Terpesona ... ku pada pandangan pertama~~~
"Kenapa kamu memandangku seperti itu? Apakah rambutku aneh?" gerutu Barbara. Philip berkedip-kedip. "Tidak. Aku hanya senang kau mengubah penampilanmu. Rambut pink kemarin sebetulnya agak mengganggu." Barbara mengerutkan alis. Setelah mendesah cepat, ia menyodorkan tangan. "Mana materiku?" "Materi?" Philip malah menaikkan alis. Selang beberapa kedipan, ia meruncingkan telunjuknya di samping kepala. "Oh, materi. Tunggu sebentar." Philip menarik laci di samping Emily, mengambil sebuah map. "Ini." Ia menyodorkannya ke tangan Barbara. "Apa yang kau pikirkan sejak tadi?" gerutu Barbara, seolah tak mengenal kata terima kasih. "Emily, bukankah asistenmu layak ditegur? Dia tidak fokus hari ini." Emily mengernyit dan menggaruk-garuk pipi. "Ya, Philip tidak biasanya seperti ini. Apakah kamu sakit?" Philip terbelalak. "Tidak," gelengnya cepat. "Lalu kenapa kamu seperti orang linglung?" Emily memiringkan kepala, seakan bisa menemukan jawaban kalau ia mengamati Philip dari sudut pandang y
"Tidak. Justru kalau Bibi mempromosikannya, Bibi menunjukkan kalau gaun itu sudah bukan masalah lagi. Bibi malah bisa menjadikan kesalahan kemarin sebagai senjata." Alis Barbara turun. "Senjata?" Emily mengangguk cepat. "Ya, Bibi bisa bilang Bibi melakukan itu karena gaunnya terlalu indah." "Kurasa itu bukan ide yang bagus," gumam Barbara pelan. Emily mengangkat bahu. "Kalau begitu, terserah Bibi mau bilang apa. Yang penting, Bibi harus mempromosikannya." Menyimak diskusi dua perempuan itu, Philip diam-diam tersenyum. Ia seperti melihat sesuatu yang sangat indah dalam diri Barbara. Sore harinya, Louis masuk ke ruang kerja Emily sambil merentangkan tangan. "Woohoo! Waktunya pulang!" Namun, melihat Emily dan Barbara sedang asyik melihat sesuatu di ponsel, ia terbelalak. "Apa yang sedang kalian lihat?" “Ada kemajuan di akun Bibi, Louis.” Emily mengibaskan tangan. “Kemarilah! Kamu harus lihat. Follower Bibi bertambah lagi. Dan postingan baru Bibi mendapat banyak komentar positi
Sambil membelai rambut Barbara, Melanie menarik napas berat. "Mama tahu, kemarin Mama memang keterlaluan. Mama tidak seharusnya menamparmu. Mama gagal mengendalikan emosi. Karena itu, kamu mau kan memaafkan Mama?" Hati Barbara sedikit terenyuh. Matanya kini berkedip ragu. "Ya," sahutnya pelan. "Terima kasih, Sayang. Kamu memang anak terbaik sedunia." Melanie menangkup pipi Barbara dan mengecup keningnya. "Sekarang," ia menggiring Barbara untuk duduk di tepi ranjang, "ceritakan kepada Mama. Dari mana kamu mendapat ide sebrilian itu? Bagaimana bisa kamu melakukan semuanya dengan mudah? Kamu diam-diam menyimpan bakat, hmm?" Mulut Barbara kembali terbuka. Kerut alisnya bertambah dalam. "Ide? Ide apa?" Melanie menepuk punggung tangan Barbara. Tawanya samar. "Kamu pikir Mama tidak memperhatikanmu? Mama juga menonton tayangan itu, Sayang. Mama tidak pernah tahu kalau ternyata kau sangat pandai berakting. Good job, Putriku!" Barbara tercengang. Masih dengan mulut yang membuka, ia m
Mata Melanie melebar. Tanpa basa-basi lagi, ia pergi menemui Paul. Barbara bergegas menyusul. "Papa ...." Mata Barbara berbinar saat melihat sang ayah. Namun, ketika ia hendak menghampirinya, Melanie merentangkan sebelah tangan. "Diam di tempat," bisiknya kepada sang putri sebelum menatap Paul tajam. "Mau apa kau datang kemari?" Laki-laki berjas dengan dasi yang berantakan itu beranjak dari sofa. Sorot matanya tidak lagi mengembara. "Melanie .... Barbara ...." Lengkung bibirnya tampak sangat lelah, apalagi dengan kantong mata yang menebal dan rambut acak-acakan. "Bagaimana kabar kalian? Kalian tenteram tinggal di sini?" Melanie mendengus. "Tentu saja. Rumah ini jauh lebih besar dari rumah yang kau tawarkan kepadaku." Paul mengerutkan bibir dan tertunduk. Sambil menyatukan tangan di depan perut, ia bergeser ke arah Melanie. "Begini," desahnya lirih, "aku tahu ini memang belum waktunya. Tapi perusahaanku tidak bisa lagi menunggu. Aku butuh uang itu sekarang." Melanie terbel
"Apa maksudmu?" Melanie menelan ludah dengan susah payah. Lidahnya kelu. Giliran Paul yang tersenyum licik. "Kau kira aku tidak tahu? Kau adalah seorang pembunuh. Kau beruntung selama ini aku masih mencintaimu. Sekarang, karena masanya sudah habis, apa ada alasan bagiku untuk menutupi kejahatanmu?" Tawa renyah Paul mengudara. Ketika mereda, sisanya meninggalkan kesan horor. "Hidup ini memang lucu. Kita berawal dari pelaminan tapi berakhir bersama dalam penjara. Tiba-tiba, Paul mencondongkan tubuhnya ke depan, berbisik, " Tapi setelah dipikir-pikir, kurasa kau yang akan lebih dulu masuk ke sana. Aku masih punya kesempatan. Mungkin saja, ada investor baik hati yang mau menjadi penyelamat. Tapi kau ...." Telunjuknya meruncing ke depan. "Kau tidak punya harapan. Dosamu tidak bisa dihapus seperti utang." Sementara Paul kembali tertawa, Melanie meringis kesal. Saat dadanya terlampau sesak, ia maju dan mencengkeram kerah baju Paul. "Jangan macam-macam denganku! Kau pikir bisa menganc
Melanie melirik Kara. Ia sesungguhnya tidak mau menantunya mendengar. Namun, ia tidak boleh menyinggung Frank kalau ingin misinya berjalan lancar. "Bagaimana kalau kau duduk dulu, Frank? Tidak sopan berbicara di depan orang tua seperti itu." Kara diam-diam mencolek lengan Frank. Lewat gerakan kepala, ia menyuruh suaminya pindah ke meja kerja. Frank mendesah pasrah. Ia sebetulnya tidak suka berbicara serius dengan orang-orang mencurigakan itu, meskipun Melanie adalah ibunya. "Baiklah, maaf." Setelah duduk di hadapan orang tuanya, ia menyatukan tangan dan meletakkannya di atas meja. "Silakan dimulai. Aku menyimak." "Begini ...." Melanie kembali ragu. Ia menatap Kara, seolah ingin mengusir. "Kara, bisakah kamu menyediakan minum untuk kami?" Perempuan yang berdiri di samping Frank itu terbelalak. "Oh, ya. Mama dan Tuan Harris mau minum apa?" Tepat saat itu pula, seorang pelayan mengetuk pintu. "Permisi. Saya datang membawakan teh." Frank diam-diam tersenyum. "Masuk." Nora pun
Napas Frank berubah berat. Ia tahu makna di balik ekspresi itu. Setelah mengembuskan napas samar, ia menatap Melanie dan Paul dengan wajah malas. “Boleh kami meminta waktu? Aku perlu mendiskusikan hal ini dengan istriku.” Masih dengan bibir mengatup, Melanie melirik Kara. Ia kesulitan menerka maksud hati menantunya itu. Lain halnya dengan Paul, ia langsung beranjak dari kursi. Rautnya masih tegas, tetapi matanya memancarkan sinar yang berbeda. “Ini memang keputusan besar. Tolong pikirkan matang-matang. Kami akan menunggu di luar.” Sedetik kemudian, ia melirik Melanie. Dengan gerak samar, ia mengisyaratkan untuk segera meninggalkan ruang. Mau tidak mau, Melanie bergerak. Sebelum berbalik menuju pintu, ia menatap Kara lekat-lekat. Ada ancaman yang terselip di sana. Namun, Kara membalasnya dengan senyum yang hangat. “Kamu tidak setuju dengan keputusanku?” tanya Frank begitu pintu ditutup. Alisnya berkerut. Sambil mendekat, Kara mengelus dahi yang kusut itu. “Kalau dari sudut pandan
Tiba-tiba, Frank merangkul pundak Kara. "Urusan ini bisa dilanjutkan besok. Sekarang, bagaimana kalau kita makan malam? Anak-anak pasti sudah tidak sabar." Kara mengangguk. Masih dengan senyum manis, ia menatap Paul. "Bagaimana kalau Anda makan di sini malam ini?" Paul terbelalak. Bola matanya spontan berbelok ke arah istrinya. "Sayang sekali, Paul sudah punya agenda lain. Perusahaannya masih semrawut. Banyak yang harus diurus," sela Melanie. Paul langsung tersenyum kecut. "Benar. Aku ... masih ada urusan. Mungkin lain kali." Sebelum Paul bisa bicara lebih panjang, Melanie menarik lengannya. "Sekarang permisi. Ada yang ingin kubicarakan berdua dengan suamiku sebelum dia pergi." Frank dan Kara terbelalak. Mulut mereka terbuka, hendak menyampaikan salam. Akan tetapi, Paul sudah tidak memperhatikan mereka lagi. Ia kewalahan menghadapi tarikan kasar Melanie. "Hei, tak bisakah kau lebih lembut? Putramu sudah tidak melihat." Paul menyentak lengannya saat mereka sudah menuruni tangg