Morning everybodyyy! Bagaimana kabar kalian? Louis Emily tambah gendut, kebanyakan makan ketupat. Harus tinju samsak lebih banyak ini mah. Atau tinju si nenek sihir, ya? Hwahaha .... Enjoy your holiday!
"Sebetulnya apa yang Mama inginkan dari kami?" sela Kara, lelah menghadapi pertengkaran yang berlarut-larut. "Sejak awal Mama tiba di sini, Mama sudah menunjukkan ketidaksukaan terhadap kami. Apakah Mama sengaja membuat kami tidak betah? Mama tidak diam-diam berharap kami pergi dari sini, kan?" Melanie mendengus. Ia ingin mengaku, tetapi pintu belum tertutup. Rencananya bisa berantakan jika ada yang merekamnya dari luar. "Apa salah kami, Ma? Kenapa Mama tidak menyukai kami? Bahkan si Kembar? Mereka begitu polos. Darah daging putramu sendiri. Kenapa Mama membenci mereka juga?" Suara Kara mulai serak. Wajahnya berkerut lelah. "Tidak bisakah kita berdamai saja? Jika Mama dan Barbara berhenti mengusik kami, tidak akan ada perdebatan semacam ini lagi. Kita bisa hidup damai di rumah ini." Barbara diam-diam melirik Melanie. Ia penasaran jawaban apa yang akan diberikan sang ibu. Bukannya menjawab, Melanie malah menyandarkan punggung pada pintu hingga tertutup sempurna. "Kau ingin be
“Sesuatu?” Kara menatap Frank lewat pantulan cermin. Napasnya tertahan, menunggu reaksi. Frank mengangguk lembut. “Kamu banyak diam sejak sore tadi. Kamu bahkan belum menceritakan apa yang terjadi sampai-sampai kamu harus pulang lebih awal. Bahkan si Kembar mengkhawatirkanmu.” Ia mengambil sisir dari tangan Kara dan mulai merapikan rambutnya. “Apakah kamu sedang kesal?” Kara menelan ludah. Sebelum kecurigaan Frank bertambah, ia mendesahkan tawa. “Oh, itu .... Aku hanya kasihan kepada Ibu. Kebunnya diserang hama. Tanamannya mati semua.” Frank tersentak. “Semua? Termasuk pemberian kita dan anak-anak?” Melihat anggukan Kara, raut Frank menjadi agak redup. “Sayang sekali. Tanaman itu hanya berbunga satu kali, dan waktunya sebentar lagi. Louis dan Emily pasti akan menangis kalau sampai tahu.” “Mereka tidak akan tahu. Aku sudah memesan yang baru. Besok, tanaman itu akan datang bersama yang lain. Kami memesan satu truk.” Frank tersenyum mendengar tawa kecil Kara. Sembari menunduk, ia
Frank menjatuhkan wajahnya di pundak Kara. Semangatnya yang tadi melambung kini menukik menuju angka nol. “Kenapa harus malam-malam begini?” erangnya seperti anak kecil. Kara menarik napas berat. Ia diam-diam cemas memikirkan apa yang ingin disampaikan Melanie. Meski begitu, ia tetap tersenyum dan menepuk lengan suaminya. “Bangunlah, Frank. Kita bisa melanjutkannya nanti. Sekarang, temui ibumu.” Frank mencebik. Setelah mengecup pipi Kara berulang kali, ia bangkit. “Tunggu! Aku tidak akan lama.” Setelah Kara mengangguk, Frank pergi membuka pintu dan menjulurkan kepala. "Ada apa, Ma?" Melanie langsung memasang tampang memelas dan memukul-mukul pundaknya sendiri. "Kau tahu, Mama seharian mengurus Barbara. Sepertinya, Mama kelelahan. Badan Mama pegal semua." Bibir Frank mengerucut. Ia mengira Melanie akan mengatakan sesuatu yang jauh lebih penting. Ternyata hanya itu? "Lalu?" Sembari tersenyum, Melanie menunjukkan ponselnya. "Mama menemukan kursi pijat di situs belanja ini. Kual
Keesokan harinya, si Kembar antusias menyambut ide kado individu. Mereka tidak henti-hentinya berceloteh tentang segudang ide. Sesuai dugaan Kara, mereka memerlukan lebih dari lima jam untuk memilih kado. "Aku yakin, Nenek paling suka kado dariku," tutur Louis ketika ia sudah mantap dengan pilihannya. "Tidak! Nenek akan memilih kadoku!" Kara cepat-cepat menengahi si Kembar. "Malaikat Kecil, ingat! Ini hanya seru-seruan. Siapa pun yang dipilih Nenek nanti, kita harus menerimanya dengan lapang dada. Tidak ada yang boleh menangis." Louis terkekeh. "Aku tidak mungkin menangis, Ma. Yang cengeng itu Emily. Tapi sejujurnya, aku tidak terlalu peduli dengan hasilnya. Yang penting Nenek senang." "Aku juga!" sambung si gadis mungil. "Siapa pun yang dipilih Nenek, aku tidak apa-apa. Yang penting, kita memberikan usaha terbaik dan Nenek bahagia." Kara tersenyum kecil. Ia penasaran apakah si Kembar memang tidak menangis kalau mereka tidak dipilih. Ketika hari-H tiba, semua menyambutnya den
Selama makan malam, Melanie dan Barbara diam. Meskipun yang lain berbincang ria, mereka hanya fokus menikmati makanan. Mereka seperti terasing, sampai Louis tiba-tiba bertanya. "Bibi, kamu tenang sekali malam ini. Apakah perutmu sakit lagi?" Jeremy menaikkan alis. "Bibi kalian sempat sakit?" Barbara tersentak. Belum sempat ia menyela, si Kembar mengangguk dengan penuh semangat. "Ya, kemarin Bibi sampai dilarikan ke rumah sakit. Tapi kami tidak bisa menceritakan detailnya. Karena ini pesta ulang tahun Nenek." "Emily benar. Pesta bisa kacau kalau kita menceritakannya. Sekarang, karena kita sudah selesai makan malam, bagaimana kalau kita mempersembahkan kue ulang tahun buatan kita?" Susan terbelalak. "Kalian membuat kue?" "Ya, Philip dan Nora yang membantu kami. Selama ini, Nenek selalu membuatkan kami kue. Sekarang adalah waktunya kami membuatkan kue untuk Nenek," terang Emily dengan suara manisnya. Sedetik kemudian, ia menoleh ke pintu dapur dan mengangguk. Nora pun masu
"Selamat ulang tahun, Bu." Frank mengusap pundak sang mertua. Susan pun memeluk dan menepuk-nepuk punggung Frank. "Terima kasih, Menantuku." Barbara diam-diam melirik sang ibu. Melanie baru saja memutar bola matanya. Jelas, ia cemburu. “Acara ini membosankan,” gerutu Barbara tak jelas. Ia mulai mengeluarkan ponselnya di bawah meja. Sementara itu, Frank mengerutkan lengkung bibir. Ia mendadak canggung, seperti akan meminang Kara untuk yang kedua kalinya. "Aku juga menyiapkan kado, tapi tolong Ibu jangan lihat dari harganya." Susan menepuk-nepuk pipi Frank seolah ia masih kecil. "Kehadiranmu di tengah-tengah kami saja sudah cukup bagi Ibu. Kamu tidak perlu repot-repot menyiapkan hadiah juga." "Tapi aku juga mau menunjukkan betapa pentingnya Ibu bagiku." Frank mengisyaratkan Philip untuk membawakan hadiahnya. Sebuah kotak perhiasan berlapis beludru hitam langsung menarik perhatian Melanie dan Barbara. "Ibu telah menghadirkan permata yang paling berharga ke dunia." Frank meliri
"Kau mau ke mana? Bukankah acaranya belum selesai?" Suara Philip menebar ketegangan dalam diri Barbara. Gadis itu spontan mengatupkan mulut. Namun kemudian, sambil melipat tangan, ia mengangkat dagu. "Apa pedulimu?" Philip mengangkat bahu. "Hanya bertanya."Tanpa basa-basi lagi, ia melangkah menuju ruang makan. "Tunggu!" Philip menoleh ke sumber suara. "Apa?" "Dua tamu itu .... Mereka siapa?" Philip mengangkat alis. "Kau tidak tahu?" Barbara memutar bola mata dengan perlahan. "Untuk apa aku bertanya kalau sudah tahu?" gerutunya samar. Philip kembali berbalik menghadap Barbara."Nyonya Bell adalah mantan kekasih Norman Harper. Dia ditinggalkan saat sedang mengandung Tuan Jeremy karena mendiang dijodohkan dengan ibumu." Barbara bergeming. Raut wajahnya dijaga dingin, tetapi Philip tahu ia sedang menahan keterkejutan. "Apakah informasi tersebut
Otot wajah Melanie mengendur. Bola matanya diam-diam mengikuti arah gerak Frank menuju meja kerja. "Aku bahkan menyiapkan ini untuk Mama. Hanya saja, aku menunggu waktu yang tepat untuk memberikannya, berharap momen itu bisa menjadi titik balik kita." Dengan wajah sendu, Frank mengeluarkan sebuah kotak dan membawanya ke hadapan Melanie. "Kupikir hubungan kita bisa membaik saat aku menyerahkan hadiah ini. Tapi sepertinya, aku salah. Aku malah jadi semakin sadar bahwa Mama hanya menginginkan uang dariku, bukan kedekatan." Melanie bergeming sejenak. Matanya bergetar menatap kain beludru merah yang membungkus kotak di tangan sang putra. "Apakah itu untuk Mama?" Frank mengangguk. Namun, Melanie mendengus tak percaya. "Itu pasti bukan untuk Mama. Kau memberinya demi mengubah keadaan. Kau mau Mama merasa bersalah karena menuntut keadilan?" Sekali lagi, Frank mengembuskan napas panjang. "Terserah Mama mau mengambilnya atau tidak. Yang pasti, aku sudah mengutarakan perasaanku yang se