Eak eak eaaak .... Siapa nih yang baper?
"Aku berkata jujur. Tidak mudah untuk mengakui kesalahan seperti yang kau lakukan itu, apalagi kau melakukan itu demi ibumu." Barbara kembali termenung. Tatapannya menerawang dan napasnya berubah berat. Ia tidak lagi sadar kalau Philip mengamatinya dengan saksama. "Sejak awal aku mengenalmu, kupikir kau adalah gadis egois dan manja yang tak punya sisi terang. Ternyata, aku salah." Philip menyentak alis. Nada bicaranya turun, menimbulkan getaran dalam hati Barbara. "Kau punya. Tidak semua orang berani menghadapi masalah sepertimu. Dan semua perubahan diawali dengan kesadaran. Jadi, selamat! Kau sudah maju selangkah." Barbara menarik napas dalam-dalam. Ia bisa merasakan kecanggungan merambat dalam pembuluh darahnya. "Kubilang berhenti meledekku," gumamnya samar. “Aku tidak meledekmu. Aku berkata jujur.” Barbara melirik sekilas. Mendapati tatapan lembut Philip, pipinya memanas. Saat itu pula, Philip memiringkan kepala. Matanya menyipit jail. "Omong-omong, apakah kau baru dari sa
Emily mulai mencebik. Perlahan-lahan, ia merapat kepada Louis. "Sebenarnya, aku tidak benar-benar berpikir Bibi jahat. Bibi hanya tersesat. Aku melakukan itu supaya Bibi sadar dan kembali ke jalan yang benar," ujarnya pelan. Louis mengangguk. "Emily benar. Bibi sesungguhnya tidak jahat, hanya tersesat. Karena itu, tolong berhentilah galak-galak kepada kami, Bi." Barbara tertawa tipis. "Tersesat?" Ia merasa geli. "Memangnya aku mau pergi ke mana?" Louis berkedip lugu. "Mama dan Papa bilang setiap orang harus mengembangkan potensi yang dimilikinya dengan sebaik-baiknya. Bibi punya kemampuan, tapi Bibi malah menyalahgunakannya. Karena itulah, Bibi tersesat. Kalau Bibi berada di jalan yang benar, orang-orang pasti berhenti menyerang Bibi." Emily tiba-tiba terbelalak. Ia mengguncang lengan saudaranya. "Louis, itu dia jawabannya. Kita bisa menghentikan haters itu dengan menunjukkan kalau Bibi benar-benar menyesal dan sudah berubah." Barbara tertegun. Celotehan si Kembar memberinya tampa
"Kenapa kamu memandangku seperti itu? Apakah rambutku aneh?" gerutu Barbara. Philip berkedip-kedip. "Tidak. Aku hanya senang kau mengubah penampilanmu. Rambut pink kemarin sebetulnya agak mengganggu." Barbara mengerutkan alis. Setelah mendesah cepat, ia menyodorkan tangan. "Mana materiku?" "Materi?" Philip malah menaikkan alis. Selang beberapa kedipan, ia meruncingkan telunjuknya di samping kepala. "Oh, materi. Tunggu sebentar." Philip menarik laci di samping Emily, mengambil sebuah map. "Ini." Ia menyodorkannya ke tangan Barbara. "Apa yang kau pikirkan sejak tadi?" gerutu Barbara, seolah tak mengenal kata terima kasih. "Emily, bukankah asistenmu layak ditegur? Dia tidak fokus hari ini." Emily mengernyit dan menggaruk-garuk pipi. "Ya, Philip tidak biasanya seperti ini. Apakah kamu sakit?" Philip terbelalak. "Tidak," gelengnya cepat. "Lalu kenapa kamu seperti orang linglung?" Emily memiringkan kepala, seakan bisa menemukan jawaban kalau ia mengamati Philip dari sudut pandang y
"Tidak. Justru kalau Bibi mempromosikannya, Bibi menunjukkan kalau gaun itu sudah bukan masalah lagi. Bibi malah bisa menjadikan kesalahan kemarin sebagai senjata." Alis Barbara turun. "Senjata?" Emily mengangguk cepat. "Ya, Bibi bisa bilang Bibi melakukan itu karena gaunnya terlalu indah." "Kurasa itu bukan ide yang bagus," gumam Barbara pelan. Emily mengangkat bahu. "Kalau begitu, terserah Bibi mau bilang apa. Yang penting, Bibi harus mempromosikannya." Menyimak diskusi dua perempuan itu, Philip diam-diam tersenyum. Ia seperti melihat sesuatu yang sangat indah dalam diri Barbara. Sore harinya, Louis masuk ke ruang kerja Emily sambil merentangkan tangan. "Woohoo! Waktunya pulang!" Namun, melihat Emily dan Barbara sedang asyik melihat sesuatu di ponsel, ia terbelalak. "Apa yang sedang kalian lihat?" “Ada kemajuan di akun Bibi, Louis.” Emily mengibaskan tangan. “Kemarilah! Kamu harus lihat. Follower Bibi bertambah lagi. Dan postingan baru Bibi mendapat banyak komentar positi
Sambil membelai rambut Barbara, Melanie menarik napas berat. "Mama tahu, kemarin Mama memang keterlaluan. Mama tidak seharusnya menamparmu. Mama gagal mengendalikan emosi. Karena itu, kamu mau kan memaafkan Mama?" Hati Barbara sedikit terenyuh. Matanya kini berkedip ragu. "Ya," sahutnya pelan. "Terima kasih, Sayang. Kamu memang anak terbaik sedunia." Melanie menangkup pipi Barbara dan mengecup keningnya. "Sekarang," ia menggiring Barbara untuk duduk di tepi ranjang, "ceritakan kepada Mama. Dari mana kamu mendapat ide sebrilian itu? Bagaimana bisa kamu melakukan semuanya dengan mudah? Kamu diam-diam menyimpan bakat, hmm?" Mulut Barbara kembali terbuka. Kerut alisnya bertambah dalam. "Ide? Ide apa?" Melanie menepuk punggung tangan Barbara. Tawanya samar. "Kamu pikir Mama tidak memperhatikanmu? Mama juga menonton tayangan itu, Sayang. Mama tidak pernah tahu kalau ternyata kau sangat pandai berakting. Good job, Putriku!" Barbara tercengang. Masih dengan mulut yang membuka, ia m
Mata Melanie melebar. Tanpa basa-basi lagi, ia pergi menemui Paul. Barbara bergegas menyusul. "Papa ...." Mata Barbara berbinar saat melihat sang ayah. Namun, ketika ia hendak menghampirinya, Melanie merentangkan sebelah tangan. "Diam di tempat," bisiknya kepada sang putri sebelum menatap Paul tajam. "Mau apa kau datang kemari?" Laki-laki berjas dengan dasi yang berantakan itu beranjak dari sofa. Sorot matanya tidak lagi mengembara. "Melanie .... Barbara ...." Lengkung bibirnya tampak sangat lelah, apalagi dengan kantong mata yang menebal dan rambut acak-acakan. "Bagaimana kabar kalian? Kalian tenteram tinggal di sini?" Melanie mendengus. "Tentu saja. Rumah ini jauh lebih besar dari rumah yang kau tawarkan kepadaku." Paul mengerutkan bibir dan tertunduk. Sambil menyatukan tangan di depan perut, ia bergeser ke arah Melanie. "Begini," desahnya lirih, "aku tahu ini memang belum waktunya. Tapi perusahaanku tidak bisa lagi menunggu. Aku butuh uang itu sekarang." Melanie terbel
"Apa maksudmu?" Melanie menelan ludah dengan susah payah. Lidahnya kelu. Giliran Paul yang tersenyum licik. "Kau kira aku tidak tahu? Kau adalah seorang pembunuh. Kau beruntung selama ini aku masih mencintaimu. Sekarang, karena masanya sudah habis, apa ada alasan bagiku untuk menutupi kejahatanmu?" Tawa renyah Paul mengudara. Ketika mereda, sisanya meninggalkan kesan horor. "Hidup ini memang lucu. Kita berawal dari pelaminan tapi berakhir bersama dalam penjara. Tiba-tiba, Paul mencondongkan tubuhnya ke depan, berbisik, " Tapi setelah dipikir-pikir, kurasa kau yang akan lebih dulu masuk ke sana. Aku masih punya kesempatan. Mungkin saja, ada investor baik hati yang mau menjadi penyelamat. Tapi kau ...." Telunjuknya meruncing ke depan. "Kau tidak punya harapan. Dosamu tidak bisa dihapus seperti utang." Sementara Paul kembali tertawa, Melanie meringis kesal. Saat dadanya terlampau sesak, ia maju dan mencengkeram kerah baju Paul. "Jangan macam-macam denganku! Kau pikir bisa menganc
Melanie melirik Kara. Ia sesungguhnya tidak mau menantunya mendengar. Namun, ia tidak boleh menyinggung Frank kalau ingin misinya berjalan lancar. "Bagaimana kalau kau duduk dulu, Frank? Tidak sopan berbicara di depan orang tua seperti itu." Kara diam-diam mencolek lengan Frank. Lewat gerakan kepala, ia menyuruh suaminya pindah ke meja kerja. Frank mendesah pasrah. Ia sebetulnya tidak suka berbicara serius dengan orang-orang mencurigakan itu, meskipun Melanie adalah ibunya. "Baiklah, maaf." Setelah duduk di hadapan orang tuanya, ia menyatukan tangan dan meletakkannya di atas meja. "Silakan dimulai. Aku menyimak." "Begini ...." Melanie kembali ragu. Ia menatap Kara, seolah ingin mengusir. "Kara, bisakah kamu menyediakan minum untuk kami?" Perempuan yang berdiri di samping Frank itu terbelalak. "Oh, ya. Mama dan Tuan Harris mau minum apa?" Tepat saat itu pula, seorang pelayan mengetuk pintu. "Permisi. Saya datang membawakan teh." Frank diam-diam tersenyum. "Masuk." Nora pun