Dear 1000 pembaca yang udah kasih gem, Louis Emily mau mengucapkan terima kasih banyak .... Semoga rejeki kalian semakin berlimpah, ya. Badan sehat dan terus bersemangat. Aamiin!
Frank tersenyum kecut. "Apa bedanya dengan Kara? Kenapa Mama tega menaburkan obat ke makanan Kara? Mama tega kalau Louis dan Emily tidak jadi punya adik?" Kara terkesiap. Matanya tertuju pada piring yang telah berganti menu di hadapannya. "Karena itukah spaghetti tadi terasa asam?" Emily mulai mencebik. "Papa, apakah Mama sudah memakan racun? Apakah Mama dalam bahaya?" "Bagaimana dengan calon adik kami? Apakah kami masih bisa bertemu dengannya?" Louis ikut mendramatisasi. Frank tersenyum manis. "Tenang, Anak-Anak. Papa sudah menukar obat Mama dengan vitamin." "Lalu bagaimana dengan Barbara? Kau memberinya obat yang asli?" Suara Melanie melengking. Bibit Frank mengerucut. "Maaf, Mama. Semua orang pasti akan menuai hasil dari perbuatannya." Melanie mendesah tak percaya. Matanya mulai berkaca-kaca. "Kau keterlaluan, Frank. Keterlaluan!" Dengan langkah tergesa-gesa, Melanie meninggalkan ruang makan. Louis dan Emily langsung mengangkat tangan ke udara. Mereka meneriakkan kemenang
"Philip!" Teriakan Melanie menyentak semua orang. "Aku tahu kau berdiri di luar sana. Cepat antarkan putriku ke rumah sakit!" Philip terbelalak dan menampakkan diri. "Saya, Nyonya?" "Siapa lagi?" Philip melirik si Kembar yang mengangkat bahu tanpa suara. Dengan raut terpaksa, ia menghubungi sopir agar bersiap. "Tunggu apa lagi? Cepat bawa putriku ke mobil!" Philip bergegas menyimpan ponsel. "Biar saya ambilkan kursi roda." "Untuk apa? Gendong saja Barbara ke mobil! Itu jauh lebih cepat." Barbara terbelalak. Ia baru saja buang air sebanyak lima kali. Baunya saja mungkin masih melekat di baju, dan sang ibu malah menyuruh seorang pria menggendongnya? “Tunggu ....” Belum sempat ia menolak, Philip sudah lebih dulu mengangkatnya. Pipi Barbara seketika memerah. Tak sanggup menahan malu, ia terpejam sembari menutupi muka dengan sebelah tangan. "Ugh, Bibi bau!" celetuk Louis ketika Philip membawa Barbara melewati mereka. Emily ikut menjepit hidung. Barbara hampir menangis. Samb
“Begitu sampai di IGD, ibumu langsung mengamuk. Dia meminta semua dokter untuk memeriksa keadaanmu. Banyak orang langsung berkumpul dan menutup hidung.” Melihat Philip mengernyit, Barbara mengepalkan tangan. “Kau bohong! Mama tidak mungkin membuatku malu.” Philip mengangkat pundaknya ringan. “Mau bagaimana lagi? Ibumu terlalu panik. Dan kau tahu?” Ia kembali tersenyum miring. “Ibumu mengumumkan kepada semua petugas medis kalau kau sedang dalam keadaan darurat karena salah minum obat. Lucunya ... ketika hasil pemeriksaan keluar, dokter menyimpulkan kalau kau terlalu banyak mengonsumsi obat pencahar. Semua orang sontak gagal menahan tawa.” Barbara ternganga tak percaya. Dari sudut pandangnya yang terbatas, ia melirik ke arah sofa. Hanya kaki Melanie yang terlihat. “Mama bisa tidur nyenyak setelah menimbulkan kehebohan semacam itu?” Barbara terpejam menahan kekesalan. Pelan-pelan, ia berbalik membelakangi Philip. Ia sudah kehilan
Tanpa menunggu respons dari siapa-siapa, Barbara berjalan menuju kamarnya. Melanie sampai tercengang dan Philip terheran-heran. Hanya si Kembar yang tetap bersemangat untuk membantunya berjalan. "Ayo, Bibi! Pegang tangan kami! Bibi masih lemas. Kalau jatuh bagaimana?" "Ya! Lagi pula, Bibi sudah wangi! Kami tidak keberatan membantu Bibi." "Aku bisa sendiri!" Barbara mengamankan tangannya dan melangkah lebih cepat. Ia seperti sedang bermain kejar-kejaran dengan si Kembar. Menyaksikan hal itu, Melanie mendesah samar. "Apa yang salah dengan Barbara?" Selang keheningan sejenak, ia melirik Philip. "Heh, apa kau sudah meracuni pikiran putriku?” Philip tersentak. "Saya, Nyonya? Meracuni? Meracuni bagaimana?" Melanie mendengus tak senang. “Mulai detik ini, kau tidak boleh dekat-dekat dengannya. Mengerti?" Lengkung alis Philip semakin tinggi. Belum sempat ia menjawab, Melanie sudah melangkah pergi. "Kenapa aku lagi yang disalahkan?" gerutu Philip sebelum menggeleng cepat. "Padahal, dia
Tiba-tiba, Melanie mencolek lengan Susan. "Omong-omong, di mana kamarmu? Aku jarang melihatmu di lantai atas." "Kamarku memang di lantai bawah." Susan tidak lagi ramah. Namun, Melanie bertindak seolah tidak terjadi apa-apa. Ia masih sok akrab. "Kenapa? Kau tahu kalau kamar di lantai atas lebih bagus, bukan? Barbara saja sempat kecewa ditempatkan di bawah." "Aku tidak butuh kamar yang luas. Yang penting rapi dan nyaman." "Begitukah?" Melanie melirik lutut Susan. Susan diam-diam merasa was-was. Ia merasa terancam jika sampai wanita itu mengetahui kelemahannya. "Kalau begitu, bolehkah aku berkunjung ke kamarmu? Aku penasaran bagaimana kamu menatanya." Alis Susan kembali berkerut. Firasatnya buruk. "Kamarku tentu tidak sebanding dengan kamarmu." "Tidak masalah. Aku hanya ingin melihat-lihat saja. Kenapa? Kau tidak mungkin berpikir kalau aku bisa mencuri sesuatu dari kamarmu, kan?" Susan menghela napas. Ia ingin sekali melarang. Namun, ia sadar bahwa Melanie adalah ibu si pemil
Kara masuk ke rumah kaca sambil celingak-celinguk. Ia mencoba menemukan yang tersisa, tetapi usahanya sia-sia. "Ibu, apa yang terjadi?" Melihat kehadiran sang putri, Susan bangkit berdiri. "Kara? Kau sudah pulang?" "Aku mendapat kabar kalau seseorang merusak kebun Ibu. Tentu saja aku langsung pulang. Mengapa bisa begini, Bu?" Susan ternganga sejenak. Matanya bergerak ke arah pelayan yang menemukan kekacauan bersamanya. "Tidak ada apa-apa, Kara. Mungkin ada tikus yang menyelinap ke sini." "Jujur saja, Bu. Ini tidak mungkin ulah tikus. Lihatlah bekas potongan itu." Kara menunjuk daun-daun yang belum dimasukkan ke karung. "Seseorang mengguntingnya." Susan tersenyum kecut. Kalau saja ia tidak sedang mengenakan sarung tangan, ia pasti sudah mengusap wajah sang putri. "Maaf sudah membuatmu panik. Kau sampai menunda pekerjaanmu demi memeriksa keadaan di sini, hmm?" "Jangan mengalihkan pembicaraan, Bu. Siapa yang melakukan ini? Apakah dua orang itu? Mereka berani mencari masalah
"Sebetulnya apa yang Mama inginkan dari kami?" sela Kara, lelah menghadapi pertengkaran yang berlarut-larut. "Sejak awal Mama tiba di sini, Mama sudah menunjukkan ketidaksukaan terhadap kami. Apakah Mama sengaja membuat kami tidak betah? Mama tidak diam-diam berharap kami pergi dari sini, kan?" Melanie mendengus. Ia ingin mengaku, tetapi pintu belum tertutup. Rencananya bisa berantakan jika ada yang merekamnya dari luar. "Apa salah kami, Ma? Kenapa Mama tidak menyukai kami? Bahkan si Kembar? Mereka begitu polos. Darah daging putramu sendiri. Kenapa Mama membenci mereka juga?" Suara Kara mulai serak. Wajahnya berkerut lelah. "Tidak bisakah kita berdamai saja? Jika Mama dan Barbara berhenti mengusik kami, tidak akan ada perdebatan semacam ini lagi. Kita bisa hidup damai di rumah ini." Barbara diam-diam melirik Melanie. Ia penasaran jawaban apa yang akan diberikan sang ibu. Bukannya menjawab, Melanie malah menyandarkan punggung pada pintu hingga tertutup sempurna. "Kau ingin be
“Sesuatu?” Kara menatap Frank lewat pantulan cermin. Napasnya tertahan, menunggu reaksi. Frank mengangguk lembut. “Kamu banyak diam sejak sore tadi. Kamu bahkan belum menceritakan apa yang terjadi sampai-sampai kamu harus pulang lebih awal. Bahkan si Kembar mengkhawatirkanmu.” Ia mengambil sisir dari tangan Kara dan mulai merapikan rambutnya. “Apakah kamu sedang kesal?” Kara menelan ludah. Sebelum kecurigaan Frank bertambah, ia mendesahkan tawa. “Oh, itu .... Aku hanya kasihan kepada Ibu. Kebunnya diserang hama. Tanamannya mati semua.” Frank tersentak. “Semua? Termasuk pemberian kita dan anak-anak?” Melihat anggukan Kara, raut Frank menjadi agak redup. “Sayang sekali. Tanaman itu hanya berbunga satu kali, dan waktunya sebentar lagi. Louis dan Emily pasti akan menangis kalau sampai tahu.” “Mereka tidak akan tahu. Aku sudah memesan yang baru. Besok, tanaman itu akan datang bersama yang lain. Kami memesan satu truk.” Frank tersenyum mendengar tawa kecil Kara. Sembari menunduk, ia
Halo, Teman-Teman yang Baik Hati, Terima kasih banyak, ya, udah ngikutin cerita Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan hingga titik terakhir. Untuk Kak Puji Amriani, SK Celey, Indah Carolina, Ningsih Ngara, Monika, Rini Hartini, Selvyana Yuliansari, D6ta, Is Yuhana, AR Family, Desak Kayan Puspasari, Emma Boru Regar, Binti Mucholifah, Bhiwie Handayani, Sofia Elysa, dan Kakak-Kakak yang gak bisa Pixie sebutin satu per satu. Terima kasih banyak udah rajin banget kasih komentar buat Pixie. Dan buat Kak Azka Aulia, Lida Boelan, Adel Putri, Wenny, SK Celey, MG, Rina Zolkaflee, Susan Vantika, Nazarieda, Firaz Marsyanda, dan yang ada di ranking top fans. Terima kasih banyak atas gems-nya. Pixie harap, kalian bersedia nungguin karya Pixie selanjutnya. Pixie udah ada rencana untuk tulis cerita Louis Emily versi dewasa tapi nanti, setelah Pixie bikin cerita satu lagi. Pixie mau kumpulin lebih banyak bocil buat dipersatukan nanti. Selagi menunggu, kalian boleh banget cek karya Pixie y
Tanpa permisi lagi, Philip menyerbu masuk dan memegangi tangan Barbara. Belum sempat ia mengatakan apa-apa, Barbara sudah kembali mengejan. Briony pun keluar dan Barbara mengembuskan napas lega. "Philip .... Anak kita sudah lahir." Meskipun kepalanya mengangguk, Philip masih berkedip-kedip. Mulutnya ternganga, tak tahu harus merespon apa. "Ya ...," desahnya selang beberapa saat. Ketika tangisan Briony terdengar, barulah akal sehatnya terkumpul lagi. "Wow," Philip mengerjap. Ia membungkuk, mengelus rambut sang istri dengan perasaan yang bercampur aduk. "Kau sangat hebat, Sayang. Kau bisa melahirkan secepat itu." Barbara tersenyum bangga. "Usaha kita tidak sia-sia, Phil. Padahal, aku sempat ketakutan tadi. Desakan Briony sangat kuat. Tapi Louis dan Emily melarangku mengejan. Aku berusaha menahannya sampai akhirnya, aku menyerah." Philip berdecak kagum sekaligus tak percaya. Masih dengan tampang kaku, ia mengecup pelipis Barbara. "Kau luar biasa, Sayang. Aku senang kau tidak menemu
"Louis, Bibi sudah mau melahirkan!" Emily bangkit dengan lengkung alis tinggi. "Ya, kita harus segera membawa Bibi ke rumah sakit!" Tanpa membuang waktu, Louis meraih tangan Barbara, menariknya untuk berputar arah. "Ayo, Bibi. Kita kembali ke mobil." Akan tetapi, Barbara menggeleng. Wajahnya pucat, badannya tegang. Kakinya seolah menyatu dengan bumi. "Ada apa, Bibi?" "Panggil Philip," gumamnya lirih. "Apa?" "Panggil Philip!" Si Kembar mengerjap. Selang satu anggukan, mereka berlari menuju Philip. "Paman Philip! Paman Philip!" "Hei, kalian mau ke mana?" seru Barbara lagi. Si Kembar mengerem. Saat menoleh ke belakang, Barbara ternyata melambai-lambai. "Kenapa kalian meninggalkanku sendirian di sini?" Suaranya melengking. "Tadi Bibi menyuruh kami memanggil Paman Philip?" Louis menggeleng tak mengerti. "Ya, tapi jangan meninggalkan aku di sini." Sambil tertatih-tatih, ia beringsut mendekati Louis dan Emily. "Satu orang saja yang memanggil Philip. Satu orang lagi, pegangi aku!"
"Halo, Orion," bisik Emily saat bayi mungil dalam kotak membuka mata. Tangannya terulur, berusaha menggapai pipi gembul itu. Dari sisi lain boks, Louis juga melongok ke dalam. "Halo, Oscar." "Louis?" tegur Emily dengan mata bulat. "Kenapa kamu memanggilnya Oscar? Ini pertemuan pertama kita dengannya. Jangan membuat kesan buruk." Louis langsung mengerutkan bibir. "Oke, maaf. Aku sudah kebiasaan. Biar kuulang." Setelah berdeham, ia kembali menunduk. "Halo, Orion. Ini aku, Louis. Aku sepupumu." Emily tersenyum kecil dan mengangguk. "Itu baru benar." Usai mengacungkan jempol kepada Louis, ia melambaikan tangan ke bawah. "Dan aku Emily. Senang bertemu denganmu, Orion." Selama beberapa saat, dua balita itu sibuk mengamati Orion. Philip dan Barbara merasa terhibur mendengar komentar mereka. "Ternyata Paman Philip benar. Orion mirip kedua orang tuanya. Matanya mirip Bibi, sedangkan hidung dan mulutnya mirip paman." "Dagunya juga mirip Paman. Tapi rambutnya mirip Bibi." "Emily, coba k
Seorang perawat berusaha menenangkan Ava. Akan tetapi, wanita itu terus menggeleng, menolak semua kata-kata yang ditujukan kepadanya. Ia sudah sangat lemas. Rasa sakit seakan merontokkan seluruh tulang dalam badannya. Otaknya tidak bisa lagi berfungsi dengan normal. "Tidak. Aku sudah tidak kuat. Aku tidak bisa melanjutkan." Setelah menarik napas berat, Jeremy akhirnya membungkuk. Perawat tadi pun bergeser. Jeremy jadi lebih leluasa untuk membelai rambut Ava yang basah oleh keringat serta wajahnya yang dibanjiri air mata. "Ava, bisakah kau mendengarku? Ava?" Tatapan mereka akhirnya bertemu. Jeremy bisa melihat keputusasaan dalam manik cokelat itu. "Aku tidak sanggup lagi, Jeremy. Aku tidak sanggup. Biar dokter saja yang mengeluarkannya. Aku tidak tahan lagi." Dada Jeremy seperti dicabik-cabik. Ia nyaris tersedak oleh rasa nyeri. Namun, sambil mengelus pundak Ava, ia menggeleng. "Tidak, aku kenal dirimu. Kamu bukanlah orang yang pantang menyerah, Ava. Kamu pasti bisa." "Tapi aku
"Lihat ini, Brandon." Louis meletakkan setumpuk kertas foto di atas meja. Kemudian, satu per satu ia tunjukkan kepada temannya. "Ini foto Russell sedang menangis. Ini foto Russell sedang tertawa. Dan ini foto Russell sedang marah." "Apakah anak bayi sudah bisa marah? Bukankah dia masih terlalu muda untuk mengerti apa-apa?" Brandon menggeleng samar. Louis mengedikkan bahu. "Aku tidak tahu soal itu. Tapi kalau Russell melihat sesuatu yang tidak disukainya, tangannya terus mengepak dan mulutnya berbunyi ...." Louis meniru erangan bayi yang membuat penjaga perpustakaan melirik. "Russell juga punya tatapan tajam, Brandon. Kalau dia merasa terganggu oleh kita, dia akan melotot sambil mengerutkan alis." Emily menyentuh pangkal alisnya, memeriksa apakah bentuknya sudah sama seperti alis Russell pada gambar. Brandon tersenyum melihat ekspresi Emily. "Kurasa dia pasti sangat lucu saat marah." "Ya!" Emily mengangguk cepat. "Dia selalu lucu, setiap saat. Louis, tunjukkan foto Russell saat ma
"Oh, lihatlah Russell, Louis. Bukankah dia sangat tampan? Dia sudah bersih dan wangi." Emily mendekatkan hidungnya ke wajah Russell. Ketika berhasil mencium pipi yang sangat lembut itu, Emily terkikik menahan tawa. Ia tidak ingin mengganggu Kara yang tertidur dalam pelukan Frank. "Ya, dia sangat tampan. Dia mirip denganku. Bukankah begitu, Nenek?" Louis mengangkat pandangannya ke arah wanita yang menggendong Russell. Susan tersenyum geli. "Ya, dia mirip denganmu. Hanya saja, hidungnya sedikit lebih mancung." Bibir Louis langsung mengerucut. Telunjuknya meruncing menyentuh hidungnya sendiri. "Mau setinggi apa hidung Russell nanti? Padahal, hidungku sudah sangat mancung." Susan terkekeh mendengar jawaban Louis. "Nenek hanya bercanda, Louis. Siapa yang lebih mancung itu bukan masalah. Yang penting adalah kalian sama-sama sehat." Louis mengangguk sepakat. Tangannya kini terangkat menyentuh kaki adiknya yang mungil. "Nenek, apakah Russell berat?" Susan sontak mengangkat alis. "Kau ma
"Halo, Anak Baik. Selamat datang." Kara merengkuh Russell dengan hati-hati, seolah makhluk kecil itu adalah mutiara yang sangat rapuh. Air mata terus mengucur di pelipisnya. Usai mengecup bayi yang diselimuti oleh handuk itu, Kara kembali berbisik, "Ini Mama, Russell. Mama senang akhirnya Mama bisa memelukmu begini." Sambil mengulum bibir, Frank ikut membungkuk. Ia mengelus punggung mungil itu, lalu mengecup kepalanya yang bergerak-gerak mengimbangi tangis. "Dan ini Papa, Russell. Papa juga senang kau akhirnya hadir di sini." Masih dengan senyum merekah dan mata merah, Frank menatap Kara lembut. Sebelum genangan keharuannya menetes lagi, ia cepat-cepat mengecup kening sang istri. Kara terpejam menerima kehangatan itu. "Terima kasih telah melahirkan putra kita, Ratu Lebah," bisik Frank serak. Kara tersenyum lebih lebar dan mengangguk samar. "Terima kasih telah menemaniku di sini.""Itulah yang seharusnya kulakukan sejak dulu." Frank mengelus pipi Kara sebelum mengecupnya lagi. "P
Kara sedang duduk di ranjang. Sambil memejamkan mata, ia berusaha mengatur napas. Kepalanya bersandar pada pundak bidang di sebelahnya. "Apakah ada kabar dari si Kembar?" tanya Kara lirih. Frank menggeleng samar. Tangannya terus memijat jemari Kara. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan mereka, Ratu Lebah. Mereka anak-anak yang mandiri dan cerdas. Mereka pasti mengerti kalau kamu harus segera melahirkan. Mari merayakan ulang tahun mereka setelah Russell lahir, hmm?" Selang anggukan singkat, Kara menoleh. "Apakah kamu menangis?" Alis Frank sontak tertarik dahi. Sambil menjauhkan kepala agar karena lebih mudah melihatnya, ia menggeleng. "Kenapa kau berpikir aku menangis?" "Suaramu bergetar, Frank." Sambil mengerutkan bibir, Frank menarik napas panjang. "Aku tidak menangis." "Lalu mengapa matamu merah dan berair?" Frank berkedip tegas. "Aku tidak menangis," ulangnya dengan penekanan lebih. Masih dengan napas tersengal-sengal, Kara meloloskan tawa. Kepalanya sedikit miring, menanti gum