Halo, teman-teman! Senang melihat komentar kalian lagi. Louis Emily sempat sedih lihat kolom komentar sepi. Hihi .... Udah pada kembali ke aktivitas masing-masing, ya? Atau ada yang masih liburan? Apa pun itu, semoga kegiatan kalian lancar, ya. Btw, kalau kalian punya teman kayak Barbara, kalian menghadapinya gimana? Cuekin atau balas pamer? Hwahaha ....
"Kau sekarang jadi asisten rumah tangga?" ledek seorang penonton diiringi emoticon tertawa. "Lihatlah kamarnya! Tampak seperti kamar pembantu!" Yang lain menimpali dengan emoticon terbahak. Barbara nyaris berubah manyun. "Kalian tidak tahu seberapa pentingnya pekerjaan itu? Dengar! Rumah ini berbeda dengan rumah orang kaya pada umumnya. Luasnya saja setara dengan sepuluh lapangan bola." Beberapa orang kompak bertanya, "Benarkah?" Barbara menyentak alis. "Kalau tidak, bagaimana mungkin bisa ada dua kolam renang, gym, salon and spa, bahkan rumah kaca berisi kebun bunga? Itu pun masih banyak lahan yang bisa dimanfaatkan di sini. Aku sedang berpikir bagaimana harus mengelolanya." Tiba-tiba, Hailey mengirim permintaan untuk ikut live. Tanpa ragu-ragu, Barbara menerimanya. Seorang gadis berambut pirang kini muncul di layar. "Hai, girl! Terima kasih sudah menerima permintaan live-ku. Aku yakin teman-teman lain juga penasaran dan i
"Kau ... apakah kau membuntutiku?" Barbara membelalakkan matanya. Philip berjalan menghampiri. "Aku sudah di sini sejak tadi. Bagaimana mungkin aku membuntutimu?" Saat pria itu berhenti di hadapannya, Barbara tanpa sadar menggenggam ponselnya lebih erat. "Apa yang kau sembunyikan itu?" Mata Philip menyipit. Barbara mengerucutkan bibir. "Ini bukan urusanmu." "Kau sedang live streaming? Kau menunjukkan isi mansion ini kepada orang-orang?" Barbara buru-buru menekan tombol home. "Tidak." Dengan satu gerakan cepat, Philip merebut ponsel Barbara. Alisnya berkerut saat mendapati layarnya. "Lihat? Tidak ada apa-apa, kan?" sambar Barbara. Dengan raut tegas, Philip mengangkat ponsel itu di samping wajahnya. "Apa kau sadar kalau informasi yang kau bocorkan tadi bisa dimanfaatkan oleh penjahat?" Barbara mencebik. "Aku tidak membocorkan apa-apa." "Kalau kau menyiarkan situasi detail tentang mansion ini, orang-orang bisa saja menemukan celah untuk masuk. Itu bisa mengancam keamanan."
"Apa yang Bibi lakukan di ruang kerjaku?" selidik Emily, galak. Barbara membeku. Bola matanya bergerak-gerak mengamati keponakannya dan siaran yang masih berlangsung. Saat akal sehatnya cair, ia cepat-cepat berbicara kepada yang lain. "Girls, maaf sekali. Keponakanku datang berkunjung. Nanti kita sambung lagi. Bye." "Barbara, tunggu. Siapa gadis kecil itu? Dia bilang kau masuk ke ruang kerjanya?" Tanpa menimpali Hailey ataupun komentar-komentar yang bergulir cepat, Barbara mengakhiri siaran dan menurunkan ponselnya. "Kenapa Bibi bilang kalau gaun itu adalah rancangan Bibi? Bibi mau mencuri karyaku?" oceh Emily sambil mengentakkan kaki. Barbara tanpa sadar tersentak seolah-olah jantungnya terinjak. "Kapan aku bilang begitu? Kau pasti salah dengar." Emily mendengus. "Sekarang juga, Bibi luruskan semuanya! Katakan kepada follower Bibi kalau sebenarnya gaun itu adalah hasil karyaku." Barbara mendesah canggung. Kedipan matanya tak terkontrol. "Kenapa kau jadi meracau begini? Sudah
Kara pun mengusap pipi gembul Emily, membantu sang putri mengeringkan wajah. "Bibi butuh waktu untuk menyendiri. Hatinya sekarang sedang kacau. Tapi nanti, dia pasti bisa tersenyum lagi." Emily mengembuskan napas panjang. Setelah turun dari gendongan Kara, ia menatap Philip. "Terima kasih banyak, Philip. Kalau bukan karenamu, kita tidak akan tahu Bibi berniat mencuri karyaku." Philip mengangguk. "Sebenarnya, itu hanya kebetulan. Aku melihat dia melakukan live streaming. Jadi, aku diam-diam menontonnya. Semoga saja dari insiden ini, dia bisa belajar dan sadar." Louis mengangguk setuju. "Bibi sangat terpukul. Dia pasti kapok. Tapi Emily, aktingmu tadi benar-benar keren." Sementara Louis mengacungkan jempol, Emily mengerucutkan bibir. "Itu bukan akting. Aku memang kesal kepada Bibi. Coba kalau yang dicuri adalah desain gedung atau mobil punyamu, kamu juga pasti kesal." “Ya, kalau aku berada di posisimu dan Barbara bukan bibi kita, aku pasti sudah melaporkannya ke polisi.” Louis men
"Mama menamparku?" Suara Barbara lirih. Melanie menganga dan mendesah tak percaya. Ia melihat tangannya sendiri, lalu menggeleng cepat. "Maaf, Sayang. Mama tidak bermaksud menyakitimu." Barbara tertawa pedih. Sambil melangkah mundur, ia bergumam, "Aku benci Mama." Sedetik kemudian, ia berlari ke kamar. Melanie mendadak linglung. Kata-kata Barbara terus terngiang dalam benaknya. Ketika sadar, ia memekik kesal. "Aaargh! Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa jadi kacau begini?" Dengan napas yang bergemuruh, ia memeriksa akun Barbara. Begitu menemukan beragam hujatan, rahangnya berdenyut-denyut hebat. "Kurang ajar! Beraninya mereka menyerang putriku begini!" Dengan mata yang merah membara, Melanie menggeram. "Ini pasti ulah Frank dan bocah setan itu! Mereka menempatkan Barbara dalam posisi sulit. Tega sekali mereka." Sambil terpejam, Melanie berusaha menurunkan tekanan darahnya. Namun, pusingnya tak kunjung mereda. Ia terpaksa kembali ke kamar dan beristirahat. Ia tidak akan bisa
"Aku berkata jujur. Tidak mudah untuk mengakui kesalahan seperti yang kau lakukan itu, apalagi kau melakukan itu demi ibumu." Barbara kembali termenung. Tatapannya menerawang dan napasnya berubah berat. Ia tidak lagi sadar kalau Philip mengamatinya dengan saksama. "Sejak awal aku mengenalmu, kupikir kau adalah gadis egois dan manja yang tak punya sisi terang. Ternyata, aku salah." Philip menyentak alis. Nada bicaranya turun, menimbulkan getaran dalam hati Barbara. "Kau punya. Tidak semua orang berani menghadapi masalah sepertimu. Dan semua perubahan diawali dengan kesadaran. Jadi, selamat! Kau sudah maju selangkah." Barbara menarik napas dalam-dalam. Ia bisa merasakan kecanggungan merambat dalam pembuluh darahnya. "Kubilang berhenti meledekku," gumamnya samar. “Aku tidak meledekmu. Aku berkata jujur.” Barbara melirik sekilas. Mendapati tatapan lembut Philip, pipinya memanas. Saat itu pula, Philip memiringkan kepala. Matanya menyipit jail. "Omong-omong, apakah kau baru dari sa
Emily mulai mencebik. Perlahan-lahan, ia merapat kepada Louis. "Sebenarnya, aku tidak benar-benar berpikir Bibi jahat. Bibi hanya tersesat. Aku melakukan itu supaya Bibi sadar dan kembali ke jalan yang benar," ujarnya pelan. Louis mengangguk. "Emily benar. Bibi sesungguhnya tidak jahat, hanya tersesat. Karena itu, tolong berhentilah galak-galak kepada kami, Bi." Barbara tertawa tipis. "Tersesat?" Ia merasa geli. "Memangnya aku mau pergi ke mana?" Louis berkedip lugu. "Mama dan Papa bilang setiap orang harus mengembangkan potensi yang dimilikinya dengan sebaik-baiknya. Bibi punya kemampuan, tapi Bibi malah menyalahgunakannya. Karena itulah, Bibi tersesat. Kalau Bibi berada di jalan yang benar, orang-orang pasti berhenti menyerang Bibi." Emily tiba-tiba terbelalak. Ia mengguncang lengan saudaranya. "Louis, itu dia jawabannya. Kita bisa menghentikan haters itu dengan menunjukkan kalau Bibi benar-benar menyesal dan sudah berubah." Barbara tertegun. Celotehan si Kembar memberinya tampa
"Kenapa kamu memandangku seperti itu? Apakah rambutku aneh?" gerutu Barbara. Philip berkedip-kedip. "Tidak. Aku hanya senang kau mengubah penampilanmu. Rambut pink kemarin sebetulnya agak mengganggu." Barbara mengerutkan alis. Setelah mendesah cepat, ia menyodorkan tangan. "Mana materiku?" "Materi?" Philip malah menaikkan alis. Selang beberapa kedipan, ia meruncingkan telunjuknya di samping kepala. "Oh, materi. Tunggu sebentar." Philip menarik laci di samping Emily, mengambil sebuah map. "Ini." Ia menyodorkannya ke tangan Barbara. "Apa yang kau pikirkan sejak tadi?" gerutu Barbara, seolah tak mengenal kata terima kasih. "Emily, bukankah asistenmu layak ditegur? Dia tidak fokus hari ini." Emily mengernyit dan menggaruk-garuk pipi. "Ya, Philip tidak biasanya seperti ini. Apakah kamu sakit?" Philip terbelalak. "Tidak," gelengnya cepat. "Lalu kenapa kamu seperti orang linglung?" Emily memiringkan kepala, seakan bisa menemukan jawaban kalau ia mengamati Philip dari sudut pandang y
Halo, Teman-Teman yang Baik Hati, Terima kasih banyak, ya, udah ngikutin cerita Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan hingga titik terakhir. Untuk Kak Puji Amriani, SK Celey, Indah Carolina, Ningsih Ngara, Monika, Rini Hartini, Selvyana Yuliansari, D6ta, Is Yuhana, AR Family, Desak Kayan Puspasari, Emma Boru Regar, Binti Mucholifah, Bhiwie Handayani, Sofia Elysa, dan Kakak-Kakak yang gak bisa Pixie sebutin satu per satu. Terima kasih banyak udah rajin banget kasih komentar buat Pixie. Dan buat Kak Azka Aulia, Lida Boelan, Adel Putri, Wenny, SK Celey, MG, Rina Zolkaflee, Susan Vantika, Nazarieda, Firaz Marsyanda, dan yang ada di ranking top fans. Terima kasih banyak atas gems-nya. Pixie harap, kalian bersedia nungguin karya Pixie selanjutnya. Pixie udah ada rencana untuk tulis cerita Louis Emily versi dewasa tapi nanti, setelah Pixie bikin cerita satu lagi. Pixie mau kumpulin lebih banyak bocil buat dipersatukan nanti. Selagi menunggu, kalian boleh banget cek karya Pixie y
Tanpa permisi lagi, Philip menyerbu masuk dan memegangi tangan Barbara. Belum sempat ia mengatakan apa-apa, Barbara sudah kembali mengejan. Briony pun keluar dan Barbara mengembuskan napas lega. "Philip .... Anak kita sudah lahir." Meskipun kepalanya mengangguk, Philip masih berkedip-kedip. Mulutnya ternganga, tak tahu harus merespon apa. "Ya ...," desahnya selang beberapa saat. Ketika tangisan Briony terdengar, barulah akal sehatnya terkumpul lagi. "Wow," Philip mengerjap. Ia membungkuk, mengelus rambut sang istri dengan perasaan yang bercampur aduk. "Kau sangat hebat, Sayang. Kau bisa melahirkan secepat itu." Barbara tersenyum bangga. "Usaha kita tidak sia-sia, Phil. Padahal, aku sempat ketakutan tadi. Desakan Briony sangat kuat. Tapi Louis dan Emily melarangku mengejan. Aku berusaha menahannya sampai akhirnya, aku menyerah." Philip berdecak kagum sekaligus tak percaya. Masih dengan tampang kaku, ia mengecup pelipis Barbara. "Kau luar biasa, Sayang. Aku senang kau tidak menemu
"Louis, Bibi sudah mau melahirkan!" Emily bangkit dengan lengkung alis tinggi. "Ya, kita harus segera membawa Bibi ke rumah sakit!" Tanpa membuang waktu, Louis meraih tangan Barbara, menariknya untuk berputar arah. "Ayo, Bibi. Kita kembali ke mobil." Akan tetapi, Barbara menggeleng. Wajahnya pucat, badannya tegang. Kakinya seolah menyatu dengan bumi. "Ada apa, Bibi?" "Panggil Philip," gumamnya lirih. "Apa?" "Panggil Philip!" Si Kembar mengerjap. Selang satu anggukan, mereka berlari menuju Philip. "Paman Philip! Paman Philip!" "Hei, kalian mau ke mana?" seru Barbara lagi. Si Kembar mengerem. Saat menoleh ke belakang, Barbara ternyata melambai-lambai. "Kenapa kalian meninggalkanku sendirian di sini?" Suaranya melengking. "Tadi Bibi menyuruh kami memanggil Paman Philip?" Louis menggeleng tak mengerti. "Ya, tapi jangan meninggalkan aku di sini." Sambil tertatih-tatih, ia beringsut mendekati Louis dan Emily. "Satu orang saja yang memanggil Philip. Satu orang lagi, pegangi aku!"
"Halo, Orion," bisik Emily saat bayi mungil dalam kotak membuka mata. Tangannya terulur, berusaha menggapai pipi gembul itu. Dari sisi lain boks, Louis juga melongok ke dalam. "Halo, Oscar." "Louis?" tegur Emily dengan mata bulat. "Kenapa kamu memanggilnya Oscar? Ini pertemuan pertama kita dengannya. Jangan membuat kesan buruk." Louis langsung mengerutkan bibir. "Oke, maaf. Aku sudah kebiasaan. Biar kuulang." Setelah berdeham, ia kembali menunduk. "Halo, Orion. Ini aku, Louis. Aku sepupumu." Emily tersenyum kecil dan mengangguk. "Itu baru benar." Usai mengacungkan jempol kepada Louis, ia melambaikan tangan ke bawah. "Dan aku Emily. Senang bertemu denganmu, Orion." Selama beberapa saat, dua balita itu sibuk mengamati Orion. Philip dan Barbara merasa terhibur mendengar komentar mereka. "Ternyata Paman Philip benar. Orion mirip kedua orang tuanya. Matanya mirip Bibi, sedangkan hidung dan mulutnya mirip paman." "Dagunya juga mirip Paman. Tapi rambutnya mirip Bibi." "Emily, coba k
Seorang perawat berusaha menenangkan Ava. Akan tetapi, wanita itu terus menggeleng, menolak semua kata-kata yang ditujukan kepadanya. Ia sudah sangat lemas. Rasa sakit seakan merontokkan seluruh tulang dalam badannya. Otaknya tidak bisa lagi berfungsi dengan normal. "Tidak. Aku sudah tidak kuat. Aku tidak bisa melanjutkan." Setelah menarik napas berat, Jeremy akhirnya membungkuk. Perawat tadi pun bergeser. Jeremy jadi lebih leluasa untuk membelai rambut Ava yang basah oleh keringat serta wajahnya yang dibanjiri air mata. "Ava, bisakah kau mendengarku? Ava?" Tatapan mereka akhirnya bertemu. Jeremy bisa melihat keputusasaan dalam manik cokelat itu. "Aku tidak sanggup lagi, Jeremy. Aku tidak sanggup. Biar dokter saja yang mengeluarkannya. Aku tidak tahan lagi." Dada Jeremy seperti dicabik-cabik. Ia nyaris tersedak oleh rasa nyeri. Namun, sambil mengelus pundak Ava, ia menggeleng. "Tidak, aku kenal dirimu. Kamu bukanlah orang yang pantang menyerah, Ava. Kamu pasti bisa." "Tapi aku
"Lihat ini, Brandon." Louis meletakkan setumpuk kertas foto di atas meja. Kemudian, satu per satu ia tunjukkan kepada temannya. "Ini foto Russell sedang menangis. Ini foto Russell sedang tertawa. Dan ini foto Russell sedang marah." "Apakah anak bayi sudah bisa marah? Bukankah dia masih terlalu muda untuk mengerti apa-apa?" Brandon menggeleng samar. Louis mengedikkan bahu. "Aku tidak tahu soal itu. Tapi kalau Russell melihat sesuatu yang tidak disukainya, tangannya terus mengepak dan mulutnya berbunyi ...." Louis meniru erangan bayi yang membuat penjaga perpustakaan melirik. "Russell juga punya tatapan tajam, Brandon. Kalau dia merasa terganggu oleh kita, dia akan melotot sambil mengerutkan alis." Emily menyentuh pangkal alisnya, memeriksa apakah bentuknya sudah sama seperti alis Russell pada gambar. Brandon tersenyum melihat ekspresi Emily. "Kurasa dia pasti sangat lucu saat marah." "Ya!" Emily mengangguk cepat. "Dia selalu lucu, setiap saat. Louis, tunjukkan foto Russell saat ma
"Oh, lihatlah Russell, Louis. Bukankah dia sangat tampan? Dia sudah bersih dan wangi." Emily mendekatkan hidungnya ke wajah Russell. Ketika berhasil mencium pipi yang sangat lembut itu, Emily terkikik menahan tawa. Ia tidak ingin mengganggu Kara yang tertidur dalam pelukan Frank. "Ya, dia sangat tampan. Dia mirip denganku. Bukankah begitu, Nenek?" Louis mengangkat pandangannya ke arah wanita yang menggendong Russell. Susan tersenyum geli. "Ya, dia mirip denganmu. Hanya saja, hidungnya sedikit lebih mancung." Bibir Louis langsung mengerucut. Telunjuknya meruncing menyentuh hidungnya sendiri. "Mau setinggi apa hidung Russell nanti? Padahal, hidungku sudah sangat mancung." Susan terkekeh mendengar jawaban Louis. "Nenek hanya bercanda, Louis. Siapa yang lebih mancung itu bukan masalah. Yang penting adalah kalian sama-sama sehat." Louis mengangguk sepakat. Tangannya kini terangkat menyentuh kaki adiknya yang mungil. "Nenek, apakah Russell berat?" Susan sontak mengangkat alis. "Kau ma
"Halo, Anak Baik. Selamat datang." Kara merengkuh Russell dengan hati-hati, seolah makhluk kecil itu adalah mutiara yang sangat rapuh. Air mata terus mengucur di pelipisnya. Usai mengecup bayi yang diselimuti oleh handuk itu, Kara kembali berbisik, "Ini Mama, Russell. Mama senang akhirnya Mama bisa memelukmu begini." Sambil mengulum bibir, Frank ikut membungkuk. Ia mengelus punggung mungil itu, lalu mengecup kepalanya yang bergerak-gerak mengimbangi tangis. "Dan ini Papa, Russell. Papa juga senang kau akhirnya hadir di sini." Masih dengan senyum merekah dan mata merah, Frank menatap Kara lembut. Sebelum genangan keharuannya menetes lagi, ia cepat-cepat mengecup kening sang istri. Kara terpejam menerima kehangatan itu. "Terima kasih telah melahirkan putra kita, Ratu Lebah," bisik Frank serak. Kara tersenyum lebih lebar dan mengangguk samar. "Terima kasih telah menemaniku di sini.""Itulah yang seharusnya kulakukan sejak dulu." Frank mengelus pipi Kara sebelum mengecupnya lagi. "P
Kara sedang duduk di ranjang. Sambil memejamkan mata, ia berusaha mengatur napas. Kepalanya bersandar pada pundak bidang di sebelahnya. "Apakah ada kabar dari si Kembar?" tanya Kara lirih. Frank menggeleng samar. Tangannya terus memijat jemari Kara. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan mereka, Ratu Lebah. Mereka anak-anak yang mandiri dan cerdas. Mereka pasti mengerti kalau kamu harus segera melahirkan. Mari merayakan ulang tahun mereka setelah Russell lahir, hmm?" Selang anggukan singkat, Kara menoleh. "Apakah kamu menangis?" Alis Frank sontak tertarik dahi. Sambil menjauhkan kepala agar karena lebih mudah melihatnya, ia menggeleng. "Kenapa kau berpikir aku menangis?" "Suaramu bergetar, Frank." Sambil mengerutkan bibir, Frank menarik napas panjang. "Aku tidak menangis." "Lalu mengapa matamu merah dan berair?" Frank berkedip tegas. "Aku tidak menangis," ulangnya dengan penekanan lebih. Masih dengan napas tersengal-sengal, Kara meloloskan tawa. Kepalanya sedikit miring, menanti gum