Apa yang akan terjadi selanjutnya ...?
Melanie melirik Kara. Ia sesungguhnya tidak mau menantunya mendengar. Namun, ia tidak boleh menyinggung Frank kalau ingin misinya berjalan lancar. "Bagaimana kalau kau duduk dulu, Frank? Tidak sopan berbicara di depan orang tua seperti itu." Kara diam-diam mencolek lengan Frank. Lewat gerakan kepala, ia menyuruh suaminya pindah ke meja kerja. Frank mendesah pasrah. Ia sebetulnya tidak suka berbicara serius dengan orang-orang mencurigakan itu, meskipun Melanie adalah ibunya. "Baiklah, maaf." Setelah duduk di hadapan orang tuanya, ia menyatukan tangan dan meletakkannya di atas meja. "Silakan dimulai. Aku menyimak." "Begini ...." Melanie kembali ragu. Ia menatap Kara, seolah ingin mengusir. "Kara, bisakah kamu menyediakan minum untuk kami?" Perempuan yang berdiri di samping Frank itu terbelalak. "Oh, ya. Mama dan Tuan Harris mau minum apa?" Tepat saat itu pula, seorang pelayan mengetuk pintu. "Permisi. Saya datang membawakan teh." Frank diam-diam tersenyum. "Masuk." Nora pun
Napas Frank berubah berat. Ia tahu makna di balik ekspresi itu. Setelah mengembuskan napas samar, ia menatap Melanie dan Paul dengan wajah malas. “Boleh kami meminta waktu? Aku perlu mendiskusikan hal ini dengan istriku.” Masih dengan bibir mengatup, Melanie melirik Kara. Ia kesulitan menerka maksud hati menantunya itu. Lain halnya dengan Paul, ia langsung beranjak dari kursi. Rautnya masih tegas, tetapi matanya memancarkan sinar yang berbeda. “Ini memang keputusan besar. Tolong pikirkan matang-matang. Kami akan menunggu di luar.” Sedetik kemudian, ia melirik Melanie. Dengan gerak samar, ia mengisyaratkan untuk segera meninggalkan ruang. Mau tidak mau, Melanie bergerak. Sebelum berbalik menuju pintu, ia menatap Kara lekat-lekat. Ada ancaman yang terselip di sana. Namun, Kara membalasnya dengan senyum yang hangat. “Kamu tidak setuju dengan keputusanku?” tanya Frank begitu pintu ditutup. Alisnya berkerut. Sambil mendekat, Kara mengelus dahi yang kusut itu. “Kalau dari sudut pandan
Tiba-tiba, Frank merangkul pundak Kara. "Urusan ini bisa dilanjutkan besok. Sekarang, bagaimana kalau kita makan malam? Anak-anak pasti sudah tidak sabar." Kara mengangguk. Masih dengan senyum manis, ia menatap Paul. "Bagaimana kalau Anda makan di sini malam ini?" Paul terbelalak. Bola matanya spontan berbelok ke arah istrinya. "Sayang sekali, Paul sudah punya agenda lain. Perusahaannya masih semrawut. Banyak yang harus diurus," sela Melanie. Paul langsung tersenyum kecut. "Benar. Aku ... masih ada urusan. Mungkin lain kali." Sebelum Paul bisa bicara lebih panjang, Melanie menarik lengannya. "Sekarang permisi. Ada yang ingin kubicarakan berdua dengan suamiku sebelum dia pergi." Frank dan Kara terbelalak. Mulut mereka terbuka, hendak menyampaikan salam. Akan tetapi, Paul sudah tidak memperhatikan mereka lagi. Ia kewalahan menghadapi tarikan kasar Melanie. "Hei, tak bisakah kau lebih lembut? Putramu sudah tidak melihat." Paul menyentak lengannya saat mereka sudah menuruni tangg
Philip menggeleng. "Tidak. Tapi aku bisa menebaknya. Orang tuamu ingin pisah?" Tiba-tiba, isak tangis Barbara pecah. Kepalanya tertunduk dan tangannya mengepal. "Kau senang, hmm? Kau senang bisa menertawakanku? Keluargaku hancur. Aku telah mendapat balasan atas kejahatanku." Philip termenung. Selang keheningan sejenak, ia berbisik, "Itu bukan salahmu. Semua ini terjadi bukan karena kejahatanmu. Kamu tidak berpengaruh apa-apa atas hubungan orang tuamu." Napas Barbara tersekat. Sembari menggigit bibir, ia mengangkat pandangan. Menemukan tatapan Philip yang begitu teduh dan tulus, tangisnya mereda. Pria itu seolah bisa merasakan sakit yang ia rasakan. "Kau pikir bisa menghiburku? Kata-katamu itu tidak berguna. Orang tuaku tetap bercerai. Mereka lebih mementingkan harta daripada kebahagiaanku." Philip kini bungkam, takut suaranya memperburuk suasana. Satu-satunya hal yang bisa ia lakukan adalah menyodorkan sapu tangan. Barbara meliriknya sesaat. Usai meringis, ia berjalan menuju k
"Kau membuntutiku lagi? Apakah kau ini penguntit?" gerutu Barbara. Sambil tersenyum miring, Philip mengitari bangku. Saat ia duduk di situ, Barbara langsung berubah kaku. Tubuhnya tanpa sadar bergeser menjauh. "Dulu Jeremy yang suka duduk di sini," ujar Philip, mencoba mencairkan kecanggungan. Barbara mengerutkan alis. "Jeremy?" Philip mengangguk. "Apa kau tahu kisah tentangnya? Dia dibesarkan di panti asuhan, sama sepertiku." "Kau mau mengatakan kalau aku lebih beruntung darinya?" terka Barbara ketus. "Tidak. Aku hanya mau kau tahu lebih banyak saja. Jeremy itu kakaknya Frank. Jadi, alangkah baiknya kalau kau mengenalnya juga." Barbara termenung. Sambil berkedip, ia kembali menatap rumah kaca di kejauhan. "Bukankah Jeremy putra Vivian? Kenapa dia dibesarkan di panti asuhan?" "Karena Nyonya Bell meninggalkannya di sana demi membalas dendam. Tapi ternyata, Norman Harper telah meninggal. Nyonya Bell terpaksa mengubah rencana." "Lalu, bagaimana dengan Jeremy?" lirik Barbara.
"Mama, kenapa berkata begitu?" Barbara menarik lengan baju sang ibu. Akan tetapi, Melanie menepis tangannya. "Jangan ikut campur, Barbara. Ini urusan Mama dan laki-laki yang tidak tahu diri ini. Pekerjaannya hanya mengatur rumah dan mengurus anak-anak. Percaya diri sekali dia mau mendekatimu. Memangnya dia punya apa?" Philip menarik napas berat. Tangannya mengepal di samping badan. "Maaf, Nyonya. Apa yang salah dengan pekerjaan saya? Kenapa Anda menyebutnya seolah itu adalah pekerjaan hina?" Barbara terbelalak, sedangkan Melanie mendesah tak percaya. "Kau berani melawan?" Dengan mata bulat, Melanie menghampiri sang pria. Namun, sebelum ia tiba, Barbara menghadang. "Cukup, Mama. Jangan membuatku malu." "Laki-laki di belakangmu itu yang tak tahu malu. Dia cuma seorang asisten, tapi lagaknya seperti pejabat." “Lalu bagaimana denganku? Aku bahkan tidak punya pekerjaan. Apakah aku membuat Mama malu?” Kepala Melanie tertekan mundur. "Kau membelanya? Apa yang salah denganmu?"
"B-belum pernah," jawab Barbara seperti kumur-kumur. Kepalanya pun tertunduk. Ia tidak sadar bahwa dari posisi Philip, wajahnya justru terlihat lebih jelas. "Kalau begitu, cobalah. Sabtu ini, mari piknik bersama. Kau harus merasakan keseruannya." Barbara berkedip kaku. Tatapannya kini terkunci pada mata terang itu. "Bukankah kita hanya duduk dan makan? Apa serunya?" Philip mendesahkan senyum. "Bukan cuma itu. Kita juga bisa menikmati pemandangan sambil membicarakan banyak hal. Ada banyak permainan seru juga yang bisa kita lakukan. Kau pasti suka." Barbara terdiam. Ia seolah tak tertarik. Padahal, hatinya tergelitik membayangkan keseruan itu. "Ayolah," bujuk Philip lagi. "Kau bilang ingin mempelajari kemampuan baru, kan? Manfaatkan kesempatan ini untuk belajar bersosialisasi." "Kau pikir aku kuper?" Barbara menyipit sinis. Philip tertawa ringan. "Kalau bukan, ayo pergi Sabtu ini. Selesai piknik, kita bisa jalan-jalan sebentar di mal." Mata Barbara mendadak terang. Ia seperti
"Ada apa, Bi?" Emily memiringkan kepala, memeriksa keadaan sang bibi. Barbara mengerjap. Sambil menyimpan ponsel ke dalam tas, ia menggeleng. "Sepertinya, lebih baik kita tidak usah mengadakan siaran. Bagaimana kalau hari ini kita bersenang-senang saja?" "Aku suka, tapi ... apakah Bibi tidak apa-apa?" Alis Emily berkerut resah. "Tenang, Emily. Kita bisa mengambil beberapa foto dan video. Itu bisa dijadikan konten nanti." Louis mengangkat pundaknya ringan. “Wah! Itu ide bagus, Louis.” Wajah bulat Emily kembali berseri-seri. Sambil melahap sedikit demi sedikit rotinya, ia terus mengungkapkan ide. Sementara itu, Philip melirik Barbara. Ia tahu gadis itu menyimpan kegusaran. "Ada apa?" bisiknya. Barbara mengerjap. "Hah?" Selang satu kedipan, ia menggeleng. "Oh, tidak ada apa-apa. Ayo makan." Mengendus ketakutan, Philip pun memandang sekitar. Tiba-tiba, matanya tertuju pada sebuah mobil hitam yang terparkir miring, tepat di belakang mereka. Pengemudinya baru saja menaikkan kaca j