Apakah aku takut jika teman-temanku tahu aku seorang perempuan. Tentu saja tidak, toh aku bertarung sama kuatnya dengan mereka. Aku juga berperilaku hampir sama dengan mereka jadi apa yang aku takutkan.
Masalah mereka bisa menerima atau tidak aku serahkan pada mereka. Aku juga tidak akan memaksa mereka. Satu yang pasti sifatku tidak kupaksakan. Aku secara alami bersipat seperti ini. Berperilaku seperti laki-laki adalah sipat alamiku.
"Wah ada pahlawan Nusa Bangsa nih," kata seseorang saat aku memasuki satu kawasan tempat biasanya kami bertemu untuk bertarung.
Sebuah lapangan bangunan terbengkalai yang jauh dari keramaian. Tempat ini adalah tempat paling menyenangkan untuk melampiaskan amarah dan kekesalan. Di sini bisa bebas baku hantam.
"Wah ada pecundang Permata," kataku santai. Aku sama sekali tidak takut pada mereka yang berjumlah empat orang.
Entah kenapa dimanapun aku berada. Aku bisa menyulut api marah orang lain. Aku dengan mudah bisa mencari masalah dengan orang lain. Bisa dengan mudah membuat pertengkaran.
"Bangs*t," kata Andre, dia adalah pemimpin dari ketiga orang itu.
Sebenarnya dia cukup kuat, hanya saja emosinya mudah meledak. Otaknya juga tidak cukup pintar. Andre hanya tau menyelesaikan masalah dengan baku hantam. Aku sangat suka orang seperti Andre.
Bagiku menghadapi orang seperti Andre. Lebih mudah daripada orang yang bermain dengan otak. Orang seperti itu jauh lebih berbahaya dengan akal liciknya. Membunuh dengan mengotori tangan orang lain.
"Apa? Lo mau mukul gue. Sini," kataku memancing lagi. Menepuk-nepuk pipiku dan dan menunjuk Andre. "Kalau lo mampu sih. Baru juga selangkah udah gue tendang lo."
Andre berdecak dan maju. Ketiga temannya melihat kearah sekitar. Memastikan aku datang sendiri. Pengecut juga mereka, menantangku hanya berani keroyokan.
"Gak usah sok jago lo bangs*t. Badan kurus kerempeng lo itu gak mampu menahan pukulan gue."
"Kurus gini aja lo. Bawa tiga orang, apalagi badan gua berisi. Bisa kencing di celana lo ba*i," kataku santai.
"Bac*t lo sini maju. Gue kasih kesempatan buat mukul duluan," kata Andre lagi.
"Kalian aja yang maju berempat. Gue jabanin, gak usah ragu," kataku menyeringai.
Bagiku kalau hanya mereka saja sih mudah. Mereka tidak berpengalaman. Paling cuman mengandalkan emosi. Gerakan juga pasti tidak terorganisir. Tidak seperti Rafael yang ternyata menyembunyikan kemampuannya.
"Eh kurus, gak usah bacot, maju sini,"
"Ok," aku langsung maju menendang dan rahang Andre. Gerakanku yang cepat membuat dia tidak siap dan bisa membalas.
Aku lalu menonjok rahang bawahnya dengan tangan kiri. Andre langsung jatuh dan tidak sadarkan diri. Mampus, aku lupa tidak boleh menggunakan tangan kiri. Lawanku hanya bocah ingusan.
Ketiga temannya langsung menyerang secara bersamaan. Tapi aku tau mental mereka sudah runtuh duluan. Ketuanya dengan dua pukulan saja sudah jatuh pingsang.
Aku menghindari pukulan mereka dengan mudah. Kelumpuhan anak berbaju coklat terlebih dulu karena gerakannya paling cepat. Aku melompat lalu menendang punggungnya. Dia tersungkur ke tanah dengan mengenaskan.
Dua lainnya menjadi lebih waspada dan takut. Tidak boleh dihajar babak belur. Setidaknya mereka masih bisa berjalan. Aku memukul mereka tanpa ragu, tapi tidak menyerang titik vital.
Mereka meringis kesakitan dan terjatuh ke tanah. Jauh lebih lemah dari yang aku pikirkan. Sekarang aku ingin sekali bertarung dengan Rafael, tapi sikapnya aneh. Membuatku mual saja tidak seperti biasanya.
"Kalau gak mampu. Kenapa nantang gue? Bikin repot aja Bangs*t," makiku lalu menendang tanah di sebelah salah satu anak. Dia langsung mundur dengan cepat.
"Bikin repot lo anj*ng," kataku sambil menendang kaki Andre yang masih tidak sadarkan diri.
"Bangs*t, bisa kalian angkat dan bawa pulang gak?" tanyaku pada ketiga anak buah Andre.
"Bisa bang," kata anak berbaju kuning. Setahuku namanya Riki.
Mereka mencoba membopong Andre, tapi kesulitan dan terjatuh beberapa kali. Lemah banget, baru aja dihajar segitu udah kayak orang sekarat.
"Woy, bujang belum nyampe ke mobil lo. Kalian udah pingsang duluan," kataku sambil menyeringai. Mereka menatapku takut.
"Maaf bang, kita gak kuat. Pukulan Abang keras banget,"
"Elah gitu doang. Belum Juga seperempat kekuatan gue." Aku mendekat ke arah mereka, dan mereka langsung menjauh. Dasar tidak tau diri, niatku mau bantu juga. "Sini," kataku mengangkat Andre dengan mudah dan meletaknya di punggungku.
"Si bangs*t nyusahin anj*ng," kataku sambil menggendong tubuh Andre di punggung ku.
"Bang, Abang kuat gendong Andre. Badan Abang jauh lebih kecil dari dia," katanya heran aku mampu menggendong Andre seorang diri.
"Lo remehin gue? Mau gua hajar lagi, gue tinggal lempar tubuh bos lo ke tanah. Biar lo Bisa rasain tonjokan atau tendangan gue."
"Ampun bang. Jangan bang, sakit banget bang. Abang tenaganya kayak Hulk tapi badan kecil."
"Gue buat mamp*s juga lo," kataku menggeram.
"Badannya kecil. Mukanya juga kayak artis Korea tapi kok bisa kayak pembunuh bayaran," bisik Riki pada anak baju coklat.
"Gue denger anji*g,"
Mereka langsung diam dan berjalan dengan tenang ke arah mobil Andre. Masih untuk ini anak bawa mobil. Coba bawa motor gue iket kayak kotak dia di motor biar bisa dibawa pulang.
Setelah meletakan tubuh Andre di jok belakang. Aku memukul kepala Riki pelan. Melihat dia bingung menyalakan mobil.
"Jangan bilang, kalian gak bisa bawa mobil?"
"Kok Abang tau," kata Dean, anak yang mengenakan baju coklat.
"As*. Nyusahin banget."
"Maaf Bang, abis kita gak ada yang ngira bakal kalah dari Abang," kini anak yang memakai baju hijau yang berbicara.
"As*, as* bikin repot aja. Harusnya gue bunuh aja kalian di sini."
"Ampun Bang. Jangan Bang," wajah Riki berubah pucat dan takut, mata Alif bahkan sudah mulai berair.
"Turun lo," kataku memukul kepala Riki kesal. "Menang bukanya bikin senang malah bikin susah, anj*ng memang. Ada yang bisa bawa motor gue?"
"Gak berani bawa Bang. Takut lecet, harganya jauh lebih mahal dari harga diri saya, Bang."
"Kalau lecet, tinggal gue pisahin kepala dari badan lo," kataku menyeringai ke arah Riki. Wajahnya semakin pucat saja.
"Biar gue yang bawa Bang," akhirnya Dean menawarkan diri.
Apes, sial banget hari ini. Malah jadi baby sister anak-anak kemarin sore. Harusnya gue tinggalin aja, tapi Andre kena pukulan tangan kiri gua. Takut juga gua otaknya rusak kayak otak Rafael.
*******
Bima langsung tertawa terbahak-bahak saat tau apa yang terjadi padaku hari ini. Aku menatapnya tajam dan menyeringai. Menarik kerah bajunya sehingga dia tersentak.
"Gue beneran kesal. Kalau lo gak diam gue patahin leher lo," ancamku tidak main-main. Tapi tidak cukup membuat Bima diam. Dia malah semakin tertawa.
"Andromeda kita jadi supir dari musuh yang tumbang," katanya sambil tertawa terbahak-bahak. " Tapi kalau lo tinggalin, bisa mamp*s tu anak."
"Mereka gak mampus lo yang bakal gue bikin mampus," aku langsung menaiki tubuh Bima dan mencoba menjoknya. Dia tentu saja bertahan dan menggulingkan aku ke bawah.
Saat itulah Rafael datang dan langsung mengunci leher Bima. Membuat Bima tidak bisa bergerak. Aku langsung menendang perutnya dan menyeringai.
"Anj*ng, sakit bangs*t," maki Bima.
"Gue bikin mamp*s lo," kataku kejam.
"Rafa lepasin gue, gue mau bikin anak ini mamp*s," kata Bima berapi-api. Rafael malah semakin mengunci kuat leher Bima.
Membuat Bima memekik dan kesulitan bernafas. Aku langsung memukul kepala belakangnya. Lalu menjambak rambutnya sehingga kepalanya mendongak kearahku.
"Lo mau bikin anak orang mamp*s?"
"Eh, eh, gak," kata Rafael melepaskan kuncian dari leher Bima.
Bima memaki-maki Rafael dan dia diam saja. Sekali Rafael masih mencuri pandang padaku. Menunjukan jari tengahku dan menjulurkan lidah.
Kenapa wajahnya memerah, penyakitnya belum sembuh ternyata. Kenapa hari ini aku malah ketemu orang-orang aneh. Satu dipukul langsung pingsan, satu lagi wajahnya suka memerah.
"Andro, tapi gue harus akui muka lo menipu. Gak kelihatan jantan, tapi cantik. Bikin orang gak waspada, tapi sifatnya kayak iblis," kata Bima lagi.
Aku lalu melihat ke arah cermin yang tergantung di sini. Merapikan rambutku dan membolak-balik wajahku disana. Dapat kulihat Rafael melihatku dan tersenyum.
"Wajah gue emang gak ada duanya. Cantik banget sih," kataku sambil tersenyum sombong.
"Anj*ng serem banget lo, mual gua. Huek," Bima pura-pura muntah.
"Bangs*t," makiku.
"Emang cantik," kata Rafael tiba-tiba. Kami menatap Rafael horor. Otaknya benar-benar rusak bagaimana ini?
"An, ada anak yang dihajar dan di sandera," kata Alwi masuk dengan panik.
Bima langsung mengambil tongkat baseball-nya. Rafael juga langsung bangkit dan tersenyum dingin. Aku berada di tengah-tengah mereka. Menyeringai, menatap lurus ke arah Alwi.
"Ayo kita baku hantam. Kita buat mereka menyesal."
Di antara Bima, dan Rafael akulah yang paling pendek. Terlebih lagi wajahku yang katanya cantik untuk ukuran laki-laki. walaupun pada kenyataannya aku memang bukan laki-laki. Wajah kecil dan perawakan yang kurus. Sering kali membuat musuh kami tidak waspada. Aku sering diremehkan karena penampilan fisik ku.Sama seperti sekarang, saat kami memasuki gedung kosong. Bekas pembangunan yang belum selesai, tapi sudah ditinggalkan. Beberapa orang menatapku miris, mungkin merasa tidak pantas aku ikut dalam masalah ini."Jelek banget basecamp kalian," ejek bima sambil mengibaskan tangannya di depan hidung mancungnya.Aroma gedung ini memang sangat tidak menyenangkan. Beda sekali dengan basecamp kami, walaupun anggota kami merokok. Aroma basecamp masih bisa dikendalikan dengan penyegar ruangan."Eh anj*ng i
Hari ini aku sudah berniat bolos sekolah, tapi kalau langsung tidak datang ke sekolah pasti bolosnya tidak seru. Setidaknya sensasi untuk memanjat tembok itu tidak ada duanya. Walaupun biasanya bisa kupanjat dengan mudah.Keseruannya ada di teman-temanku, anak-anak manja itu kesulitan memanjat tembok yang tingginya tidak seberapa itu. mereka sering sekali mengeluh tentang tingginya tembok sekolah kami. Padahal hanya beberapa meter saja.Satu lagi, aku bersekolah di sekolah swasta yang tidak memakai seragam. Jadi tidak ada yang mengetahui kalau aku perempuan. Bahkan guru-guru saja menganggap aku laki-laki. Menganggapku anak nakal pembuat onar, yang berasal dari keluarga kaya. Wanita itu memang sangat kaya.Aku tidak tahu bagaimana papa mengurus identitasku. Sehingga tidak ada yang tau jika aku perempuan. Entah aku harus bersyukur atau khawatir
"Ganteng godain kita dong," kata beberapa anak perempuan yang melihat kami keluar dari rumah makan bang Asep. Aku langsung mengedipkan mataku pada mereka. Bima, Aldo dan Alwi melambaikan tanganya dengan riang pada wanita-wanita cantik itu. Alwi masih memasang tampang sok cool.Blam….Kami semua kaget, Rafael tiba-tiba membanting pintu mobilnya. Dia melihat wanita-wanita itu tajam lalu mengarahkan jari telunjuknya pada mereka."Sinting!" makiku lalu kami bergegas masuk kedalam mobil Rafael. Jangan sampai dia meninggal kami semua. Penyakitnya mulai tambah parah."Minta sebatang rokok dong. Stress gue lama-lama kalau dekat ni anak anj*ng," kataku sambil memukul kepala Rafael dan membalikan tubuh ke belakang.Bima mengambil sebungkus rokok dar
"Anjing…." makiku. Tanganku yang menahan dada Rafael tidak mampu menghentikan bibirnya yang sukses mendarat di atas bibirku. Badanku rasanya lemas, dia malah tersenyum puas.Aku cepat-cepat menjauhkan diri darinya dan menggusap bibirku dengan punggung tangan. Rasanya sangat menjijikan, ini jauh lebih berat daripada terkena pukulan telak.Bima menatap kami berdua dengan bengong. Tidak percaya dengan apa yang disaksikannya barusan. Rafel yang punya harga diri, melakukan hal yang sangat menjijikan."Hua… Rafa sama Andro baru saja ciuman. Bibir ketemu bibir," katanya heboh membuat Akira, Aldo, dan Alwi melihat kearaha kami."Anjing diam lo. Gue tonjok juga lo." Ancamku tidak dipedulikan. Dia terus ter
Aku buru-buru mengambil ponselku. Menerima telepon dari wanita jalang, yang berstatus sebagai ibu kandungku. Hadiah yang diberikan Ocean pasti berhubung dengan wanita jalang ini.Wanita jalang itu langsung memakiku dari seberang. Nafasnya memburu tanda dia sangat marah. Oh, Ocean hadiahmu selalu tidak pernah aku inginkan."Gue akan ke tempat lo. Jadi jangan berisik lagi. Gue muak, jalang," kataku langsung memutuskan sambungan telepon."Boy, gue harus balik duluan. Ada hal yang harus gue urus," kataku sambil berjalan. Bima ingin protes tapi melihat wajahku yang serius dia kembali diam.Tidak kusangka Rafael mengikuti aku keluar dan menepuk bahu sebelah kiriku. Aku menatapnya bosan dan memberi isyarat membiarkan aku pergi sendiri.
Aku melanggar janjiku kepada kakek untuk menghubungi satu orangpun dari kelompok papa. Terpaksa kulakukan agar Ocena mau menghentikan perbuatannya. Mengenalnya dari kecil membuatku paham sifat Ocean. Ocean pasti merasa wilayahnya terusik sekarang. Sehingga dia menginginkan, apa yang dianggap sebagai miliknya kembali. Dia tipe orang yang sangat posesif pada hal yang dianggap miliknya. Jika ada yang mengusik, Ocean tidak segan-segan melakukan hal apa saja. Aku sedikit tidak setuju dengan sifatnya yang seperti ini. Kami pernah berkonflik untuk hal ini. Saling berperang dingin, sampai akhirnya sama-sama mengerti dan menerima kekurangan satu sama lain. "Ayolah Ocean, angkat telepon gue," kataku gelisah. Mencoba menghubungi nomor ocean berkali-kali tapi tidak ada jawaban dari sana.
Aku benar-benar marah saat tau isi dari pesan itu. Cantika diancam dengan poto-poto telanjangnya. Cantika difoto dalam keadaan tidak sadarkan diri. Mungkin pengaruh dari obat tidur atau minuman beralkohol."Tolong aku kak Andro. Aku tidak tau lagi harus minta tolong pada siapa. Aku malu dan hancur kak," katanya masih dalam pelukanku. Dia menangis dan memelukku dengan erat.Seketika rasa iba menyerbu hatiku. Amarahku perlahan mereda, aku tidak lagi marah pada Cantika. Walaupun aku tidak membenarkan perbuatannya yang memfitnahku. Sehingga aku dan Rafael terlibat pertengkaran hebat."Kumohon kak, tolonglah aku," katanya lagi. Matanya sembab dan hidungnya memerah, tapi tidak bisa menutupi kecantikannya. Aku memang selalu lemah jika berurusan dengan wanita. Apalagi jika wanita itu sangat cantik.
Sebelum aku memutuskan untuk kembali ke basecamp. Aku terlebih dahulu menghubungi Ocean. Dalam urusan teknologi dialah ahlinya. Tidak ada yang bisa mengalahkan dirinya, walaupun otaknya benar-benar tidak waras.Menyerahkan urusan ini padanya adalah jalan terbaik. Selain masalah tidak tersebar luas kemana-mana. Dia juga bisa menyelesaikan masalah ini dengan cepat."Gue mohon bantuan lo," kataku padanya melalui sambungan telepon. Walaupun dia keras kepala dan licik. Ocean tidak pernah bisa melihat aku kesusahan. Kami yang tumbuh besar bersama. Membuat hubungan kami bukan lagi sahabat tapi saudara.Dua saudara yang sama-sama tidak punya akhlak. Pembuat onar dan menyebalkan. Hanya saja aku memang lebih sering menggunakan otot. Berbeda dengan Ocean yang lebih suka menggunakan otaknya yang cerdas.