum, begitu pula dengan Bima, Aldo dan Alwi.Catatan telat pasti sudah penuh dengan nama kami. Walaupun begitu, kami masih berniat menambah panjangnya catatan pelanggaran kami.Anak-anak osis juga pasti sudah hapal pada kami. Setiap kami datang, pasti diikuti dengan berbagai pelanggaran. Mereka pasti sudah bosan melihat kami."Hei cantik, nanti ikut kakak ke kantin. Nanti kakak traktir makanan dan minuman yang kamu mau," bisikku pada salah satu adik kelasku. Dia langsung bersemu malu. Tidak takut padaku, padahal aku adalah pembuat onar ulung."Iya kak," katanya malu-malu.Aku mengedipkan mataku padanya
Ocean menghubungi aku lagi. Dia sudah menemukan pelaku yang mengirim pesan ancaman pada Cantika. Lihat dia langsung bisa menemukan orang itu dalam waktu tiga hari saja. Benar-benar luar biasa. Aku memang tidak salah meminta bantuan padanya."Berikan aku tanda terima kasih," katanya dari seberang sana. Aku sekarang bisa membayangkan Ocean sedang berada di depan komputernya. Tangannya sibuk mengetik di atas keyboard dengan lincah.Berbicara denganku juga pasti tidak mengganggu konsentrasi mengetik. Dulu aku sering sekali mengganggunya. Aku sering sekali mengajaknya berbicara. Berharap konsentrasi buyar dan ikut denganku untuk mencari masalah."Gue kirimin uang deh. Beli komputer baru, gue gak tau tipe komputer mana yang paling lo butuhkan," kataku santai. Aku tau apa yang sebenarnya Ocean inginkan ta
"Bangs*t beraninya lo nyuruh dia buat aborsi," katan Rafael penuh amarah. Lalu satu tonjokan mendarat di pipiku. Aku mundur beberapa langkah. Menahan rasa sakit yang menjalar di area pipiku. Sebelum dia memukulku lagi. Aku sudah terlebih dulu menendang perutnya dengan keras. Dia membungkuk dan meringis kesakitan. Aku menatapnya dingin, mengusap pipiku yang ditonjok dengan keras. Saat dia ingin balik menendangku. Aku dengan sigap menghindar. Gerakannya sudah terbaca olehku, jadi aku segera menghindar ke samping kanan. Dia terlihat sangat marah dan mulai menyerang lagi. Aku menepis tangannya, lalu dengan cepat mencengkram lehernya. Membuat dia terdiam dan membeku. Kalau dia bergerak sembarang lagi, kupastikan aku bisa mematahkan lehernya dengan mudah. "Otakku lo miring? Sejak kapan gue ter
Aku diberi nama Andromeda, agar kesan feminim hilang sejak dini. Orang gila yang memberikan nama Andromeda pada anak perempuan adalah papaku. Bukan karena dia tidak menginginkan anak perempuan, tapi karena rasa kecewa dan sakit hati pada perempuan.Setelah aku lahir wanita itu pergi. Meningalkan aku yang bahkan tidak dilihatnya walaupun sedetik saja. Apalagi untuk menyusui dan mengatakan selamat tinggal.Papa begitu kecewa dan mencoba menghapus jejak wanita itu dari dalam diriku. Papa mulai memberiku nama laki-laki. Membesarkan aku seperti laki-laki agar bayangan wanita itu hilang dari diriku.Sayangnya kecantikannya menurun padaku. Papa takut jika sikapku akan semakin mirip dengan wanita itu. Sehingga aku semakin di didik keras layaknya laki-laki. Papa membelikan aku mainan dan pakaian laki-laki. Menghilangkan sipat lembut dan menumbuhkan sipat layaknya laki-laki.Apalagi kami hidup dalam lingkungan penuh kekerasan dan bahaya. Pap
Apakah aku takut jika teman-temanku tahu aku seorang perempuan. Tentu saja tidak, toh aku bertarung sama kuatnya dengan mereka. Aku juga berperilaku hampir sama dengan mereka jadi apa yang aku takutkan.Masalah mereka bisa menerima atau tidak aku serahkan pada mereka. Aku juga tidak akan memaksa mereka. Satu yang pasti sifatku tidak kupaksakan. Aku secara alami bersipat seperti ini. Berperilaku seperti laki-laki adalah sipat alamiku."Wah ada pahlawan Nusa Bangsa nih," kata seseorang saat aku memasuki satu kawasan tempat biasanya kami bertemu untuk bertarung.Sebuah lapangan bangunan terbengkalai yang jauh dari keramaian. Tempat ini adalah tempat paling menyenangkan untuk melampiaskan amarah dan kekesalan. Di sini bisa bebas baku hantam."Wah ada pecundang Permata," kataku santai. Aku sama s
Di antara Bima, dan Rafael akulah yang paling pendek. Terlebih lagi wajahku yang katanya cantik untuk ukuran laki-laki. walaupun pada kenyataannya aku memang bukan laki-laki. Wajah kecil dan perawakan yang kurus. Sering kali membuat musuh kami tidak waspada. Aku sering diremehkan karena penampilan fisik ku.Sama seperti sekarang, saat kami memasuki gedung kosong. Bekas pembangunan yang belum selesai, tapi sudah ditinggalkan. Beberapa orang menatapku miris, mungkin merasa tidak pantas aku ikut dalam masalah ini."Jelek banget basecamp kalian," ejek bima sambil mengibaskan tangannya di depan hidung mancungnya.Aroma gedung ini memang sangat tidak menyenangkan. Beda sekali dengan basecamp kami, walaupun anggota kami merokok. Aroma basecamp masih bisa dikendalikan dengan penyegar ruangan."Eh anj*ng i
Hari ini aku sudah berniat bolos sekolah, tapi kalau langsung tidak datang ke sekolah pasti bolosnya tidak seru. Setidaknya sensasi untuk memanjat tembok itu tidak ada duanya. Walaupun biasanya bisa kupanjat dengan mudah.Keseruannya ada di teman-temanku, anak-anak manja itu kesulitan memanjat tembok yang tingginya tidak seberapa itu. mereka sering sekali mengeluh tentang tingginya tembok sekolah kami. Padahal hanya beberapa meter saja.Satu lagi, aku bersekolah di sekolah swasta yang tidak memakai seragam. Jadi tidak ada yang mengetahui kalau aku perempuan. Bahkan guru-guru saja menganggap aku laki-laki. Menganggapku anak nakal pembuat onar, yang berasal dari keluarga kaya. Wanita itu memang sangat kaya.Aku tidak tahu bagaimana papa mengurus identitasku. Sehingga tidak ada yang tau jika aku perempuan. Entah aku harus bersyukur atau khawatir
"Ganteng godain kita dong," kata beberapa anak perempuan yang melihat kami keluar dari rumah makan bang Asep. Aku langsung mengedipkan mataku pada mereka. Bima, Aldo dan Alwi melambaikan tanganya dengan riang pada wanita-wanita cantik itu. Alwi masih memasang tampang sok cool.Blam….Kami semua kaget, Rafael tiba-tiba membanting pintu mobilnya. Dia melihat wanita-wanita itu tajam lalu mengarahkan jari telunjuknya pada mereka."Sinting!" makiku lalu kami bergegas masuk kedalam mobil Rafael. Jangan sampai dia meninggal kami semua. Penyakitnya mulai tambah parah."Minta sebatang rokok dong. Stress gue lama-lama kalau dekat ni anak anj*ng," kataku sambil memukul kepala Rafael dan membalikan tubuh ke belakang.Bima mengambil sebungkus rokok dar