Di antara Bima, dan Rafael akulah yang paling pendek. Terlebih lagi wajahku yang katanya cantik untuk ukuran laki-laki. walaupun pada kenyataannya aku memang bukan laki-laki. Wajah kecil dan perawakan yang kurus. Sering kali membuat musuh kami tidak waspada. Aku sering diremehkan karena penampilan fisik ku.
Sama seperti sekarang, saat kami memasuki gedung kosong. Bekas pembangunan yang belum selesai, tapi sudah ditinggalkan. Beberapa orang menatapku miris, mungkin merasa tidak pantas aku ikut dalam masalah ini.
"Jelek banget basecamp kalian," ejek bima sambil mengibaskan tangannya di depan hidung mancungnya.
Aroma gedung ini memang sangat tidak menyenangkan. Beda sekali dengan basecamp kami, walaupun anggota kami merokok. Aroma basecamp masih bisa dikendalikan dengan penyegar ruangan.
"Eh anj*ng ini bukan basecamp kami," teriak salah satu mereka.
"Bac*t wibu," balas Alwi.
Kami hanya datang berempat. Bukan karena meremehkan musuh sebenarnya, tapi kalau aku serius. Aku bisa saja menghabisi semua orang ini.
Aku sangat berbeda dengan Bima dan Rafael. Aku sudah sudah hidup dalam lingkungan keras sejak lahir. Hampir mati berkali-kali, karena pertarungan. Daya tahan tubuhku sudah jauh diatas mereka.
"Siapa yang namanya Andromeda?" tanya seseorang. Tubuhnya tidak terlalu tinggi hampir sepantaran denganku.
Aku tahu dialah pemimpin mereka. Auranya sangat berbeda, ada aura pemimpin dan mengintimidasi yang tidak terlihat dari tubuhnya. Walaupun mungkin dia lebih pendek dari anggota lainnya. Aku yakin kepemimpinan dan pengambil keputusan tidak perlu diragukan lagi.
"Lo, atau lo?" tunjuknya padaku dan Alwi secara bergantian.
"Gue," kataku tanpa takut. Maju kedepan dan berhadapan langsung dengannya. "Ada masalah lo sama gue?" kataku menyeringai. Dia menatapku remeh, aku malah memiringkan wajahku. Menjulurkan lidah untuk mempropokasinya.
Rafael menepuk pundakku maju ke depan ku. Menyembunyikan aku di belakang tubuhnya. Aku yang tidak terima malah memukul kepalanya. Beberapa musuh malah mengangga melihat aku memukul kepala Rafael.
"Apa lo, gak terima? Sini tonjok pipi gue," kataku saat Rafale menoleh padaku.
"Eng … enggak," katanya gugup. Penyakitnya anehnya kumat kembali.
"Jadi lo yang namanya Andromeda?" tanyanya lagi tidak percaya.
"Lo budek as*. Gue udah bilang Andromeda gue," aku maju dari belakang tubuh Rafael.
"Ada masalah apa lo sama kita. Kita gak pernah melanggar wilayah yang sudah disepakati." Kali ini Bima yang berbicara.
"Alah anj*ng baku hantam aja lah. Udah gatal tangan gue, pengen mukul muka dia," kataku menunjukan laki-laki itu.
"Diam dulu anj*ng. Kebiasaan banget, pukul-pukulan mulu lo," Bima mengunci leherku dengan lengannya.
"Alah anji*ng," kataku lalu membanting tubuh bima ke lantai yang kotor. Dia memaki-maki aku dan membersihkan tubuhnya yang kotor karena debu.
"Bangs*t gue buat mampus juga lo," kata Bima, tapi tidak berani maju. Rafael sudah menata tajam padanya.
Salah satu musuh datang. Menyeret tubuh Aldo yang babak belur. Aku menatap orang itu tajam. Beraninya dia menyakiti salah satu anggota kami. Aldo menatapku dan kemudian menunduk lagi.
"Anji*ng diam lo. Kalau gak gue habisi ini anak," katanya jambak rambut aldo.
"Lo tau, cuman gue yang boleh bikin anggota gua babak belur. Cuman gue yang boleh bikin mereka menderita. Kalau lo usik punya gue, gue bakal balas berkali-kali lipat," kataku dingin. Alwi yang baru melihat aku serius ini tanpa sadar mundur menjauh.
"Gak usah bac*t lo nj*ng. Badan kurus kerempeng sok hebat," katanya meremehkan tubuhku.
"Anj*ing," kata Bima melihat aku diremehkan. Rafael hanya diam dan menjauh dariku.
"Gak bakal gue tahan, tapi ingat jangan sampek mati. Kalau koma, masih bisa gue atasi," katanya lalu menepuk pundakku.
Aku menyeringai kejam, mengunci tatapanku pada orang itu. Maju dengan santai dan menendang rahangnya. Membuat dia terpental ke belakang. Aku meraih tubuh Aldo dan melemparnya ke arah Bima. Bima menangkap tubuh Aldo dan menopang tubuhnya.
"Tenang gue gak bakal pakek tangan kiri," kataku dingin.
Permainan tidak akan adil. Aku melihat ada dua orang yang mulai bergerak maju, sebelum dua orang itu menyerang ketua mereka sudah memberi isyarat untuk mundur.
Dua orang itu dengan enggan mundur kebelakang. Sepertinya ketua mereka cukup menjaga wibawa. Aku jadi ingat nasib Andre yang pingsan setelah ku tonjok.
Kali ini anggota mereka kan, banyak. Jadi gak tidak perlu khawatir aku harus menggendong orang yang kubuat pingsan. Serahkan saja pada anggota mereka.
"Anj"ing,"makinya sambil mengusap bekas tendanganku di rahangnya.
"Kenapa gak terima, sini maju balas gue. Itupun kalau lo mampu. Kalau gak ya bakal babak belur," kataku dingin.
"Bangs*t," makinya lagi.
Lalu maju untuk memukulku. Aku dengan sigap menghindari semua pukulan. Bagiku, berkelahi bukan masalah lagi. Bahkan sudah menjadi rutinitas. Sejak lahir sudah dalam lingkungan mafia. Sudah diajarkan berkelahi dan bertahan hidup dengan kekeran.
Papa juga tidak membedakan aku dengan orang-orang lainnya. Tidak ada perlindungan dari papa. Kalau aku mau bertahan hidup, aku harus kuat. Kalau tidak maka aku akan terinjak-injak.
Pertarungan ini sungguh membosankan tidak ada perhitungan atau teknik. Hanya sembarang menyerang saja. Aku dengan mudah membaca setiap gerakannya. Dia bahkan tidak bisa menyerangku sekalipun.
Aku benar-benar bosan tidak ada tantangan. Aku memukul tengkuknya dan membuatnya pingsan. Bikin gerah saja, kalau meladeni anak ini. Lebih baik selesaikan dengan cepat.
"Anji*ng jangan dibunuh juga," teriak Bima saat melihat orang ini terkapar di lantai.
Orang-orang menatapku ngeri. Tatapan meremehkan mereka berubah menjadi sangat waspada. Aku menatap mereka lalu menyeringai.
"Ayo maju, gue bunuh semua lo," kataku mengintimidasi.
Beberapa orang langsung memeriksa anak yang kubuat pingsan. Mengangkatnya dengan cepat menjauhkan dari jangkauanku.
"Lebih baik lo ngomong ada masalah apa lo sama kita? Sebelum ni anak bikin mamp*s anggota lo. Gue gak bisa atasi kalau berlanjut lebih jauh," kata bima bijak sana.
Walaupun dia sering emosi dan gegabah. Dia tipe orang yang tau kapan harus maju dan mundur dalam masalah. Tidak sepertiku yang selalu saja baku hantam. Intinya aku adalah gas, Bima adalah remnya.
"Kita juga gak bakal pakek cara murahan ini. Kalau teman lo gak murahan," kata sang ketua.
Aku menatapnya bingung. Kapan aku melakukan hal murahan? Aku selalu bertarung dengan adil tapi punya pengalaman lebih. Apakah itu curang, tapi aku selalu solo lawan squad. Atau sendiri lawan beramai-ramai.
"Kapan gue pake cara murahan dalam bertarung, yang ada gue solo lawan squad," kataku bingung. "gak usah nyari alasan aji*ng. Kalau mau baku hantam sini maju lo semua. Gue bikin mampus kalian!"
"Lo ngerebut cewek gue. Lo pikir itu bukan cara murahan, anj*ing,"
Eh otak ku langsung ngelag. Masalah ini terjadi karena perempuan. Kupikir karena mau baku hantam. Ternyata karena hal bucinan (budak cinta).
"Sianj*ng bikin masalah sama Andro, cuman karena betina. Si anji*ng gak tau anggota lo bisa dalam bahaya kalau berurusan sama Andro. Lo gak tau betapa psikopat nya dia," maki Bima dengan wajah kesal.
"Anji*ng kalau teman lo gak murahan. Gak bakal ada masalah kayak gini," balasnya.
"Anji*ng memang lo, bucin najis, lo lihat dulu dong wajahnya," Bima menunjuk wajahku, "lihat wajah lo." Bima menunjuk wajahnya. "Udah jelas, lo kalah jauh. Andro gak perlu pake cara murahan. Betina-betina gatal itu yang datang buat ngejar dia," lanjut Bima lagi.
"Cewek lo yang mana? Secantik apa? Sampek gue ngejar dia. Lebih cantik dari wajah gua?" tanya ku lagi lalu menyeringai.
"Cantikan dia bos, walaupun dia cowok," kata salah satu mereka. Niatnya berbisik tapi bisa kami bisa mendengar jelas. Rafael sudah berkekeh, membuatku ingin memukul wajahnya.
"Lagian lo yakin dia suka cewek?" kata Bima ambigu. Semua orang melirik ke arahku dengan aneh.
"Tapi dia banyak dekat dan godain banyak cewek. Dia juga dikelilingi cewek," kata orang itu ragu.
"Pernah dengar dia pacaran sama cewek? Bisa aja itu cuman aliby buat nutupin sesuatu." Bima membentuk jari-jarinya berbentuk huruf v lalu menekuknya.
"Dia ini g4y suka sama laki-laki, ya kan Andro?" Tanya Bima padaku.
"Gue emang suka cowok sih," kataku sejujurnya. Saat aku melirik ke arah Rafael dia malah tersenyum dengan pipi memerah. "Bagi gue cowok atau cewek gak masalah," kataku melanjutkan.
Tatapan aneh semakin mengarah padaku. Aku menatap mereka kesal. Ingin kupukul mereka satu persatu. Ternyata aku masuk dalam jebakan Bima. Sejak kapan dia menyelesaikan masalah dengan cara licik. Diantara kami akal licik hanya Akira saja yang jalan.
"Kelar kan," kata Bima enteng.
"Anj*nglah. Baku hantam, maju sini gue habisi kalian semua. Gue bikin mampus kalian semua," teriakku emosi.
Alwi ingin menyentuh lenganku, tapi terlihat ragu. Bima juga menatapku ngeri, antara takut aku marah atau takut aku beneran tidak normal.
Hanya Rafael yang tersenyum-senyum tidak jelas. Sambil terus melirik arahku, rasanya ingin kupatahkan lehernya.
"Anji*ng gue bakal habisi kalian kalau ketemu lagi." Aku benar-benar kesal kali ini.
Apalagi saat aku melihat Aldo, yang tubuhnya masih ditopang oleh Bima. Rasa marahku semakin meledak. Aku berlari dengan cepat ke arah ketua mereka. Mendang ulu hatinya dengan kuat. Tidak peduli jika itu berbahaya. Lalu mencengkram lehernya kuat, mengunci pergerakan. Menatap dengan rasa haus darah.
"Harusnya lo jangan main-main sama gue." Aku mencekiknya semakin kuat. Urat-urat di leher dan di dahinya sudah keluar menahan rasa sakit dan nafas yang semakin sesak.
"Ingat baik-baik. Gue gak pernah main-main sama kata-kata gue." Dia menahan tanganku, mungkin dia mengira bisa mengurangi kuatnya cengkramanku di lehernya. Nafasnya sudah putus-putus, membuat suasana semakin tegang, tapi tidak ada yang berani maju.
Bima sudah berteriak-teriak meminta aku melepaskan leher anak ini. Apalagi iris matanya mulai naik, tanda di sudah kehabisan oksigen. Kesadaran juga sudah mulai berkurang, dapat kurasakan dari berkendurnya cengkramannya di tanganku.
Aku menyeringai dan melepaskan cengkramanku dari lehernya. Dia terbatuk-batuk lalu menarik nafasnya kuat. Suasana berubah mencekam dan sunyi. Aku menyeringai pada mereka semua. Mereka menatapku takut, seperti malaikat pencabut nyawa. Malaikat yang datang untuk mencabut nyawa mereka tanpa ampun.
Aku berjalan ke arah Bima yang membeku. Mengambil tubuh Aldo dan menopang tubuhnya. "Denger gue, kalau gak mau mampus. Jangan ganggu anggota gue," kataku dingin, lalu memapah Aldo keluar. Bagiku, tidak masalah kalau aku yang terluka atau bahkan mati. Tapi aku tidak akan tinggal diam kalau ada orang lain yang terluka karena aku.
"Kalian bisa menyerangku tapi tapi tidak dengan anggotaku," teriakku. Aldo malah menangis dan mengusap air matanya, menyembunyikan wajahnya dariku.
"Si anji*ng malah nangis," kataku sambil terus memapah tubuhnya yang lemas.
"Baru kali ini gue dibela," katanya serak.
"Lo anggota gue, gue bakal jaga lo," kata sambil menepuk-nepuk kepalanya lembut. Entah sejak kapan Rafael sudah berada di samping Aldo. Dia menepuk kepala Aldo keras, menatapnya dengan kesal yang tidak disembunyikan. Aldo meringis saat tangan Rafael mengenai kepala. Dia masih terus melakukan dengan tatapan membunuh. Lalu mengambil alih tubuh Aldo dariku.
Selain punya penyakit gagap dan aneh, dia juga punya penyakit cepat marah. Obat untuk penyakitnya apa? Atau dia sudah terserang penyakit gila? Aku akan membawanya ke psikiater segera. Jangan sampai tambah parah.
Hari ini aku sudah berniat bolos sekolah, tapi kalau langsung tidak datang ke sekolah pasti bolosnya tidak seru. Setidaknya sensasi untuk memanjat tembok itu tidak ada duanya. Walaupun biasanya bisa kupanjat dengan mudah.Keseruannya ada di teman-temanku, anak-anak manja itu kesulitan memanjat tembok yang tingginya tidak seberapa itu. mereka sering sekali mengeluh tentang tingginya tembok sekolah kami. Padahal hanya beberapa meter saja.Satu lagi, aku bersekolah di sekolah swasta yang tidak memakai seragam. Jadi tidak ada yang mengetahui kalau aku perempuan. Bahkan guru-guru saja menganggap aku laki-laki. Menganggapku anak nakal pembuat onar, yang berasal dari keluarga kaya. Wanita itu memang sangat kaya.Aku tidak tahu bagaimana papa mengurus identitasku. Sehingga tidak ada yang tau jika aku perempuan. Entah aku harus bersyukur atau khawatir
"Ganteng godain kita dong," kata beberapa anak perempuan yang melihat kami keluar dari rumah makan bang Asep. Aku langsung mengedipkan mataku pada mereka. Bima, Aldo dan Alwi melambaikan tanganya dengan riang pada wanita-wanita cantik itu. Alwi masih memasang tampang sok cool.Blam….Kami semua kaget, Rafael tiba-tiba membanting pintu mobilnya. Dia melihat wanita-wanita itu tajam lalu mengarahkan jari telunjuknya pada mereka."Sinting!" makiku lalu kami bergegas masuk kedalam mobil Rafael. Jangan sampai dia meninggal kami semua. Penyakitnya mulai tambah parah."Minta sebatang rokok dong. Stress gue lama-lama kalau dekat ni anak anj*ng," kataku sambil memukul kepala Rafael dan membalikan tubuh ke belakang.Bima mengambil sebungkus rokok dar
"Anjing…." makiku. Tanganku yang menahan dada Rafael tidak mampu menghentikan bibirnya yang sukses mendarat di atas bibirku. Badanku rasanya lemas, dia malah tersenyum puas.Aku cepat-cepat menjauhkan diri darinya dan menggusap bibirku dengan punggung tangan. Rasanya sangat menjijikan, ini jauh lebih berat daripada terkena pukulan telak.Bima menatap kami berdua dengan bengong. Tidak percaya dengan apa yang disaksikannya barusan. Rafel yang punya harga diri, melakukan hal yang sangat menjijikan."Hua… Rafa sama Andro baru saja ciuman. Bibir ketemu bibir," katanya heboh membuat Akira, Aldo, dan Alwi melihat kearaha kami."Anjing diam lo. Gue tonjok juga lo." Ancamku tidak dipedulikan. Dia terus ter
Aku buru-buru mengambil ponselku. Menerima telepon dari wanita jalang, yang berstatus sebagai ibu kandungku. Hadiah yang diberikan Ocean pasti berhubung dengan wanita jalang ini.Wanita jalang itu langsung memakiku dari seberang. Nafasnya memburu tanda dia sangat marah. Oh, Ocean hadiahmu selalu tidak pernah aku inginkan."Gue akan ke tempat lo. Jadi jangan berisik lagi. Gue muak, jalang," kataku langsung memutuskan sambungan telepon."Boy, gue harus balik duluan. Ada hal yang harus gue urus," kataku sambil berjalan. Bima ingin protes tapi melihat wajahku yang serius dia kembali diam.Tidak kusangka Rafael mengikuti aku keluar dan menepuk bahu sebelah kiriku. Aku menatapnya bosan dan memberi isyarat membiarkan aku pergi sendiri.
Aku melanggar janjiku kepada kakek untuk menghubungi satu orangpun dari kelompok papa. Terpaksa kulakukan agar Ocena mau menghentikan perbuatannya. Mengenalnya dari kecil membuatku paham sifat Ocean. Ocean pasti merasa wilayahnya terusik sekarang. Sehingga dia menginginkan, apa yang dianggap sebagai miliknya kembali. Dia tipe orang yang sangat posesif pada hal yang dianggap miliknya. Jika ada yang mengusik, Ocean tidak segan-segan melakukan hal apa saja. Aku sedikit tidak setuju dengan sifatnya yang seperti ini. Kami pernah berkonflik untuk hal ini. Saling berperang dingin, sampai akhirnya sama-sama mengerti dan menerima kekurangan satu sama lain. "Ayolah Ocean, angkat telepon gue," kataku gelisah. Mencoba menghubungi nomor ocean berkali-kali tapi tidak ada jawaban dari sana.
Aku benar-benar marah saat tau isi dari pesan itu. Cantika diancam dengan poto-poto telanjangnya. Cantika difoto dalam keadaan tidak sadarkan diri. Mungkin pengaruh dari obat tidur atau minuman beralkohol."Tolong aku kak Andro. Aku tidak tau lagi harus minta tolong pada siapa. Aku malu dan hancur kak," katanya masih dalam pelukanku. Dia menangis dan memelukku dengan erat.Seketika rasa iba menyerbu hatiku. Amarahku perlahan mereda, aku tidak lagi marah pada Cantika. Walaupun aku tidak membenarkan perbuatannya yang memfitnahku. Sehingga aku dan Rafael terlibat pertengkaran hebat."Kumohon kak, tolonglah aku," katanya lagi. Matanya sembab dan hidungnya memerah, tapi tidak bisa menutupi kecantikannya. Aku memang selalu lemah jika berurusan dengan wanita. Apalagi jika wanita itu sangat cantik.
Sebelum aku memutuskan untuk kembali ke basecamp. Aku terlebih dahulu menghubungi Ocean. Dalam urusan teknologi dialah ahlinya. Tidak ada yang bisa mengalahkan dirinya, walaupun otaknya benar-benar tidak waras.Menyerahkan urusan ini padanya adalah jalan terbaik. Selain masalah tidak tersebar luas kemana-mana. Dia juga bisa menyelesaikan masalah ini dengan cepat."Gue mohon bantuan lo," kataku padanya melalui sambungan telepon. Walaupun dia keras kepala dan licik. Ocean tidak pernah bisa melihat aku kesusahan. Kami yang tumbuh besar bersama. Membuat hubungan kami bukan lagi sahabat tapi saudara.Dua saudara yang sama-sama tidak punya akhlak. Pembuat onar dan menyebalkan. Hanya saja aku memang lebih sering menggunakan otot. Berbeda dengan Ocean yang lebih suka menggunakan otaknya yang cerdas.
"Kalian lagi... kalian lagi..." kata guru BK saat melihat kami lagi yang telat. Aku hanya tersenyum, begitu pula dengan Bima, Aldo dan Alwi.Catatan telat pasti sudah penuh dengan nama kami. Walaupun begitu, kami masih berniat menambah panjangnya catatan pelanggaran kami.Anak-anak osis juga pasti sudah hapal pada kami. Setiap kami datang, pasti diikuti dengan berbagai pelanggaran. Mereka pasti sudah bosan melihat kami."Hei cantik, nanti ikut kakak ke kantin. Nanti kakak traktir makanan dan minuman yang kamu mau," bisikku pada salah satu adik kelasku. Dia langsung bersemu malu. Tidak takut padaku, padahal aku adalah pembuat onar ulung."Iya kak," katanya malu-malu.Aku mengedipkan mataku padanya